Cari Berita

Menyibak Tabir Motif dan Mens Rea dalam Perbuatan Pidana Korupsi

Ibnu Abas Ali-Hakim Ad Hoc Tipikor PN Surabaya - Dandapala Contributor 2025-10-22 08:00:01
Dok. Penulis.

Dalam pembuktian suatu perkara korupsi, batas antara motif dan mens rea kerap kali kabur serta memantik perdebatan, baik dalam ranah teori maupun praktik peradilan. Padahal, dalam sistem hukum pidana modern, relevansi antara motif dan mens rea tidak hanya dapat dianalisis melalui ilmu hukum saja, tetapi juga dianalisis melalui pendekatan interdisipliner yang melibatkan ilmu lain di luar hukum, yaitu psikologi forensik.

Meskipun motif tidak termasuk unsur delik dan karenanya tidak wajib dibuktikan dalam proses pembuktian perkara pidana, namun dalam konteks hukum pidana modern, keberadaannya tetap penting karena membantu memahami kondisi mental serta dorongan psikologis pelaku, bahkan dalam praktik sering memengaruhi penilaian hakim terhadap tingkat kesalahan dan berat-ringannya pidana.

Berbeda dengan mens rea, yang dalam praktek peradilan wajib dibuktikan, sebab tidak hanya berimplikasi pada teknik judicial semata, akan tetapi juga berakibat pada apakah suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana yang sempurna dalam konteks pertanggungjawaban pidana. Mens Rea yang secara harfiah diartikan sebagai “niat jahat” berasal dari sebuah adagium Latin yang merujuk pada unsur mental dari kejahatan: actus non facit reum nisi mens sit rea.

Baca Juga: Mens Rea: Pengertian, Kedudukan dan Penerapan Praktik Peradilan

Awal mula konsep ini berkembang pada akhir abad ke-12 yang dipengaruhi hukum romawi dan hukum kanonik, dimana dalam perspektif hukum kanonik terkait pertimbangan mengenai dosa melibatkan unsur mental yang hampir sama dengan tindakan fisik.

Mens rea berhubungan dengan asas “Keine Strafe onhe Schuld, tak ada pidana jika orang tak bersalah. Di Indonesia dan negara-negara barat umumnya asas ini merupakan asas hukum yang tidak tertulis. Di Inggris dan Amerika Serikat mengenal asas tak tertulis an act does not make a person guilty unless his mind is guilty.

Mens rea atau mental element di Inggris, Australia, Selandia Baru, serta Amerika Serikat, oleh pandangan monistik terhadap delik disebut unsur subjektif, yang kalau unsur-unsurnya terbukti adanya, maka berarti terbuktinya pertanggungjawaban pembuat delik. Unsur-unsurnya adalah kemampuan bertanggungjawab, kesalahan dalam arti luas (dolus dan culpa lata), tak adanya dasar pemaaf (veronstschuldingsgrond) yang semuanya melahirkan Schuldhaftigkeit uber den Tater, yaitu hal dapat dipidananya pembuat delik. (Zainal Abidin Farid, 2007:53-58).  

Dimensi Motif dan Mens Rea;

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, irisan antara motif dan mens rea tertaut dalam kacamata psikologi forensik, dimana motif pada prinsipnya dapat digolongkan menjadi motif emosional dan motif instrumental. Ahli psikologi forensik, Reza Indra Giri menyebutkan bahwa dalam setiap perilaku jahat manusia hanya ada dua kemungkinan motif yaitu:

Pertama, Motif Emosional, yang pada dasarnya setiap orang melakukan pelanggaran pidana dikarenakan adanya perasaan-perasaan negatif tertentu misalnya marah, dendam, benci, sakit hati, frustasi, putus asa.

Kedua, Motif Instrumental, yang pada dasarnya tidak berkaitan dengan suasana hati manusia, akan tetapi yang terpikir oleh pelaku adalah akan mendapatkan sesuatu, misalnya mendapatkan cinta, popularitas, harta atau lainnya.

Sementara, mens rea berbicara mengenai level kesadaran dibalik sebuah perbuatan yaitu:

1.   Planned, yang merupakan mens rea level tertinggi, dimana seseorang melakukan pelanggaran hukum secara terencana. Elemen target, insentif, sumber daya atau instrumen, dan resikonya sudah dipertimbangkan dan dipersiapkan matang-matang sebelum melakukan aksi kejahatannya.

2.   Knowing, dimana pelaku kejahatan mengetahui bahwa perbuatannya salah atau melawan hukum akan tetapi tidak ada perencanaan sebelum melakukan kejahatan.

3.   Recklessness, dimana pelaku secara sengaja dan secara sadar mengabaikan pemikiran-pemikiran tentang konsekuensi buruk yang akan muncul akibat perbuatannya.

4.   Negligence, dimana Pelaku secara sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi tidak menyadari bahwa tindakannya menimbulkan risiko; dengan kata lain, ia sadar atas perbuatannya, namun tidak cukup mampu memperkirakan akibat yang akan timbul.

Pelajaran dari Praktik Peradilan;

Di Inggris, kasus Fowler v. Padget (1798) dianggap sebagai salah satu putusan penting dalam perkembangan hukum pidana, di mana Lord Kenyon menegaskan bahwa mens rea merupakan unsur esensial dalam terbentuknya tindak pidana. Dalam perkara tersebut, Padget (terdakwa) membuat pernyataan yang secara moral keliru, namun tidak terbukti memiliki niat untuk menipu.

Oleh karena itu, pengadilan menyatakan bahwa sekadar membuat pernyataan salah tidaklah cukup; harus ada bukti adanya niat menipu. Prinsip ini menegaskan bahwa niat jahat (mens rea) dan perbuatan terlarang (actus reus) merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam pembentukan tindak pidana.

Di Indonesia, terdapat beberapa putusan pengadilan yang menggambarkan yang menyorot perspektif motif dan mens rea, khususnya dalam perkara korupsi, seperti pada putusan Mahkamah Agung Nomor 980 K/Pid.Sus/2015 tanggal 20 Januari 2016 yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa Terdakwa tidak memiliki mens rea karena hanya diperalat oleh atasan/Pimpinan Terdakwa untuk melakukan korupsi.

Selain itu, putusan Mahkamah Agung Nomor 6418 K/Pid.Sus/2025 tanggal 15 Juli 2025, menegaskan bahwa Terdakwa selaku Direktur RSUD dan selaku Pengguna Anggaran, tidak memiliki mens rea untuk melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara.

Terdapat pula pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 1254 PK/Pid.Sus/2024 tanggal 11 September 2024 yang prinsipnya bahwa meskipun terbukti Terdakwa memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara atau kas umum, namun perbuatan tersebut justru menguntungkan masyarakat sehingga hilang sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, pembuktian motif dan mens rea dalam praktik peradilan dapat disimpulkan sebagai berikut: dalam tindak pidana korupsi, motif pelaku umumnya bersifat instrumental, yakni didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan tertentu yang kemudian diwujudkan melalui perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.

Karena itu, pembuktiannya tidak cukup hanya menunjukkan adanya actus reus (perbuatan melawan hukum), tetapi juga harus dibuktikan adanya mens rea, baik berupa niat (intention), pengetahuan (knowledge), kelalaian sadar (recklessness), maupun kealpaan (negligence), yang menunjukkan kehendak memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi.

Kedua, dalam pembuktian tindak pidana korupsi, mens rea sebagai unsur mental dikaitkan dengan unsur kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana. Unsur kesalahan dalam arti “dapat dicela” menunjukkan bahwa pelaku dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Dengan demikian, kesalahan secara normatif—baik berupa kesengajaan maupun kealpaan—tidak dapat dilepaskan dari sikap batin pelaku. Dalam praktik pembuktian, hal ini harus dimaknai sebagai hubungan antara penilaian terhadap motif pelaku ketika melakukan tindak pidana korupsi dan penilaian normatif atas kondisi atau modus operandi yang memengaruhi dorongan psikologis tersebut, guna membuktikan adanya mens rea pada diri pelaku korupsi. (snr/ldr)

 

Referensi

Eugene J. Chesney, “Concept of Mens Rea in the Criminal  Law”,  Journal  of  Criminal  Law and    Criminology,    Volume    29,    Issue    5 January, 1939.

Baca Juga: MA Tolak Kasasi Selebgram Rea Wiradinata di Kasus Pailit

Zainal Abidin Farid, “Hukum Pidana I”, Bumi Aksara, Jakarta, Cetakan ke-2, 2007.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Tag