Sisi Batin dari Sebuah Perbuatan
Pasal 54 huruf KUHP Nasional menghadirkan sebuah tugas yang
sekaligus mulia dan menantang bagi hakim, mempertimbangkan "sikap batin Pelaku”
dalam melakukan tindak pidana" sebagai dasar menentukan apakah seseorang
layak dipidana atau diberi tindakan.
Bagi seorang hakim, keadilan bukanlah hasil perhitungan matematis.
Ia lahir dari keseimbangan antara norma dan nurani, antara logika hukum dan
kejujuran hati.
Ketika KUHP baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023) diundangkan, seharusnya
para hakim tertegun membaca Pasal 54 huruf C yang secara tegas menyebutkan hakim
dapat mempertimbangkan sikap batin pelaku sebelum menjatuhkan pidana atau
tindakan.
Baca Juga: Instrumen Mengukur Integritas Hakim
Sebuah kalimat pendek, tetapi dampaknya sangat besar: negara kini
menuntut hakim tidak hanya menilai apa yang dilakukan pelaku, tetapi
juga mengapa dan dengan kesadaran seperti apa perbuatan itu
terjadi.
Kaidah tersebut, tentu bukan sekadar pasal teknis, melainkan
pengakuan mendalam bahwa hukum pidana harus melampaui perbuatan lahiriah dan
menyentuh dimensi kemanusiaan pelaku. Namun, pertanyaannya mengemuka, bagaimana
mengukur sesuatu yang tak terlihat? Bagaimana hakim memasuki ruang batin
seseorang tanpa terjebak dalam subjektivitas yang mengancam kepastian hukum?
Kompleksitas yang Tersembunyi
Mengukur sikap batin pelaku sesungguhnya adalah mengurai
lapisan-lapisan kesadaran yang kompleks. Seorang pelaku pencurian mungkin
menunjukkan penyesalan di persidangan, tetapi apakah itu cerminan kesadaran
moral sejati atau strategi bertahan? Pelaku kekerasan yang tenang mungkin
tampak tidak menyesal, padahal ia sedang bergulat dengan trauma yang belum
terungkap. Di sinilah hakim menghadapi dilema epistemologis, bagaimana
membedakan antara sikap batin yang autentik dengan yang performatif?
Tantangan ini semakin pelik ketika kita menyadari bahwa sikap batin
adalah entitas yang dinamis, bukan statis. Seseorang yang melakukan tindak
pidana dalam kondisi afek yang meledak-ledak memiliki sikap batin yang berbeda
dengan pelaku yang merencanakan kejahatan secara sistematis. Namun keduanya
sama-sama dapat menunjukkan penyesalan di kemudian hari. Pertanyaannya: sikap
batin yang mana yang harus diukur, saat perbuatan, setelah tertangkap, atau
saat persidangan?
Kerangka Indikator: Dari Abstrak Menuju
Konkret
Untuk menjembatani jurang antara abstraksi konseptual dan realitas
persidangan, hakim memerlukan kerangka indikator yang terstruktur namun
fleksibel. Menurut penulis pengukuran sikap batin dapat didekati melalui
beberapa dimensi yang saling melengkapi:
Pertama, dimensi kognitif, sejauh mana pelaku memahami makna dan konsekuensi perbuatannya.
Indikatornya meliputi kemampuan pelaku menjelaskan alasan perbuatan, kesadaran
akan larangan hukum, dan pemahaman dampak terhadap korban. Pelaku dengan
gangguan jiwa yang tidak memahami realitas memiliki sikap batin yang berbeda
fundamental dengan pelaku yang sadar penuh namun memilih melanggar hukum.
Kedua, dimensi afektif yakni respons
emosional pelaku terhadap perbuatannya. Hakim perlu mengamati kualitas
penyesalan, apakah dangkal dan ritualistik, atau mendalam dan transformatif?
Empati terhadap korban, kesediaan untuk memulihkan kerusakan, dan perubahan
sikap selama proses peradilan menjadi indikator penting. Namun hakim harus
waspada, tidak semua orang mengekspresikan emosi dengan cara yang sama. Latar
belakang budaya, trauma, dan kondisi psikologis dapat memengaruhi ekspresi
emosional.
Ketiga, dimensi motivasional yakni dorongan yang menggerakkan perbuatan. Apakah pelaku
termotivasi oleh keserakahan, balas dendam, tekanan ekonomi, atau bahkan
altruisme yang keliru? Motivasi yang berbeda menuntut respons pemidanaan yang
berbeda pula. Pencuri karena kelaparan memiliki sikap batin yang berbeda dengan
pencuri yang digerakkan oleh hedonisme, meskipun perbuatan lahiriahnya identik.
Keempat, dimensi volitif dalam hal ini kebebasan kehendak dalam melakukan perbuatan.
Seberapa besar tekanan eksternal yang dihadapi pelaku? Apakah ia bertindak
dalam situasi yang sangat terbatas pilihannya, atau memiliki alternatif namun
memilih jalan kriminal? Indikator ini mengukur derajat kebebasan moral pelaku.
Kelima, dimensi prospektif yakni potensi perubahan perilaku di masa depan. Ini mencakup
kesediaan pelaku mengikuti program rehabilitasi, dukungan sosial yang tersedia,
riwayat kriminal, dan tanda-tanda transformasi personal. Dalam teori pidana
bermanfaat, dimensi ini menentukan apakah pidana atau tindakan akan lebih
efektif mencegah residivisme.
Instrumen Pendukung: Memperkuat Validitas
Penilaian
Untuk memperkuat validitas pengukuran, hakim dapat memanfaatkan
instrumen pendukung. Laporan penelitian kemasyarakatan (litmas)
memberikan konteks sosial-ekonomi yang mempengaruhi sikap batin. Visum et
repertum psychiatricum mengungkap kondisi mental yang mungkin tidak
terlihat dalam persidangan. Keterangan ahli psikologi forensik membantu
mengurai dinamika psikologis pelaku. Kesaksian keluarga, korban, dan masyarakat
memberikan perspektif multipel tentang karakter pelaku.
Namun, semua instrumen ini harus digunakan dengan kearifan. Hakim
bukan robot yang menghitung skor dari daftar indikator, melainkan manusia yang
melakukan penilaian holistik berdasarkan pertimbangan yang matang. Setiap kasus
adalah unik, dan sikap batin pelaku harus dipahami dalam konteksnya yang
spesifik.
Utamanya, dalam mengukur sikap batin, hakim harus menerapkan
prinsip kehati-hatian. Ketika terdapat keraguan, hakim perlu mencari
klarifikasi lebih lanjut daripada membuat asumsi. Penilaian sikap batin harus
didukung oleh alat bukti yang memadai dan diuraikan dalam pertimbangan putusan
secara transparan. Ini bukan hanya soal akuntabilitas, tetapi juga tentang
memberikan kepastian kepada para pihak bahwa keputusan diambil berdasarkan
pertimbangan yang rasional dan terukur.
Lebih dari itu, hakim harus menyadari bias kognitif yang dapat
memengaruhi penilaian. Confirmation bias dapat membuat hakim mencari
bukti yang mengonfirmasi kesan awal. Halo effect dapat membuat
penampilan atau cara bicara pelaku memengaruhi penilaian sikap batin. Kesadaran
akan bias ini adalah langkah pertama untuk memitigasinya.
Penutup: Keadilan yang Humanis
Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru
Pasal 54 huruf c KUHP Nasional mengundang hakim untuk tidak
berhenti pada permukaan perbuatan, tetapi menyelami kedalaman kemanusiaan
pelaku. Mengukur sikap batin adalah seni dan sains sekaligus, memerlukan
kerangka objektif namun juga kebijaksanaan intuitif yang lahir dari pengalaman
dan empati. Dalam teori pidana bermanfaat, ketepatan mengukur sikap batin
menentukan efektivitas sanksi dalam mencegah kejahatan dan merehabilitasi
pelaku.
Tantangannya memang berat, tetapi di situlah letak kemuliaan tugas hakim, menemukan keadilan yang tidak hanya menghukum perbuatan, tetapi juga membuka jalan bagi transformasi manusia. Ketika hakim berhasil mengukur sikap batin dengan cermat, pemidanaan berhenti menjadi sekadar nestapa, dan berubah menjadi instrumen keadilan yang benar-benar bermanfaat bagi pelaku, korban, dan masyarakat. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI