Kebijakan
penerapan keadilan restoratif (restorative
justice) pada sistem peradilan di Indonesia tidak terlepas dari berbagai
kritik yang dilontarkan oleh masyarakat pencari keadilan dan pemerhati hukum
terhadap sistem peradilan pidana yang cenderung bersifat retributif (hukuman)
dan dianggap kurang memperhatikan dampak pada korban dan dampak sosial pada
masyarakat.
Adapun tujuan dari penerapan keadilan restoratif adalah
pemulihan kerugian terhadap korban, baik secara materiil maupun immaterial,
serta pemulihan hubungan antara pelaku dan korban agar tercipta keadilan yang
komprehensif.
Pada perkara pidana perikanan yang menjadi korban langsung
dari kegiatan penangkapan ikan ilegal (illegal
fishing) ini adalah sumberdaya ikan dan lingkungannya. Praktek illegal fishing (Unreported, Unregulated Illegal) Fishing
di Indonesia tidak hanya masalah mencuri ikan, tetapi lebih kejam dari itu
adalah para pelaku illegal fishing
juga telah merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya hingga ke jantung
kehidupannya di kawasan terumbu karang dengan cara-cara penangkapan ikan yang
merusak lingkungan seperti; menggunakan bom ikan, racun, listrik dan alat
tangkap ikan tidak ramah lingkungan.
Baca Juga: Perma RJ Tahun 2024: Mencegah Pergeseran Paradigma Sekadar Perdamaian
Aksi illegal fishing
yang tidak terkendali ini telah menyebabkan terancamnya kelestarian sumberdaya ikan,
rusaknya terumbu karang, hilangnya habitat ikan, terganggunya rantai makanan
dan kontaminasi terhadap ikan hasil tangkapan.
Menurunya populasi sumberdaya ikan dan rusaknya
lingkungan perairan akibat illegal fishing
juga akan berdampak sosial langsung terhadap kehidupan nelayan yang semakin meburuk
karena semakin sulitnya mencari ikan, menurunnya pendapatan, hilangnya
pekerjaan dan bisa menimbulkan konflik sosial. Disisi lain negara juga akan
kehilangan penerimaan pajak dan PNBP dari sektor perikanan yang cukup besar.
Berdasarkan fakta tersebut diatas, mungkinkah restorative justice diterapkan pada
kasus pidana perikanan? Diharapkan melalui proses pemeriksaan di ruang sidang
dapat diputuskan keadilan yang bersifat restoratif dan konprihensif yaitu suatu
bentuk pemidanaan yang tidak hanya menghukum pelakunya tetapi juga mewajibkan
terpidana untuk membayar denda sebagai konpensasi untuk biaya pemulihan dan
rehabilitasi sumberdaya ikan dan lingkungan perairan.
Bentangan dasar laut nusantara akan terus diam walaupun
kekayaan alamnya terus dieksploitasi dengan cara-cara yang curang, hingga
sumberdaya ikan seperti; pari manta, pari gergaji, ikan napoleon, pari jawa, ikan raja laut, hiu paus, dugong,
penyu, paus biru,lumba-lumba moncong panjang dan masih banyak jenis ikan yang
lain terancam punah dan luasan terumbu karang sebagai jantung kehidupan
sumberdaya ikan terus mengalami kerusakan dan menghilang, menunggu sang
pengadil datang melalui putusannya yang restoratif dan berkeadilan sebagai
benteng terakhir penegak keadilan.
Berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dinyakatan pada Pasal
1 sebagai berikut:
- Keadilan Restoratif adalah pendekatan dalam
penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik
korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain
yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan
hanya pembalasan.
- Korban adalah setiap orang yang mengalami
secara langsung penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Selanjutnya dinyatakan dalam Pasal 6 Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara
Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai berikut:
- Hakim menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana di bawah ini:
- tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak
pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua
juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat;
- tindak pidana merupakan delik aduan;
- tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara
dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun;
- tindak pidana dengan
pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil; atau
- tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.
Dengan mencermati pasal 1 dan pasal 6
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dan selanjutnya
membandingkan dengan ketentuan pidana yang diamanatkan dalam Bab XV
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang dituangkan dalam pasal
84, 85, 86, 87, 88, 91, 92, 93, 94 dan ketentuan pidana pada Undang-Undang
Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tentang Perikanan
pada pasal 85, 93 dan 94A, diamanatkan bahwa sanksi pidana penjara bagi pelaku
tindak pidana perikanan adalah rata-rata diatas 5 (lima) tahun dan sanksi
dendanya adalah rata-rata di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dengan
demikian keadilan restoratif (restorative
justice) pada kasus pidana perikanan bila diterapkan secara persis
(leterlek) sebagaimana dimaksud pada Perma Nomor 01 Tahun 2024 tersebut akan
menemui banyak kendala dengan alasan sebagai berikut:
- Korban langsung dari tindak pidana perikanan
adalah sumberdaya ikan dan lingkungannya bukan orang.
- Tindak pidana perikanan
bukan merupakan delik aduan.
- Tindak pidana perikanan
termasuk tindak pidana berat.
- Tindak pidana perikanan diancam hukuman
pidana penjara rata-rata di atas 5 (lima) tahun.
- Tindak pidana perikanan diancam dengan sanksi
denda rata-rata diatas Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
- Tindak pidana perikanan memiliki dampak
negatif meningkatnya keresahan masyarakat yang cukup luas.
- Tindak pidana perikanan memiliki dampak
negatif hilangnya penerimaan negara dari pajak dan PNBP sektor kelautan dan
perikanan.
- Tindak pidana perikanan (illegal fishing) mengancam rusaknya lingkungan dan kelestarian
sumberdaya kelautan dan perikanan negara Indonesia.
Namun demikian semangat keadilan restoratif pada kasus
pidana perikanan tetap menjadi harapan dan tujuan. Berdasarkan amanat Undang-Undang
Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebenarnya
ruh dari keadilan restoratif pada dasarnya telah terakomodir melalui ketentuan
pidana yang bersifat kumulatif yaitu berupa pidana penjara dan denda.
Pidana penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa pada perkara
perikanan adalah merupakan bentuk penghukuman atas kesalahan yang telah
diperbuatnya dan sanksi denda sudah sepatutnya adalah merupakan sejumlah uang
yang harus dibayarkan sebagai konpensasi atas kerusakan sumberdaya ikan dan
lingkungan perairan serta dampak sosial yang timbul karena perbuatannya.
Baca Juga: Tepatkah Penggunaan UU Darurat dalam Perkara Penangkapan Ikan Menggunakan Bahan Peledak?
Oleh karenanya dalam menentukan besaran denda yang harus
dibayarkan oleh terpidana, sepatutnya majelis hakim terlebih dahulu sudah
melakukan valuasi terhadap kerusakan sumberdaya ikan dan lingkungannya serta
dampak sosial akibat perbuatan terdakwa sehingga akan dihasilkan sebuah putusan
berkeadilan yang bersifat restoratif dan inklusif. (ikaw/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI