Dalam konteks hukum acara, putusan merupakan produk akhir dari kewenangan hakim dalam tugasnya memeriksa dan memutus suatu perkara. Pasal 1 angka 11 KUHAP menegaskan bahwa putusan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, baik berupa pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Maka dari itu, pengadilan dalam perannya
sebagai pintu terakhir pencari keadilan, diharapkan mampu memberikan keadilan
bagi masyarakat melalui putusannya. Namun, di balik putusan yang dimaknai
sebagai “mahkota hakim” tersebut, terdapat bagian yang paling menentukan
kekuatan eksekutorialnya, yakni amar putusan.
Amar putusan berfungsi sebagai perintah konkret yang timbul dari pertimbangan hukum hakim. Oleh karena itu, amar menjadi penting karena memuat kesimpulan terhadap perkara yang ditangani oleh seorang hakim. Dalam perkara pidana, amar putusan menegaskan apakah terdakwa dinyatakan bersalah dan dapat dijatuhi pidana tertentu, atau justru bebas/lepas dari segala tuntutan hukum.
Baca Juga: Implementasi Pasal 14 c KUHP dalam Putusan Mahkamah Agung
Selain itu, amar dalam putusan pidana memuat frasa “membebankan terdakwa/negara membayar biaya perkara”. Sedangkan dalam perkara perdata, amar putusannya menggunakan frasa “menghukum Penggugat/ Tergugat untuk membayar biaya perkara”. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa amar putusan dalam perkara perdata dan pidana berbeda walaupun secara filosofis maknanya sama?
Pembebanan Biaya dalam Perkara Perdata
Pada hakikatnya, perkara perdata bersifat privat karena
melibatkan hubungan hukum antara orang-perorangan maupun badan hukum dalam
posisinya sebagai penggugat dan tergugat. Sedangkan dalam perkara permohonan,
hanya terdapat satu pihak selaku pemohon tanpa adanya pihak lawan yang
bersengketa. Meskipun demikian, permohonan tersebut tetap diproses melalui
peradilan dan diwujudkan melalui penetapan hakim. [1]
Lebih lanjut, Pasal 181 ayat (1) HIR/ 192 ayat (1) RB.g
mengatur bahwa pada dasarnya pihak yang dinyatakan kalah dalam perkara perdata,
maka dihukum untuk membayar biaya perkara yang telah ditetapkan oleh
pengadilan. Pengaturan ini dapat dimaknai sebagai berikut: [2]
1. Dibebankan
kepada pihak yang kalah;
Prinsip
ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk memikulkan biaya perkara kepada
pihak yang kalah. Apabila gugatan ditolak, maka pihak penggugat berkewajiban
untuk menanggung biaya perkara. Sebaliknya, jika gugatan tersebut dikabulkan,
maka tanggung jawab tersebut dibebankan kepada tergugat. Besaran biaya perkara
perdata juga harus dicantumkan dalam putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 183
ayat (1) HIR. Prinsip ini bersifat imperatif sehingga pihak yang kalah harus
mematuhinya secara mutlak.
2. Jika
kemenangan tidak mutlak, maka biaya perkara dibebankan secara berimbang;
Prinsip ini mengatur kaidah mengenai putusan yang tidak sepenuhnya memenangkan salah satu pihak, misalnya ketika gugatan hanya dikabulkan sebagian atau dinyatakan tidak dapat diterima, maka pembebanan biaya perkara dilakukan secara proporsional.
Ketentuan pembayaran biaya dalam perkara perdata bersifat imperatif atau wajib bagi pihak yang dibebankan kewajiban tersebut. Terlebih lagi dalam perkara gugatan yang putusan akhirnya bersifat penghukuman (condemnatoir), dibutuhkan amar berupa “menghukum” agar dapat mencerminkan sifat imperatif dari putusan hakim, sehingga putusan tersebut memiliki kekuatan eksekutorial khusus terhadap pihak yang dinyatakan kalah. [3]
Penggunaan redaksi “menghukum” dalam amar putusan perdata tidak dapat dilepaskan dari sifat dasar perkara perdata sebagai sengketa antar-subjek hukum privat. Dalam perkara gugatan, hakim pada akhirnya harus memutus siapa yang benar dan siapa yang salah. Putusan ini secara otomatis menempatkan salah satu pihak sebagai pemenang (winner) dan pihak lain sebagai pihak yang kalah (loser).
Pembebanan Biaya dalam Perkara Pidana
Putusan hakim merupakan
representasi dari negara untuk menjaga kedaulatan negara dan ketertiban
masyarakat. Dalam hal ini perkara pidana termasuk dalam ranah hukum publik, di
mana negara melalui aparatnya melakukan penyelidikan guna mencari kebenaran,
mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menangkap pelaku, kemudian
hakim bertugas memutuskan apakah perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti atau tidak, dan berdasarkan hal tersebut menjatuhkan pidana maupun
tindakan. [4]
Ketentuan Pasal 197 ayat (1)
huruf i KUHAP menegaskan bahwa suatu putusan pidana harus mencantumkan siapa
yang menanggung biaya perkara dengan besaran yang jelas, disertai ketentuan
mengenai barang bukti. Sedangkan ketentuan mengenai kepada siapa biaya perkara
dibebankan secara tegas diatur dalam Pasal 222 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan
bahwa “siapa pun yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam
hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara
dibebankan pada negara”.
Penggunaan kata “membebankan” dalam amar putusan pidana erat kaitannya dengan sifat pidana yang tidak mengenal prinsip win-lose sebagaimana dalam perkara perdata, di mana negara bertindak untuk melindungi kepentingan masyarakat luas melalui kewenangan penuntutan yang dijalankan oleh jaksa.
Dengan alasan tersebut,
penuntutan terhadap terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana merupakan
kewenangan negara yang didelegasikan melalui penuntut umum, dan hakim dalam
putusannya bertindak sebagai wakil negara untuk menjatuhkan hukuman jika
terbukti melanggar peraturan perundang-undangan, atau sebaliknya membebaskan
apabila tidak terbukti.
Selain itu, penggunaan redaksi “membebankan” dalam putusan pidana tidak terlepas dari kenyataan bahwa pidana merupakan bagian dari hukum publik, di mana penetapan seseorang sebagai terdakwa bukanlah atas kehendak pribadinya melainkan karena adanya kepentingan negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Hal ini juga selaras dengan kedudukan negara yang tidak pernah berposisi sebagai “pihak yang kalah” atau “pihak yang menang”. Oleh karena itu, biaya perkara dalam perkara pidana dapat ditanggung oleh terdakwa apabila dijatuhi pidana, serta memberi kewenangan bagi jaksa untuk menyita sebagian harta terpidana guna dilelang dan hasilnya dipergunakan melunasi biaya perkara tersebut.
Kesimpulan
Perbedaan amar dalam putusan yakni penggunaan istilah
“menghukum” dalam perkara perdata dan “membebankan” dalam perkara pidana tidak
terlepas dari sifat hukum yang melandasi keduanya. Dalam perkara perdata yang
bersifat privat, sengketa muncul dari inisiatif para pihak sehingga pihak yang
kalah wajib dibebani biaya perkara dengan amar “menghukum” yang bersifat
eksekutorial.
Dalam perkara pidana, biaya perkara adalah konsekuensi administratif dari proses hukum publik, bukan sanksi tambahan bagi terdakwa. Sebaliknya, dalam perkara perdata, biaya perkara merupakan bagian dari mekanisme winner-loser, sehingga hakim menggunakan redaksi “menghukum” agar pihak yang kalah yang menanggung biaya perkara dalam tercantum dalam putusan akhir. (ldr)
Daftar
Referensi:
[1] Yahya Harahap, Hukum Acara
Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan,
Sinar Grafika, Jakarta, 2022, hlm. 30.
[2] Yahya Harahap, Hukum Acara
Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan,
Sinar Grafika, Jakarta, 2022, hlm. 909.
Baca Juga: Menilik Perbedaan Pendapat Hakim (Terlupakan) pada RUU KUHAP
[3] Ramdani Wahyu Sururie,
Putusan Pengadilan, Mimbar Pustaka, Bandung, 2022, hlm. 44.
[4] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2022, hlm. 288-289.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI