Di Indonesia, praktik perdukunan sudah
ada sejak dulu yang umumnya membantu orang untuk memuluskan keinginan seseorang
dengan jalan singkat yang dikenal dengan santet atau teluh. Makna santet sendiri
sebagaimana yang dikutip penulis dari bukunya Prof. Dr. Kuntjaraningrat
berjudul “Pengantar Ilmu Antropology”, Santet pada zaman dulu seringkali dihubungkan
dengan sesuatu berbau klenik dan magis,di mana pada tiap-tiap daerah sangat
berbeda penyebutan istilahnya,ungkap buku tersebut.
Sifat santet sendiri yang tidak kasat mata seolah mustahil memiliki sebuah aturan hukum yang mengatur terkait hal tersebut dikarenakan di zaman modern seperti sekarang orang sudah tidak banyak percaya tahayul atau hal-hal mistis.
Namun faktanya keberadaannya ada disekitar kita, sebagaimana tercatat bahwa kasus dengan mengaku kalau dirinya sebagai oarng pintar atau dukun pernah terjadi di Indonesia diantaranya kasus yang terkenal pada tahun 1998, peristiwa pembunuhan massal terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur, yang menyasar individu yang dituduh sebagai praktisi santet menjadi salah satu sejarah kelam di Indonesia, kemudian setelah kejadian itu 279 orang dinyatakan bersalah atas kasus pembantaian dukun santet di Banyuwangi.
Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru
Karena pembuktian santetnya sulit untuk dibuktikan
sehingga kepada mereka terbukti melanggar pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), tentang pengeroyokan yang mengakibatkan korban tewas dan luka
parah.
Sekarang dalam KUHP 2023 rumusan delik
yang berbau santet dengan penamaan yang berbeda telah diatur dalam Pasal 252 tentang Deklarasi Pembunuh Bayaran,yang
berfokus pada tindakan menawarkan jasa ilmu teluh bukan caranya sebagaimana
diatur dalam Pasal 252. Akan tetapi hal ini menimbulkan pro dan kontra di
masyarakat. Sehingga melalui tulisan ini penulis mencoba merumuskan dua rumusan masalah. Pertama, Nilai
apakah yang ingin dilindungi dalam kebijakan kriminal perbuatan yang diduga santet?
Dan Kedua, bagaimana pemaknaan kebijakan kriminal perbuatan santet dalam KUHP
2023?
Pembahasan
Kepercayaan akan kekuatan ilmu gaib
atau santet sudah merupakan bagian dari antropologi budaya kehidupan sosial. Praktik
dari kepercayaan akan kekuatan supranatural umumnya dilakukan dalam bentuk
santet.
Kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan santet dapat dilihat secara langsung dan nyata terhadap diri korban santet, namun sulit dijelaskan secara logika maupun medis. Di Indonesia permasalahan santet menjadi fenomena sosial yang menimbulkan polemik berkepanjangan.
Santet oleh masyarakat dianggap sebagai
perbuatan keji yang menimbulkan keresahan sosial (social unrest) dan
berakibat pada main hakim sendiri
(Eigenrichting).Dalam KUHP lama diatur dalam
pasal-pasal yang berkaitan dengan santet
yaitu tentang penggunaan tipu daya, ilmu hitam, dan kekuatan gaib untuk menipu
atau menyebabkan kerugian pada orang lain diantaranya:
- Pasal 545: melarang seseorang berprofesi sebagai
peramal atau ahli nujum (dukun)
- Pasal 546: melarang menjual belikan benda-benda gaib
- Pasal 547: melarang saksi dalam sidang pengadilan
menggunakan mantra atau jimat.
Sedangkan dalam
KUHP 2023 dirumuskan dalam Pasal 252 berbunyi:
- setiap orang yang menyatakan
dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberi harapan, menawarkan,
atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat
menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana
pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak
kategori IV;
- setiap orang melakukan perbuatan tersebut untuk
mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan,
pidananya dapat ditambah 1/3.
Telah
diaturnya dalam KUHP 2023 yang terkait dengan istilah santet memiliki arti
bahwa setidaknya masyarakat telah memiliki payung hukum dan kepastian hukum. Norma
hukum yang terkandung dalam pasal 252 KUHP 2023 yang
menyatakan bahwa pasal tersebut merupakan delik formil dimana yang menjadi
fokus utama ialah pelaku dari perbuatan pidana yang menyatakan deklarasi
pembunuh bayaran saja tidak dengan akibatnya.
Senada dengan pasal 252 KUHP 2023 tersebut, sistem hukum kita sendiri berpendirian sama yang menyatakan hanya perbuatan lahiriah yang secara empiris dan rasional dapat diidentifikasikan dan dibuktikan hubungan kausalitasnya.
Oleh karena itu, perbuatan yang bersifat mistis, gaib atau metafisik sulit diterima dalam sistem hukum kita. Sehingga upaya untuk memasukkan delik santet dalam hukum pidana di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Meskipun santet dipandang sebagai perbuatan jahat, namun perbuatan tersebut sulit untuk dibuktikan.
Sementara pembuktian dalam
hukum pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil. dalam sidang
pengadilan juga tidak mungkin jika majelis hakim mendengarkan keterangan ahli
dari paranormal.
Rumusan Pasal 252
KUHP 2023 hanya menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberi harapan,
menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain yang karena
perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau
fisik seseorang, sehingga yang dibuktikan hanyalah unsur perbuatan pidana dalam
pasal tersebut berupa menyatakan dirinya saja bukan akibat dari perbuatannya
sehingga tidak membuktikan unsur gaibnya karena KUHAP belum bisa
menjangkaunya hal ini terkait dengan pembuktian yang diatur dalam Pasal 184
KUHAP terkait hal gaibnya.
Kesimpulan
Pasal 252 KUHP 2023 mengenai Deklarasi Pembunuh Bayaran,yang berfokus pada tindakan menawarkan jasa ilmu teluh bukan caranya karena Pasal 252 hanya menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberi harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain yang karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, sehingga yang dibuktikan hanyalah unsur perbuatan pidana dalam pasal tersebut berupa menyatakan dirinya saja bukan akibat dari perbuatannya, yang dijadikan dasar untuk pengenaan sanksi hukum tanpa harus membuktikan unsur gaibnya.
Jadi,
intinya, pembuktian dalam Pasal 252 KUHP 2023 lebih menekankan pada bukti
terkait hubungan atau kesepakatan antara pelaku santet dan pihak lain yang
terlibat dalam menyewa atau meminta jasanya untuk melakukan praktik tersebut,
daripada langsung membuktikan keberadaan atau efek dari santet itu sendiri.
Pentingnya keberadaan pasal yang
terkait santet seperti dalam Pasal 252 KUHP 2023 menjadi sangat diperlukan
untuk menjaga penegakan hukum di Indonesia, mengingat telah terjadi banyak
korban dari peristiwa-peristiwa semacam itu. Meskipun demikian, hingga saat
ini, pembuktian tentang adanya santet masih sulit diterima secara logis.
Sistem hukum kita berdasarkan pada
logika formal dan rasional cenderung hanya mengakui tindakan yang dapat diamati
secara konkret dan memiliki kausalitas karena pembuktian dalam hukum pidana
kita bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, sehingga kegiatan yang terkait dengan hal-hal gaib
atau mistis sulit diterima dalam struktur hukum yang mengandalkan logika.
Baca Juga: Pertautan Delik Korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional 2023
Diaturnya Pasal 252 tentang menawarkan
jasa pembunuh bayaran kedalam KUHP
2023 agar menjamin kepastian hukum bagi masyarakat untuk menghindari kriminalisasi agar perbuatan main hakim sendiri tidak
terjadi(Eigenrichting). (ldr/wi/fac)
Referensi:
- Arthani,
Ni Luh Gede Yogi. "Praktek
paranormal dalam kajian hukum pidana di Indonesia." Jurnal
Advokasi 5, no. 1 (2015): 293-91.
- Faisal (et.al). Pemaknaan
Kebijakan Kriminal Perbuatan Santet dalam RUU KUHP. Jurnal
Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 5, No. 1, 2023, hal. 22
- Yuda
pinanda, ”Sejarah Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi Tahun 1998”.
(Dikutip dari website portal berita tirto.id pada 23 Mei 2023).
- Reski Anwar, Eksistensi Pemaknaan Santet pada Pembaharuan Hukum Pidana, Telaah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Islamitsch Familierecht Journal.Vol. 2, No. 1 (Juni 2021), pp. 1-15. DOI: 10.32923/ifj.v2i01.1700](https://doi.org/10.32923/ifj.v2i01.1700).
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI