Cari Berita

Hukum Progresif-Profetik: Jalan Sunyi di Tengah Kalatidha Keadilan

Radityo Muhammad Harseno & Syailendra Anantya Perwira - Dandapala Contributor 2025-09-24 10:05:41
Dok. Penulis.

Bagi sebagian kalangan, hukum di Indonesia kini dianggap tengah berada dalam situasi yang oleh Ranggawarsita disebut sebagai kalatidha—zaman edan, penuh ketidakpastian, dan krisis legitimasi. Hukum sering kali direduksi menjadi alat kekuasaan, sekadar sarana melanggengkan kepentingan. Fenomena mafioso peradilan memperlihatkan bagaimana keadilan terpinggirkan, sementara teks hukum dijadikan tameng untuk menutupi praktik-praktik koruptif (Syamsudin, 2022).

Pertanyaan pun muncul, apakah hukum hanya hadir untuk menghukum, atau ia seharusnya menjadi jalan mulia dalam mengangkat harkat dan martabat manusia? Jawabannya tentu tidak akan dapat ditemukan dalam positivisme hukum yang kaku. Di sinilah pentingnya memadukan keberanian hukum progresif dengan kompas nilai hukum profetik.

Kritik atas Positivisme dan Lahirnya Progresif

Baca Juga: Serat Kalatidha Pada Peradilan Indonesia

Hukum positif yang bercorak legalistik telah lama dikritik karena gagal menjawab realitas sosial. Ia menekankan kepastian, tetapi sering mengorbankan rasa keadilan. Menurut Satjipto Rahardjo (2007), hukum seharusnya hadir untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Inilah fondasi lahirnya hukum progresif.

Hukum progresif menegaskan bahwa hukum adalah law in the making, selalu berproses, dinamis, dan responsif (Nonet & Selznick, 2001). Ia tidak boleh membatu dalam teks, melainkan harus berani bergerak mengikuti kebutuhan masyarakat. Jeremy Bentham bahkan menegaskan bahwa hukum bertujuan menghadirkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Figur-figur seperti Bismar Siregar dan Artidjo Alkostar menjadi teladan, mereka mendahulukan nurani daripada sekadar membaca teks pasal sebagai dasar dalam memutus perkara.

Keberanian Progresif dan Titik Batasnya

Keunggulan hukum progresif terletak pada keberaniannya. Ia memberi ruang bagi hakim untuk menembus teks, mencari keadilan substantif, dan memperjuangkan human dignity. Namun progresif bukan tanpa risiko. Keberanian tanpa arah dapat terjebak dalam relativisme, setiap putusan bisa dianggap adil menurut tafsirnya sendiri.

Karena itu, progresivisme membutuhkan fondasi nilai yang lebih kokoh. Di sinilah hukum profetik hadir, ia laksana horizon transendental yang menjaga keberanian progresif agar tidak kehilangan arah (Wardiono, 2022). Profetik bukan pengganti progresif, melainkan penuntun yang memberi kompas etis dan spiritual.

Paradigma dan Etos Profetik

Paradigma profetik berakar pada gagasan Muhammad Iqbal tentang etika profetik (kenabian atau nubuwah). Iqbal terinspirasi dari perjalanan Mi’rajnya Nabi Muhammad ke langit (peristiwa Isra’ Mi’raj). Nabi, menurut Iqbal, tidak tenggelam dalam dunia sufistik dan mistisisme, melainkan kembali ke bumi untuk melakukan transformasi sosial (Iqbal, 1981). Roger Garaudy (1982) menekankan wahyu sebagai sumber pengetahuan yang menyelamatkan peradaban. Sementara itu, Kuntowijoyo (2007) dalam magnum opusnya, telah merumuskan nilai dasar profetik, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi.

Unsur pertama dalam paradigma profetik adalah Humanisasi. Singkatnya, hukum harus memanusiakan manusia, mencegah dehumanisasi.

Kedua, Liberasi, hukum membebaskan manusia dari struktur ketidakadilan, termasuk korupsi, kolusi, dan nepotisme serta oligarki.

Ketiga, Transendensi, hukum harus mengarahkan dirinya pada keadilan dan ridha Tuhan, bukan sekadar kepuasan prosedural.

Profetik menegaskan dimensi ontologis (hukum sebagai kehendak Ilahi), epistemologis (kebenaran dari akal, pengalaman, dan wahyu), serta aksiologis (tujuan hukum sebagai rahmat bagi semesta) (Syamsudin, 2022; Wardiono, 2022).

Etos profetik mengingatkan bahwa hukum tidak boleh diperlakukan sebagai teks mati. Sebagai contoh, Umar bin Khattab telah memberikan teladan bagi kita semua, ia menolak memotong tangan budak yang mencuri makanan karena lapar, dan menghukum majikan yang lalai memberi makan. Di situ tampak bahwa hukum harus melihat substansi, bukan sekadar teks formal.

Hakim Profetik dan Sinergi Progresif-Profetik

Hakim profetik adalah hakim yang mampu mengintegrasikan kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Danah Zohar dan Ian Marshall (2000) menyebut SQ sebagai bentuk kecerdasan tertinggi, yang menembus formalisme, memberi intuisi tentang makna, dan mengarahkan putusan pada keadilan hakiki.

Dengan bekal IQ, EQ, dan SQ yang mumpuni, hakim diharapkan mampu menyeimbangkan tiga nilai Radbruch Formula, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Hakim profetik adalah sosok insan kamil, manusia karismatik, kata Weber, atau mungkin Übermensch, begitu Nietzsche menyebut. Seorang hakim yang menjaga martabat hukum dengan menghadirkan keadilan substantif, bukan sekadar legalistik.

Di sinilah letak sinergi progresif–profetik. Progresif memberi keberanian untuk menembus teks, sementara profetik memberi arah transendental agar putusan tidak kehilangan pijakan nilai. Sinergi keduanya menjadikan hukum lebih dari sekadar instrumen kekuasaan. Ia menjadi panggilan kemanusiaan sekaligus pengabdian spiritual.

Penutup

Bagi seorang hakim yang saat ini tengah menghadapi kalatidha hukum Indonesia, kita membutuhkan keberanian sekaligus arah. Hukum progresif-profetik menawarkan keduanya. Progresif menembus teks, dan profetik memberi kompas nilai. Jalan ini memang sunyi, kadang penuh risiko, tetapi, hemat para penulis, rasanya hanya dengan inilah martabat hukum dijaga.

Pada akhirnya, sinergi progresif–profetik adalah cara kita menjaga makna irah-irah yang selalu terucap dalam putusan pengadilan, Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (ldr)

 

Daftar Referensi

Bentham, J. (1970). An introduction to the principles of morals and legislation. London: Athlone Press. (Original work published 1789)

Garaudy, R. (1982). L’Alternative future: Pour une philosophie prophétique. Paris: Éditions du Seuil.

Iqbal, M. (1981). The reconstruction of religious thought in Islam. Lahore: Institute of Islamic Culture.

Kuntowijoyo. (2007). Islam sebagai ilmu: Epistemologi, metodologi, dan etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Nonet, P., & Selznick, P. (2001). Law and society in transition: Toward responsive law. New Brunswick: Transaction Publishers.

Rahardjo, S. (2007). Membedah hukum progresif. Jakarta: Kompas.

Syamsudin, M. (2022). Berhukum profetik di tengah kalatidha. Pidato pengukuhan Guru Besar, Universitas Islam Indonesia.

Wardiono, K. (2022). Epistemologi profetik: Gerakan pemikiran alternatif dalam pengembangan ilmu hukum. Pidato pengukuhan Guru Besar, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Zohar, D., & Marshall, I. (2000). SQ: Spiritual intelligence, the ultimate intelligence. London: Bloomsbury.

Baca Juga: Pemikiran Satjipto Rahardjo: Jejak Sejarah Hukum Progresif di Indonesia


Penulis: Radityo Muhammad Harseno, S.H. (Hakim Pengadilan Negeri Metro) & Syailendra Anantya Perwira, S.H., M.H. (Hakim Pengadilan Negeri Bantaeng)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI