Dalam penegakan hukum pidana perikanan menggunakan bahan peledak (bom ikan) masih ditemukan aparat penegak hukum baik dari tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di ruang sidang pengadilan yang didasarkan pada Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Padahal untuk penanganan penegakan
hukum pidana perikanan telah diatur tersendiri oleh Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan.
Penggunaan
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1952 oleh aparat penegak hukum dalam kasus
pidana perikanan menggunakan bahan peledak telah bertentangan dengan asas dan prinsip
hukum sebagai berikut:
Baca Juga: Susanto Pelaku Bom Ikan Dihukum 13 Bulan Penjara oleh PN Donggala
1) Asas lex specialis derogat legi generali.
Asas ini menyatakan bahwa aturan hukum
yang lebih khusus (lex specialis) yaitu Undang-Undang tentang Perikanan
mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum (lex generalis) yaitu
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
2) Prinsip hukum Due Process of Law.
Yaitu
Penegakan hukum harus dilakukan sesuai dengan
prosedur hukum yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Hal
ini untuk menjamin hak-hak terdakwa, hak untuk mendapatkan pembelaan dan hak
untuk diadili secara adil berdasarkan undang-undang yang mengatur khusus
tentang perikanan. Kesalahan prosedur dalam penanganan kasus pidana perikanan tidak
hanya menyebabkan terdakwa bisa mendapatkan stigma negatif sebagai teroris, pembuat
onar dan kerusuhan tetapi juga dapat menyebabkan kerugian negara, baik secara
materiil maupun non materiil.
Terjadinya
kesalahan prosedur dalam penerapan hukum (Due
Process of Law) menggunakan
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dalam penegakan hukum pidana
perikanan menggunakan bahan peledak (bom ikan) menunjukan bahwa masih ditemukan
aparat penegak hukum Indonesia yang belum memahami sepenuhnya keberadaan
Undang-Undang tentang Perikanan yang sudah diberlakukan sejak 22 (dua puluh
dua) tahun yang lalu.
Ada ciri-ciri khusus yang mudah dikenali oleh aparat penegak hukum terhadap
kejahatan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak (bom ikan) sebagai
berikut:
- Tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti) biasanya berada
di tengah laut.
- Nelayan pelaku pengeboman ikan dalam melancarkan aksinya
akan memilih waktu (tempus delicti)
pada siang hari agar
ikan yang mati karena bahan peledak (bom ikan) mudah terlihat dan dapat dengan
mudah ditangkap atau diambil menggunakan serokan ikan.
- Target utama aksi pengeboman adalah
ikan bukan orang.
- Barang bukti yang digunakan oleh nelayan untuk melakukan kejahatan pengeboman ikan pada umumnya adalah sebagai berikut: Perahu atau kapal ikan menggunakan mesin sebagai penggerak utamanya. Bahan bakar minyak (BBM) untuk menggerakan mesin kapal miliknya. Bahan peledak (bom ikan). Mesin kompresor dan selang saluran udara. Kaca mata renang dan fin (kaki katak). Pelampung atau life jacket. Topi renang. Tabung oksigen dan regulatornya untuk menyelam. Serokan ikan. Cool box dan es batu untuk menyimpan ikan hasil pengemboman. Tali kapal. Jangkar perahu / kapal nelayan.
- Alat tangkap ikan berupa jaring atau pancing untuk aksi
penyamaran yang biasanya jumlahnya tidak memadai.
- Barang bukti hasil kejahatan pengeboman ikan adalah ikan dari berbagai jenis dan ukuran. Ikan-ikan yang diperoleh dari aksi pengeboman ikan secara fisual (kasat mata) sangat mudah dikenali karena memiliki tanda-tanda sebagai berikut: terdapat bercak-bercak merah darah di sekitar lingkar matanya,terdapat bercak-bercak merah darah pada seputar ujung sirip dan sisiknya, tulang punggung ikan biasanya patah atau remuk, daging ikan bila ditekan terasa lunak, apabila bagian perut ikan dibelah biasanya gelembung renang ikan sudah pecah.
Berdasarkan kajian ekologi dan sosial ekonomi dari banyak peneliti dibidang ilmu kelautan dan perikanan telah menyimpulkan bahwa penangkapan menggunakan bahan peledak (bom ikan) sangat bersifat merusak dan mengancam kelesatarian sumberdaya ikan dan lingkungannya.
Baca Juga: Environmental Ethic Sebagai Pilar Keadilan Ekologis
Aksi pengeboman ikan yang dilakukan oleh
nelayan yang tidak bertanggung jawab telah menyebabkan ancaman serius sebagai
berikut:
- Membunuh seluruh sumberdaya ikan di area jangkauan bom
ikan tanpa terkecuali tidak hanya membunuh ikan dewasa yang menjadi target
penangkapan tetapi juga membunuh telur-telur ikan yang menempel di dasar
perairan dan seluruh anakan ikan yang terdapat di wilayah perairan yang
terdampak pengeboman ikan.
- Merusak dan membunuh terumbu karang yang memiliki fungsi
ekologi sangat penting sebagai habitat, berlindung, berkembang biak dan mencari
makan seluruh sumberdaya ikan karang. Disamping itu, hamparan terumbu karang
juga memiliki peranan sangat penting sebagai penstabil wilayah pesisir dari
ancaman abrasi pantai. Terumbu karang juga memiliki peranan sebagai produsen
oksigen yang sangat penting bagi kehidupan mahluk hidup di lautan dan manusia.
- Menyebabkan terjadinya pencemaran air laut yang disebabkan
dari bahan kimia bom ikan yang sangat membahayakan bagi kehidupan sumberdaya
ikan dan manusia.
- Sangat merugikan dan mematikan usaha bagi nelayan lainnya
yang menangkap ikan menggunakan alat tangkap ikan ramah lingkungan dan taat
terhadap hukum, karena ekosistem perairan laut menjadi rusak oleh aksi
pengeboman ikan.
- Ikan tangkapan dari aksi pengeboman ikan mengandung residu
bahan berbahaya, seperti ammonium nitrat (NH4NO3), potassium nitrat (KNO3), potassium sianida (KCN) dan
senyawa lainnya yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan manusia jika
dikonsumsi.
- Sangat merugikan usaha dibidang pertanian karena pada
umumnya bahan dasar pembuatan bom ikan berasal dari bahan dasar pupuk urea yang
dibeli oleh nelayan dari toko-toko pertanian.
- Menurunkan potensi penerimaan negara dari pajak dan PNBP Kelautan dan Perikanan.
- Membutuhkan biaya yang sangat mahal yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melakukan pemulihan dan rekayasa engineriing terhadap kawasan ekosistem terumbu karang yang telah mengalami kerusakan oleh aksi pengeboman ikan.
Pelaku kejahatan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak yaitu setiap orang, nakhoda dan pemilik kapal diancam hukuman pidana penjara maksimal 6 (enam) sampai 10 (sepuluh) tahun dan denda maksimal Rp. 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah) sampai Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sebagaimana diatur pada pasal 84 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan berbeda sangat jauh dengan ancaman hukuman bila menggunakan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yaitu berupa ancaman hukuman mati, seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun.
Untuk menghindari terjadinya kekeliruan dan kesalahan prosedur dalam penerapan hukum pada kasus pidana perikanan menggunakan bahan peledak, penulis berpendapat perlu dilakukan koordinasi dan harmonisasi antarlembaga penegakan hukum yang diinisiasi oleh Mahkamah Agung baik di tingkat pusat maupun di tingkat wilayah atau daerah khusus membahas hukum acara pemeriksaan dan ketentuan pemidanaan bagi pelaku tindak kejahatan pidana perikanan menurut Undang-Undang yang mengatur tentang perikanan. (zm/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI