Cari Berita

Integritas By Design: Menuju Modernisasi Peradilan Indonesia

Gilang Pamungkas - Dandapala Contributor 2025-09-21 14:10:21
Dok. Penulis.

Integritas tanpa pengetahuan adalah lemah dan tak berguna, dan pengetahuan tanpa integritas adalah berbahaya dan mengerikan.” - Samuel Johnson.

Kutipan ini semakin relevan di tengah pesatnya perkembangan teknologi saat ini. Kemajuan teknologi ibarat dua sisi mata uang: bagi insan yang berintegritas, teknologi menjadi sarana memperkuat akuntabilitas, transparansi, dan membangun ekosistem kerja yang bersih. Namun di tangan yang salah teknologi dapat dimanfaatkan untuk memanipulasi data, mengeksploitasi kelemahan sistem, dan meruntuhkan kepercayaan publik.

Sejalan dengan pandangan tersebut, Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) Mahkamah Agung RI dalam pembinaan di Denpasar, 5 Agustus 2025, menegaskan: “Tanpa integritas, semua pencapaian hanya menjadi catatan kosong.” Integritas menjadi fondasi utama dalam penilaian kinerja, prestasi, dan pengembangan diri hakim.

Baca Juga: Tingkatkan Layanan Ramah Disabilitas, PN Bekasi MoU dengan HWDI

Untuk mewujudkan penilaian yang objektif, Badilum mulai membangun ekosistem pengawasan berbasis teknologi sehingga penilaian aspek integritas dapat dinilai melalui serangkaian indikator terukur dan minim subjektivitas. Meski demikian, pemanfaatan teknologi ini tetap memerlukan kajian kritis untuk menilai apakah penerapannya benar-benar memperkuat integritas secara berkelanjutan, atau justru membuka celah yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak berintegritas.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, dapat digunakan pendekatan Public Integrity Handbook yang diusung oleh OECD (Organisation for Economic Co-Operation and Development). OECD merupakan organisasi kerja sama dan pembangunan antarnegara yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi, tata kelola pemerintahan, dan pembangunan berkelanjutan.

Keanggotaan OECD mensyaratkan standar tinggi, salah satunya adalah tingkat integritas pemerintahan dalam mencegah korupsi dan penyelewengan, termasuk melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi yang transparan.

Kerangka kerja ini memandu instansi pemerintahan merancang sistem, prosedur, dan perilaku kerja sejak awal untuk menutup peluang penyalahgunaan, menguatkan akuntabilitas, dan memudahkan pengawasan. Prinsipnya, integritas tidak dibiarkan tumbuh secara kebetulan tetapi dibangun melekat di dalam rancangan teknologi, aturan main, dan budaya organisasi. Dalam konteks peradilan, hal ini berarti pemanfaatan teknologi harus selaras dengan norma hukum, mendukung keterbukaan informasi, dan memperkuat pengawasan internal.

Memasuki paruh kedua implementasi Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010–2035, Mahkamah Agung telah mendorong modernisasi peradilan melalui pemanfaatan teknologi di berbagai aspek.

Dalam manajemen perkara, Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) terbaru telah dilengkapi fitur deteksi dini potensi penyimpangan. Melalui sistem ini, perkara yang memiliki kemiripan dapat diidentifikasi untuk mencegah putusan saling bertentangan, menghindari ne bis in idem, penjatuhan pemidanaan melebihi batas maksimum, maupun kesalahan formil lainnya.

Selain itu, Smart Majelis telah diterapkan di sejumlah pengadilan terpilih sebagai pilot project, dirancang untuk menunjuk majelis hakim secara objektif sekaligus menghindari potensi benturan kepentingan antara hakim pemeriksa perkara dengan para pihak. Di sisi kedisiplinan, presensi digital kini dilengkapi verifikasi swafoto dan koordinat GPS untuk memastikan absensi hanya dapat dilakukan oleh yang bersangkutan di lokasi kantor yang telah ditentukan.

Meski demikian, pemanfaatan teknologi di lingkungan peradilan tidak serta-merta menghasilkan lompatan kinerja dan membangun budaya berintegritas tanpa kesiapan faktor pendukung yang memadai. Kapasitas sumber daya manusia seperti hakim, panitera, dan pegawai menjadi kunci agar fitur modern dapat dioperasikan sesuai tujuannya.

Praktinya di lapangan, masih ditemukan dua persoalan mendasar.

Pertama, sebagian sumber daya manusia belum menguasai sistem dengan baik, sementara sebagian lain justru memanfaatkan kelemahan sistem yang dapat menjadi celah penyalahgunaan.

Kedua, dari sisi perancangan sistem digital yang dibangun belum sepenuhnya selaras dengan kebutuhan beracara dan ketentuan hukum positif. Misalnya, court calendar yang dulunya disusun bersama para pihak berdasarkan Lampiran II huruf B SK Dirjen Badilum Nomor: 1939/DJU/SK/HM.02.3/10/2018 Tentang Pedoman Pemberkasan Arsip Perkara Yang Telah Diminutasi, kini dalam format digital ditetapkan sepihak oleh hakim tanpa proses penyesuaian kolektif dan langsung diunggah ke dalam Sistem Informasi Perkara untuk diketahui para pihak  berdasarkan ketentuan poin III huruf C angka 3a SK KMA Nomor: 363/KMA/SK/XII/2022 Tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Perdata.

Contoh lain adalah perbedaan perhitungan jangka waktu maksimal pengiriman berkas banding perkara pidana ke Pengadilan Tinggi antara aplikasi Evaluasi Implementasi SIPP (14 hari sesuai KUHAP Pasal 236 j.o. Perma 8/2022) dengan praktik lapangan yang merujuk ketentuan poin VI huruf B angka 1j SK KMA Nomor 365 Tahun 2022 (30 hari).

Situasi tersebut menunjukkan bahwa sinkronisasi antara rancangan sistem dan norma hukum masih perlu diperkuat. Penguatan ini dapat dilakukan dengan mengacu pada panduan OECD Public Integrity Handbook melalui pendekatan integrity by design, yang menuntut integrasi antara teknologi, prosedur, dan perilaku kerja. Prinsipnya, setiap inovasi digital harus dirancang sejak awal untuk memperkuat akuntabilitas dan menutup celah penyalahgunaan.

Baca Juga: Tok! PT Jakarta Perberat Vonis Terdakwa Bos Waskita di Korupsi Tol MBZ

Dalam konteks peradilan, hal ini dapat diwujudkan melalui penyelarasan sistem dengan norma hukum yang berlaku, pelatihan berkelanjutan bagi hakim dan aparatur, serta penerapan pengawasan berbasis data yang transparan dan mudah diakses. Dengan pendekatan ini, teknologi tidak hanya menjadi alat bantu administratif, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen pengawasan yang melekat, memastikan setiap proses peradilan berjalan sesuai prinsip integritas dan kepatuhan hukum.

Pada akhirnya, teknologi hanyalah cermin dari nilai-nilai yang membentuknya. Di lingkungan peradilan, inovasi digital dapat menjadi penguat atau peruntuh integritas tergantung pada bagaimana sistem tersebut dirancang, dioperasikan, dan diawasi. Konsep integritas yang tertanam sejak perancangan sistem teknologi bukan sekadar jargon, melainkan fondasi utama yang mengarahkan setiap langkah pembaruan tetap selaras dengan hukum dan etika. Kita sedang berada pada titik di mana modernisasi peradilan tidak lagi hanya soal kecepatan atau kemudahan, melainkan soal memastikan bahwa setiap klik, setiap data, dan setiap putusan berjalan di jalur akuntabilitas. Inilah saatnya menegaskan bahwa di balik setiap algoritma, ada amanah publik yang harus dijaga. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI