Cari Berita

Mediator, Menyemai Damai di Ruang Mediasi

Chandra Khoirunnas Hakim-PN Takengon - Dandapala Contributor 2025-05-16 11:45:12
Dok. Penulis.

Suasana tegang dalam ruang persidangan kerap menyelimuti penyelesaian perkara perdata di pengadilan. Ketegangan itu muncul antara para pihak yang bersengketa karena keduanya saling mempertahankan dalil dan pendapatnya masing-masing. Namun ternyata dibalik nuansa formalitas peradilan itu, ternyata terdapat sebuah ruang yang jauh lebih tenang, lebih mengedepankan prinsip humanis dan jauh lebih solutif yang dikenal sebagai ruang mediasi.

Ruang mediasi bagi para pihak diberikan merupakan bagian dari hukum acara perdata yang dapat memperkuat dan mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa sekaligus sebagai sebuah mekanisme penyelesaian sengketa secara damai yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada para pihak untuk memperoleh penyelesaian yang berkeadilan.

Baca Juga: Strategi Jadi Mediator Perkara Lingkungan Hidup yang Profesional

Sejak diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma Mediasi), kini mediasi bukan lagi pilihan opsional dalam penyelesaian perkara perdata melainkan suatu prosedur yang diwajibkan. Setiap perkara perdata yang masuk ke pengadilan, harus terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya melalui jalur mediasi sebelum masuk ke tahap pemeriksaan pokok perkara, terkecuali untuk sengketa tertentu yang dikecualikan dari prosedur mediasi sebagaimana Pasal 4 ayat (2) Perma Mediasi.

Mediasi bukan juga sekadar prosedur formal dalam proses peradilan, melainkan merupakan sarana untuk mengedepankan kehendak bebas para pihak dalam mencari solusi yang adil dan saling menguntungkan. Perlu dipahami bahwa hakikat dari proses mediasi di pengadilan terletak pada upaya dalam menyelesaikan sengketa secara damai melalui komunikasi yang terbuka dan konstruktif, dengan bantuan pihak ketiga yang netral, yaitu mediator.

Pada proses mediasi, yang dijunjung tinggi bukanlah kemenangan satu pihak atas pihak lain, melainkan tercapainya mufakat yang dapat diterima bersama. Dalam konteks pengadilan, mediasi memiliki peran strategis dalam mengurangi beban perkara, mempercepat penyelesaian sengketa, dan menciptakan keadilan yang berkelanjutan. Hal ini dikarenakan para pihak sendiri terlibat aktif dalam menentukan hasilnya. Hal ini sejalan dengan semangat Perma Mediasi, yang menempatkan mediasi sebagai bagian integral dari sistem peradilan modern yang responsif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian.

Mediator dalam proses mediasi bukan hanya sekadar perantara yang menyampaikan pendapat dari satu pihak ke pihak lainnya. Lebih dari itu, mediator berperan sebagai fasilitator dialog yang menciptakan ruang aman dan kondusif bagi para pihak untuk menyuarakan kepentingan mereka secara jujur dan terbuka.

Mediator juga memastikan bahwa setiap tahapan prosesnya berjalan dengan adil, serta membantu para pihak untuk memahami akar konflik dan kemungkinan jalan keluarnya. Dengan keterampilan komunikasi, empati, dan netralitas, mediator mampu meredakan ketegangan, membangun kepercayaan, dan menggali kebutuhan serta kepentingan yang tersembunyi di balik posisi formal masing-masing pihak serta membimbing para pihak menuju titik temu yang mungkin tidak ditemukan antara para pihak itu sendiri.

Namun demikian wajah mediasi di lapangan kerap kali dipahami hanya sebatas mempertemukan pihak-pihak yang berselisih, dan tidak jarang juga para pihak melalui kuasa hukumnya secara tegas menolak proses mediasi dihadapan mediator dan segera menginginkan agar proses perkara diselesaikan melalui persidangan.

Selain itu pula, tidak dibenarkan jika seorang mediator baik dari kalangan hakim maupun non-hakim yang melaksanakan proses mediasi hanya untuk memenuhi kewajiban prosedural. Alih-alih menjadi ruang terbuka untuk berdialog dan penyelesaian sengketa, mediasi kadang hanya berlangsung dalam satu kali pertemuan atau bahkan hanya beberapa menit.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pun bersifat umum, tidak menggali akar konflik, tidak menyentuh emosi, dan jauh dari usaha mendamaikan, ditambah lagi para pihak yang bersengketa datang dengan sikap yang defensif. Mereka merasa tidak perlu bersusah payah berdamai karena percaya bahwa pada akhirnya putusan hakimlah yang akan menyelesaikan segalanya. Pandangan ini diperparah oleh minimnya upaya dari mediator yang sekadar membaca resume perkara, dan berakhir pada pernyataan “Mediasi Gagal”. Bila kondisi ini terus dibiarkan, mediasi akan kehilangan maknanya, ruang mediasi akan benar-benar menjadi “ruang transit” sebelum ruang sidang.

Padahal sejatinya, keberhasilan proses mediasi sendiri tidak bergantung semata-mata pada keterbukaan para pihak, tetapi juga pada sejauh mana mediator menjalankan tugasnya dengan dedikasi dan tanggung jawabnya. Ada dimensi moral yang melekat pada setiap tindakan mediator. Mediator tidak hanya bertindak berdasarkan prosedur semata, tetapi juga berdasarkan empati dan keadilan substantif.

Seorang mediator yang memaksimalkan tugas dan kewajibannya akan hadir secara utuh dalam setiap sesi mediasi dan masuk pada akar masalah para pihak. Ia tidak bersikap formalitas, tidak terburu-buru untuk “menyelesaikan” perkara demi mengejar target administratif, dan tidak bersikap pasif ketika mediasi mulai menemui jalan buntu. Justru di saat-saat seperrti itulah, mediator harus menggali lebih dalam, menggunakan teknik mediasi seperti kaukus (pertemuan terpisah), reframing, dan identifikasi kepentingan untuk mencari titik temu yang mungkin saja tersembunyi diantara para pihak.

Tidak dapat dipungkiri dalam praktiknya, mediasi di pengadilan kadang berjalan sekadar untuk memenuhi prosedur. Para mediator, karena beban perkara yang tinggi atau keterbatasan dari pelatihan mediasi yang mendalam menjalankan tugasnya dengan pendekatan administratif.

Akibatnya, banyak perkara yang berakhir dengan “Mediasi Gagal” tanpa upaya yang maksimal. Padahal, Pasal 14 Perma Mediasi memberi mandat kepada mediator untuk aktif memfasilitasi perundingan, bukan sekadar menjadi notulen akan masalah dari para pihak. Dalam konteks ini justru pertanyaannya bukan lagi apakah mediasi dijalankan, tetapi bagaimana mediasi dijalankan oleh seorang Mediator. Apakah ruang mediasi digunakan untuk membuka ruang dialog yang tulus? Apakah mediator sungguh-sungguh berupaya memahami akar masalah dari konflik yang terjadi? Sering kali, para pihak merasa bahwa sesi mediasi hanyalah jeda sebelum "perang sesungguhnya" dimulai di ruang sidang. Hal ini menunjukkan bahwa begitu pentingnya efektivitas mediasi yang sangat ditentukan oleh kualitas pelaksanaan dan keterlibatan seorang mediator.

Lebih dari sekadar alat bantu pengadilan, mediator sejatinya mengemban misi damai dan berperan sebagai “Agen Perdamaian”, di tengah masyarakat yang mudah terpolarisasi, kehadiran mediator menjadi kunci dalam membangun kembali jembatan kepercayaan. Ia membawa pendekatan dialogis, bukan koersif, pendekatan win-win solution menjadi kunci utama dalam penyelesaian sengketa, bukan menang (win) ataupun kalah (lose).

Dalam banyak kasus, keberhasilan mediasi bukan hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga menghindarkan para pihak dari konflik berkepanjangan, menjaga relasi sosial, bahkan menyelamatkan ekonomi rumah tangga atau usaha yang hampir runtuh akibat perselisihan. Di sinilah urgensi bagi setiap mediator untuk maksimal dalam arti hadir sepenuh hati, bekerja secara profesional, dan melihat peran mereka sebagai bagian dari upaya menciptakan keadilan yang bermartabat.

Baca Juga: PN Purwokerto Kuatkan Peran Mediator Non Hakim, Apa Tujuannya?

Ruang mediasi bukanlah tempat menunggu sidang dan bukan juga ruang pelengkap dalam struktur pengadilan. Mediasi adalah substansi dan jantung dari penyelesaian konflik secara damai dan manusiawi. Keberadaan Perma Nomor 1 Tahun 2016 dan Perma Nomor 3 Tahun 2022 merupakan fondasi penting dalam memperkuat sistem mediasi dalam dunia peradilan. Namun tentunya implementasi dari kedua intrumen regulasi tersebut hanya akan efektif jika didukung oleh peran mediator yang benar-benar memahami dan menjalankan peran mereka secara maksimal.

Ruang mediasi bukan ruang formalitas, mediasi adalah ruang harapan. Harapan bagi masyarakat untuk menyelesaikan konflik tanpa permusuhan, untuk meraih keadilan tanpa harus “menang” di atas kekalahan orang lain. Untuk itu, setiap mediator harus mampu menjadikan ruang mediasi sebagai ruang yang didambakan oleh pihak yang bersengketa, ruang pencarian solusi, dan ruang membangun kembali kepercayaan yang mungkin telah hancur oleh konflik. Seorang mediator yang maksimal adalah ia yang hadir dengan integritas, pengetahuan, empati, dan semangat perdamaian. Bukan hanya menjalankan formalitas semata, tetapi juga menghidupkannya dalam praktik yang nyata. (LDR)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI