Cari Berita

Relevansi SEMA 5/2021 terkait Praperadilan dan Pasal 154 ayat (1) huruf d RKUHAP

Ari Qurniawan. - Dandapala Contributor 2025-10-17 08:00:13
Dok. Penulis.

Hukum acara pidana berperan sebagai instrumen pokok untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan negara dalam menegakkan hukum dan perlindungan hak-hak individu, terutama bagi tersangka maupun terdakwa. KUHAP 1981 menghadirkan praperadilan sebagai mekanisme pengawasan yudisial terhadap penggunaan tindakan paksa oleh aparat penegak hukum.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ketentuan yang mengatur mengenai praperadilan ditempatkan secara khusus dalam Bab X, yang memuat Pasal 77 sampai dengan Pasal 83. Praperadilan dipandang sebagai instrumen penting dalam kerangka perlindungan hak-hak individu terhadap tindakan paksa aparat penegak hukum.

Pasal 77 KUHAP secara tegas menjelaskan ruang lingkup atau objek praperadilan, yang meliputi: sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, serta pemberian ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi pihak yang perkaranya dihentikan pada tahap tersebut. Ruang lingkup ini kemudian diperluas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.

Baca Juga: Mengenal Konsep Plea Bargaining serta Sistem Jalur Khusus dalam RKUHAP

Selain itu, KUHAP juga memuat ketentuan mengenai keadaan yang dapat mengakibatkan praperadilan menjadi gugur, yang lazim dikenal dengan istilah 'prapid gugur'. Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, apabila suatu perkara telah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sementara permohonan praperadilan terkait perkara tersebut belum selesai diperiksa, maka secara hukum permohonan praperadilan tersebut dinyatakan gugur.

Dalam perkembangannya, ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menimbulkan berbagai penafsiran di kalangan praktisi maupun akademisi hukum, khususnya terkait dengan frasa “perkara sudah mulai diperiksa.” Perbedaan penafsiran tersebut melahirkan beragam pandangan mengenai kapan praperadilan dianggap gugur.

Perbedaan pandangan tersebut menunjukkan bahwa Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP belum memberikan kejelasan normatif mengenai batas waktu atau titik pasti kapan praperadilan dinyatakan berakhir. Akibat dari ketidakjelasan ini, praktik di pengadilan menjadi tidak seragam dan menimbulkan inkonsistensi dalam penerapan hukum, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi para pihak yang berperkara.

Sehubungan dengan dinamika tersebut, MK melalui Putusan No. 102/PUU-XIII/2015 telah memberikan penafsiran konstitusional terhadap ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa pasal tersebut bersifat inkonstitusional bersyarat, sepanjang frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai sebagai “permohonan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan ke pengadilan dan sidang pertama atas nama terdakwa atau pemohon praperadilan telah dimulai.”

Namun demikian, meskipun Putusan MK tersebut telah memberikan tafsir konstitusional yang dimaksudkan untuk menegaskan batas waktu berakhirnya praperadilan, pada praktiknya masih ditemukan perbedaan pandangan di kalangan praktisi dan akademisi mengenai penerapan ketentuan tersebut.

Keragaman tafsir tersebut menunjukkan bahwa Putusan MK belum sepenuhnya mampu memberikan penafsiran yang menyeluruh dan komprehensif terhadap norma yang bersifat multitafsir tersebut. Akibatnya, ketidakpastian dalam penerapan hukum mengenai waktu gugurnya praperadilan masih tetap terjadi di tingkat praktik peradilan.

Menanggapi perbedaan penafsiran terkait gugurnya praperadilan, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2021. Dalam Rumusan Kamar Pidana angka 3, ditegaskan bahwa sejak berkas perkara dilimpahkan dan diterima oleh pengadilan, pemeriksaan praperadilan otomatis gugur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, karena status Tersangka telah beralih menjadi Terdakwa dan kewenangan penahanannya berada di tangan hakim.

Apabila hakim praperadilan tetap memeriksa dan mengabulkan permohonan, putusan tersebut tidak berpengaruh terhadap pemeriksaan pokok perkara. SEMA ini memberikan kejelasan dan kepastian hukum bahwa pelimpahan perkara menjadi batas akhir kewenangan praperadilan.

Berkenaan dengan ketentuan mengenai gugurnya praperadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, ternyata dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) versi terbaru tanggal 20 Maret 2025 saat ini, melalui Pasal 154 ayat (1) huruf d, secara substansial telah mengubah bahkan meniadakan ketentuan tersebut.

Dalam rumusannya, RKUHAP menegaskan bahwa selama proses pemeriksaan terhadap objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 151 hingga Pasal 153 RKUHAP masih berlangsung, maka pemeriksaan perkara pokok di pengadilan tidak dapat dimulai atau dilaksanakan.

Dengan demikian, RKUHAP tidak lagi menganut prinsip bahwa pemeriksaan praperadilan otomatis gugur apabila perkara pokok telah diperiksa di pengadilan. Sebaliknya, RKUHAP memberikan perlindungan agar pemeriksaan praperadilan diselesaikan terlebih dahulu sebelum perkara pokok diperiksa, guna menjamin efektivitas dan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak praperadilan bagi pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan aparat penegak hukum.

Apabila RKUHAP nantinya resmi diberlakukan, muncul pertanyaan mengenai masih relevankah SEMA Nomor 5 Tahun 2021 untuk diterapkan. Hal ini mengingat bahwa SEMA tersebut menegaskan, sejak berkas perkara dilimpahkan dan diterima oleh pengadilan, maka pemeriksaan praperadilan otomatis gugur.

Namun secara substansial, sejumlah kalangan berpendapat bahwa keberlakuan SEMA tersebut tidak lagi relevan, karena ketentuan yang menjadi dasar pedomannya telah mengalami perubahan mendasar melalui Pasal 154 ayat (1) huruf d RKUHAP. Pasal tersebut secara tegas mengatur bahwa selama pemeriksaan praperadilan masih berlangsung, pengadilan tidak boleh menyelenggarakan pemeriksaan pokok perkara.

Dengan demikian, apabila Pasal 154 ayat (1) huruf d RKUHAP mulai berlaku, maka SEMA No. 5 Tahun 2021 akan kehilangan daya berlakunya, karena substansi pengaturannya sudah tidak sejalan dengan ketentuan baru dan dianggap tidak lagi relevan untuk diterapkan.

Secara yuridis, ketentuan Pasal 154 ayat (1) huruf d RKUHAP membawa dampak yang signifikan terhadap eksistensi dan kedudukan praperadilan di masa mendatang. Praperadilan tidak lagi dipandang sekadar sebagai lembaga formalitas semata, melainkan sebagai instrumen penting dalam penegakan keadilan.

Lebih dari itu, pasal tersebut memberikan kepastian dan jaminan legalitas yang lebih kuat bagi para pencari keadilan yang merasa hak asasinya telah dilanggar akibat tindakan aparat penegak hukum yang keliru atau lalai dalam menjalankan prosedur hukum secara benar.

Dengan adanya ketentuan ini, praperadilan tidak lagi dapat dinyatakan gugur hanya karena pokok perkaranya telah dilimpahkan ke pengadilan. Tidak dapat disangkal bahwa praktik tersebut selama ini kerap dijadikan alasan untuk menutup kesempatan pihak yang dirugikan dalam memperjuangkan hak-haknya melalui mekanisme praperadilan.

Ketentuan baru ini sejalan dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28A hingga Pasal 28J Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Oleh karena itu, kedudukan praperadilan patut memperoleh jaminan hukum yang lebih pasti dan komprehensif, termasuk dalam aspek hukum acaranya.

Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat, tidak hanya bagi para pembaca, tetapi juga bagi penulis sendiri, serta menjadi kontribusi yang dapat memperkaya wawasan dan membuka ruang diskusi konstruktif bagi berbagai kalangan. Dengan demikian, diharapkan ke depan dapat terwujud sistem hukum acara peradilan yang lebih baik, yang mampu mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi seluruh pihak. (snr/ldr)

Referensi

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015.

Baca Juga: Tertutupnya Pintu Upaya Hukum Putusan Praperadilan: Suatu Tinjauan Filosofi

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2021.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) versi 20 Maret 2025. Institute for Criminal Justice Reform. https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2025/03/RUU-KUHAP-20-Maret-2025.pdf, diakses tanggal 09/10/2025, pukul 09.40 WIB.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Tag