Cari Berita

PN Pulau Punjung Vonis Penjara Pelaku Percobaan Persetubuhan Anak Disabilitas

article | Berita | 2025-06-11 10:00:05

Dharmasraya – Pengadilan Negeri Pulau Punjung menjatuhkan vonis pidana penjara selama 5 tahun dan denda sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), subsider pidana kurungan pengganti selama 6 bulan kepada tukang perabot berinisial L (30 tahun) yang merupakan warga Dharmasraya. Putusan dibacakan dalam sidang terbuka pada Selasa, 10 Juni 2025, setelah seluruh rangkaian proses persidangan dilakukan.“Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan percobaan dengan kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya", bunyi rilis berita dari PN Pulau Punjung.yang diterima Tim DANDAPALA.Lebih lanjut, dalam rilis tersebut peristiwa ini terjadi pada Sabtu malam, 2 Maret 2024, sekitar pukul 20.00 WIB di rumah anak korban yang merupakan anak perempuan penyandang disabilitas. Saat itu, korban yang berusia 16 tahun sedang bermain telepon genggam di ruang tengah rumahnya. Terdakwa masuk ke dalam rumah melalui kamar korban, lalu langsung melakukan kekerasan fisik. Berdasarkan fakta persidangan, terdakwa menutup mulut anak korban, kemudian mengambil seng bekas penyangga obat nyamuk bakar dan menyayatkan benda tersebut ke leher anak korban. Ia juga membenturkan kepala anak korban ke lantai lebih dari satu kali, dengan tujuan agar Anak Korban mau melakukan persetubuhan dengannya. Terdakwa kemudian mencoba membuka pakaian bagian bawah anak korban dan mencium anak korban sebagai bagian dari upaya melakukan tindakan persetubuhan tersebut. Namun anak korban melakukan perlawanan dan berhasil melarikan diri ke rumah tetangga untuk meminta pertolongan.Majelis Hakim mempertimbangkan beberapa hal yang memberatkan, yakni bahwa perbuatan Terdakwa dilakukan terhadap anak yang merupakan penyandang disabilitas, dan perbuatan tersebut telah menimbulkan penderitaan fisik dan psikis bagi anak korban. Sementara itu, hal-hal yang meringankan adalah Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya serta Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga. “Putusan ini menjadi pengingat bahwa perlindungan terhadap anak, terutama mereka yang berada dalam kondisi rentan seperti penyandang disabilitas, adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Pengadilan menegaskan bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap anak merupakan pelanggaran serius terhadap hukum dan nilai-nilai kemanusiaan, yang harus diberikan sanksi secara tegas demi keadilan dan efek jera”, kata penutup dalam rilis berita tersebut. (fac)

AI (artificial intelligence): Alat Bantu Dalam Pengambilan Putusan Hakim

article | Opini | 2025-03-24 08:30:36

Pernahkah kita membayangkan menjadi aparatur peradilan pada tahun 1980an? tentunya semua tugas yudisial harian dilakukan secara manual, baik dari proses registrasi perkara, distribusi, persidangan, pembuatan putusan sampai pemberitahuan putusan. Saat itu mungkin mesin ketik masih dapat dihitung jumlahnya yang tersedia di pengadilan-pengadilan kita. Bandingkan dengan tugas yudisial kita saat ini sudah sangat lekat dengan teknologi dan sistem informasi, bahkan proses manual hanya sebagai backup & mitigasi jika terdapat error pada sistem informasi. Dalam jangka waktu ini pekerjaan teknis yudisial di pengadilan sudah berubah hampir 180 derajat. Perkembangan penggunaan teknologi informasi di pengadilan meningkat pesat semenjak  tahun 2019 sampai saat ini.Terdapat 4 aplikasi utama saat ini terkait proses peradilan yang dipergunakan di lingkungan Mahkamah Agung (MA) dan peradilan dibawahnya seperti SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara), E-Court, E-Berpadu, dan Direktori Putusan. Selain itu terdapat puluhan aplikasi lain yang beragam bentuk dan penggunaannya. Disadari atau tidak semua aplikasi yang digunakan saat ini masih terbatas pada mempermudah proses mengadministrasikan perkara dan belum menyentuh pada proses pengambilan keputusan hakim.“Ius est ars boni et aequi” hukum adalah seni menerapkan keadilan dan hal-hal yang baik. Adagium ini memberikan pandangan bagi kita bahwa salah satu tugas hakim dalam memutus perkara harus didasari atas “seni”, yang mana seni memerlukan rasa yang bersumber dari hati manusia. Saat ini hakim dituntut harus memiliki kemampuan seni untuk mengolah rasa dan teknologi sesuai perkembangan zaman secara bersamaan. Dalam praktik keseharian kita saat ini, hampir dapat dipastikan hakim mengandalkan referensi hukum dan ketentuan hukum yang didapatkan dari internet, baik yang dikeluarkan secara resmi oleh MA dalam Direktori Putusan, website, dll, maupun dari sumber-sumber lain yang tersedia secara bebas menggunakan peramban seperti “Google”, “Safari” dan yang mungkin lebih canggih lagi yang dilengkapi dengan AI (artificial intelligence) seperti Microsoft Copilot, ChatGPT, BingAI, dll.Perkembangan teknologi yang pesat ini mungkin sekali lagi akan mengubah wajah peradilan kita 10 tahun kedepan yang menyasar kerja-kerja teknis yudisial seperti pengambilan putusan. Hal ini mungkin akan lebih cepat terjadi, mengingat Ketua MA saat itu Muhammad Syarifuddin menyampaikan dalam laporan tahunan MA tahun 2023 pada bulan Februari 2024 bahwa kedepannya MA mengembangkan teknologi AI dalam bentuk  Decision Support System (DSS) yang dapat memberikan informasi kepada hakim jika terdapat kemungkinan kesamaan antara satu perkara dengan lainnya untuk mengurangi disparitas putusan dan aplikasi ini rencananya akan diujicobakan pada bulan September 2024.Perlu diakui kemampuan AI saat ini terus meningkat, pertimbangan etis, teknis, dan praktis tentang apakah AI dapat atau seharusnya mengambil alih atau membantu peran hakim di ruang sidang terus menjadi bahan perdebatan. Perkembangan AI dalam profesi hakim saat ini berkembang terkait dengan pemberian nasihat, membantu dalam analisis data hukum, pemilihan preseden/yurisprudensi, bahkan dalam menyimulasikan putusan pengadilan berdasarkan data historis. Dalam dekade terakhir ini beberapa negara telah mencoba mengintegrasikan AI ke dalam sistem peradilan mereka seperti:Aplikasi Correctional Offender Management Profiling for Alternative Sanctions (COMPAS) yang dikembangkan oleh Equivant, perusahaan teknologi yang bekerja sama dan digunakan oleh pengadilan negara bagian New York di Amerika Serikat. Aplikasi ini menganalisis penilaian yang terstandarisasi yang mencakup penilaian atas residivisme, riwayat kriminal, sikap batin dalam melakukan kejahatan, personalitas terdakwa, latar belakang keluarga, keterikatan sosial terdakwa, latar belakang penggunaan narkoba, dan kesehatan mental yang akan di proses dan menghasilkan analisis referensi bagi hakim untuk menentukan pemidanaan yang cocok diberikan kepada terdakwa. Mahkamah Agung Brazil mengembangkan aplikasi “VICTOR” untuk menganalisis dan menyaring dokumen serta membantu dalam pengambilan keputusan hukum. VICTOR membantu dalam memilah kasus yang relevan untuk dipertimbangkan oleh hakim. Selain itu VICTOR juga membantu hakim dengan mengidentifikasi isu-isu hukum yang dikategorikan sebagai “General Repercussion” yaitu konsep yang digunakan MA Brazil dalam menentukan apakah suatu kasus memiliki dampak yang luas dan signifikan terhadap masyarakat yang melibatkan interpretasi prinsip hukum tertentu yang telah ditentukan. Aplikasi VIKTOR ini juga berhasil mengurangi jumlah perkara kasasi di MA Brazil dari 118.700 perkara pada tahun 2007 menjadi hanya 11.400 perkara pada tahun 2022.Tujuan penggunaan aplikasi-aplikasi ini secara umum adalah untuk memodernisasi sistem adjudikasi dan pengembangan kemampuan membuat putusan oleh hakim. Dengan AI, pengambilan keputusan dapat didasarkan pada analisis data yang objektif dan konsisten. Selain itu memperkecil adanya disinformasi atas suatu ketentuan hukum atau putusan terdahulu serta referensi lainnya yang dapat memperkaya khasanah pertimbangan hakim dalam putusannya. Inovasi-inovasi ini menunjukkan bagaimana teknologi, khususnya AI, dapat diintegrasikan ke dalam struktur hukum tradisional untuk meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas layanan hukum. Namun tetap mengakomodasi nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki seorang hakim dalam mempertimbangkan putusan atas suatu pokok permasalahan karena pada akhirnya AI hanya dijadikan alat bantu dalam membuat suatu putusan yang mencerminkan nilai keadilan, kepastian dan kebermanfaatan. Terdapat kritik dan tantangan sistem AI untuk membantu pengambilan keputusan hakim dalam menghadapi tantangan besar dalam hal transparansi dan keandalannya. Salah satu isu utama adalah kurangnya penjelasan tentang bagaimana rekomendasi dihasilkan oleh algoritma AI. Menurut David Searls Direktur Project VRM Harvard University, algoritma sering kali bertindak sebagai "Black Box”, dengan membuat rekomendasi tanpa menunjukkan bagaimana keputusan tersebut diambil, AI tidak dibuat untuk dapat menjelaskan bagaimana ia menganalisis suatu data, yang dapat dilakukan hanyalah proses dengan memasukan “Input” yaitu data-sata yang menjadi indikator dan akan menghasilkan “Output” berupa rekomendasi tanpa memberikan alasan-alasan kerja yang sering kali dibutuhkan hakim untuk membuat putusannya. Hal ini menimbulkan keraguan tentang apakah keputusan yang dibantu oleh AI dapat diandalkan sepenuhnya, mengingat kurangnya transparansi dapat mempengaruhi kepercayaan publik akan suatu putusan hakim. Penggunaan AI dalam hukum tidak boleh mengurangi peran hakim sebagai "seniman" dalam menilai dan mengolah fakta-fakta kasus. Hakim harus menggabungkan intuisinya yang bertahun diasah dengan analisis AI untuk mencapai putusan yang baik, hakim kedepan perlu melatih kemampuan membaca hasil AI dan menerapkan penilaian moral serta pengetahuan hukum.  Perubahan wajah peradilan kita adalah sebuah kepastian dan nampaknya perubahan itu akan menjadi lebih cepat, begitu pula dengan kerja yudisial didalamnya namun semua perubahan itu harus sejalan dengan nilai-nilai keadilan untuk memastikan bahwa keputusan yang dihasilkan adil, bermanfaat dan berkepastian. (FAC, YBB, BS)*Calon Hakim Pengadilan Negeri Palangkaraya