Fakta persidangan merupakan poin
utama bagi Hakim dalam mempertimbangkan putusan suatu perkara, sebagaimana
selaras dengan adagium judicandum est
legibus non exemplis, artinya keputusan Hakim harus berdasarkan pada hukum
dan bukan berdasarkan contoh. Tidak dapat membatasi Hakim untuk menjelaskan
penilaiannya atau keputusannya sendiri. Pada setiap fakta-fakta persidangan
yang diperoleh tidak jauh dari peran saksi dan Hakim itu sendiri, namun dalam
memperoleh keterangan saksi Hakim memiliki kewenangannya sendiri, baik secara
pasif maupun aktif.
Dalam perkara perdata di sistem inquisitorial atau seperti Indonesia,
Belanda, Jerman, dan negara yang menganut civil
law. Hakim memiliki kewenangan yang lebih luas untuk mengendalikan jalannya
pembuktian, bahkan mengajukan pertanyaan langsung kepada saksi. Hal ini berbeda
dengan sistem adversarial seperti
Inggris, Amerika, dan negara-negara yang menganut sistem hukum common law di mana pihak yang berperkara
mengontrol hampir seluruh jalannya pemeriksaan saksi.
Dalam sistem inquisitorial, Hakim mengarahkan dan aktif terlibat dalam
pengumpulan bukti, menentukan isu dan fakta yang perlu diperiksa lebih lanjut.
Sistem inquisitorial lebih mengandalkan
dokumentasi tertulis dan proses pemeriksaan yang intensif sejak awal, sehingga
perkara diproses secara lebih terstruktur di bawah pengawasan Hakim yang
profesional. Dalam hal ini, peran Hakim memegang kunci sentral dalam proses pembuktian
perkara perdata dengan mengacu pada hukum acara perdata.
Baca Juga: Illusory Truth Effect dalam Penegakan Hukum
Pada prinsipnya, dalam Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Rechtsreglement voor de Buitengewesten
(RBg), dan Reglement op de
Rechtsvordering (Rv) tidak menyebut istilah Hakim pasif aktif.
Dalam hukum acara perdata kedudukan
Hakim bersifat pasif hanya dianut oleh RV yang berlaku untuk golongan Eropa
yang sekarang sudah tidak berlaku lagi namun masih digunakan oleh Hakim di
Indonesia.
Dalam sistem ini, Hakim hanya
mengawasi jalannya persidangan agar para pihak bertindak sesuai dengan hukum
acara. Terdapat 2 (dua) alasan Hakim bersifat pasif karena RV menetapkan semua
tahap pemeriksaan harus dilakukan secara tertulis (schriftelijke procedure) karena dalam beracara para pihak wajib
didampingi oleh kuasa/penasihat hukum (procedure
stelling).
Terlebih prinsip umum yang masyhur
di kalangan praktisi maupun akademi adalah hukum perdata hanya berprinsip pada
asas hakim pasif, hal ini karena hukum privat mengatur kepentingan antar
individu yang mempunyai batasan perseorangan.
Dalam praktiknya, sebagian besar
Hakim masih mengadopsi prinsip pasif. Padahal asas yang diatur dalam HIR/RBG
adalah Hakim bersifat aktif, sehingga Hakim dituntut untuk dapat membantu para
pihak dalam proses persidangan guna mencari kebenaran dan menyelesaikan
sengketa yang diajukan kepadanya.
Peran aktif tersebut didasarkan pada
ketentuan Pasal 132 HIR/156 RBG yang memberi keleluasaan kepada Hakim untuk
memberi penerangan selayaknya kepada kedua belah pihak yang berperkara dan
memberikan penjelasan kepada para pihak yang berperkara tentang adanya hak
untuk melakukan upaya hukum serta hak untuk mengajukan alat-alat bukti di
persidangan, hal ini dimaksudkan agar supaya pemeriksaan perkara tersebut dapat
berjalan baik dan teratur.
Adapun bentuk-bentuk penerangan yang
dimaksud antara lain mengenai bentuk dari suatu gugatan, perihal perubahan
gugatan, termasuk bilamana ada kekeliruan dalam gugatan sehingga posita dan
petitum dapat lebih jelas dan bermakna sebagaimana mestinya.
Namun, setiap perubahan dalam gugatan
tidak boleh melampaui/bertentangan dengan batas-batas kejadian materiil yang
menjadi dasarnya tuntutan (petitum) penggugat dan perubahan gugatan tersebut dapat
dilakukan sepanjang Tergugat belum mengajukan jawaban, apabila perubahan
gugatan tersebut dilakukan setelah Tergugat mengajukan jawaban maka perubahan
gugatan dimaksud harus atas persetujuan Tergugat.
Selain itu, Pasal 150 ayat (1) dan (2)
HIR/178 ayat (1) dan (2) RBg memberikan wewenang penuh kepada Hakim untuk
memimpin pemeriksaan saksi, termasuk hak untuk mengajukan pertanyaan atas nama
kedua belah pihak.
Hakim memiliki kewenangan untuk
menolak pertanyaan dari satu pihak yang dianggap tidak relevan dengan perkara,
untuk memastikan kesaksian saksi tetap fokus dan tidak terganggu oleh
pertanyaan yang bisa menyebabkan kebingungan atau kesalahan dalam memberikan
keterangan. Tujuan dari ketentuan ini adalah agar pemeriksaan saksi berlangsung
lancar, tanpa gangguan yang dapat mempengaruhi konsistensi kesaksian dan memperlambat
proses persidangan.
Lebih lanjut, Pasal 150 ayat (3)
HIR/178 ayat (3) RBg memberikan hak kepada Hakim untuk mengajukan pertanyaan
yang dianggap perlu untuk mengungkap kebenaran. Dengan cara ini, Hakim dapat
memperjelas aspek-aspek yang belum terungkap dalam sengketa, terutama ketika
para pihak belum mengajukan pertanyaan yang relevan atau belum mengklarifikasi
suatu isu penting.
Hal ini memungkinkan Hakim untuk
mempercepat penyelesaian sengketa dengan cara yang lebih efektif. Namun, dalam
penerapannya, Hakim harus tetap menjaga prinsip netralitas dan keadilan,
menghindari pertanyaan yang dapat menunjukkan keberpihakan terhadap salah satu
pihak.
Meskipun Pasal 150 HIR/178 RBg
melarang secara tegas pihak-pihak untuk mengajukan pertanyaan langsung kepada
saksi, dalam praktiknya, beberapa Hakim di Indonesia memperbolehkan pemeriksaan
silang oleh pihak lawan. Praktik ini, meskipun jarang, memperlihatkan
fleksibilitas dalam penerapan hukum acara, di mana Hakim memberikan kesempatan
bagi pihak lawan untuk mengajukan pertanyaan secara langsung kepada saksi,
terutama pada kasus-kasus yang membutuhkan klarifikasi lebih lanjut atau dalam
kasus yang sangat teknis, seperti sengketa yang melibatkan transaksi finansial
kompleks atau teknologi.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun
hukum acara Indonesia pada umumnya bersifat pasif, dalam beberapa situasi,
Hakim dapat mengambil peran yang lebih aktif untuk memastikan tercapainya
keadilan yang lebih efektif dan efisien.
Peran aktif Hakim dalam proses
pembuktian tercermin pula dalam Pasal 154 HIR/181 RBG yang mengatur pada
pokoknya bahwa Hakim dapat memanggil ahli untuk didengar di persidangan apabila
diperlukan.
Selain itu, apabila menurut Hakim
dalam proses pembuktian ditemukan bahwa alat bukti yang diajukan oleh para
pihak tidak sempurna dalam arti belum mencapai batas minimal pembuktian, maka
Hakim secara ex officio dapat
memerintahkan kepada salah satu pihak untuk mengucapkan sumpah penambah/suppletoire eed.
Hal ini sebagaimana diatur dalam
Pasal 155 HIR/182 RBG. Dengan demikian, peran Hakim dalam proses pembuktian
sangatlah sentral untuk membantu para pihak dalam menemukan kebenaran formil
dan materiil. Namun, keaktifan Hakim tersebut jangan sampai mengganggu
independensi dan netralitas Hakim dalam mengadili suatu perkara. Hal ini
dimaksudkan agar Hakim dalam menjatuhkan Putusan tidak melanggar asas ultra petita partium (melebihi tuntutan)
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 178 ayat (3) HIR. (ldr)
Referensi
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet.
IV. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Junianto James Losari, “Geography
Has Little Impact: A Comparative Study on the Role of Judges in Singapore and
Indonesia in the Taking of Evidence in Civil Proceedings,” Asia Pacific Law Review 32, No. 1 (2024).
Baca Juga: Keadilan di Era Digital Nurani di Tengah Kemajuan Teknologi
Sunarto, Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata, Jakarta: Prenadamedia
Group, 2015.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI