Dalam suatu perkara perdata, keadilan tertinggi ditentukan
oleh para pihak melalui forum kesepakatan. Sehingga dalam sistem peradilan
perdata, sebelum memulai pemeriksaan perkara yang diajukan ke pengadilan, para
pihak wajib menempuh upaya perdamaian terlebih dahulu yang disebut dengan forum
mediasi. Tujuannya adalah untuk mencari jalan tengah dan mencapai kesepakatan,
yang dalam hal ini setiap pihak memenangkan hak-haknya masing-masing (win-win
solution).
Setiap kesepakatan yang tercapai dalam forum mediasi adalah hukum tertinggi yang wajib dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang bersepakat. Oleh karena itu, dalam forum mediasi, terdapat prosedur dan tahapan yang ketat yang harus dilalui para pihak agar setiap kesepakatan tersebut dapat dilaksanakan secara sukarela oleh kedua belah pihak.
Dalam hukum acara perdata Indonesia, tahapan dan prosedur mediasi
tersebut telah diatur secara khusus dalam satu aturan main berupa Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi
Di Pengadilan (Perma Mediasi).
Baca Juga: Penerapan Hukum Acara Terhadap Residivis dalam Tindak Pidana Ringan
Di dalam Perma
Mediasi tersebut, ada beberapa hal yang harus ditempuh oleh para pihak sebelum
mencapai kesepakatan. Dimulai dengan penunjukan mediator dan dilanjutkan dengan
proses dimana para pihak saling menyerahkan resume perkara yang berisi
dalil-dalil para pihak dalam perkara tersebut. Resume tersebut kemudian menjadi
pijakan Mediator untuk melakukan penawaran-penawaran kepada para pihak yang
berperkara untuk menempuh jalan perdamaian.
Apabila terjadi perdamaian antar para pihak, maka para pihak dengan dibantu oleh mediator merumuskan poin-poin kesepakatan secara tertulis yang ditanda-tangani oleh kedua belah pihak dan mediator (vide Pasal 27 ayat (1) Perma Mediasi).
Dalam
hal ini muncul beberapa masalah, apakah poin-poin kesepakatan tersebut telah
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku? Bagaimana jika perkara tersebut
terkait dengan tanah yang diatasnya ada pihak ketiga yang tidak ditarik masuk
dalam gugatan? Jangan sampai antara Pengugat dan Tergugat adalah dua pihak yang
sedang bersekongkol dalam perkara yang sedang berjalan.
Mengantisipasi hal tersebut, maka dalam Pasal 27 ayat (2) Perma Mediasi menerangkan bahwa dalam merumuskan kesepakatan perdamaian, Mediator wajib memastikan kesepakatan tersebut tidak memuat hal-hal yang:
- (a) bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan;
- (b) merugikan pihak ketiga; atau
- (c) tidak dapat dilaksanakan.
Lalu bagaimana mediator memastikan kesepakatan tersebut tidak
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) Perma Mediasi tersebut? Bagaimana cara
mediator mengetahui apakah dalam perkara terkait tanah, tidak ada pihak ketiga
di atas tanah yang menjadi objek kesepakatan tersebut? Maka dalam hal ini perlu
adanya prinsip kehati-hatian dalam merumuskan kesepakatan.
Perlunya
Pemeriksaan Setempat (Descente)
Untuk menegakkan
prinsip kehati-hatian tersebut, dalam Pasal 28 ayat (1) Perma Mediasi
menyatakan bahwa Hakim Pemeriksa perkara wajib mempelajari dan meneliti kesepakatan
perdamaian yang dilaporkan oleh Mediator dalam kurun waktu paling lama 2 (dua)
hari setelah laporan tersebut diterima. Dengan demikian, ada kesempatan bagi Hakim
Pemeriksa melakukan verifikasi terhadap kesepakatan perdamaian tersebut.
Menurut hemat penulis, dalam rangka melakukan verifikasi tersebut maka patut dan dipandang perlu adanya suatu mekanisme pemeriksaan setempat (descente). Dengan tujuan memeriksa suatu objek perkara yang termuat dalam kesepakatan. Kesepakatan mana, tidak merugikan pihak ketiga dan kesepakatan mana dapat dilaksanakan.
Terhadap objek tersebut ditemukan adanya pihak ketiga
yang tidak ditarik masuk dalam kesepakatan, maka temuan tersebut dapat menjadi
alasan bagi hakim untuk mengembalikan kesepakatan tersebut kepada Mediator apakah
perlu diperbaiki atau menyatakan mediasi tidak dapat dilaksanakan.
Muncul beberapa
masalah lagi apabila pemeriksaan setempat ini dimasukkan dalam proses
pemeriksaan kesepakatan. Siapakah yang selayaknya melaksanakan pemeriksaan
setempat tersebut, Mediator atau Hakim Pemeriksa? Sebab dalam proses
pemeriksaan tersebut masih masuk dalam forum mediasi.
Pilihan-pilihan dan Jalan TengahMenanggapi hal tersebut, perlu didudukkan terlebih dahulu jika mediator yang melakukan pemeriksaan setempat (descente), maka dapatkah hakim mediator memungut biaya untuk pemeriksaan tersebut? Jika memungkinkan maka boleh saja mediator melaksanakan pemeriksaan tersebut.
Namun demikian,
perlu dilihat juga dalam Pasal 28 Perma Mediasi menjelaskan alur pelaporan Mediator
ke Hakim Pemeriksa, dimana Hakim Pemeriksa sebagai verifikator meneliti
kesepakatan maksimal 2 hari setelah menerima laporan (Vide Pasal 28 ayat (1).
Lalu setelah itu, masih terdapat forum untuk mediator bertemu kembali dengan
para pihak untuk memperbaiki kesepakatan apabila tidak sesuai dengan Pasal 27
(2) Perma a quo. Kemudian, setelah diperbaiki maka mediator menyerahkan
kembali kesepakatan tersebut kepada Hakim Pemeriksa untuk ditetapkan dengan
Akta Perdamaian (acta van dading).
Dari alur tersebut
maka dapat dilihat, meskipun dalam forum mediasi, terdapat kewenangan Hakim
Pemeriksa untuk melakukan penelitian terhadap kesepakatan. Dengan kewenangan
tersebut, menurut hemat penulis lebih beralasan jika hakim pemeriksalah yang
berwenang melakukan pemeriksaan setempat (descente) tersebut dibandingkan
mediator.
Namun demikian, dengan kewenangan baik melalui mediator atau kewenangan hakim pemeriksa menurut hemat penulis, pemeriksaan setempat harus tetap menjadi perlu untuk diterapkan. Hal ini untuk memastikan bahwa setiap kesepakatan dengan objek berupa tanah tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) Perma Mediasi. Dengan menerapkan pemeriksaan setempat dalam pemeriksaan suatu kesepakatan perdamaian, maka pengadilan telah menerapkan prinsip kecermatan dan kehati-hatian dalam penanganan perkara. (ypy/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI