Cari Berita

Hukum Acara Perdata: Antara Fragmentasi dan Cita Unifikasi

Syailendra Anantya Prawira-Hakim PN Bantaeng - Dandapala Contributor 2025-10-17 13:00:49
Dok. Penulis.

Sudah lebih dari delapan dekade Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, namun sistem hukum acara perdata kita masih berpijak pada naskah kolonial, Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR, 1941) dan Reglement Buitengewesten (RBg, 1927).

Kedua regulasi tersebut disusun bukan untuk melayani keadilan rakyat Indonesia, melainkan semata untuk menciptakan sistem peradilan yang cepat, efisien, dan mudah dikendalikan oleh penguasa kolonial. Ironinya, di tengah geliat digitalisasi peradilan melalui e-court dan e-litigation, fondasi normatif yang menopang sistem hukum acara kita masih beraroma kolonial.

Mahkamah Agung RI memang telah melahirkan berbagai Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) untuk menyesuaikan hukum acara dengan kebutuhan zaman. Namun, langkah-langkah tersebut sejatinya lebih bersifat teknis ketimbang rekonstruksi konseptual.

Baca Juga: CHA Ennid Hasanuddin Usulkan Model Omnibus Law pada Dasar Hukum Perdata Nasional

Reformasi hukum acara perdata kita masih berjalan di atas kerangka yang sama, berusaha memutakhirkan wadahnya, tanpa benar-benar membarukan jiwanya.

Warisan Fragmentasi: Antara HIR, RBg, dan Rv

Akar persoalan hukum acara perdata Indonesia berawal dari politik hukum kolonial yang membagi masyarakat ke dalam lapisan hukum berbeda. Orang Eropa tunduk pada Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv), sedangkan penduduk bumiputera dan Timur Asing tunduk pada HIR dan RBg (Noor, 2014). Struktur hukum ini bersifat diskriminatif, bukan berdasarkan asas keadilan, melainkan berdasarkan ras dan status sosial.

Setelah kemerdekaan, sistem tersebut tidak dihapus, tetapi diwarisi melalui Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan bahwa peraturan kolonial tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan yang baru.

Akibatnya, praktik peradilan di berbagai daerah tidak seragam. Ada perbedaan dalam penggunaan dasar hukum, penafsiran alat bukti, bahkan dalam pelaksanaan sita dan eksekusi. Seperti dicatat Panjaitan (2018), pluralisme hukum acara ini melahirkan ketidakharmonisan dan ketidakpastian. Dalam konteks yang sama, Maulindayani (2021) menyebut bahwa hukum acara perdata Indonesia “terfragmentasi oleh sejarah, bukan dibangun oleh cita hukum nasional.”

Fragmentasi ini bukan sekadar soal teknis prosedural, melainkan juga cerminan ideologis, bagaimana bangsa ini, dengan sistem hukumnya yang plural, masih berjuang menemukan bentuk keadilannya sendiri di antara residu kolonial dan cita hukum nasional yang belum sepenuhnya terwujud.

 

Paradoks Reformasi: Tambal-Sulam tanpa Kodifikasi

Meski fondasi hukum acara perdata kita masih kolonial, Mahkamah Agung RI tidak sepenuhnya diam. Melalui berbagai PERMA dan SEMA, lembaga kita berperan aktif mengisi kekosongan hukum dan menjawab kebutuhan masyarakat modern.

Peraturan seperti PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Mediasi, PERMA No. 2 Tahun 2015 jo. PERMA No. 4 Tahun 2019 tentang Gugatan Sederhana, dan PERMA No. 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara Secara Elektronik (e-Court), dsb., adalah langkah progresif yang harus diapresiasi.

Namun, sebagaimana diingatkan Ardiansyah (2020), pembaruan tersebut hanya menciptakan unifikasi fungsional, yakni penyatuan dalam praktik, tanpa dasar kodifikasi yang menyeluruh. Dengan kata lain, Mahkamah Agung RI berhasil memodernisasi prosedur, tetapi sayangnya, negara belum membangun sistem hukum acara yang benar-benar tunggal.

Di tengah deru zaman, banyaknya kekosongan hukum dan penyusunan peraturan baru yang parsial justru dikhawatirkan berpotensi menimbulkan tumpang tindih, inkonsistensi peraturan, dan ketergantungan berlebihan negara pada Mahkamah Agung RI. Dalam jangka panjang, hal ini bisa melahirkan “reformasi yang fragmentatif,” di mana perubahan terjadi di permukaan, tetapi akar strukturalnya tetap sama.

Padahal, esensi pembaruan hukum acara bukan sekadar memperbarui tata cara beracara, melainkan memperbarui paradigma. Hukum acara yang ideal bukanlah yang hanya menjamin ketertiban prosedur, tetapi yang memastikan keadilan dapat dicapai dengan cara yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.

Modernisasi dan Tantangan Digitalisasi

Perkembangan teknologi hukum membawa perubahan besar bagi sistem pembuktian dan prosedur peradilan. Penggunaan dokumen elektronik, tanda tangan digital, dan sidang daring kini bukan lagi hal yang asing. Namun, sistem hukum acara perdata kita belum sepenuhnya siap mengakomodasi realitas tersebut.

Pasal 164 HIR, misalnya, masih membatasi alat bukti pada lima jenis konvensional, seperti surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Sementara UU ITE telah mengakui dokumen elektronik sebagai alat bukti sah, hukum acara perdata belum menegaskannya secara eksplisit. Akibatnya, praktik pembuktian di pengadilan sering kali bergantung pada kreativitas hakim dan tafsir kasuistik.

Sulaiman, Arifudin, dan Triyana (2020) menegaskan bahwa pengakuan terhadap digital signature dan bukti elektronik merupakan keniscayaan agar sistem peradilan tidak tertinggal dari realitas sosial. Sementara Haspada (2024) melalui studi komparatifnya menunjukkan bahwa negara-negara Eropa telah beralih ke open evidence system, yang memberikan hakim kebebasan menilai bukti modern selama dapat diverifikasi secara ilmiah.

Modernisasi hukum acara perdata dengan demikian bukan semata soal teknologi, tetapi soal cara pandang terhadap kebenaran dan keadilan. Procedural justice harus bergeser dari sekadar kepatuhan pada bentuk menuju pencarian kebenaran formil-substantif dengan dukungan teknologi.

Menuju Cita Unifikasi: Dari Fragmentasi ke Keadilan Nasional

Unifikasi hukum acara perdata menjadi langkah strategis untuk mengakhiri fragmentasi dan memastikan kesatuan sistem peradilan. Kodifikasi tidak hanya akan menutup kekosongan hukum, tetapi juga meneguhkan arah pembaruan hukum nasional.

Noor (2014) mengajukan gagasan kodifikasi parsial dan terbuka, yakni kodifikasi yang dilakukan secara bertahap, fleksibel, dan adaptif terhadap keberagaman sosial budaya Indonesia. Pendekatan ini memungkinkan hukum acara perdata nasional untuk menampung nilai-nilai hukum adat dan hukum Islam tanpa kehilangan kepastian hukum.

Sementara itu, Meliala (2022) dan Syauqi & Pratama (2025) menekankan bahwa unifikasi hukum acara perdata harus berpijak pada living law, hukum yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat serta berorientasi pada nilai keadilan substantif, bukan semata kepastian normatif.

RUU Hukum Acara Perdata (RUU HAP) yang kini tengah digagas merupakan momentum penting untuk menulis ulang “cara Indonesia berkeadilan.” Melalui unifikasi, hakim tidak lagi perlu mencari hukum dari serpihan aturan, melainkan menegakkannya dari satu sumber yang pasti dan berkepribadian Indonesia.

Penutup

Sudah saatnya Indonesia melangkah menuju satu jalan hukum, jalan unifikasi yang berakar pada nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Kodifikasi hukum acara perdata tidak hanya akan menyatukan norma dan prosedur, tetapi juga memperkuat identitas hukum nasional yang merdeka dari warisan kolonial.

Sebagaimana diingatkan Ardiansyah (2020), pembaruan hukum acara perdata sejatinya adalah ikhtiar untuk menyeimbangkan antara kepastian dan keadilan. Tanpa unifikasi, kedua nilai itu hanya akan menjadi cita ideal yang tak pernah sampai ke ruang sidang.

Unifikasi adalah jalan lurus menuju keadilan nasional, sebuah langkah panjang yang menuntut keberanian untuk keluar dari bayang-bayang sejarah dan menulis bab baru hukum Indonesia yang berdaulat di tanahnya sendiri. (ikaw/ldr)

Baca Juga: Kenal Lebih Dekat! Ini Calon Hakim Agung Terpilih

Daftar Referensi

Ardiansyah, M. K. (2020). Pembaruan Hukum oleh Mahkamah Agung Dalam Mengisi Kekosongan Hukum Acara Perdata di Indonesia. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 14(2), 361–384.
Haspada, D. (2024). Analisis Komparatif Hukum Pembuktian di Berbagai Yurisdiksi: Menuju Model Unifikasi Hukum Acara Perdata. Jurnal Kelola: Jurnal Ilmu Sosial, 7(1), 65–72.

Maulindayani. (2021). Eksistensi Dalam Pembaruan Hukum Acara Perdata di Indonesia. IPMHI Law Journal, 1(1), 65–71.

Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 13(2), 115–124
Meliala, A. (2022). Urgensi Reformasi Hukum Acara Perdata Indonesia. Jurnal BPPM, 5(2), 134–142.

Noor, M. (2014). Unifikasi Hukum Perdata dalam Pluralitas Sistem Hukum Indonesia..
​​​​​​​Normand Edwin Elnizar. (2018). Solusi Tambal Sulam Hukum Acara Itu Bernama Peraturan Mahkamah Agung. Konferensi ADHAPER 2018. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2025.
https://www.hukumonline.com/berita/a/solusi-tambal-sulam-hukum-acara-itu-bernama-peraturan-mahkamah-agung-lt5b740888249e8/
Panjaitan, R. (2018). Analisis Unifikasi Hukum Acara Perdata Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 48(3), 327–344.
Sulaiman, E., et al. (2020). Menuju Modernisasi Hukum Acara Perdata: Tantangan Bukti Elektronik. Risalah Hukum, 2(1), 47–59.
Syauqi, M. D. Z., & Pratama, A. (2025). Urgensi Disahkannya RUU Hukum Acara Perdata bagi Sistem Hukum Indonesia. Jurnal Lex et Societatis, 3(1), 12–22.

 

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI