Cari Berita

Revisi RUU KUHAP di Ruang Bedah Moral: Keadilan atau Prosedural?

Ayu Cahyani Sirait-Hakim PN Kota Bumi - Dandapala Contributor 2025-11-14 08:00:05
Dok. penulis.

Pendahuluan

Sistem peradilan pidana Indonesia masih bertumpu pada KUHAP 1981 yang sudah menua dan menyimpan sejumlah prosedur yang dinilai diskriminatif. Meski pernah menggantikan HIR (Het Indische Reglement) yang bernafaskan kolonial, KUHAP belum sepenuhnya menjawab kebutuhan masyarakat. Penyusunan RUU KUHAP dipandang sebagai langkah historis untuk menegaskan kembali HAM sebagai dasar dan arah penyelenggaraan peradilan pidana (due process of law).

Desakan pembaruan ini semakin kuat di tengah merosotnya integritas aparat penegak hukum (APH) dan menurunnya kepercayaan publik. Menurut data Badan Pusat Statistik 2023, tingginya penyimpangan dalam praktik penegakan hukum, penyalahgunaan kewenangan dan diskriminasi terhadap kelompok rentan. Hal ini tidak hanya mencerminkan kegagalan prosedural, tetapi juga krisis moral APH.

Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law

Rendahnya integritas yang berkaitan erat dengan lemahnya identitas moral, berdampak pada perilaku menyimpang serta merosotnya sistem hukum. Dengan kata lain, pembaruan hukum tidak mungkin berhasil tanpa disertai pembaruan moral APH.

Regulasi berfungsi sebagai standar etis, membatasi dan mengarahkan penggunaan kekuasaan oleh APH. Pertanyaan kemudian muncul, apakah RUU KUHAP hanya sekadar perbaikan teknis prosedural atau juga merupakan bedah moral bagi APH? Sebab tanpa pembaharuan etis, reformasi KUHAP hanya menjadi kosmetik normatif yang tak menyentuh akar persoalan dan dapat menghasilkan cedera moral (Moral Injury).

Tidak hanya bagi APH, tetapi juga mereka yang menyaksikan pelanggaran tersebut dan menimbulkan kerugian moral (moral harm) bagi masyarakat. Oleh karena itu, hukum tidak akan bermakna apabila berada di tangan APH yang kehilangan moralitas dan krisis ini menempatkan pembentukan karakter moral sebagai pusat pembaruan sistem peradilan pidana.

1.     Problematika Penegakan Hukum

Lawrence M. Friedman menawarkan konsep penegakan hukum yang ideal mencakup Legal Substance, Legal Structure dan Legal Culture. Dimana efektivitas hukum tidak dipahami hanya dari ketentuan normatif, melainkan juga keseluruhan sistem yang mengoperasionalkan norma tersebut. Sehingga hukum dipahami bukan sebagai dokumen statis, tetapi sistem yang saling terkait dan bergantung satu sama lain.

Betapa pun ideal rumusan dan desain substansi hukum, tetap hanyalah sebuah instrumen yang memperoleh makna dan daya kerja melalui APH yang menerapkannya. Banyak berpendapat hukum harus bermoral, tapi bukankah moralitas bergantung pada APH yang menggunakannya? Sebagai contoh analogi klasik mengilustrasikan hukum seperti pisau yang digunakan untuk memotong atau bahkan melukai seseorang.

Masalah utama bukan pada pisaunya, tetapi tangan yang menggerakkannya. Dari sinilah persoalan beralih dari Legal Substance ke Legal Structure. APH kerap menggunakan moral reasoning, seperti moral decoupling untuk memisahkan penilaian moral dari kinerja profesional dan membenarkan tindakan yang secara batiniah disadari sebagai kesalahan. Maka sebaik apapun regulasi, akan kehilangan makna tanpa moralitas APH yang menjadi penentu utama penerapannya, termasuk dalam konteks KUHAP.

Di sinilah pentingnya moral, yakni karakter internal yang mengarahkan keputusan etis melalui moral voice. Tanpa hal ini, kemampuan berpikir moral tidak cukup menahan perilaku maladaptif saat APH berada di bawah tekanan. Tuntutan moral tersebut tercermin dalam ilustrasi Film Music Box, menampilkan tokoh Ann Talbot yang memilih kebenaran substantif.

Selain itu, kisah Chiune Sugihara diplomat Jepang yang melanggar prosedur demi menyelamatkan ribuan nyawa. Hal ini menunjukkan bahwa moralitas kerap menuntut keberanian untuk menyeberangi batas prosedur. Kegagalan memilih secara etis dapat menimbulkan moral injury atau moral tensions yakni benturan antara tuntutan prosedur dan keadilan substantif. Pilar terakhir yakni Legal Culture masih rapuh, rendahnya literasi hukum publik kerap menimbulkan salah persepsi terhadap putusan pengadilan. Kasus ABH di Palembang, dipidana maksimal sesuai UU SPPA. Banyak pihak menganggapnya tidak adil, karena tidak dikenakan pidana mati. Hal ini menandakan, masyarakat belum memahami prinsip keadilan prosedural.

2.    Moralitas APH sebagai Ruh KUHAP

Hubungan hukum dan moral menjadi inti persoalan reformasi penegakan hukum di Indonesia. Perdebatan klasik antara Lon L.Fuller dan H.L.A.Hart menunjukkan bahwa moralitas tidak dapat dipisahkan dari hukum. Fuller menegaskan hukum hanya sah bila memuat prinsip moral yang membuatnya layak ditaati, sebaliknya Hart memisahkan validitas hukum dari moralitas tetapi mengakui moral sebagai sarana kritik terhadap hukum positif.

Pandangan Hart sering disalahartikan sebagai pembenaran kepatuhan prosedural tanpa integritas moral. Oleh karena itu, integritas moral APH menjadi krusial terutama ketika menghadapi moral tensions yaitu ketegangan antara patuh prosedur atau mengikuti nurani demi keadilan substantif.

Sebagian APH terjebak pada moral decoupling, yaitu mekanisme kognitif yang memisahkan penilaian moral dari tindakan profesional, sehingga perilaku tidak etis dianggap wajar. Untuk mengatasi moral decoupling, diperlukan aktivasi moral voice sebagai regulator internal yang mencegah penyimpangan meski ada tekanan sistem. Keberanian mengikuti suara moral, meskipun berpotensi bertentangan dengan prosedur merupakan wujud moralitas APH sebagai ruh KUHAP. Ketika moralitas dihadirkan dalam tindakan nyata, maka APH telah memulihkan moral legitimacy institusi hukum yang akhirnya memperkuat budaya hukum.

Adagium Fiat Justitia Ruat Caelum mengingatkan keadilan tak berhenti pada ritual prosedur, dan mekanisme hukum tidak boleh berubah menjadi penjara bagi kebenaran. Sistem hukum yang hanya mengejar kepatuhan teknis justru kehilangan moral legitimacy, karena legitimasi moral lahir bukan dari ritual kepatuhan tetapi dari dampak nyata terhadap manusia yang dilayani hukum.

Ketika prosedur berjalan tanpa moral, hukum kehilangan tujuannya dan ketika moral bergerak tanpa prosedur, ketidakpastian menjadi hantu perusak. Sebagai mana moral burden bagi APH, terjepit antara kepatuhan formal dan keadilan substantif. Oleh karena itu, RUU KUHAP bukan sekadar penataan teknis, melainkan pekerjaan moral yang memastikan prosedur menjadi jembatan menuju keadilan, bukan sumber dilema etik yang berulang.

Paus Fransiskus menyuarakan dalam Laudato Si’ yakni perubahan besar tidak akan terjadi tanpa perubahan dalam diri setiap orang. Sehinga memerlukan pertobatan ekologis yang dimulai dari hati dan kehidupan pribadi, kemudian menular ke keluarga, lingkungan sekitar dan akhirnya kepada masyarakat luas. Selain itu, Fakultas Hukum memegang peran sentral sebagai ibu kandung para APH, tempat hakim, jaksa, advokat dan polisi dibentuk. Sehingga Fakultas Hukum harus menjadi ruang yang menanamkan keberanian moral dan penghormatan martabat manusia. Proses membentuk moral sensitivity yakni kemampuan mengenali dilema etis, tumbuh melalui pendidikan berkelanjutan dan membentuk APH yang menghidupi semboyan Serviens in Lumine Veritatis yakni melayani dalam cahaya kebenaran.

Penutup

Kesimpulan

RUU KUHAP bukan hanya perbaikan prosedur, tetapi pembaruan moral yang menempatkan APH dan masyarakat sebagai pusat keadilan. Hukum yang baik tak berarti tanpa integritas pelaksana, karena moralitaslah yang memberi daya korektif bagi APH. Penyimpangan yang terjadi menandakan krisis integritas, hanya dapat diatasi melalui penguatan karakter moral, refleksi etis dan keberanian mengutamakan keadilan substantif di atas prosedur yang kering. Budaya hukum perlu diperkuat agar persepsi keadilan tidak tersesat oleh rendahnya literasi hukum. Tanpa kedewasaan budaya hukum, penerapan hukum berbasis HAM dapat tampak tidak adil meski secara substansi sudah benar.

Saran

Fakultas hukum perlu menempatkan etika dan moral sebagai fondasi pembentukan karakter, melahirkan lulusan bukan saja cerdas tetapi juga berintegritas. Pembenahan hukum juga menuntut penguatan akuntabilitas APH melalui sistem pengawasan yang transparan, efektif, mudah diakses serta tegas dalam menindak penyimpangan. Di saat yang sama, literasi hukum masyarakat harus ditingkatkan agar publik memahami hak, kewajiban dan proses peradilan, sehingga penilaian terhadap hukum tidak ditentukan oleh opini keliru maupun emosi sesaat. Selain itu, penyusunan RUU KUHAP perlu diarahkan pada penghormatan HAM dan memperkuat due process of law, agar hukum acara menjadi ruang keadilan bukan instrumen represif. (ldr)

Daftar Pustaka:

Damste Carlijn,dkk. 2025. Moral tensions when providing care to MDRO carriers: A qualitative study among health care providers in Dutch hospitals and nursing homes. American Journal of Infection Control.

Ensiklik Paus Fransiskus, 2015. Laudato Si’ Terpujilah Engkau, No. 202-211.

Hernández Isabel Briz. 2025. The genomic promise of cancer as not yet treatable and the moral burden of trying. Social Science & Medicine.

Hurst Bree,dkk. 2025. Signaling cognitive and moral legitimacy by a voluntary environmental program: Navigating the diffusion impact paradox. Public Relations Review.

Jedicke Eva Maria,dkk. 2025. The dynamics of consumer boycott intention: Examining the roles of moral reasoning, cognitive dissonance, and self-congruence. Journal of Business Research.

Juan Roldán,dkk. 2025. Moral sensitivity of nursing students: Adaptation and validation of the Campillo's tool. Nurse Education in Practice.

Ramos Vera C,dkk. 2025. A multinational study of social attitudes, moral beliefs, and personality traits: A network analysis approach. Personality and Individual Differences. Amsterdam: Elsevier.

Smith, A. 2025. Not all bathrooms are created Equal: Moral experiences of maneuvering in inaccessible infrastructure with physical disability. SSM - Qualitative Research in Health, Amsterdam: Elsevier.

Telkamp, J.B dkk. 2025. Bringing personality into ethics: Is a moral identity mainly a desire to be agreeable? Personality and Individual Differences, Amsterdam: Elsevier.

Baca Juga: Pengaturan Penahanan dalam RUU KUHAP: Perbandingan dengan KUHAP Belanda

Vaknin, O dkk. 2025. Beyond right and wrong: A New Theoretical Model for Understanding Moral Injury. European Journal of Trauma & Dissociation. Amsterdam: Elsevier.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Tag
Memuat komentar…