Integritas tanpa pengetahuan adalah lemah dan
tak berguna, dan pengetahuan tanpa integritas adalah berbahaya dan mengerikan.” - Samuel Johnson.
Kutipan ini semakin
relevan di tengah pesatnya perkembangan teknologi saat ini. Kemajuan teknologi
ibarat dua sisi mata uang: bagi insan yang berintegritas, teknologi menjadi
sarana memperkuat akuntabilitas, transparansi, dan membangun ekosistem kerja
yang bersih. Namun di tangan yang salah teknologi dapat dimanfaatkan untuk
memanipulasi data, mengeksploitasi kelemahan sistem, dan meruntuhkan
kepercayaan publik.
Sejalan dengan pandangan
tersebut, Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) Mahkamah
Agung RI dalam pembinaan di Denpasar, 5 Agustus 2025, menegaskan: “Tanpa
integritas, semua pencapaian hanya menjadi catatan kosong.” Integritas
menjadi fondasi utama dalam penilaian kinerja, prestasi, dan pengembangan diri
hakim.
Baca Juga: Tingkatkan Layanan Ramah Disabilitas, PN Bekasi MoU dengan HWDI
Untuk mewujudkan
penilaian yang objektif, Badilum mulai membangun ekosistem pengawasan berbasis
teknologi sehingga penilaian aspek integritas dapat dinilai melalui serangkaian
indikator terukur dan minim subjektivitas. Meski demikian, pemanfaatan
teknologi ini tetap memerlukan kajian kritis untuk menilai apakah penerapannya benar-benar
memperkuat integritas secara berkelanjutan, atau justru membuka celah yang
dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak berintegritas.
Untuk menjawab
permasalahan tersebut, dapat digunakan pendekatan Public Integrity Handbook
yang diusung oleh OECD (Organisation for Economic Co-Operation and
Development). OECD merupakan organisasi kerja sama dan pembangunan
antarnegara yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi, tata kelola pemerintahan,
dan pembangunan berkelanjutan.
Keanggotaan OECD mensyaratkan
standar tinggi, salah satunya adalah tingkat integritas pemerintahan dalam
mencegah korupsi dan penyelewengan, termasuk melalui pengembangan dan
pemanfaatan teknologi yang transparan.
Kerangka kerja ini memandu
instansi pemerintahan merancang sistem, prosedur, dan perilaku kerja sejak awal
untuk menutup peluang penyalahgunaan, menguatkan akuntabilitas, dan memudahkan
pengawasan. Prinsipnya, integritas tidak dibiarkan tumbuh secara kebetulan tetapi
dibangun melekat di dalam rancangan teknologi, aturan main, dan budaya
organisasi. Dalam konteks peradilan, hal ini berarti pemanfaatan teknologi
harus selaras dengan norma hukum, mendukung keterbukaan informasi, dan
memperkuat pengawasan internal.
Memasuki paruh kedua implementasi
Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010–2035, Mahkamah Agung telah mendorong
modernisasi peradilan melalui pemanfaatan teknologi di berbagai aspek.
Dalam manajemen perkara,
Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) terbaru telah dilengkapi fitur
deteksi dini potensi penyimpangan. Melalui sistem ini, perkara yang memiliki
kemiripan dapat diidentifikasi untuk mencegah putusan saling bertentangan,
menghindari ne bis in idem, penjatuhan pemidanaan melebihi batas
maksimum, maupun kesalahan formil lainnya.
Selain itu, Smart
Majelis telah diterapkan di sejumlah pengadilan terpilih sebagai pilot
project, dirancang untuk menunjuk majelis hakim secara objektif sekaligus
menghindari potensi benturan kepentingan antara hakim pemeriksa perkara dengan
para pihak. Di sisi kedisiplinan, presensi digital kini dilengkapi verifikasi
swafoto dan koordinat GPS untuk memastikan absensi hanya dapat dilakukan oleh
yang bersangkutan di lokasi kantor yang telah ditentukan.
Meski demikian, pemanfaatan
teknologi di lingkungan peradilan tidak serta-merta menghasilkan lompatan
kinerja dan membangun budaya berintegritas tanpa kesiapan faktor pendukung yang
memadai. Kapasitas sumber daya manusia seperti hakim, panitera, dan pegawai
menjadi kunci agar fitur modern dapat dioperasikan sesuai tujuannya.
Praktinya di lapangan,
masih ditemukan dua persoalan mendasar.
Pertama, sebagian sumber
daya manusia belum menguasai sistem dengan baik, sementara sebagian lain justru
memanfaatkan kelemahan sistem yang dapat menjadi celah penyalahgunaan.
Kedua, dari sisi perancangan sistem digital yang dibangun belum sepenuhnya selaras dengan kebutuhan beracara dan ketentuan hukum positif. Misalnya, court calendar yang dulunya disusun bersama para pihak berdasarkan Lampiran II huruf B SK Dirjen Badilum Nomor: 1939/DJU/SK/HM.02.3/10/2018 Tentang Pedoman Pemberkasan Arsip Perkara Yang Telah Diminutasi, kini dalam format digital ditetapkan sepihak oleh hakim tanpa proses penyesuaian kolektif dan langsung diunggah ke dalam Sistem Informasi Perkara untuk diketahui para pihak berdasarkan ketentuan poin III huruf C angka 3a SK KMA Nomor: 363/KMA/SK/XII/2022 Tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Perdata.
Situasi tersebut menunjukkan bahwa sinkronisasi antara rancangan sistem dan norma hukum masih perlu diperkuat. Penguatan ini dapat dilakukan dengan mengacu pada panduan OECD Public Integrity Handbook melalui pendekatan integrity by design, yang menuntut integrasi antara teknologi, prosedur, dan perilaku kerja. Prinsipnya, setiap inovasi digital harus dirancang sejak awal untuk memperkuat akuntabilitas dan menutup celah penyalahgunaan.
Baca Juga: Tok! PT Jakarta Perberat Vonis Terdakwa Bos Waskita di Korupsi Tol MBZ
Dalam konteks peradilan, hal
ini dapat diwujudkan melalui penyelarasan sistem dengan norma hukum yang
berlaku, pelatihan berkelanjutan bagi hakim dan aparatur, serta penerapan pengawasan
berbasis data yang transparan dan mudah diakses. Dengan pendekatan ini,
teknologi tidak hanya menjadi alat bantu administratif, tetapi juga berfungsi
sebagai instrumen pengawasan yang melekat, memastikan setiap proses peradilan
berjalan sesuai prinsip integritas dan kepatuhan hukum.
Pada akhirnya, teknologi hanyalah cermin dari nilai-nilai yang membentuknya. Di lingkungan peradilan, inovasi digital dapat menjadi penguat atau peruntuh integritas tergantung pada bagaimana sistem tersebut dirancang, dioperasikan, dan diawasi. Konsep integritas yang tertanam sejak perancangan sistem teknologi bukan sekadar jargon, melainkan fondasi utama yang mengarahkan setiap langkah pembaruan tetap selaras dengan hukum dan etika. Kita sedang berada pada titik di mana modernisasi peradilan tidak lagi hanya soal kecepatan atau kemudahan, melainkan soal memastikan bahwa setiap klik, setiap data, dan setiap putusan berjalan di jalur akuntabilitas. Inilah saatnya menegaskan bahwa di balik setiap algoritma, ada amanah publik yang harus dijaga. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI