Euthanasia telah lama menjadi bahan perdebatan dikalangan medis, hukum, aktivis hak asasi manusia, dan agamawan. Terlepas dari perdebatan itu, orang-orang yang mengajukan euthanasia terus bertambah, terutama di negara-negara yang melegalkan mati dengan cara baik itu. Yang terakhir adalah euthanasia atas permintaan atlit paralimpik Belgia, Marieke Vervoort.
Suntikan dokter mengakhiri hidup
perempuan 40 tahun itu pada Oktober lalu.Namun sebelumnya pengakuan hukum
terhadap euthanasia sudah lebih dahulu di Belanda sebelum Belgia. Sedangkan
sebagian besar negara-negara internasional tidak mengakui dan membenarkan
tindakan euthanasia. Tidak terkecuali juga dengan Indonesia termasuk
yang tidak mengakui hak untuk mengakhiri hidup semacam itu.
Kemudian
perdebatan itu muncul kembali saat permohonan euthanasia di Indonesia
muncul pada tahun 2022 di Kota Lhokseumawe yang diajukan oleh Nazaruddin Razali yang berprofesi sebagai nelayan, ia
mengajukan permohonan euthanasia (suntik mati) ke Pengadilan Negeri Lhokseumawe karena alasan tidak sanggup menghadapi berbagai tekanan pemerintah yang
mengeluarkan aturan larangan melakukan budi daya ikan di dalam waduk pusong
yang dikeluarkan Pemerintah Kota. Padahal, keramba itu
merupakan satu-satunya sumber penghasilannya, di tengah kondisinya yang sudah
tua dan sakit-sakitan membuat ia tertekan hingga mengajukan permohonan euthanasia.
Baca Juga: Menggali Peran Hakim Sebagai “Active Truth Seeker” dalam Perkara Perdata
Berdasarkan sumber penelusuran perkara melalui SIPP PN Lhokseumawe, perkara tersebut terdaftar dengan perkara Nomor 2/Pdt.P/2022/PN.Lsm. Adapun amar putusan tersebut menolak permohonan dengan pertimbangan Indonesia tidak mempunyai dasar rujukan hukum terkait suntik mati sebagaimana yang dibacakan oleh Budi Sunanda hakim tunggal PN Lhokseumawe pada hari Kamis (27/1/2022).
Merujuk kepada
pengertian Euthanasia yang berasal dari kata Yunani yaitu Eu
yang berarti “baik” dan kata Thanatas yang berarti “mati”. Euthanasia
dapat diartikan sebagai bentuk kematian yang baik dianggap sebagai sesuatu yang
baik sebuah permohonan untuk mengkahiri hidup baik permintaan sendiri maupun keinginan
keluarga untuk mengurangi penderitaannya yang didasarkan pada rasa “belas
kasihan” (mercy killing).
Sebelum masuk
pada pembahasan tentang euthanasia, satu hal yang paling menentukan adalah hak
menentukan nasib sendiri (the right of self-determination) sebagai
bagian hak asasi manusia. Kemudian yang menjadi masalahnya disini penulis
melihat bagaimana dan sampai di mana batas hak tersebut itu diberi batasan? Dan
Apakah hak itu begitu mutlak, sampai-sampai ia berhak untuk mati.
Pembahasan
Hingga kini jika
dilihat dari hukum positif di Indonesia euthanasia bagaimana pun dan
dengan alasan apapun tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, baik itu
aktif maupun pasif. Jika dicermati dalam Pasal 344 KUHP lama maupun Pasal 461
dan Pasal 462 KUHP baru.
Melihat pada Pasal
344 KUHP lama merupakan aturan khusus dari Pasal 338 KUHP, dimana pasal 338
KUHP, namun bedanya nilai kejahatan pembunuhan atas pemintaan pasien lebih
ringan daripada pembunuhan biasa. Kalau penulis telaah faktor pembunuhan atas pemintaan pasien itu
oleh hukum masih dihargai lebih ringan dari pembunuhan biasa disebabkan oleh
dengan diberi ancaman pidana 2 tahun lebih ringan dibandingkan jika kematian
tidak dikehendaki korban atau pasien.
Merujuk dalam KUHP,negara
kita tidak memberikan tempat untuk mentoleransi salah satu alasan pengakhiran
hidup manusia dengan cara apapun itu. Sebab Pasal 344 KUHP lama maupun Pasal
461 dan Pasal 462 KUHP baru melarang segala bentuk pengakhiran hidup manusia
walaupun atas permintaan sendiri.
Dilihat dari filosofi lahirnya Pasal 344 KUHP sendiri yang penulis kutip dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP (1983: 495-496). Menurut Sianturi, pembentuk undang-undang bertolak dari pemikiran bahwa setiap orang harus menghormati jiwa orang lain.
Hal ini juga sejalan dengan ajaran agama yang percaya bahwa nyawa seseorang adalah kuasa tuhan serta merujuk pada Pasal 28H ayat 1 yang berbunyi “Bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan termasuk ke
dalam salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan tujuan
bangsa Indonesia. Kesehatan tidak hanya berupa sehat secara fisik tetapi juga
meliputi kesehatan mental, jiwa, dan bahkan juga secara spiritual.
Dilanjutan
dengan dasar Pasal 28 I UUD 1945 menegaskan “Hak untuk hidup tidak dapat
dikurangi dalam bentuk apapun”. Selain hal itu diatur dalam Undang- Undang yang
lebih khusus Nomor 39 tahun 1999 tentang
HAM tepatnya pada pasal 4 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM menyebutkan “Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dikurangi dalam keadaan
apapun dan oleh siapapun”.
Sedangkan untuk euthanasia
yang bersifat pasif dengan kategori penelantaran seperti tidak memberikan
pengobatan terhadap pasien yang membutuhkan,hal ini tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 190 yang berbunyi:
1) Pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik
atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak
pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan
praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja
tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat
darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Dengan demikian Dokter
maupun Tim Medis tidak dapat terlepas dari tanggung jawab hukum apabila euthanasia
terjadi akibat penelantaran maupun penolakan terhadap tindakan medis berupa euthanasia
pasif.
Kesimpulan
Pengaturan
mengenai euthanasia aktif dalam tatanan hukum positif di indonesia dalam
KUHP lama Pasal 344 dan Pasal 345 KUHP dan Pasal 461 dan Pasal 462 KUHP baru
menyatakan kalau permintaan euthanasia dapat dipidana begitu juga Pasal
190 Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengenai euthanasia
pasif.Sehingga sehingga para pelaku praktik euthanasia bukan termasuk
asas overmacht atau keadaan darurat oleh hukum, hal itu terbukti
dengan belum adanya kasus euthanasia yang pernah dikabulkan
permohonannya ke pengadilan salah satunya seperti kasus Nazaruddin Razali yang
berasal dari Aceh, Lhokseumawe, yang meminta untuk diberi tindakan euthanasia.
Prinsipnya
masalah euthanasia dalam profesi kedokteran juga dinyatakan terlarang.
Hal ini disebabkan dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia dan sumpah “Hippocrates”
dari dokter, yang dengan jelas dan tegas menyatakan dalam Pasal 9 bahwa,
“Seseorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk hidup insani.
Baca Juga: Perlindungan Korban Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga Atas Viktimisasi Berganda
Meskipun jika
ditinjau lebih dalam, beberapa pasal dapat dijadikan dasar hukum untuk
mengadili para pelaku euthanasia namun diperlukan aturan yang lebih
jelas dan lengkap untuk dapat menjangkau perbuatan pelaku. Dan juga diperlukannya
sosialisasi mengenai euthanasia terhadap tenaga kesehatan melalui
organisasi profesi supaya para tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab hukum
agar tindakan euthanasia baik aktif maupun pasif tidak terjadi.(ees/ypy/ldr)
Referensi :
- Azzuri
P, Azzuri P dan Prasetyo H, ‘Tindakan Euthanasia Pasif Oleh Dokter Terhadap
Pasien Di Indonesia’ (2021) 8 JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/Justitia/article/view/2765.
- Gracia G, Ramadhan DA dan Matheus J, ‘Implementasi Konsep Euthanasia: Supremasi Hak Asasi Manusia dan Progresivitas Hukum di Indonesia’ (2022) 2 Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal.
- Siregara RA, ‘Euthanasia Dipandang dari Perspektif Hak Asasi Manusia dan Pasal 344 KUHPidana di Indonesia’ (2020) 4 Yure Humano.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI