Cari Berita

Menelisik Pembuktian Pidana dalam Pasal 252 KUHP 2023 tentang Kekuatan Gaib

Eliyas Eko Setyo - Dandapala Contributor 2025-10-29 14:15:20
Dok. Penulis.

Di Indonesia, praktik perdukunan sudah ada sejak dulu yang umumnya membantu orang untuk memuluskan keinginan seseorang dengan jalan singkat yang dikenal dengan santet atau teluh. Makna santet sendiri sebagaimana yang dikutip penulis dari bukunya Prof. Dr. Kuntjaraningrat berjudul “Pengantar Ilmu Antropology”, Santet pada zaman dulu seringkali dihubungkan dengan sesuatu berbau klenik dan magis,di mana pada tiap-tiap daerah sangat berbeda penyebutan istilahnya,ungkap buku tersebut.

Sifat santet sendiri yang tidak kasat mata seolah mustahil memiliki sebuah aturan hukum yang mengatur terkait hal tersebut dikarenakan di zaman modern seperti sekarang orang sudah tidak banyak percaya tahayul atau hal-hal mistis.

Namun faktanya keberadaannya ada disekitar kita, sebagaimana tercatat bahwa kasus dengan mengaku kalau dirinya sebagai oarng pintar atau dukun pernah terjadi di Indonesia diantaranya kasus yang terkenal pada tahun 1998, peristiwa pembunuhan massal terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur, yang menyasar individu yang dituduh sebagai praktisi santet menjadi salah satu sejarah kelam di Indonesia, kemudian setelah kejadian itu 279 orang dinyatakan bersalah atas kasus pembantaian dukun santet di Banyuwangi.

Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

Karena pembuktian santetnya sulit untuk dibuktikan sehingga kepada mereka terbukti melanggar pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tentang pengeroyokan yang mengakibatkan korban tewas dan luka parah.

Sekarang dalam KUHP 2023 rumusan delik yang berbau santet dengan penamaan yang berbeda telah diatur dalam Pasal 252 tentang Deklarasi Pembunuh Bayaran,yang berfokus pada tindakan menawarkan jasa ilmu teluh bukan caranya sebagaimana diatur dalam Pasal 252. Akan tetapi hal ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sehingga melalui tulisan ini penulis mencoba  merumuskan dua rumusan masalah. Pertama, Nilai apakah yang ingin dilindungi dalam kebijakan kriminal perbuatan yang diduga santet? Dan Kedua, bagaimana pemaknaan kebijakan kriminal perbuatan santet dalam KUHP 2023?

Pembahasan

Kepercayaan akan kekuatan ilmu gaib atau santet sudah merupakan bagian dari antropologi budaya kehidupan sosial. Praktik dari kepercayaan akan kekuatan supranatural umumnya dilakukan dalam bentuk santet.

Kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan santet dapat dilihat secara langsung dan nyata terhadap diri korban santet, namun sulit dijelaskan secara logika maupun medis. Di Indonesia permasalahan santet menjadi fenomena sosial yang menimbulkan polemik berkepanjangan.

Santet oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan keji yang menimbulkan keresahan sosial (social unrest) dan berakibat pada main hakim sendiri (Eigenrichting).Dalam KUHP lama diatur dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan  santet yaitu tentang penggunaan tipu daya, ilmu hitam, dan kekuatan gaib untuk menipu atau menyebabkan kerugian pada orang lain diantaranya:

  • Pasal 545: melarang seseorang berprofesi sebagai peramal atau ahli nujum (dukun)
  • Pasal 546: melarang menjual belikan benda-benda gaib
  • Pasal 547: melarang saksi dalam sidang pengadilan menggunakan mantra atau jimat.

Sedangkan dalam KUHP 2023 dirumuskan dalam Pasal 252 berbunyi:

  1. setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberi harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV;
  2. setiap orang melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3.

Telah diaturnya dalam KUHP 2023 yang terkait dengan istilah santet memiliki arti bahwa setidaknya masyarakat telah memiliki payung hukum dan kepastian hukum. Norma hukum yang terkandung dalam pasal 252 KUHP 2023 yang menyatakan bahwa pasal tersebut merupakan delik formil dimana yang menjadi fokus utama ialah pelaku dari perbuatan pidana yang menyatakan deklarasi pembunuh bayaran saja tidak dengan akibatnya.

Senada  dengan pasal 252 KUHP 2023 tersebut, sistem hukum kita sendiri berpendirian sama yang menyatakan hanya perbuatan lahiriah yang secara empiris dan rasional dapat diidentifikasikan dan dibuktikan hubungan kausalitasnya.

Oleh karena itu, perbuatan yang bersifat mistis, gaib atau metafisik sulit diterima dalam sistem hukum kita. Sehingga upaya untuk memasukkan delik santet dalam hukum pidana di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Meskipun santet dipandang sebagai perbuatan jahat, namun perbuatan tersebut sulit untuk dibuktikan.

Sementara pembuktian dalam hukum pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil. dalam sidang pengadilan juga tidak mungkin jika majelis hakim mendengarkan keterangan ahli dari paranormal.

Rumusan Pasal 252 KUHP 2023 hanya menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberi harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain yang karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, sehingga yang dibuktikan hanyalah unsur perbuatan pidana dalam pasal tersebut berupa menyatakan dirinya saja bukan akibat dari perbuatannya sehingga tidak membuktikan unsur gaibnya karena KUHAP belum bisa menjangkaunya hal ini terkait dengan pembuktian yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP terkait  hal gaibnya.

Kesimpulan

Pasal 252 KUHP 2023 mengenai Deklarasi Pembunuh Bayaran,yang berfokus pada tindakan menawarkan jasa ilmu teluh bukan caranya karena Pasal 252 hanya menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberi harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain yang karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, sehingga yang dibuktikan hanyalah unsur perbuatan pidana dalam pasal tersebut berupa menyatakan dirinya saja bukan akibat dari perbuatannya, yang dijadikan dasar untuk pengenaan sanksi hukum tanpa harus membuktikan unsur gaibnya.

Jadi, intinya, pembuktian dalam Pasal 252 KUHP 2023 lebih menekankan pada bukti terkait hubungan atau kesepakatan antara pelaku santet dan pihak lain yang terlibat dalam menyewa atau meminta jasanya untuk melakukan praktik tersebut, daripada langsung membuktikan keberadaan atau efek dari santet itu sendiri.

Pentingnya keberadaan pasal yang terkait santet seperti dalam Pasal 252 KUHP 2023 menjadi sangat diperlukan untuk menjaga penegakan hukum di Indonesia, mengingat telah terjadi banyak korban dari peristiwa-peristiwa semacam itu. Meskipun demikian, hingga saat ini, pembuktian tentang adanya santet masih sulit diterima secara logis.

Sistem hukum kita berdasarkan pada logika formal dan rasional cenderung hanya mengakui tindakan yang dapat diamati secara konkret dan memiliki kausalitas karena pembuktian dalam hukum pidana kita bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, sehingga  kegiatan yang terkait dengan hal-hal gaib atau mistis sulit diterima dalam struktur hukum yang mengandalkan logika.

Baca Juga: Pertautan Delik Korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional 2023

Diaturnya Pasal 252 tentang menawarkan jasa pembunuh bayaran kedalam KUHP 2023 agar menjamin kepastian hukum bagi masyarakat  untuk menghindari kriminalisasi  agar perbuatan main hakim sendiri tidak terjadi(Eigenrichting). (ldr/wi/fac)

Referensi:

  • Arthani, Ni Luh Gede Yogi. "Praktek paranormal dalam kajian hukum pidana di Indonesia." Jurnal Advokasi 5, no. 1 (2015): 293-91.
  • Faisal (et.al). Pemaknaan Kebijakan Kriminal Perbuatan Santet dalam RUU KUHP. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 5, No. 1, 2023, hal. 22
  • Yuda pinanda, ”Sejarah Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi Tahun 1998”. (Dikutip dari website portal berita tirto.id pada 23 Mei 2023).
  • Reski Anwar, Eksistensi Pemaknaan Santet pada Pembaharuan Hukum Pidana, Telaah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Islamitsch Familierecht Journal.Vol. 2, No. 1 (Juni 2021), pp. 1-15. DOI: 10.32923/ifj.v2i01.1700](https://doi.org/10.32923/ifj.v2i01.1700).

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI