Cari Berita

Restorative Justice Pada Kasus Pidana Perikanan, Mungkinkah?

Saptoyo-Hakim Ad Hoc Perikanan PN Tual - Dandapala Contributor 2025-09-03 14:00:31
dok. pribadi.

Kebijakan penerapan keadilan restoratif (restorative justice) pada sistem peradilan di Indonesia tidak terlepas dari berbagai kritik yang dilontarkan oleh masyarakat pencari keadilan dan pemerhati hukum terhadap sistem peradilan pidana yang cenderung bersifat retributif (hukuman) dan dianggap kurang memperhatikan dampak pada korban dan dampak sosial pada masyarakat.

Adapun tujuan dari penerapan keadilan restoratif adalah pemulihan kerugian terhadap korban, baik secara materiil maupun immaterial, serta pemulihan hubungan antara pelaku dan korban agar tercipta keadilan yang komprehensif.

Pada perkara pidana perikanan yang menjadi korban langsung dari kegiatan penangkapan ikan ilegal (illegal fishing) ini adalah sumberdaya ikan dan lingkungannya. Praktek illegal fishing (Unreported, Unregulated Illegal) Fishing di Indonesia tidak hanya masalah mencuri ikan, tetapi lebih kejam dari itu adalah para pelaku illegal fishing juga telah merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya hingga ke jantung kehidupannya di kawasan terumbu karang dengan cara-cara penangkapan ikan yang merusak lingkungan seperti; menggunakan bom ikan, racun, listrik dan alat tangkap ikan tidak ramah lingkungan.

Baca Juga: Perma RJ Tahun 2024: Mencegah Pergeseran Paradigma Sekadar Perdamaian

Aksi illegal fishing yang tidak terkendali ini telah menyebabkan  terancamnya kelestarian sumberdaya ikan, rusaknya terumbu karang, hilangnya habitat ikan, terganggunya rantai makanan dan kontaminasi terhadap ikan hasil tangkapan.

Menurunya populasi sumberdaya ikan dan rusaknya lingkungan perairan akibat illegal fishing juga akan berdampak sosial langsung terhadap kehidupan nelayan yang semakin meburuk karena semakin sulitnya mencari ikan, menurunnya pendapatan, hilangnya pekerjaan dan bisa menimbulkan konflik sosial. Disisi lain negara juga akan kehilangan penerimaan pajak dan PNBP dari sektor perikanan yang cukup besar.

Berdasarkan fakta tersebut diatas, mungkinkah restorative justice diterapkan pada kasus pidana perikanan? Diharapkan melalui proses pemeriksaan di ruang sidang dapat diputuskan keadilan yang bersifat restoratif dan konprihensif yaitu suatu bentuk pemidanaan yang tidak hanya menghukum pelakunya tetapi juga mewajibkan terpidana untuk membayar denda sebagai konpensasi untuk biaya pemulihan dan rehabilitasi sumberdaya ikan dan lingkungan perairan.

Bentangan dasar laut nusantara akan terus diam walaupun kekayaan alamnya terus dieksploitasi dengan cara-cara yang curang, hingga sumberdaya ikan seperti; pari manta, pari gergaji, ikan napoleon, pari jawa, ikan raja laut, hiu paus, dugong, penyu, paus biru,lumba-lumba moncong panjang dan masih banyak jenis ikan yang lain terancam punah dan luasan terumbu karang sebagai jantung kehidupan sumberdaya ikan terus mengalami kerusakan dan menghilang, menunggu sang pengadil datang melalui putusannya yang restoratif dan berkeadilan sebagai benteng terakhir penegak keadilan.

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dinyakatan pada Pasal 1 sebagai berikut:

  1. Keadilan Restoratif adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan.
  2. Korban adalah setiap orang yang mengalami secara langsung penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Selanjutnya dinyatakan dalam Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai berikut:

  1. Hakim menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana di bawah ini:
  • tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat;
  • tindak pidana merupakan delik aduan;
  • tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun;
  • tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil; atau
  • tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.

Dengan mencermati pasal 1 dan pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dan selanjutnya membandingkan dengan ketentuan pidana yang diamanatkan dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang dituangkan dalam pasal 84, 85, 86, 87, 88, 91, 92, 93, 94 dan ketentuan pidana pada Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tentang Perikanan pada pasal 85, 93 dan 94A, diamanatkan bahwa sanksi pidana penjara bagi pelaku tindak pidana perikanan adalah rata-rata diatas 5 (lima) tahun dan sanksi dendanya adalah rata-rata di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dengan demikian keadilan restoratif (restorative justice) pada kasus pidana perikanan bila diterapkan secara persis (leterlek) sebagaimana dimaksud pada Perma Nomor 01 Tahun 2024 tersebut akan menemui banyak kendala dengan alasan sebagai berikut:

  1. Korban langsung dari tindak pidana perikanan adalah sumberdaya ikan dan lingkungannya bukan orang.
  2. Tindak pidana perikanan bukan merupakan delik aduan.
  3. Tindak pidana perikanan termasuk tindak pidana berat.
  4. Tindak pidana perikanan diancam hukuman pidana penjara rata-rata di atas 5 (lima) tahun.
  5. Tindak pidana perikanan diancam dengan sanksi denda rata-rata diatas Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  6. Tindak pidana perikanan memiliki dampak negatif meningkatnya keresahan masyarakat yang cukup luas.
  7. Tindak pidana perikanan memiliki dampak negatif hilangnya penerimaan negara dari pajak dan PNBP sektor kelautan dan perikanan.
  8. Tindak pidana perikanan (illegal fishing) mengancam rusaknya lingkungan dan kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan negara Indonesia.

Namun demikian semangat keadilan restoratif pada kasus pidana perikanan tetap menjadi harapan dan tujuan. Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebenarnya ruh dari keadilan restoratif pada dasarnya telah terakomodir melalui ketentuan pidana yang bersifat kumulatif yaitu berupa pidana penjara dan denda.

Pidana penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa pada perkara perikanan adalah merupakan bentuk penghukuman atas kesalahan yang telah diperbuatnya dan sanksi denda sudah sepatutnya adalah merupakan sejumlah uang yang harus dibayarkan sebagai konpensasi atas kerusakan sumberdaya ikan dan lingkungan perairan serta dampak sosial yang timbul karena perbuatannya.

Baca Juga: Tepatkah Penggunaan UU Darurat dalam Perkara Penangkapan Ikan Menggunakan Bahan Peledak?

Oleh karenanya dalam menentukan besaran denda yang harus dibayarkan oleh terpidana, sepatutnya majelis hakim terlebih dahulu sudah melakukan valuasi terhadap kerusakan sumberdaya ikan dan lingkungannya serta dampak sosial akibat perbuatan terdakwa sehingga akan dihasilkan sebuah putusan berkeadilan yang bersifat restoratif dan inklusif. (ikaw/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI