Jakarta – Pemerintah kembali tekankan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan diberlakukan tahun 2026 akan berorientasi pada due process of law, khususnya terkait upaya praperadilan.
Dalam hal ini, Eddy Hiariej, Wakil Menteri Hukum dalam paparannya pada peluncuran buku “Studi Pembaharuan KUHAP: Hal-Hal Mendasar”, Senin (15/09/2025), menyatakan bahwa filosofi dari hukum acara pidana adalah bukan untuk memproses pelaku kejahatan, melainkan untuk mengawasi dan mencegah kesewenang-wenangan negara terhadap individu.
“Dalam rancangan KUHAP, pemerintah memastikan seluruh kewenangan (aparat penegak hukum) polisi, jaksa dan hakim harus diatur secara ketat sehingga tidak pelanggaran kewenangan dalam pelaksanaan tugas,” jelas Eddy Hiariej.
Baca Juga: Mengenal Konsep Plea Bargaining serta Sistem Jalur Khusus dalam RKUHAP
Selain itu, Eddy menekankan bahwa terdapat penambahan bentuk upaya paksa yang akan diatur di dalam rancangan KUHAP mendatang.
“Setiap tindakan aparat penegak hukum terkait pelaksanaan upaya paksa, di mana pada KUHAP yang lama terdapat 5 jenis upaya paksa, kini bertambah menjadi 9 jenis upaya paksa, antara lain: pencekalan, pemblokiran, penetapan tersangka dan penetapan,” tambahnya.
Secara prinsip, pemerintah mengatur agar seluruh tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum harus mendapatkan izin dari ketua pengadilan negeri. Hal ini merupakan upaya preventif agar kewenangan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum tidak disalahgunakan.
Kemudian, kata Eddy, dalam hal-hal tertentu upaya paksa dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari ketua pengadilan negeri. Tetapi ada kewajiban bagi aparat penegak hukum agar dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari sejak upaya hukum tersebut dilakukan harus meminta persetujuan dari ketua pengadilan negeri.
Selain itu, dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari sejak menerima surat permintaan persetujuan upaya paksa dari aparat penegak hukum, ketua pengadilan negeri harus mengeluarkan penetapan apakah upaya hukum tersebut sah atau tidak dilakukan.
Dalam hal pengadilan negeri menetapkan bahwa upaya paksa yang dilakukan tersebut tidak sah, maka terhadap upaya paksa tersebut harus dihentikan seketika itu juga.
Walaupun seluruh upaya paksa harus memperoleh persetujuan dari ketua pengadilan negeri, pemerintah tidak menutup pintu upaya praperadilan tetap terjadi.
Baca Juga: Tertutupnya Pintu Upaya Hukum Putusan Praperadilan: Suatu Tinjauan Filosofi
“Misalnya, terkait (upaya paksa) penyitaan di mana aparat penegak hukum mengajukan surat persetujuan penyitaan kepada ketua pengadilan negeri dan izin tersebut kemudian diberikan oleh ketua pengadilan negeri. Sangat mungkin, barang-barang yang disita tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan. Hal ini memberikan kesempatan untuk diajukannya praperadilan ke pengadilan,” ungkap Eddy Hiariej.
Dalam diskusi tersebut, Eddy juga menyampaikan keseimbangan peran penting aparat penegak hukum dan advokat dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia melalui upaya praperadilan. (SNR/WI)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI