Cari Berita

Sikap Batin Pelaku dalam KUHP Nasional: Mengukur Sesuatu Tak Terlihat oleh Hakim

Muamar Azmar Mahmud Farig - Dandapala Contributor 2025-10-17 15:30:27
Dok. Penulis.

Sisi Batin dari Sebuah Perbuatan

Pasal 54 huruf KUHP Nasional menghadirkan sebuah tugas yang sekaligus mulia dan menantang bagi hakim, mempertimbangkan "sikap batin Pelaku” dalam melakukan tindak pidana" sebagai dasar menentukan apakah seseorang layak dipidana atau diberi tindakan.

Bagi seorang hakim, keadilan bukanlah hasil perhitungan matematis. Ia lahir dari keseimbangan antara norma dan nurani, antara logika hukum dan kejujuran hati.
Ketika KUHP baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023) diundangkan, seharusnya para hakim tertegun membaca Pasal 54 huruf C yang secara tegas menyebutkan hakim dapat mempertimbangkan sikap batin pelaku sebelum menjatuhkan pidana atau tindakan.

Baca Juga: Instrumen Mengukur Integritas Hakim

Sebuah kalimat pendek, tetapi dampaknya sangat besar: negara kini menuntut hakim tidak hanya menilai apa yang dilakukan pelaku, tetapi juga mengapa dan dengan kesadaran seperti apa perbuatan itu terjadi.

Kaidah tersebut, tentu bukan sekadar pasal teknis, melainkan pengakuan mendalam bahwa hukum pidana harus melampaui perbuatan lahiriah dan menyentuh dimensi kemanusiaan pelaku. Namun, pertanyaannya mengemuka, bagaimana mengukur sesuatu yang tak terlihat? Bagaimana hakim memasuki ruang batin seseorang tanpa terjebak dalam subjektivitas yang mengancam kepastian hukum?

Kompleksitas yang Tersembunyi

Mengukur sikap batin pelaku sesungguhnya adalah mengurai lapisan-lapisan kesadaran yang kompleks. Seorang pelaku pencurian mungkin menunjukkan penyesalan di persidangan, tetapi apakah itu cerminan kesadaran moral sejati atau strategi bertahan? Pelaku kekerasan yang tenang mungkin tampak tidak menyesal, padahal ia sedang bergulat dengan trauma yang belum terungkap. Di sinilah hakim menghadapi dilema epistemologis, bagaimana membedakan antara sikap batin yang autentik dengan yang performatif?

Tantangan ini semakin pelik ketika kita menyadari bahwa sikap batin adalah entitas yang dinamis, bukan statis. Seseorang yang melakukan tindak pidana dalam kondisi afek yang meledak-ledak memiliki sikap batin yang berbeda dengan pelaku yang merencanakan kejahatan secara sistematis. Namun keduanya sama-sama dapat menunjukkan penyesalan di kemudian hari. Pertanyaannya: sikap batin yang mana yang harus diukur, saat perbuatan, setelah tertangkap, atau saat persidangan?

Kerangka Indikator: Dari Abstrak Menuju Konkret

Untuk menjembatani jurang antara abstraksi konseptual dan realitas persidangan, hakim memerlukan kerangka indikator yang terstruktur namun fleksibel. Menurut penulis pengukuran sikap batin dapat didekati melalui beberapa dimensi yang saling melengkapi:

Pertama, dimensi kognitif, sejauh mana pelaku memahami makna dan konsekuensi perbuatannya. Indikatornya meliputi kemampuan pelaku menjelaskan alasan perbuatan, kesadaran akan larangan hukum, dan pemahaman dampak terhadap korban. Pelaku dengan gangguan jiwa yang tidak memahami realitas memiliki sikap batin yang berbeda fundamental dengan pelaku yang sadar penuh namun memilih melanggar hukum.

Kedua, dimensi afektif yakni respons emosional pelaku terhadap perbuatannya. Hakim perlu mengamati kualitas penyesalan, apakah dangkal dan ritualistik, atau mendalam dan transformatif? Empati terhadap korban, kesediaan untuk memulihkan kerusakan, dan perubahan sikap selama proses peradilan menjadi indikator penting. Namun hakim harus waspada, tidak semua orang mengekspresikan emosi dengan cara yang sama. Latar belakang budaya, trauma, dan kondisi psikologis dapat memengaruhi ekspresi emosional.

Ketiga, dimensi motivasional yakni dorongan yang menggerakkan perbuatan. Apakah pelaku termotivasi oleh keserakahan, balas dendam, tekanan ekonomi, atau bahkan altruisme yang keliru? Motivasi yang berbeda menuntut respons pemidanaan yang berbeda pula. Pencuri karena kelaparan memiliki sikap batin yang berbeda dengan pencuri yang digerakkan oleh hedonisme, meskipun perbuatan lahiriahnya identik.

Keempat, dimensi volitif dalam hal ini kebebasan kehendak dalam melakukan perbuatan. Seberapa besar tekanan eksternal yang dihadapi pelaku? Apakah ia bertindak dalam situasi yang sangat terbatas pilihannya, atau memiliki alternatif namun memilih jalan kriminal? Indikator ini mengukur derajat kebebasan moral pelaku.

Kelima, dimensi prospektif yakni potensi perubahan perilaku di masa depan. Ini mencakup kesediaan pelaku mengikuti program rehabilitasi, dukungan sosial yang tersedia, riwayat kriminal, dan tanda-tanda transformasi personal. Dalam teori pidana bermanfaat, dimensi ini menentukan apakah pidana atau tindakan akan lebih efektif mencegah residivisme.

Instrumen Pendukung: Memperkuat Validitas Penilaian

Untuk memperkuat validitas pengukuran, hakim dapat memanfaatkan instrumen pendukung. Laporan penelitian kemasyarakatan (litmas) memberikan konteks sosial-ekonomi yang mempengaruhi sikap batin. Visum et repertum psychiatricum mengungkap kondisi mental yang mungkin tidak terlihat dalam persidangan. Keterangan ahli psikologi forensik membantu mengurai dinamika psikologis pelaku. Kesaksian keluarga, korban, dan masyarakat memberikan perspektif multipel tentang karakter pelaku.

Namun, semua instrumen ini harus digunakan dengan kearifan. Hakim bukan robot yang menghitung skor dari daftar indikator, melainkan manusia yang melakukan penilaian holistik berdasarkan pertimbangan yang matang. Setiap kasus adalah unik, dan sikap batin pelaku harus dipahami dalam konteksnya yang spesifik.

Utamanya, dalam mengukur sikap batin, hakim harus menerapkan prinsip kehati-hatian. Ketika terdapat keraguan, hakim perlu mencari klarifikasi lebih lanjut daripada membuat asumsi. Penilaian sikap batin harus didukung oleh alat bukti yang memadai dan diuraikan dalam pertimbangan putusan secara transparan. Ini bukan hanya soal akuntabilitas, tetapi juga tentang memberikan kepastian kepada para pihak bahwa keputusan diambil berdasarkan pertimbangan yang rasional dan terukur.

Lebih dari itu, hakim harus menyadari bias kognitif yang dapat memengaruhi penilaian. Confirmation bias dapat membuat hakim mencari bukti yang mengonfirmasi kesan awal. Halo effect dapat membuat penampilan atau cara bicara pelaku memengaruhi penilaian sikap batin. Kesadaran akan bias ini adalah langkah pertama untuk memitigasinya.

Penutup: Keadilan yang Humanis

Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

Pasal 54 huruf c KUHP Nasional mengundang hakim untuk tidak berhenti pada permukaan perbuatan, tetapi menyelami kedalaman kemanusiaan pelaku. Mengukur sikap batin adalah seni dan sains sekaligus, memerlukan kerangka objektif namun juga kebijaksanaan intuitif yang lahir dari pengalaman dan empati. Dalam teori pidana bermanfaat, ketepatan mengukur sikap batin menentukan efektivitas sanksi dalam mencegah kejahatan dan merehabilitasi pelaku.

Tantangannya memang berat, tetapi di situlah letak kemuliaan tugas hakim, menemukan keadilan yang tidak hanya menghukum perbuatan, tetapi juga membuka jalan bagi transformasi manusia. Ketika hakim berhasil mengukur sikap batin dengan cermat, pemidanaan berhenti menjadi sekadar nestapa, dan berubah menjadi instrumen keadilan yang benar-benar bermanfaat bagi pelaku, korban, dan masyarakat. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI