Cari Berita

Politik Etik, Kewajiban Moral, dan Akses ke Keadilan Fiskal yang -Murah-

Ari Julianto-Hakim Pengadilan Pajak - Dandapala Contributor 2025-12-17 15:05:56
dok, penulis.

Artikel ini menganalisis interaksi antara Politik Etik, Kewajiban Moral, dan Akses ke Keadilan Fiskal yang "Murah" dalam konteks pembentukan Peradilan Pajak (PP) di Indonesia, berdasarkan sumber-sumber historis dan hukum yang tersedia.

Masa akhir Pemerintahan Hindia Belanda, khususnya periode yang didominasi oleh kebijakan liberalisasi sejak tahun 1860, secara paradoks menghasilkan kemajuan ekonomi yang sangat besar tetapi tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan penduduk daerah jajahan.

Kebijakan yang seharusnya mewujudkan emansipasi justru berakibat pada munculnya berbagai kesulitan ekonomi yang seolah tidak berkesudahan. Perkembangan usaha swasta yang terjadi justru menyebabkan eksploitasi yang lebih menekan kehidupan penduduk pribumi. Kegagalan liberalisasi ini, yang menyebabkan kemelaratan yang kronis dan rusaknya sistem swadaya masyarakat pedesaan, memicu gerakan ideologis baru.

Baca Juga: Evolusi Peradilan Fiskal Indonesia dari Raad van Beroep hingga Pengadilan Pajak

Kegagalan kelompok liberal radikal memunculkan kelompok liberal konservatif yang ideal-humanistik, yang menyuarakan pentingnya pemerintah bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban moralnya—dikenal sebagai ‘de zederlijke roepeing’ (panggilan moral). Kewajiban moral ini bertujuan untuk menghentikan dan mencegah terulangnya eksploitasi terhadap rakyat pribumi. Kebijakan ini, yang menjadi Politik Etik, menuntut agar hasil eksploitasi dikembalikan kepada rakyat pribumi dalam bentuk restitusi yang dapat dipakai untuk membiayai usaha peningkatan taraf hidup. Secara filosofis, Politik Etik adalah pengakuan historis terhadap kewajiban negara untuk mengatasi kemelaratan dan menjamin kesejahteraan.

Kontinuitas filosofis dari kewajiban moral historis ini berinteraksi secara kontradiktif dengan fungsi Peradilan Pajak (PP) modern, khususnya dalam menjamin akses keadilan yang murah.

A. Mandat Ganda Negara dan Janji Keadilan yang Murah

Pendirian Pengadilan Pajak (PP) diatur dalam kerangka negara hukum yang memiliki dualitas kepentingan. Di satu sisi, Negara Republik Indonesia menjamin perwujudan tata kehidupan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera, serta menjamin kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat. Di sisi lain, pembangunan nasional yang berkesinambungan memerlukan dana yang memadai terutama dari sumber perpajakan.

Karena adanya potensi sengketa sebagai akibat pelaksanaan peraturan perpajakan yang menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat Wajib Pajak, diperlukan penyelesaian yang adil. PP dibentuk untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman dan bertujuan menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Salah satu prinsip utama penyelesaian Sengketa Pajak melalui PP adalah menggunakan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana. Prinsip "murah" ini seharusnya merefleksikan semangat etis-humanitaris historis untuk tidak membebani warga negara yang mencari keadilan.

B. Kontradiksi Struktural: Biaya Akses di Tengah Tuntutan Moral

Meskipun PP menjanjikan proses yang "murah," hukum acara yang ditetapkan dalam UU No. 14 Tahun 2002 justru memuat ketentuan yang secara struktural mendahulukan kepentingan fiskal negara, mencerminkan pragmatisme ekonomi yang serupa dengan yang pernah mengalahkan idealisme Bewuste Rechtspolitiek historis.

1. Syarat Pembayaran 50% sebagai Hambatan Ekonomi

Ketegangan antara janji keadilan yang murah dan kebutuhan fiskal negara terlihat paling jelas dalam Pasal 36 ayat (4) UU PP: Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen). Ketentuan pembayaran 50% ini adalah prasyarat finansial yang secara langsung membatalkan prinsip "murah" bagi Wajib Pajak yang menghadapi Sengketa Pajak dengan nilai besar, terutama jika mereka mengalami kesulitan ekonomi. Syarat ini menjadi manifestasi politik hukum yang memprioritaskan pengamanan potensi penerimaan negara.

Persyaratan pembayaran 50% ini beresonansi secara kontradiktif dengan panggilan moral Politik Etik, di mana negara dituntut untuk melaksanakan restitusi dan meningkatkan kesejahteraan setelah masa eksploitasi yang menyebabkan kemelaratan yang kronis. Ketika Wajib Pajak berada dalam posisi kemelaratan atau kesulitan finansial (mirip dengan kondisi penduduk pribumi pada akhir abad ke-19), persyaratan 50% justru menjadi tembok ekonomi yang menghambat akses mereka ke Pengadilan Pajak, meskipun pengadilan tersebut secara formal menjanjikan keadilan yang murah.

2. Prioritas Penagihan Pajak

Ketegangan juga terlihat dalam pelaksanaan penagihan. Gugatan yang diajukan oleh Wajib Pajak tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan Pajak atau kewajiban perpajakan. Artinya, proses peradilan tidak secara otomatis menangguhkan kepentingan fiskal negara (Mesin Uang Negara). Penundaan pelaksanaan penagihan hanya dapat dikabulkan apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan. Ketentuan ini memastikan bahwa kepentingan ekonomi negara (pragmatisme fiskal) tetap berjalan, dan Wajib Pajak harus membuktikan tingkat kerugian yang sangat ekstrem untuk menghentikan proses penagihan.

C. Integritas Yudisial sebagai Penjamin Keadilan Substantif

Meskipun terdapat hambatan ekonomi prosedural, PP tetap harus menegakkan keadilan. Kontinuitas semangat etis-humanitaris terletak pada upaya untuk menjamin integritas dan kebebasan Hakim dari pengaruh ekonomi dan kekuasaan administrasi.

1. Pengamanan Moral Hakim

Hakim di PP adalah pejabat negara  yang harus memenuhi syarat berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela. Sumpah jabatan mengharuskan Hakim untuk menjalankan tugas seadil-adilnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. PP mengintegrasikan nilai moral-ideologis dengan mewajibkan putusan memuat kepala putusan yang berbunyi "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", yang merupakan komitmen untuk mencari keadilan di atas kepentingan duniawi semata.

2. Proteksi dari Pengaruh Ekonomi Langsung

Untuk menjauhkan Hakim dari kepentingan pragmatik ekonomi yang secara historis pernah mengalahkan idealisme, UU PP menetapkan larangan rangkap jabatan yang ketat. Hakim tidak boleh merangkap menjadi konsultan Pajak atau pengusaha. Pelanggaran larangan ini merupakan alasan untuk diberhentikan tidak dengan hormat. Selain itu, Hakim wajib mengundurkan diri jika berkepentingan langsung atau tidak langsung atas sengketa yang ditanganinya, misalnya jika anak Hakim memiliki saham di perusahaan yang bersengketa. Mekanisme ini memastikan bahwa keyakinan Hakim—yang digunakan untuk memutus sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan—tetap murni dari motif keuntungan pribadi atau kelompok ekonomi tertentu.

Secara keseluruhan, Peradilan Pajak beroperasi dalam dilema historis: ia didirikan untuk menanggapi tuntutan etis-humanitaris keadilan, tetapi dibatasi secara struktural oleh pragmatisme fiskal yang menuntut prioritas penerimaan negara.

Metafora: Timbangan Keadilan dan Beban Restitusi Historis

Interaksi antara kewajiban moral Politik Etik dan realitas ekonomi Peradilan Pajak dapat dianalogikan sebagai Timbangan Keadilan di Samping Gudang Harta Negara yang Mewarisi Beban Moral Masa Lalu. Gudang Harta Negara merepresentasikan sistem fiskal yang harus diamankan untuk pembangunan, sementara masa akhir Hindia Belanda meninggalkan Beban Restitusi Historis berupa panggilan moral akibat eksploitasi yang menuntut negara memperlakukan warga secara adil dan murah.

Timbangan Keadilan sebagai Peradilan Pajak didirikan untuk menjamin proses adil, cepat, murah, dan sederhana, namun Aturan Pemasangannya dipengaruhi kepentingan pragmatis Gudang Harta Negara. Syarat Pembayaran 50% mengharuskan Wajib Pajak meletakkan separuh sengketa ke Gudang Harta sebelum menimbang keadilan, mencerminkan pragmatisme ekonomi yang menghambat akses keadilan "murah" dan mengabaikan warisan moral historis.

Hakim sebagai Penjaga Timbangan adalah operator profesional terikat sumpah bertindak seadil-adilnya, dilarang terlibat sebagai pengusaha, dan dibimbing prinsip "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". K

eberadaan Hakim jujur merupakan upaya restitusi moral berkelanjutan, memastikan Gudang Harta Negara tidak menekan Timbangan Keadilan meskipun secara prosedural harus bekerja dalam batasan ekonomi ketat. (ldr)

Daftar Pustaka

Atmadjaja, D. I. (2025). Sejarah hukum [Handout kuliah]. Universitas Widyagama Malang.

Baca Juga: Integrasi Pengadilan Pajak ke MA: Dinamika, Tantangan dan Arah Reformasi Hukum

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. (2002).

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…