Cari Berita

Euthanasia Pasif di Indonesia Ditinjau dari Hukum Positif

Eliyas Eko Setyo - Hakim PN Sampang - Dandapala Contributor 2025-10-01 16:20:23
Dok. Penulis.

Euthanasia telah lama menjadi bahan perdebatan dikalangan medis, hukum, aktivis hak asasi manusia, dan agamawan. Terlepas dari perdebatan itu, orang-orang yang mengajukan euthanasia terus bertambah, terutama di negara-negara yang melegalkan mati dengan cara baik itu. Yang terakhir adalah euthanasia atas permintaan atlit paralimpik Belgia, Marieke Vervoort.

Suntikan dokter mengakhiri hidup perempuan 40 tahun itu pada Oktober lalu.Namun sebelumnya pengakuan hukum terhadap euthanasia sudah lebih dahulu di Belanda sebelum Belgia. Sedangkan sebagian besar negara-negara internasional tidak mengakui dan membenarkan tindakan euthanasia. Tidak terkecuali juga dengan Indonesia termasuk yang tidak mengakui hak untuk mengakhiri hidup semacam itu.

Kemudian perdebatan itu muncul kembali saat permohonan euthanasia di Indonesia muncul pada tahun 2022 di Kota Lhokseumawe yang diajukan oleh Nazaruddin Razali yang berprofesi sebagai nelayan, ia mengajukan permohonan euthanasia (suntik mati) ke Pengadilan Negeri Lhokseumawe karena alasan tidak sanggup menghadapi berbagai tekanan pemerintah yang mengeluarkan aturan larangan melakukan budi daya ikan di dalam waduk pusong yang dikeluarkan Pemerintah Kota. Padahal, keramba itu merupakan satu-satunya sumber penghasilannya, di tengah kondisinya yang sudah tua dan sakit-sakitan membuat ia tertekan hingga mengajukan permohonan euthanasia.

Baca Juga: Menggali Peran Hakim Sebagai “Active Truth Seeker” dalam Perkara Perdata

Berdasarkan sumber penelusuran perkara melalui SIPP PN Lhokseumawe, perkara tersebut terdaftar dengan  perkara Nomor 2/Pdt.P/2022/PN.Lsm. Adapun amar putusan tersebut menolak permohonan dengan pertimbangan Indonesia tidak mempunyai dasar rujukan hukum terkait suntik mati sebagaimana yang dibacakan oleh Budi Sunanda hakim tunggal PN Lhokseumawe  pada hari Kamis (27/1/2022).

Merujuk kepada pengertian Euthanasia yang berasal dari kata Yunani yaitu Eu yang berarti “baik” dan kata Thanatas yang berarti “mati”. Euthanasia dapat diartikan sebagai bentuk kematian yang baik dianggap sebagai sesuatu yang baik sebuah permohonan untuk mengkahiri hidup baik permintaan sendiri maupun keinginan keluarga untuk mengurangi penderitaannya yang didasarkan pada rasa “belas kasihan” (mercy killing).

Sebelum masuk pada pembahasan tentang euthanasia, satu hal yang paling menentukan adalah hak menentukan nasib sendiri (the right of self-determination) sebagai bagian hak asasi manusia. Kemudian yang menjadi masalahnya disini penulis melihat bagaimana dan sampai di mana batas hak tersebut itu diberi batasan? Dan Apakah hak itu begitu mutlak, sampai-sampai ia berhak untuk mati.

Pembahasan

Hingga kini jika dilihat dari hukum positif di Indonesia euthanasia bagaimana pun dan dengan alasan apapun tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, baik itu aktif maupun pasif. Jika dicermati dalam Pasal 344 KUHP lama maupun Pasal 461 dan Pasal 462 KUHP baru.

Melihat pada Pasal 344 KUHP lama merupakan aturan khusus dari Pasal 338 KUHP, dimana pasal 338 KUHP, namun bedanya nilai kejahatan pembunuhan atas pemintaan pasien lebih ringan daripada pembunuhan biasa. Kalau penulis telaah  faktor pembunuhan atas pemintaan pasien itu oleh hukum masih dihargai lebih ringan dari pembunuhan biasa disebabkan oleh dengan diberi ancaman pidana 2 tahun lebih ringan dibandingkan jika kematian tidak dikehendaki korban atau pasien.

Merujuk dalam KUHP,negara kita tidak memberikan tempat untuk mentoleransi salah satu alasan pengakhiran hidup manusia dengan cara apapun itu. Sebab Pasal 344 KUHP lama maupun Pasal 461 dan Pasal 462 KUHP baru melarang segala bentuk pengakhiran hidup manusia walaupun atas permintaan sendiri.

Dilihat dari filosofi lahirnya Pasal 344 KUHP sendiri yang penulis kutip dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP (1983: 495-496). Menurut Sianturi, pembentuk undang-undang bertolak dari pemikiran bahwa setiap orang harus menghormati jiwa orang lain.

Hal ini juga sejalan dengan ajaran agama yang percaya bahwa nyawa seseorang adalah kuasa tuhan serta merujuk pada Pasal 28H ayat 1 yang berbunyi “Bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan termasuk ke dalam salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia. Kesehatan tidak hanya berupa sehat secara fisik tetapi juga meliputi kesehatan mental, jiwa, dan bahkan juga secara spiritual.

Dilanjutan dengan dasar Pasal 28 I UUD 1945 menegaskan “Hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun”. Selain hal itu diatur dalam Undang- Undang yang lebih khusus Nomor  39 tahun 1999 tentang HAM tepatnya pada pasal 4 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM menyebutkan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Sedangkan untuk euthanasia yang bersifat pasif dengan kategori penelantaran seperti tidak memberikan pengobatan terhadap pasien yang membutuhkan,hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 190 yang berbunyi:

1)    Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Dengan demikian Dokter maupun Tim Medis tidak dapat terlepas dari tanggung jawab hukum apabila euthanasia terjadi akibat penelantaran maupun penolakan terhadap tindakan medis berupa euthanasia pasif.

Kesimpulan

Pengaturan mengenai euthanasia aktif dalam tatanan hukum positif di indonesia dalam KUHP lama Pasal 344 dan Pasal 345 KUHP dan Pasal 461 dan Pasal 462 KUHP baru menyatakan kalau permintaan euthanasia dapat dipidana begitu juga Pasal 190 Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengenai euthanasia pasif.Sehingga sehingga para pelaku praktik euthanasia bukan termasuk asas overmacht atau keadaan darurat oleh hukum, hal itu terbukti dengan belum adanya kasus euthanasia yang pernah dikabulkan permohonannya ke pengadilan salah satunya seperti kasus Nazaruddin Razali yang berasal dari Aceh, Lhokseumawe, yang meminta untuk diberi tindakan euthanasia.

Prinsipnya masalah euthanasia dalam profesi kedokteran juga dinyatakan terlarang. Hal ini disebabkan dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia dan sumpah “Hippocrates” dari dokter, yang dengan jelas dan tegas menyatakan dalam Pasal 9 bahwa, “Seseorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk hidup insani.

Baca Juga: Perlindungan Korban Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga Atas Viktimisasi Berganda

Meskipun jika ditinjau lebih dalam, beberapa pasal dapat dijadikan dasar hukum untuk mengadili para pelaku euthanasia namun diperlukan aturan yang lebih jelas dan lengkap untuk dapat menjangkau perbuatan pelaku. Dan juga diperlukannya sosialisasi mengenai euthanasia terhadap tenaga kesehatan melalui organisasi profesi supaya para tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab hukum agar tindakan euthanasia baik aktif maupun pasif tidak terjadi.(ees/ypy/ldr)

Referensi :

  • Azzuri P, Azzuri P dan Prasetyo H, ‘Tindakan Euthanasia Pasif Oleh Dokter Terhadap Pasien Di Indonesia’ (2021) 8 JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/Justitia/article/view/2765.
  • Gracia G, Ramadhan DA dan Matheus J, ‘Implementasi Konsep Euthanasia: Supremasi Hak Asasi Manusia dan Progresivitas Hukum di Indonesia’ (2022) 2 Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal.
  • Siregara RA, ‘Euthanasia Dipandang dari Perspektif Hak Asasi Manusia dan Pasal 344 KUHPidana di Indonesia’ (2020) 4 Yure Humano.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI