Cari Berita

Menggali Peran Hakim Sebagai “Active Truth Seeker” dalam Perkara Perdata

Bagus Raditya Wiradana-Hakim PN Wonosari - Dandapala Contributor 2025-09-28 08:05:26
Dok. Penulis.

Fakta persidangan merupakan poin utama bagi Hakim dalam mempertimbangkan putusan suatu perkara, sebagaimana selaras dengan adagium judicandum est legibus non exemplis, artinya keputusan Hakim harus berdasarkan pada hukum dan bukan berdasarkan contoh. Tidak dapat membatasi Hakim untuk menjelaskan penilaiannya atau keputusannya sendiri. Pada setiap fakta-fakta persidangan yang diperoleh tidak jauh dari peran saksi dan Hakim itu sendiri, namun dalam memperoleh keterangan saksi Hakim memiliki kewenangannya sendiri, baik secara pasif maupun aktif.

Dalam perkara perdata di sistem inquisitorial atau seperti Indonesia, Belanda, Jerman, dan negara yang menganut civil law. Hakim memiliki kewenangan yang lebih luas untuk mengendalikan jalannya pembuktian, bahkan mengajukan pertanyaan langsung kepada saksi. Hal ini berbeda dengan sistem adversarial seperti Inggris, Amerika, dan negara-negara yang menganut sistem hukum common law di mana pihak yang berperkara mengontrol hampir seluruh jalannya pemeriksaan saksi.

Dalam sistem inquisitorial, Hakim mengarahkan dan aktif terlibat dalam pengumpulan bukti, menentukan isu dan fakta yang perlu diperiksa lebih lanjut. Sistem inquisitorial lebih mengandalkan dokumentasi tertulis dan proses pemeriksaan yang intensif sejak awal, sehingga perkara diproses secara lebih terstruktur di bawah pengawasan Hakim yang profesional. Dalam hal ini, peran Hakim memegang kunci sentral dalam proses pembuktian perkara perdata dengan mengacu pada hukum acara perdata.

Baca Juga: Illusory Truth Effect dalam Penegakan Hukum

Pada prinsipnya, dalam Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg), dan Reglement op de Rechtsvordering (Rv) tidak menyebut istilah Hakim pasif aktif.

Dalam hukum acara perdata kedudukan Hakim bersifat pasif hanya dianut oleh RV yang berlaku untuk golongan Eropa yang sekarang sudah tidak berlaku lagi namun masih digunakan oleh Hakim di Indonesia.

Dalam sistem ini, Hakim hanya mengawasi jalannya persidangan agar para pihak bertindak sesuai dengan hukum acara. Terdapat 2 (dua) alasan Hakim bersifat pasif karena RV menetapkan semua tahap pemeriksaan harus dilakukan secara tertulis (schriftelijke procedure) karena dalam beracara para pihak wajib didampingi oleh kuasa/penasihat hukum (procedure stelling).

Terlebih prinsip umum yang masyhur di kalangan praktisi maupun akademi adalah hukum perdata hanya berprinsip pada asas hakim pasif, hal ini karena hukum privat mengatur kepentingan antar individu yang mempunyai batasan perseorangan.

Dalam praktiknya, sebagian besar Hakim masih mengadopsi prinsip pasif. Padahal asas yang diatur dalam HIR/RBG adalah Hakim bersifat aktif, sehingga Hakim dituntut untuk dapat membantu para pihak dalam proses persidangan guna mencari kebenaran dan menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya.

Peran aktif tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 132 HIR/156 RBG yang memberi keleluasaan kepada Hakim untuk memberi penerangan selayaknya kepada kedua belah pihak yang berperkara dan memberikan penjelasan kepada para pihak yang berperkara tentang adanya hak untuk melakukan upaya hukum serta hak untuk mengajukan alat-alat bukti di persidangan, hal ini dimaksudkan agar supaya pemeriksaan perkara tersebut dapat berjalan baik dan teratur.

Adapun bentuk-bentuk penerangan yang dimaksud antara lain mengenai bentuk dari suatu gugatan, perihal perubahan gugatan, termasuk bilamana ada kekeliruan dalam gugatan sehingga posita dan petitum dapat lebih jelas dan bermakna sebagaimana mestinya.

Namun, setiap perubahan dalam gugatan tidak boleh melampaui/bertentangan dengan batas-batas kejadian materiil yang menjadi dasarnya tuntutan (petitum) penggugat dan perubahan gugatan tersebut dapat dilakukan sepanjang Tergugat belum mengajukan jawaban, apabila perubahan gugatan tersebut dilakukan setelah Tergugat mengajukan jawaban maka perubahan gugatan dimaksud harus atas persetujuan Tergugat.

Selain itu, Pasal 150 ayat (1) dan (2) HIR/178 ayat (1) dan (2) RBg memberikan wewenang penuh kepada Hakim untuk memimpin pemeriksaan saksi, termasuk hak untuk mengajukan pertanyaan atas nama kedua belah pihak.

Hakim memiliki kewenangan untuk menolak pertanyaan dari satu pihak yang dianggap tidak relevan dengan perkara, untuk memastikan kesaksian saksi tetap fokus dan tidak terganggu oleh pertanyaan yang bisa menyebabkan kebingungan atau kesalahan dalam memberikan keterangan. Tujuan dari ketentuan ini adalah agar pemeriksaan saksi berlangsung lancar, tanpa gangguan yang dapat mempengaruhi konsistensi kesaksian dan memperlambat proses persidangan.

Lebih lanjut, Pasal 150 ayat (3) HIR/178 ayat (3) RBg memberikan hak kepada Hakim untuk mengajukan pertanyaan yang dianggap perlu untuk mengungkap kebenaran. Dengan cara ini, Hakim dapat memperjelas aspek-aspek yang belum terungkap dalam sengketa, terutama ketika para pihak belum mengajukan pertanyaan yang relevan atau belum mengklarifikasi suatu isu penting.

Hal ini memungkinkan Hakim untuk mempercepat penyelesaian sengketa dengan cara yang lebih efektif. Namun, dalam penerapannya, Hakim harus tetap menjaga prinsip netralitas dan keadilan, menghindari pertanyaan yang dapat menunjukkan keberpihakan terhadap salah satu pihak.

Meskipun Pasal 150 HIR/178 RBg melarang secara tegas pihak-pihak untuk mengajukan pertanyaan langsung kepada saksi, dalam praktiknya, beberapa Hakim di Indonesia memperbolehkan pemeriksaan silang oleh pihak lawan. Praktik ini, meskipun jarang, memperlihatkan fleksibilitas dalam penerapan hukum acara, di mana Hakim memberikan kesempatan bagi pihak lawan untuk mengajukan pertanyaan secara langsung kepada saksi, terutama pada kasus-kasus yang membutuhkan klarifikasi lebih lanjut atau dalam kasus yang sangat teknis, seperti sengketa yang melibatkan transaksi finansial kompleks atau teknologi.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun hukum acara Indonesia pada umumnya bersifat pasif, dalam beberapa situasi, Hakim dapat mengambil peran yang lebih aktif untuk memastikan tercapainya keadilan yang lebih efektif dan efisien.

Peran aktif Hakim dalam proses pembuktian tercermin pula dalam Pasal 154 HIR/181 RBG yang mengatur pada pokoknya bahwa Hakim dapat memanggil ahli untuk didengar di persidangan apabila diperlukan.

Selain itu, apabila menurut Hakim dalam proses pembuktian ditemukan bahwa alat bukti yang diajukan oleh para pihak tidak sempurna dalam arti belum mencapai batas minimal pembuktian, maka Hakim secara ex officio dapat memerintahkan kepada salah satu pihak untuk mengucapkan sumpah penambah/suppletoire eed.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 155 HIR/182 RBG. Dengan demikian, peran Hakim dalam proses pembuktian sangatlah sentral untuk membantu para pihak dalam menemukan kebenaran formil dan materiil. Namun, keaktifan Hakim tersebut jangan sampai mengganggu independensi dan netralitas Hakim dalam mengadili suatu perkara. Hal ini dimaksudkan agar Hakim dalam menjatuhkan Putusan tidak melanggar asas ultra petita partium (melebihi tuntutan) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 178 ayat (3) HIR. (ldr)

Referensi

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. IV. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Junianto James Losari, “Geography Has Little Impact: A Comparative Study on the Role of Judges in Singapore and Indonesia in the Taking of Evidence in Civil Proceedings,” Asia Pacific Law Review 32, No. 1 (2024).

Baca Juga: Keadilan di Era Digital Nurani di Tengah Kemajuan Teknologi

Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI