Keadilan sejak dahulu telah menjadi
bahan kajian baik dikalangan ahli filsafat maupun dikalangan agamawan,
politikus maupun para pemikir atau ahli hukum.Sejarah konsep Keadilan Equality
Before the Law bermula dari dua zaman klasik dan zaman modern yang telah
melahirkan beberapa pemikir pemula akan teori keadilan. Teori pemikiran yang
mengkaji masalah keadilan secara mendalam diantaranya:
Konsep Keadilan
Menurut Pemikiran Zaman Klasik pada 427-347 SM
Penulis kutip dari tulisan
Poejawijatna dalam Muhammad Nursyam, 1998 : 45, bahwa Teori Keadilan Plato di
Zaman Klasik (427-347 SM) memandang keadilan yang
menekankan pada harmoni atau keselarasan. Plato mendefinisikan keadilan sebagai “the
supreme virtue of the good state”, sedang orang yang adil adalah “the self
diciplined man whose passions are controlled by reasson”. Bagi Plato keadilan
tidak dihubungkan secara langsung dengan hukum. Baginya keadilan dan tata hukum
merupakan substansi umum dari suatu masyarakat yang membuat dan menjaga
kesatuannya.
Baca Juga: Political Obligation: Rousseau and Hobbes perspective
Dalam karyanya yang berjudul The
Republic Plato memandang suatu masalah yang memerlukan pengaturan dengan
undang-undang harus mencerminkan rasa keadilan, sebab bagi Plato hukum dan
undang-undang bukanlah semata-mata untuk memelihara ketertiban dan menjaga
stabilitas negara, melainkan yang paling pokok dari undang-undang adalah untuk
membimbing masyarakat mencapai keutamaan, sehingga layak menjadi warga negara
dari negara yang ideal.
Dikutip pada tulisan J.H. Rapar, 1991:8,
Konsep keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles berbeda dengan Plato yang
merupakan muridnya pada tahun (384-322 SM) ia menekankan konsep keadilannya
pada pertimbangan atau proporsi. Menurutnya di dalam negara segala sesuatunya
harus diarahkan pada cita-cita yang mulia yaitu kebaikan dan kebaikan itu harus
terlihat lewat keadilan dan kebenaran. Penekanan perimbangan atau proporsi pada
teori keadilan Aristoteles, dapat dilihat dari apa yang dilakukannya bahwa
kesamaan hak itu haruslah sama diantara orang-orang yang sama.
Dari sini Aristoteles membedakan
keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan
distributif adalah keadilan yang menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang
menjadi haknya, jadi sifatnya proporsional. Sedangkan keadilan komutatif menyangkut mengenai masalah
penentuan hak yang adil di antara beberapa manusia pribadi yang setara, baik
diantara manusia pribadi fisik maupun antara pribadi non fisik.
Pemikiran Konsep
Keadilan pada Zaman Modern Abad ke-19
Dikutip dari tulisan Lyman Tower
Sargent, 1987:63, Konsep keadilan pada zaman modern diwarnai dengan
berkembangnya pemikiran-pemikiran tentang kebebasan, antara lain munculnya
aliran liberalisme yaitu suatu aliran yang tumbuh di dunia barat pada awal abab
ke-XVII Masehi.
Aliran ini mendasarkan diri pada
nilai-nilai dalam ajaran pada zaman modern yang melahirkan aliran
utilitarianisme yang dipelopori oleh John Stuart Mill yang menolak digunakannya
ide hukum alam dan suara akal dalam teorinya.
Konsep keadilan pada aliran ini
didasarkan pada asas kemanfaatan dan kepentingan manusia. Keadilan mempunyai
ciri sebagai suatu kebajikan yang sepenuhnya ditentukan oleh kemanfaatannya,
yaitu kemampuannya menghasilkan kesenangan yang terbesar bagi orang banyak.
Dikutip dalam tulisan John Stuart
Mill, Utilitarianism, On Liberty., 298-301. Lih. Karen Lebaqcz, Teori-teori
keadilan, 20. Lih. Juga, Notohamidjojo, Kreativitas yang
Bertanggungjawab., 638. Mill pada abad ke-19 dalam karyanya, On Liberty pada tahun 1859, Mill
membahas hakikat dan batas-batas kekuasaan yang dapat dijalankan secara sah oleh masyarakat
terhadap seorang individu.
Saat itu ia telah mencatat ada lima
bentuk ketidakadilan dengan kesimpulan yang adil merupakan suatu tindakan yang
netral, memperlakukan semua orang secara setara, kemudian teori inilah yang
melahirkan prinsip quality before the law.Yang
kemudian prinsip tersebut pertama diadopsi negara bagian Nebraska di Amerika,
yang kemudian pada tahun 1867 yang dikembangkangkan James E. Potter menjelaskan bahwa equality before the law mengandung
makna representasi hak-hak politik dan sipil bagi orang kulit hitam juga wanita
di Nebraska.
Kemudian, pada tahun 1948,
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di Paris mendeklarasikan The
Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Di dalam Dokumennya tersebut
membahas ketentuan hak-hak asasi manusia, termasuk asas equality before the law yang dituangkan dalam Pasal 7 UDHR yang isinya mendeklarasikan
bahwa semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama
tanpa diskriminasi.
Baca Juga: Menjamin Independensi Hakim: Urgensi Pengaturan Gaji dalam UUD 1945
Hingga pada akhirnya Negara Indonesia
menggunakan salah satu pemikiran pada zaman modern dengan Konsep equality before the law yang di
Indonesia dimuat dalam UUD 1945 pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menerangkan bahwa segala
warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung
hukum tersebut tanpa adanya pengecualian. (ldr)
Referensi:
- Franz
Magniz Suseno. 1988. Etika Politik. Jakarta
: Gramedia. Heimanson, Rudolf. 1967.
- J.H.
Rapar. 1991. Filsafat Politik Plato. Jakarta : Rajawali Press.
- Moch.
Koesneo. 1997. Pengantar Ke Arah Filsafat Hukum. Surabaya : Ubhara
Press.
- Mohammad
Nursyam. 1998. “Penjabaran Filsafat Pancasila Dalam Filsafat Hukum.
Sebagai Landasan Pembinaan Hukum Nasional”. Disertasi. Universitas Airlangga Surabaya.
- Padmo Wahyono. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI