Pada tanggal 1 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2025 memberikan amnesti kepada 1.178 terpidana termasuk Hasto Kristiyanto dan memberikan abolisi kepada Tom Lembong berdasarkan Keppres Nomor 18 Tahun 2025.
Amnesti dan abolisi merupakan hak prerogratif presiden sebagai kepala negara berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Menurut Pasal 14 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
UUD NRI Tahun 1945 sendiri tidak memberikan definsi apa itu
amnesti dan abolisi begitupun juga pada Undang-Undang teknis yang mengaturnya
yakni Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1954.
Baca Juga: Ructritt dan Tatiger Reue, Alasan Penghapus Penuntutan dalam KUHP Baru
Secara lebih teknis, pengaturan mengenai amnesti dan abolisi diatur dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1954 yang menggantikan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1949.
Pasal 1 UU Darurat
Nomor 11 Tahun 1954 menjelaskan bahwa presiden atas kepentingan negara dapat
memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan
pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat
tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan
Menteri Kehakiman.
Dari
definisi tersebut, maka dapat dipahami bahwa esensi dari pada pemberian amnesti
dan abolisi adalah demi kepentingan negara. Presiden memiliki hak untuk
memberikan amnesti dan abolisi berakar dari konsep perlindungan negara sebagaimana
mandat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 Alinea IV (melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia) bahwa negara dalam hal ini
eksekutif menjalankan fungsi perlindungan kepada rakyat melalui
operasionalisasi penegakan hukum pidana.
Dalam penegakan hukum pidana, negara hadir melalui pemerintah dalam fungsi kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pemasyarakatan dengan kepentingan besar untuk memastikan terwujudnya keamanan dan stabilitas sosial.
Oleh sebab itu, sengketa dalam penegakan hukum pidana pada hakikatnya adalah sengketa antara pemerintah yang diwakili kepolisan dan kejaksaan melawan subyek hukum yang diduga melanggar aturan hukum pidana (publik) yang dibuat untuk memberikan perlindungan pada masyarakat.
Maka dari itu, pemberian amnesti dan abolisi pada
hakikatnya merupakan bentuk oportunitas negara untuk tidak melanjutkan proses
hukum maupun tidak melanjutkan pengukuman atas kepentingan negara.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954, dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana dihapuskan sedangkan dengan pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang ditiadakan.
Dalam praktiknya, pemberian amnesti diberikan pada terpidana yang telah berkekuatan hukum tetap maupun pada terdakwa/tersangka sedangkan abolisi diberikan kepada terdakwa/tersangka yang masih dalam proses peradilan pidana. Jika dirujuk secara terminologi, maka semua akibat hukum pidana ini mengacu pada sanksi pidana dan upaya paksa dalam penegakan hukum pidana (penahanan, penyitaan dll) sehingga amnesti bisa diberikan pada terpidana maupun terdakwa/tersangka.
Namun juga terdapat
alternatif pendapat bahwa karena amnesti adalah pengampunan maka harusnya hanya
terpidana saja yang bisa dikenakan amnesti karena hanya terpidana yang sudah
terbukti bersalah. Terdakwa dan tersangka belum tentu bersalah maka seharusnya
tidak dikenakan amnesti.
Sedangkan terminologi penuntutan ditiadakan dalam pemberian abolisi pada dasarnya mengandung makna peniadaan proses penegakan hukum pidana. Jadi abolisi dapat diberikan kepada tersangka maupun terdakwa yang tengah menjalani proses hukum.
Jika dirujuk
secara definisi, arti penuntutan adalah pelimpahan perkara pidana dari
kejaksaan ke pengadilan negeri, dengan demikian maka ditiadakannya penuntutan
berarti hilangnya hak menunut kejaksaan dalam proses hukum sehingga abolisi
dapat diberikan pada tersangka maupun terdakwa bukan terpidana, karena
terpidana telah berkekuatan hukum tetap dimana penuntutannya telah melahirkan
vonis definitif.
Dalam sejarah, pemberian amesti dan abolisi erat kaitannya dengan delik-delik politik misalnya Presiden Soekarno pada tahun 1959, memberikan amnesti melalui Keppres Nomor 330 kepada orang-orang yang tersangkut pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.
Pemberian amnesti ini karena pemberontak dinilai telah insaf dan mau kembali pada NKRI. Tahun 1961, melalui Keppres Nomor 449, Soekarno memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang tersangkut pemberontakan yang lebih luas, yaitu pemberontakan Daud Bereueh di Aceh, pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, dan Perjuangan Semesta di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, Irian Barat. Presiden Soeharto Melalui Keppres 63 tahun 1977, memberikan amnesti dan abolisi kepada para pengikut gerakan Fretelin di Timor Timur, baik di dalam maupun luar negeri. Dalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa amnesti dan abolisi diberikan untuk kepentingan negara dan kesatuan bangsa.
Presiden BJ Habibie memberi amnesti kepada 18
tahanan politik kasus demo di Timor Timur yang dulunya ditangkap karena telah
menghina Presiden Soeharto. Selain itu, ia juga memberikan amnesti kepada dua
aktivis pro-demokrasi, yaitu Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan.
Presiden
Gus Dur memberi amnesti kepada Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) serta
aktivis HAM, Budiman Sudjatmiko, yang dipenjara saat Orde Baru atas tuduhan
menjadi dalang kerusuhan peristiwa 27 Juli 1996. Selain itu, Gus Dur juga
memberi amnesti kepada sejumlah anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sedang
menjalani hukuman pidana makar, yakni Amir Syam, Ridwan Abbas, Abdullah Husen,
dan M. Thaher Daud. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Keppres Nomor 22
Tahun 2005 memberikan amnesti kepada 2.000 anggota GAM. Presiden Jokowi
memberikan amnesti pada Tahun 2016 kepada mantan pimpinan kelompok bersenjata
di Aceh Timur, yakni Nurdin Ismail alias Din Minimi dan kelompoknya. Jokowi juga
memberi amnesti kepada dosen Universitas Syiah Kuala, Saiful Mahdi dan Baiq
Nuril, yang dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
terkait pencemaran nama baik.
Dalam
perspektif sejarah dapat dilihat bahwa pemberian amnesti maupun abolisi
cenderung diterapkan terhadap delik-delik politik dan sebagian kecil delik
tentang UU ITE. Sedangkan di era Presiden Prabowo pemberian amnesti dan abolisi
diberikan salah duanya terhadap delik tindak pidana korupsi yakni terhadap Tom
Lembong dan Hasto Kristiyanto. Hal ini kemudian membuncahkan diskursus
perdebatan. Beberapa akademisi menilai amnesti dan abolisi tidak dapat
diberikan terhadap kasus korupsi. Pada prinsipnya, diskursus tersebut terjadi
karena terdapat kekosongan hukum terkait pengaturan amnesti dan abolisi.
Konkritnya, tidak ada undang-undang baru yang mengatur mengenai substansi dan
prosedur tentang amnesti dan abolisi sehingga pemberian amnesti dan abolisi
tidak terdapat batasan secara limitatif.
Kekosongan
Hukum Amnesti dan Abolisi
Jika
kita pahami seksama pada dasarnya pengaturan teknis terkait amnesti dan abolisi
mengalami kekosongan secara hukum. Pengaturan norma dalam konstitusi pasti
memerlukan aturan hukum lebih teknis terkait operasionalisasi namun di sisi
lain aturan teknis terkait mandat amnesti dan abolisi dalam konstitusi yang
diatur lebih lanjut dalam UU Darurat 11 Tahun 1954 bersifat einmaligh
atau sekali selesai karena hanya berlaku bagi subjek yang disebutkan dalam UU
tersebut.
Amnesti dan abolisi hingga saat ini belum diatur secara tegas dalam sebuah undang-undang. Pemerintah dalam menyelenggarakan amnesti dan abolisi selama ini hanya mendasarkan pada ketentuan Pasal 14 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Dalam
praktik pemberian amnesti dan abolisi, implikasi dari pemberian amnesti dan
abolisi mengacu dan berpegangan Pasal 4 pada UU Darurat 11 Tahun 1954 sedangkan
pelaksanaan pertimbangan pemberian amnesti dan abolisi mengacu pada Pasal 14
ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 bukan mengacu pada UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954
khususnya Pasal 1 dan Pasal 3.
Rekonstruksi
Hukum Amnesti dan Abolisi
Diperlukan pembaharuan hukum terhadap pengaturan amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954. Diperlukan undang-undang baru yang merekonstruksi substansi dari pengaturan terkait amnesti dan abolisi agar terwujud kepastian hukum dan efektivitas.
Menurut hemat setidaknya ada dua hal
penting yang harus diatur yakni definisi dan batasan dalam pemberian amnesti
dan abolisi. Misalnya amnesti didefinisikan sebagai pengampunan terhadap
terpidana sehingga hanya bisa diberikan pada terpidana. Sedangkan abolisi
merupakan peniadaan proses hukum sepanjang belum berkekuatan hukum tetap. Jadi
abolisi dapat diberikan pada terdakwa maupun tersangka.
Kemudian
seyogyanya pemberian amnesti dan abolisi juga dibatasi atau tidak bisa
diberikan untuk tindak-tindak pidana tertentu yang bersifat kekejian dan
berdampak merusak secara luas seperti korupsi, pembunuhan, tindak pidana pada
anak, tindak pidana terorisme, tindak pidana pelanggaran HAM berat dll.
Meskipun memberikan amnesti dan abolisi adalah hak prerogratif presiden, namun
operasionalisasi dari hak tersebut pada dasarnya dapat diatur secara lebih
teknis demi terwujdunya keadilan, proporsionalitas, dan kemanfaatan. Contohnya,
presiden memang memiliki hak prerogratif memilih menteri, namun dalam
undang-undang teknis dapat diatur beberapa kualifikasi untuk dapat diangkat
menjadi menteri. Jadi, presiden hanya bisa memilih menteri yang memiliki
kualifikasi yang ditentukan.
Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung
Secara
prinsip, hak itu akan melahirkan kewenangan dan secara lahiriah kewenangan itu
cenderung akan disalahgunakan sehingga pembatasan dan pengaturan kewenangan
merupakan hal yang fundamental dalam negara hukum. Inilah esensinya, agar
pemberian amnesti dan abolisi kedepannya bersifat obyektif, proporsional dan
bermanfaat bagi negara. (aar/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI