Cari Berita

Keadilan Prosedural: Akses Bantuan Hukum di KUHAP VS RKUHAP

Yudhistira Ary Prabowo - Dandapala Contributor 2025-11-19 08:00:38
Dok. Ist.

Amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya didalam Pasal 28 D ayat (1), menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Berdasarkan ketentuan tersebut, negara berkewajiban memberikan perlakuan hukum yang setara bagi seluruh warga tanpa membedakan suku, agama, ras, status sosial, ekonomi, jabatan atau pangkat [1]. Tujuan dari prinsip ini adalah agar kepastian hukum yang adil dapat dirasakan secara menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia, sesuai dengan asas equality before the law atau asas persamaan dihadapan hukum.   

Sebagai wujud upaya negara dalam memenuhi hak atas jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia, menyediakan mekanisme bantuan hukum. Salah satu bentuk nyata upaya tersebut adalah pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma atau gratis oleh advokat kepada masyarakat yang tidak mampu. Bantuan ini diberikan kepada setiap orang yang menghadapi permasalahan hukum, baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun persidangan di pengadilan.

Pemenuhan akses bantuan hukum bagi tersangka maupun terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan merupakan gagasan yang dipopulerkan pertama kali oleh Hebert L. Packer [2] yang memperkenalkan 2 (dua) model dalam sistem peradilan pidana yaitu due process of law dan crime control model. Model due process of law atau keadilan prosedural ini menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia selama proses hukum berlangsung, berbeda dengan model crime control model yang lebih fokus pada efisiensi dan kecepatan penegakan hukum guna menekan angka kejahatan namun sering kali mengabaikan nilai-nilai hak asasi manusia. Meskipun asas due process of law telah diakui secara internasional dan diadopsi dalam sistem hukum Indonesia melalui konstitusi, penerapannya di lapangan masih menghadapi berbagai kendala. Hambatan tersebut antara lain meliputi penetapan tersangka yang tidak sah, penangkapan dan penahanan yang melanggar prosedur, lamanya proses persidangan, keterbatasan akses pembelaan bagi tersangka atau terdakwa, serta ketimpangan dalam perlakuan hukum.

Baca Juga: Mengenal Konsep Plea Bargaining serta Sistem Jalur Khusus dalam RKUHAP

Terdakwa Dalam Tahap Pemeriksaan Persidangan Berhak Untuk Ditunjuk Penasihat Hukumnya Guna Mendapatkan Pendampingan Hukum Dari Advokat

Pendampingan hukum dari advokat sebagai penasihat hukum sebagaimana maksud di atas, sejatinya telah terakomodir di dalam pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni ”tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melalukan tindak pidana yang ancamannya pidana mati, atau ancaman pidana 15 (lima) belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang di ancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih yang tidak memiliki penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”.

Merujuk pada ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP tersebut di atas [4], dalam praktiknya hakim dalam persidangan tidak jarang menemukan kendala yakni dalam hal ditemukannya kondisi dimana terdakwa didakwa melakukan tindak pidana yang ancaman hukuman kurang dari 5 (lima) tahun penjara dan tidak memiliki penasihat hukum sendiri, sehingga bagaimana penerapan hukumnya jika hakim dipertemukan dalam kondisi demikian?. Menurut praktik yang sudah berjalan, terdapat pandangan hakim dengan memperhatikan secara arif dan bijaksana dalam menemukan kondisi tersebut, akan mengkonfirmasi terhadap terdakwa dengan merujuk pada pasal yang didakwakan terhadapnya dalam hal ancamannya kurang dari 5 (lima) tahun penjara, maka dikarenakan dalam ketentuan KUHAP belum mengatur mengenai hal tersebut, maka hakim pemeriksa perkara akan menawarkan kepada terdakwa apakah akan maju sendiri, menjalani proses persidangan pidana tanpa membatasi hak-hak terdakwa dalam setiap proses tahapannya untuk memberikan tanggapan, keberatan maupun pembelaannya di persidangan atau terdakwa diberikan keleluasaan sendiri untuk mencari atau menggunakan penasihat hukum sesuai kemauannya sendiri.

Dalam hal ditemukan kondisi sebagaimana tersebut di atas, maka demi tercapainya prinsip peradilan yang adil (fair trial) dan khususnya sebagai jaminan pemenuhan hak asasi sebagai individu terhadap terdakwa dimata hukum, maka suatu keniscayaan untuk mengakomodir kepentingan hukum bagi diri terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman dibawah 5 (lima) penjara [5], selain itu dalam perkembangannya terdapat pemutahiran pengaturan, dimana dalam hal ditemukan kondisi serupa, maka dapat terakomodir sebagaimana dalam ketentuan Bagian Kedua, tentang bantuan hukum, pasal 145 Ayat (1) Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) [6] yang akan datang dan tinggal menunggu waktu kapan pengesahannya. Menyebutkan bahwa ”tersangka atau terdakwa yang tidak mampu atau tidak mempunyai advokat sendiri yang diancam dengan pidana kurang dari 5 (lima) tahun, berhak meminta pejabat yang bersangkutan pada setiap tingkat pemeriksaan untuk menunjuk advokat baginya”.

Penutup

Baca Juga: Eddy Hiariej: KUHAP Baru Tidak Boleh Ada Saling Sandera Antar Penegak Hukum

Bahwasanya dengan adanya ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang masih berlaku saat ini atau ius constitutum maupun pasal 145 RKUHAP yang penerapannya baru akan terjadi dimasa yang akan datang ius constituendum yakni bertujuan agar terjamin berjalannya suatu peradilan yang adil (fair trial) dan manusiawi dengan menjunjung tinggi hak asasi bagi diri terdakwa sebagai individu, sebab dengan hadirnya penasihat hukum untuk mendampingi, membela hak-hak hukum bagi terdakwa di persidangan pengadilan dimaksudkan sebagai sarana kontrol, agar selama proses pemeriksaan persidangan tidak ada ancaman, pemaksaan, suatu sikap yang memandang terdakwa sudah sebagai orang yang jahat atau terpenuhinya asas praduga bersalah (presumption of guilty), sehingga menyebabkan proses peradilan menjadi cacat hukum karena terdapat pelanggaran hak asasi manusia. (snr)

Referensi

  1. Dyah Devina Maya Ganindra, Website Pengadilan Negeri Sumedang (pn-sumedang.go.id), 2020, Akibat Hukum Tidka Dilaksanakannya Pasal 56 KUHAP Tentang Penunjukan Penasihat Hukum Bagi Terdakwa, diakses pada tanggal 31 Oktober 2025, pukul 11.26 WIT, https://pn-sumedang.go.id/akibat-hukum-tidak-dilaksanakannya-pasal-56-kuhap-tentang-penunjukkan-penasihat-hukum-bagi-terdakwa.
  2. Eddy O.S Hiariej, Beberapa Catatan RUU KUHAP Dalam Hubungannya Dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diakses pada tanggal 11 November 2025, pukul 17.42 WIT, https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Eddy%2520OS%2520Hiariej-Beberapa%2520Catatan%2520RUU%2520KUHAP%2520dalam%2520Hubungannya%2520dengan%2520Pemberantasan%2520Tindak%2520Pidana%2520Korupsi.pdf.
  3. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
  4. Mosgan Situmorang, Penelitian Hukum: Tanggung Jawab Negara dan Advokat dalam Memberikan Bantuan Hukum Kepada Masyarakat, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2011, hlm. 4.
  5. M. Arief Amrullah, Ainul Azizah, Yougha Aulia Mahardi, Prinsip Keadilan Terhadap Pengecualian Bagi Pelaku Tindak Pidana Yang Diancam Pidana Dibawah 5 Tahun, Jember, Aladalah:Jurnal Politik, Sosial, Hukum dan Humaniora, Volume 2, tanggal 4 Oktober 2024, hlm. 4.
  6. Rancangan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tentang Hukum Acara Pidana.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…