Cari Berita

Rekonstruksi Amnesti dan Abolisi dalam Tata Hukum Indonesia

Pradikta Andi Alvat PNS PN Rembang - Dandapala Contributor 2025-08-27 10:10:01
Dok. Pribadi.

Pada tanggal 1 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2025 memberikan amnesti kepada 1.178 terpidana termasuk Hasto Kristiyanto dan memberikan abolisi kepada Tom Lembong berdasarkan Keppres Nomor 18 Tahun 2025.

Amnesti dan abolisi merupakan hak prerogratif presiden sebagai kepala negara berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Menurut Pasal 14 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

UUD NRI Tahun 1945 sendiri tidak memberikan definsi apa itu amnesti dan abolisi begitupun juga pada Undang-Undang teknis yang mengaturnya yakni Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1954.

Baca Juga: Ructritt dan Tatiger Reue, Alasan Penghapus Penuntutan dalam KUHP Baru

Secara lebih teknis, pengaturan mengenai amnesti dan abolisi diatur dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1954 yang menggantikan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1949.

Pasal 1 UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 menjelaskan bahwa presiden atas kepentingan negara dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman.

Dari definisi tersebut, maka dapat dipahami bahwa esensi dari pada pemberian amnesti dan abolisi adalah demi kepentingan negara. Presiden memiliki hak untuk memberikan amnesti dan abolisi berakar dari konsep perlindungan negara sebagaimana mandat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 Alinea IV (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia) bahwa negara dalam hal ini eksekutif menjalankan fungsi perlindungan kepada rakyat melalui operasionalisasi penegakan hukum pidana.

Dalam penegakan hukum pidana, negara hadir melalui pemerintah dalam fungsi kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pemasyarakatan dengan kepentingan besar untuk memastikan terwujudnya keamanan dan stabilitas sosial.

Oleh sebab itu, sengketa dalam penegakan hukum pidana pada hakikatnya adalah sengketa antara pemerintah yang diwakili kepolisan dan kejaksaan melawan subyek hukum yang diduga melanggar aturan hukum pidana (publik) yang dibuat untuk memberikan perlindungan pada masyarakat.

Maka dari itu, pemberian amnesti dan abolisi pada hakikatnya merupakan bentuk oportunitas negara untuk tidak melanjutkan proses hukum maupun tidak melanjutkan pengukuman atas kepentingan negara.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954, dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana dihapuskan sedangkan dengan pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang ditiadakan.

Dalam praktiknya, pemberian amnesti diberikan pada terpidana yang telah berkekuatan hukum tetap maupun pada terdakwa/tersangka sedangkan abolisi diberikan kepada terdakwa/tersangka yang masih dalam proses peradilan pidana. Jika dirujuk secara terminologi, maka semua akibat hukum pidana ini mengacu pada sanksi pidana dan upaya paksa dalam penegakan hukum pidana (penahanan, penyitaan dll) sehingga amnesti bisa diberikan pada terpidana maupun terdakwa/tersangka.

Namun juga terdapat alternatif pendapat bahwa karena amnesti adalah pengampunan maka harusnya hanya terpidana saja yang bisa dikenakan amnesti karena hanya terpidana yang sudah terbukti bersalah. Terdakwa dan tersangka belum tentu bersalah maka seharusnya tidak dikenakan amnesti.

Sedangkan terminologi penuntutan ditiadakan dalam pemberian abolisi pada dasarnya mengandung makna peniadaan proses penegakan hukum pidana. Jadi abolisi dapat diberikan kepada tersangka maupun terdakwa yang tengah menjalani proses hukum.

Jika dirujuk secara definisi, arti penuntutan adalah pelimpahan perkara pidana dari kejaksaan ke pengadilan negeri, dengan demikian maka ditiadakannya penuntutan berarti hilangnya hak menunut kejaksaan dalam proses hukum sehingga abolisi dapat diberikan pada tersangka maupun terdakwa bukan terpidana, karena terpidana telah berkekuatan hukum tetap dimana penuntutannya telah melahirkan vonis definitif.

Dalam sejarah, pemberian amesti dan abolisi erat kaitannya dengan delik-delik politik misalnya Presiden Soekarno pada tahun 1959, memberikan amnesti melalui Keppres Nomor 330 kepada orang-orang yang tersangkut pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.

Pemberian amnesti ini karena pemberontak dinilai telah insaf dan mau kembali pada NKRI. Tahun 1961, melalui Keppres Nomor 449, Soekarno memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang tersangkut pemberontakan yang lebih luas, yaitu pemberontakan Daud Bereueh di Aceh, pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, dan Perjuangan Semesta di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, Irian Barat. Presiden Soeharto Melalui Keppres 63 tahun 1977, memberikan amnesti dan abolisi kepada para pengikut gerakan Fretelin di Timor Timur, baik di dalam maupun luar negeri. Dalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa amnesti dan abolisi diberikan untuk kepentingan negara dan kesatuan bangsa.

Presiden BJ Habibie memberi amnesti kepada 18 tahanan politik kasus demo di Timor Timur yang dulunya ditangkap karena telah menghina Presiden Soeharto. Selain itu, ia juga memberikan amnesti kepada dua aktivis pro-demokrasi, yaitu Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan.

Presiden Gus Dur memberi amnesti kepada Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) serta aktivis HAM, Budiman Sudjatmiko, yang dipenjara saat Orde Baru atas tuduhan menjadi dalang kerusuhan peristiwa 27 Juli 1996. Selain itu, Gus Dur juga memberi amnesti kepada sejumlah anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sedang menjalani hukuman pidana makar, yakni Amir Syam, Ridwan Abbas, Abdullah Husen, dan M. Thaher Daud. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Keppres Nomor 22 Tahun 2005 memberikan amnesti kepada 2.000 anggota GAM. Presiden Jokowi memberikan amnesti pada Tahun 2016 kepada mantan pimpinan kelompok bersenjata di Aceh Timur, yakni Nurdin Ismail alias Din Minimi dan kelompoknya. Jokowi juga memberi amnesti kepada dosen Universitas Syiah Kuala, Saiful Mahdi dan Baiq Nuril, yang dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait pencemaran nama baik.

Dalam perspektif sejarah dapat dilihat bahwa pemberian amnesti maupun abolisi cenderung diterapkan terhadap delik-delik politik dan sebagian kecil delik tentang UU ITE. Sedangkan di era Presiden Prabowo pemberian amnesti dan abolisi diberikan salah duanya terhadap delik tindak pidana korupsi yakni terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Hal ini kemudian membuncahkan diskursus perdebatan. Beberapa akademisi menilai amnesti dan abolisi tidak dapat diberikan terhadap kasus korupsi. Pada prinsipnya, diskursus tersebut terjadi karena terdapat kekosongan hukum terkait pengaturan amnesti dan abolisi. Konkritnya, tidak ada undang-undang baru yang mengatur mengenai substansi dan prosedur tentang amnesti dan abolisi sehingga pemberian amnesti dan abolisi tidak terdapat batasan secara limitatif.

Kekosongan Hukum Amnesti dan Abolisi

Jika kita pahami seksama pada dasarnya pengaturan teknis terkait amnesti dan abolisi mengalami kekosongan secara hukum. Pengaturan norma dalam konstitusi pasti memerlukan aturan hukum lebih teknis terkait operasionalisasi namun di sisi lain aturan teknis terkait mandat amnesti dan abolisi dalam konstitusi yang diatur lebih lanjut dalam UU Darurat 11 Tahun 1954 bersifat einmaligh atau sekali selesai karena hanya berlaku bagi subjek yang disebutkan dalam UU tersebut.

Amnesti dan abolisi hingga saat ini belum diatur secara tegas dalam sebuah undang-undang. Pemerintah dalam menyelenggarakan amnesti dan abolisi selama ini hanya mendasarkan pada ketentuan Pasal 14 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Dalam praktik pemberian amnesti dan abolisi, implikasi dari pemberian amnesti dan abolisi mengacu dan berpegangan Pasal 4 pada UU Darurat 11 Tahun 1954 sedangkan pelaksanaan pertimbangan pemberian amnesti dan abolisi mengacu pada Pasal 14 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 bukan mengacu pada UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 khususnya Pasal 1 dan Pasal 3.

Rekonstruksi Hukum Amnesti dan Abolisi

Diperlukan pembaharuan hukum terhadap pengaturan amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954. Diperlukan undang-undang baru yang merekonstruksi substansi dari pengaturan terkait amnesti dan abolisi agar terwujud kepastian hukum dan efektivitas.

Menurut hemat setidaknya ada dua hal penting yang harus diatur yakni definisi dan batasan dalam pemberian amnesti dan abolisi. Misalnya amnesti didefinisikan sebagai pengampunan terhadap terpidana sehingga hanya bisa diberikan pada terpidana. Sedangkan abolisi merupakan peniadaan proses hukum sepanjang belum berkekuatan hukum tetap. Jadi abolisi dapat diberikan pada terdakwa maupun tersangka.

Kemudian seyogyanya pemberian amnesti dan abolisi juga dibatasi atau tidak bisa diberikan untuk tindak-tindak pidana tertentu yang bersifat kekejian dan berdampak merusak secara luas seperti korupsi, pembunuhan, tindak pidana pada anak, tindak pidana terorisme, tindak pidana pelanggaran HAM berat dll. Meskipun memberikan amnesti dan abolisi adalah hak prerogratif presiden, namun operasionalisasi dari hak tersebut pada dasarnya dapat diatur secara lebih teknis demi terwujdunya keadilan, proporsionalitas, dan kemanfaatan. Contohnya, presiden memang memiliki hak prerogratif memilih menteri, namun dalam undang-undang teknis dapat diatur beberapa kualifikasi untuk dapat diangkat menjadi menteri. Jadi, presiden hanya bisa memilih menteri yang memiliki kualifikasi yang ditentukan.

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Secara prinsip, hak itu akan melahirkan kewenangan dan secara lahiriah kewenangan itu cenderung akan disalahgunakan sehingga pembatasan dan pengaturan kewenangan merupakan hal yang fundamental dalam negara hukum. Inilah esensinya, agar pemberian amnesti dan abolisi kedepannya bersifat obyektif, proporsional dan bermanfaat bagi negara. (aar/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI