Amlapura, Bali - Perselisihan keluarga mengenai tanah warisan sering berujung panjang di meja hijau. Namun, dalam perkara pemalsuan dokumen waris yang disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Amlapura, Majelis Hakim menunjukkan pendekatan berbeda yakni keadilan yang menyejukkan melalui penerapan restorative justice.
Perkara dengan Nomor 53/Pid.B/2025/PN Amp ini bermula dari sengketa tanah leluhur seluas kurang lebih 39 are yang terletak di Banjar Dinas Rendang Tengah, Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Tanah tersebut berasal dari almarhum I M, yang semasa hidupnya memiliki tiga anak yaitu I K S, I W K, dan I K B. Dari garis keturunan terakhir inilah lahir para ahli waris, termasuk I W N yang kemudian menjadi korban dalam perkara ini.
Pada tahun 2021, korban I W N mendengar kabar bahwa tanah leluhur mereka telah dikuasai dan disertifikatkan atas nama Terdakwa I N G A, yang tak lain adalah adiknya sendiri. Lebih jauh, tanah tersebut bahkan dikabarkan akan dijual kepada pihak lain. Merasa janggal, korban mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memastikan kebenarannya. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa tanah tersebut benar telah dimohonkan sertifikatnya atas nama Terdakwa. Merasa tidak pernah menandatangani surat permohonan atau memberi kuasa, korban meminta BPN membatalkan sertifikat tersebut.
Baca Juga: Siapa yang Berhak? Mengenal Legal Standing dalam Hukum Adat Minangkabau
Belakangan diketahui bahwa dalam pengurusan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada tahun 2020, Terdakwa membuat sendiri silsilah keluarga dan surat kesepakatan waris. Ketika berkas harus segera dikumpulkan, Terdakwa yang tidak berhasil menemukan korban untuk diminta tanda tangan, memalsukan tanda tangan korban di rumahnya sendiri.
Perbuatan tersebut diperkuat oleh hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Polda Bali tanggal 16 April 2025 yang menyimpulkan bahwa tanda tangan atas nama I W N dalam dokumen surat silsilah keturunan dan surat pernyataan pembagian waris adalah tanda tangan palsu. Dengan dokumen tersebut, Terdakwa berhasil memperoleh sertifikat tanah atas namanya, lalu menjual sebagian tanah seluas 3 are kepada seseorang bernama A dengan harga Rp40 juta per are, serta menjual lagi 6,5 are kepada T seharga Rp25 juta per are. Hasil penjualan tanah digunakan untuk biaya kuliah anaknya dan pembangunan rumah. Akibat perbuatan itu, korban kehilangan hak atas pembagian tanah warisan yang seharusnya menjadi hak seluruh ahli waris.
Majelis Hakim yang diketuai oleh Niesya Mutiara Arindra, dengan anggota Aditya Nurcahyadi Putra dan Fitria Hady, dalam amar pertimbangannya menyatakan bahwa seluruh unsur Pasal 263 ayat (1) KUHP tentang pemalsuan surat telah terpenuhi.
Majelis Hakim menilai bahwa Terdakwa secara sadar dan sengaja menandatangani dokumen dengan nama saudaranya sendiri untuk digunakan seolah-olah sah. Meskipun dalih Terdakwa adalah untuk mempercepat proses administrasi PTSL, tindakan itu tetap memenuhi unsur kesengajaan (dolus) karena membawa potensi kerugian hukum bagi pihak lain. Hakim juga menegaskan, kerugian dalam konteks hukum pidana tidak harus berupa kerugian materiil nyata, tetapi juga mencakup kerugian sosial, kehormatan, dan hak keperdataan. Dengan demikian, tindakan Terdakwa bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan tindak pidana yang merugikan hak orang lain atas harta warisan.
Dalam persidangan, Majelis Hakim menempuh pendekatan restorative justice (RJ). Terdakwa telah mengakui kesalahan, memohon maaf, dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya, sementara korban yang juga kakak kandungnya memberikan maaf dengan syarat sertifikat tanah dikembalikan menjadi milik bersama para ahli waris.
Kesepakatan damai tersebut kemudian dituangkan dalam surat perdamaian tertanggal 4 September 2025 di hadapan majelis hakim. Dalam dokumen itu, Terdakwa menyatakan bersedia mengubah sertifikat tanah atas namanya menjadi sertifikat atas nama seluruh ahli waris secara bersama-sama. Majelis menilai bahwa perdamaian tersebut mencerminkan pemulihan hubungan sosial antara pelaku dan korban, sehingga layak dijadikan dasar pertimbangan meringankan pidana.
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis mengutip Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Meskipun ancaman pidana Pasal 263 ayat (1) KUHP mencapai enam tahun dan melebihi batas lima tahun yang diatur Perma, hakim berpendapat bahwa substansi keadilan restoratif telah terwujud secara faktual melalui perdamaian keluarga.
Majelis berpendapat bahwa pidana penjara hendaknya menjadi upaya terakhir (ultimum remedium), terlebih dalam konteks masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan musyawarah untuk mufakat. Menurut Majelis Hakim, Pengadilan tidak hanya menjadi tempat menghukum, tetapi juga ruang untuk memulihkan hubungan dan mewujudkan rasa keadilan substantif.
“Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana dakwaan alternatif kesatu, menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa oleh karena itu selama empat bulan” ucap Majelis Hakim saat membaca putusan dalam sidang terbuka untuk umum pada Rabu(29/10).
Baca Juga: Perma RJ Tahun 2024: Mencegah Pergeseran Paradigma Sekadar Perdamaian
Kasus ini menjadi contoh menarik penerapan nilai-nilai keadilan restoratif. Di tengah potensi kriminalisasi hubungan keluarga akibat sengketa warisan, Majelis Hakim menunjukkan bahwa hukum dapat hadir tidak hanya sebagai alat penghukuman, tetapi juga sarana rekonsiliasi dan pemulihan sosial.
Melalui pendekatan RJ, hubungan kekeluargaan yang sempat retak dapat kembali pulih. Putusan PN Amlapura ini menegaskan bahwa hukum pidana, ketika disinergikan dengan pendekatan restoratif, mampu menghadirkan keadilan yang tidak hanya formal, tetapi juga substantif dan berakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan budaya bangsa. IKAW/LDR
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI