Dalam semesta serial drama Korea, tema percintaan dan keluarga mungkin menjadi sajian dominan. Namun, beberapa tahun terakhir, drama bertema hukum semakin mendapat tempat di hati penonton internasional, termasuk di Indonesia. Salah satu judul terbaru yang mencuri perhatian adalah Beyond the Bar, drama hukum yang bukan hanya menghadirkan ketegangan ruang sidang, tetapi juga menggugah kembali makna keadilan dan profesionalisme di dunia hukum.
Lebih dari sekadar tontonan, Beyond the Bar adalah cermin, yang dalam bayang-bayangnya, kita bisa melihat kontur problematika hukum Indonesia, baik dari segi substansi, prosedur, hingga nilai-nilai etis dalam praktik profesi hukum.
Beyond the Bar mengikuti perjalanan Kang Hyo-min, pengacara pemula yang masih berpegang pada idealisme tentang hukum sebagai alat keadilan. Ia berhadapan dengan kerasnya praktik hukum di firma Yullim, yang dipimpin Yoon Seok-hoon, sosok pengacara senior yang tampak dingin namun menyimpan kompleksitas moral yang dalam. Setiap episode menyuguhkan kasus berbeda, mulai dari kekerasan yang disamarkan sebagai ‘persetujuan’, kesepakatan damai yang mengaburkan keadilan, hingga dilema etis dalam membela klien yang salah secara moral namun sah secara hukum.
Baca Juga: Juvenile Justice, Ketika Hakim Dihadapkan pada Dilema Keadilan Anak
Cerita yang disajikan tidak hanya menyoroti hitam-putihnya hukum, tetapi menampilkan spektrum abu-abu, ruang di mana hukum bertemu moralitas, dan keadilan tidak selalu berada di pihak yang menang secara hukum.
Salah satu tema krusial dalam Beyond the Bar adalah soal persetujuan. Dalam episode “Love is an impairment”, korban kekerasan seksual ditantang untuk membuktikan bahwa ia tidak benar-benar memberikan persetujuan terhadap tindakan yang menimbulkan luka fisik dan psikologis. Cinta yang membutakan dapat dikategorikan sebagai diminished capacity yang pada konteks ini berarti bahwa dalam kondisi emosial, persetujuan tidak sepenuhnya sah karena dipengaruhi manipulasi dan rasa cinta buta.
Dalam hukum Indonesia, konsep “persetujuan” juga tidak sesederhana tampak di permukaan. Undang undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mencakup situasi di mana kekerasan seksual dapat terjadi melalui manipulasi, paksaan, atau penyalahgunaan kekuasaan yang membuat korban seolah- olah memberikan persetujuan, padahal sebenarnya mereka dalam posisi yang rentan atau terjebak dalam hubungan yang tidak seimbang secara kekuatan (relasi kuasa). Persetujuan yang diberikan dalam kondisi timpang seperti adanya relasi kuasa atau manipulasi dianggap tidak sah.
Dalam beberapa episode, Beyond the Bar menampilkan bagaimana penyelesaian sengketa secara damai bahkan melalui perjanjian kerahasiaan atau Non Disclosure Agreement, menjadi alternatif yang diambil para pihak untuk “menghindari” pengadilan. Tentu, ini mencerminkan realitas yang juga lazim dalam praktik hukum Indonesia, terutama dalam perkara perdata.
Baca Juga: Imparsial Sejak Dalam Pikiran
Beyond the Bar mungkin adalah drama Korea, tetapi pertanyaannya bersifat universal: Apa itu keadilan? Siapa yang berhak menentukan? Apakah hukum benar-benar bekerja untuk yang lemah, atau hanya bagi mereka yang tahu cara memainkannya?
Bagi penonton Indonesia, terutama kalangan praktisi hukum dan penegak keadilan, drama ini menjadi pengingat bahwa hukum bukan hanya tentang pasal dan prosedur, tetapi juga tentang Nurani dan integritas. Ia menunjukkan bahwa di dunia nyata, keadilan tidak selalu bersuara lantang, kadang ia hadir dalam keputusan sulit, dalam suara hati yang enggan berkompromi. Dan mungkin, di balik layar hiburan itu, Beyond the Bar justru sedang mengajak kita, aparatur hukum, untuk tidak sekadar menjalankan hukum, tapi menyalakan kembali semangat keadilannya. ikaw
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI