Cari Berita

Teori Keadilan dari Pemikiran Modern Melahirkan Konsep Equality Before the Law

Eliyas Eko Setyo - Hakim PN Sampang - Dandapala Contributor 2025-12-11 16:30:22
Dok. Penulis.

Keadilan sejak dahulu telah menjadi bahan kajian baik dikalangan ahli filsafat maupun dikalangan agamawan, politikus maupun para pemikir atau ahli hukum.Sejarah konsep Keadilan Equality Before the Law bermula dari dua zaman klasik dan zaman modern yang telah melahirkan beberapa pemikir pemula akan teori keadilan. Teori pemikiran yang mengkaji masalah keadilan secara mendalam diantaranya:

Konsep Keadilan Menurut Pemikiran Zaman Klasik pada 427-347 SM

Penulis kutip dari tulisan Poejawijatna dalam Muhammad Nursyam, 1998 : 45, bahwa Teori Keadilan Plato di Zaman Klasik (427-347 SM) memandang keadilan yang menekankan pada harmoni atau keselarasan. Plato mendefinisikan keadilan sebagai “the supreme virtue of the good state”, sedang orang yang adil adalah “the self diciplined man whose passions are controlled by reasson”. Bagi Plato keadilan tidak dihubungkan secara langsung dengan hukum. Baginya keadilan dan tata hukum merupakan substansi umum dari suatu masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya.

Baca Juga: Political Obligation: Rousseau and Hobbes perspective

Dalam karyanya yang berjudul The Republic Plato memandang suatu masalah yang memerlukan pengaturan dengan undang-undang harus mencerminkan rasa keadilan, sebab bagi Plato hukum dan undang-undang bukanlah semata-mata untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara, melainkan yang paling pokok dari undang-undang adalah untuk membimbing masyarakat mencapai keutamaan, sehingga layak menjadi warga negara dari negara yang ideal.

Dikutip pada tulisan J.H. Rapar, 1991:8, Konsep keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles berbeda dengan Plato yang merupakan muridnya pada tahun (384-322 SM) ia menekankan konsep keadilannya pada pertimbangan atau proporsi. Menurutnya di dalam negara segala sesuatunya harus diarahkan pada cita-cita yang mulia yaitu kebaikan dan kebaikan itu harus terlihat lewat keadilan dan kebenaran. Penekanan perimbangan atau proporsi pada teori keadilan Aristoteles, dapat dilihat dari apa yang dilakukannya bahwa kesamaan hak itu haruslah sama diantara orang-orang yang sama.

Dari sini Aristoteles membedakan keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, jadi sifatnya proporsional. Sedangkan keadilan komutatif menyangkut mengenai masalah penentuan hak yang adil di antara beberapa manusia pribadi yang setara, baik diantara manusia pribadi fisik maupun antara pribadi non fisik.

 

 

Pemikiran Konsep Keadilan pada Zaman Modern  Abad ke-19

Dikutip dari tulisan Lyman Tower Sargent, 1987:63, Konsep keadilan pada zaman modern diwarnai dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran tentang kebebasan, antara lain munculnya aliran liberalisme yaitu suatu aliran yang tumbuh di dunia barat pada awal abab ke-XVII Masehi.

Aliran ini mendasarkan diri pada nilai-nilai dalam ajaran pada zaman modern yang melahirkan aliran utilitarianisme yang dipelopori oleh John Stuart Mill yang menolak digunakannya ide hukum alam dan suara akal dalam teorinya.

Konsep keadilan pada aliran ini didasarkan pada asas kemanfaatan dan kepentingan manusia. Keadilan mempunyai ciri sebagai suatu kebajikan yang sepenuhnya ditentukan oleh kemanfaatannya, yaitu kemampuannya menghasilkan kesenangan yang terbesar bagi orang banyak.

Dikutip dalam tulisan John Stuart Mill, Utilitarianism, On Liberty., 298-301. Lih. Karen Lebaqcz, Teori-teori keadilan, 20. Lih. Juga, Notohamidjojo, Kreativitas yang Bertanggungjawab., 638. Mill pada abad ke-19 dalam karyanya, On Liberty pada tahun 1859, Mill membahas hakikat dan batas-batas kekuasaan yang dapat dijalankan secara sah oleh masyarakat terhadap seorang individu.

Saat itu ia telah mencatat ada lima bentuk ketidakadilan dengan kesimpulan yang adil merupakan suatu tindakan yang netral, memperlakukan semua orang secara setara, kemudian teori inilah yang melahirkan prinsip quality before the law.Yang kemudian prinsip tersebut pertama diadopsi negara bagian Nebraska di Amerika, yang kemudian pada tahun 1867 yang dikembangkangkan James E. Potter menjelaskan bahwa equality before the law mengandung makna representasi hak-hak politik dan sipil bagi orang kulit hitam juga wanita di Nebraska.

Kemudian, pada tahun 1948, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di Paris mendeklarasikan The Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Di dalam Dokumennya tersebut membahas ketentuan hak-hak asasi manusia, termasuk asas equality before the law yang dituangkan dalam Pasal 7 UDHR yang isinya mendeklarasikan bahwa semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.

Baca Juga: Menjamin Independensi Hakim: Urgensi Pengaturan Gaji dalam UUD 1945

Hingga pada akhirnya Negara Indonesia menggunakan salah satu pemikiran pada zaman modern dengan Konsep equality before the law yang  di Indonesia dimuat dalam UUD 1945 pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menerangkan bahwa segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum tersebut tanpa adanya pengecualian. (ldr)

Referensi:

  • Franz Magniz Suseno. 1988. Etika Politik. Jakarta : Gramedia. Heimanson, Rudolf. 1967.
  • J.H. Rapar. 1991. Filsafat Politik Plato. Jakarta : Rajawali Press.
  • Moch. Koesneo. 1997. Pengantar Ke Arah Filsafat Hukum. Surabaya : Ubhara Press.
  • Mohammad Nursyam. 1998. “Penjabaran Filsafat Pancasila Dalam Filsafat Hukum. Sebagai Landasan Pembinaan Hukum Nasional”. Disertasi. Universitas Airlangga Surabaya.
  • Padmo Wahyono. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…