Cari Berita

Kewajiban Pendampingan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana dan Konsekuensinya

article | Opini | 2025-06-07 18:00:31

PendahuluanSebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), bantuan hukum merupakan hak fundamental bagi setiap warga negara. Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan jaminan akses terhadap keadilan, termasuk melalui bantuan hukum guna memastikan prinsip persamaan di hadapan hukum dapat terwujud dengan baik. Di Indonesia mengenai bantuan hukum itu sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang menegaskan bahwa masyarakat miskin berhak memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma dari lembaga bantuan hukum yang telah terverifikasi dan terakreditasi oleh pemerintah.Dalam konteks perkara yang melibatkan anak, kewajiban pemberian bantuan hukum tidak kalah penting, karena anak sebagai subjek hukum yang rentan sangat memerlukan perlindungan khusus dari negara. Tentang kewajiban pendampingan hukum bagi anak dalam perkara pidana telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pemenuhan kewajiban pemberian bantuan hukum bagi anak itu sendiri bertujuan untuk menjamin proses hukum yang adil dan berpihak pada kepentingan terbaik anak, sebagaimana prinsip-prinsip dasar yang juga tercantum dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Lantas bagaimana UU SPPA mengatur mengenai kewajiban pemberian bantuan hukum bagi Anak? Dan bagaimana konsekuensinya apabila kewajiban bantuan hukum bagi Anak pada tiap tingkat pemeriksaan diabaikan atau tidak dipenuhi?Kewajiban Pemberian Bantuan Hukum Bagi Anak Berdasarkan UU SPPA;Dalam praktik, Anak yang menjadi tersangka atau terdakwa sering kali tidak memahami proses hukum yang dihadapi. Sehingga, tanpa bantuan hukum Anak sangat rentan mengalami pelanggaran hak, seperti penyiksaan, intimidasi, pengakuan paksa, atau ketidakadilan dalam proses peradilan. Oleh karena itu, pemberian bantuan hukum bagi Anak sejak tahap penyidikan sampai dengan persidangan merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi untuk memastikan hak-hak Anak selama proses peradilan benar-benar diberikan. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), bahwa tentang bantuan hukum bagi Anak disebutkan dalam beberapa pasal. Pertama, Pasal 3 huruf c UU SPPA yang mengatur bahwa “setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak: c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif”. Kedua, Pasal 23 ayat (1) UU SPPA yang menyebutkan bahwa “Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dari bunyi kedua pasal dalam UU SPPA tersebut, dapat dipahami bahwa bantuan hukum adalah Hak bagi Anak yang sedang menjalani proses peradilan, dan negara melalui aparat penegak hukum yaitu Polisi, Jaksa dan Hakim wajib memenuhi hak tersebut kepada Anak dengan memberikan bantuan hukum kepada Anak yang sedang menjalani proses hukum pada setiap tingkat pemeriksaan.Perlu diketahui, bahwa kewajiban pemberian bantuan hukum bagi Anak sebagaimana diatur dalam UU SPPA adalah berbeda dengan ketentuan pemberian bantuan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 56 KUHAP. Dalam Pasal 56 KUHAP, bantuan hukum wajib diberikan apabila tersangka atau terdakwa diancam pidana lima tahun atau lebih dan tidak mampu secara ekonomi. Artinya, pemberian bantuan hukum dalam KUHAP bersifat terbatas dan bergantung pada berat ringannya ancaman pidana serta kemampuan tersangka atau terdakwa. Sementara, dalam Pasal 23 ayat (1) UU SPPA, kewajiban pemberian bantuan hukum bagi Anak adalah diberikan tanpa melihat jenis atau ancaman pidana yang dikenakan kepada Anak. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pemberian bantuan hukum bagi Anak adalah kewajiban mutlak, yang harus dilaksanakan sejak Anak mulai berhadapan dengan proses hukum.Konsekuensi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Bantuan Hukum Bagi Anak Dilihat Dari Praktik Putusan Perkara Pidana Khusus Anak;Merujuk pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU SPPA, pemberian bantuan hukum kepada Anak pada setiap tingkat pemeriksaan adalah bersifat imperatif. Namun, dalam UU SPPA tidak mengatur bagaimana konsekuensi apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh Aparat Penegak Hukum dalam setiap pemeriksaan. Maka dalam hal ini penulis akan merujuk pada praktik beberapa putusan pengadilan dalam perkara pidana khusus Anak, yaitu sebagai berikut:Putusan Pengadilan Negeri Malili Nomor 5/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mll Jo. Putusan Nomor 33/ Pid.Sus-Anak /2018/PT Mks;Putusan Pengadilan Negeri Malili Nomor 4/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mll Jo. Putusan Nomor 33/ Pid.Sus-Anak /2018/PT Mks;Putusan Pengadilan Negeri Malili Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mll;Putusan Pengadilan Negeri Malili Nomor 9/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mll;Putusan Pengadilan Negeri Oelamasi Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2020/PN Olm; dan, Putusan Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 2/Pid.Sus-Anak/2024/PN Pts Jo. 6/PID.Sus-Anak/2024/PT Ptk;Beberapa putusan tersebut di atas merupakan putusan sela yang pada pokonya terdapat kesamaan substansi karena adanya eksepsi terkait dengan tidak terpenuhinya hak konstitusional Anak atas bantuan hukum pada tingkat penyidikan. Dalam perkara-perkara tersebut, diketahui Anak selama proses penyidikan tidak diberikan bantuan hukum, dan penyidik hanya melampirkan surat pernyataan penolakan pendampingan hukum yang ditandatangani oleh Anak. Namun demikian, pendekatan hukum yang digunakan oleh hakim dalam pertimbangannya adalah merujuk pada asas perlindungan anak dan kepentingan terbaik bagi Anak. Sehingga merujuk pula pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) yang memberikan pengaturan bahwa pemberian bantuan hukum terhadap Anak dalam setiap pemeriksaan adalah wajib dan berbeda penerapannya dengan Pasal 56 KUHAP. Maka, meskipun terdapat surat pernyataan penolakan dari Anak, hal tersebut tidak dapat mengesampingkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU SPPA, mengingat Anak secara hukum belum memiliki kapasitas penuh untuk membuat keputusan yang berdampak pada hak konstitusionalnya dalam proses peradilan pidana. Dengan mempertimbangkan juga beberapa putusan pada tingkat judex juris, dan berpegang pada asas Presumption Of Innocence akhirnya dalam putusan-putusan tersebut hakim menyatakan bahwa penuntutan oleh Penuntut Umum menjadi tidak dapat diterima karena cacat hukum yang mendasar pada tahap penyidikan.PenutupPemberian bantuan hukum bagi Anak dalam proses peradilan pidana merupakan hak mutlak yang dijamin UU SPPA dan wajib dipenuhi tanpa syarat oleh aparat penegak hukum. Ketidakpenuhan bantuan hukum terhadap Anak dalam praktik peradilan menyebabkan proses hukum cacat secara substantif, dan menjadikan celah diajukannya eksepsi dalam tingkat pemeriksaan di pengadilan. Merujuk pada praktik putusan pengadilan baik itu putusan pada tingkat pertama dan tingkat banding, apabila terjadi pelanggaran terhadap hak Anak khususnya adalah terkait dengan pemberian bantuan hukum, maka dapat berkonsekuensi terhadap penuntutan dari Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima. fac

Menelusuri Penerapan Pidana Peringatan Terhadap Anak

article | Opini | 2025-03-30 13:00:01

Pendahuluan Sistem peradilan pidana anak di Indonesia telah mengalami pembaharuan. Terakhir pembaharuannya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Tujuan pembaharuan ini adalah untuk mendedikasikan sistem peradilan yang lebih berfokus pada perlindungan hak-hak anak, kepentingan terbaik bagi anak, serta perampasan kemerdekaan dan pidana penjara sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Namun, dalam pelaksanaannya, masih terdapat kendala, yaitu belum diterapkannya pidana peringatan oleh hakim yang diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) huruf a Jo. Pasal 72 UU SPPA. Hal ini disebabkan karena masih adanya kekaburan hukum mengenai jenis tindak pidana dan bentuk template putusan pidana peringatan ini sendiri. Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subyek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara (Nashriana, 2014). Dengan demikian anak seharusnya mendapatkan pembinaan dan perlindungan, mengingat keadaan fisik dan mentalnya masih labil, yang dalam banyak hal perlu mendapat perlakuan dan perlindungan khusus, terutama terhadap perbuatan yang dapat merugikan dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan diri si anak. Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Pengaturan anak sebagai pelaku tindak pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pasal 1 Angka 3 UU SPPA menyatakan bahwa “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. Sejak diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012, terdapat perubahan jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak yang diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) dan (2) UU SPPA, yaitu: Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. Pidana peringatan; b. Pidana dengan syarat: 1.  Pembinaan di luar lembaga; 2.  Pelayanan masyarakat; atau 3.  Pengawasan. c.   Pelatihan kerja; d.  Pembinaan dalam lembaga; dan e.  Penjara. 2.  Pidana tambahan terdiri atas: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. Pemenuhan kewajiban adat. Dari sekian jenis pidana yang menjadi perhatian penulis adalah pidana peringatan yang diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) huruf a UU SPPA. Selanjutnya Pasal 72 UU SPPA menyatakan bahwa “Pidana Peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak”. Pidana peringatan selain diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) Jo. Pasal 72 UU SPPA juga diatur dalam Pasal 115 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) dan Pasal 4 huruf a Jo. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2022 tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan Terhadap Anak. Berbeda dengan pidana peringatan dalam Pasal 71 UU SPPA, KUHP Nasional tidak menyebutkan definisi pidana peringatan. Namun disisi lain terdapat persamaan antara Pasal 71 UU SPPA dengan Pasal 115 huruf a KUHP Nasional yang hanya menyebutkan “cukup jelas” dalam penjelasan UU tersebut. Kemudian untuk melaksanakan ketentuan Pasal 71 Ayat (5) dan Pasal 82 Ayat (4) UU SPPA, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2022 tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan Terhadap Anak (PP Pidana dan Tindakan Terhadap Anak) yang mengatur mengenai pidana peringatan dalam Pasal 7 dengan ketentuan sebagai berikut: Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan Anak.Pidana peringatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dijatuhkan kepada Anak dengan tujuan agar Anak tidak mengulangi perbuatannya.Putusan pemidanaan yang memuat pidana peringatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diucapkan Hakim dalam persidangan.Dalam hal putusan pidana peringatan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dilakukan oleh Jaksa dengan cara membacakan peringatan dari putusan pengadilan kepada Anak yang didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan/atau orangtua/wali. Dalam penjelasan dari Pasal 7 Ayat (2) PP Pidana dan Tindakan Terhadap Anak disebutkan bahwa “Pidana peringatan antara lain berupa teguran, nasihat, wejangan, himbauan, atau anjuran”. Dalam praktiknya terdapat banyak putusan yang telah menerapkan pidana peringatan terhadap anak, diantaranya Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sitoli Nomor 7/Pid.Sus-Anak/2024/PN Gst yang telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan dan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 72/PID.SUSAnak/2024/PT MDN tanggal 12 Desember 2024 dan Putusan Nomor 2189 K/Pid.Sus/2025 tertanggal 3 Maret 2025. Penempatan pidana peringatan pada urutan ke-1 (kesatu) dalam Pasal 71 Ayat (1) UU SPPA bukanlah tanpa maksud, hal tersebut dimaksudkan sebagai salah satu bentuk proteksi terhadap anak pelaku tindak pidana serta memberikan alternatif jenis pidana bagi hakim dalam memberikan hukuman atau sanksi kepada anak selain pidana penjara. Pidana penjara sendiri diletakkan pada posisi terakhir dalam Pasal 71 Ayat (1) UU SPPA yang berarti pidana penjara adalah sebagai upaya terakhir dalam penjatuhan pidana (ultimum remedium). Pembahasan Penjelasan atas UU SPPA menyatakan bahwa prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan hasil ratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak) dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun kemudian UU Pengadilan Anak ini dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga digantikan oleh UU SPPA yang dilakukan dengan tujuan agar dapat mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Hakim dalam memeriksa suatu perkara akan menuangkan hasil pemeriksaannya di dalam putusan, termasuk apabila hakim memutus perkara pidana anak yang menjadi pelaku pidana. Putusan pengadilan ini adalah ujung dari proses perkara dimana perkara tersebut gagal dilakukan upaya diversi dalam setiap tingkat penanganan perkara, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan. Aturan tentang penjatuhan pidana terhadap anak yang menjadi pelaku pidana sangatlah beragam dan telah mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari KUHP, UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU SPPA yang jika dibandingkan aturan pidana pokoknya dapat dilihat dari tabel berikut: KUHP Lama UU 3 Tahun 1997 Pasal 10 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda 5. Pidana tututan Pasal 23 Ayat (2) a. Pidana penjara b. Pidana kurungan c. Pidana denda d. Pidana pengawasan UU 11 Tahun 2012 UU 1 Tahun 2023 (KUHP Nasional) Pasal 71 Ayat (1) a. Pidana peringatan b. Pidana dengan syarat: 1.  Pembinaan di luar lembaga 2. Pelayanan masyarakat 3. Pengawasan c. Pelatihan kerja d. Pembinaan dalam lembaga e. Penjara Pasal 65 Ayat (1) a. Pidana penjara b. Pidana tutupan c. Pidana pengawasan d. Pidana denda e. Pidana kerja sosial   Pasal 115 a. Pidana peringatan b. Pidana dengan syarat: 1.  Pembinaan di luar lembaga 2. Pelayanan masyarakat 3. Pengawasan c. Pelatihan kerja d. Pembinaan dalam lembaga e. Pidana penjara   Dari perbandingan dan pembaharuan jenis pidana pokok pada kolom di atas, terdapat hal yang menarik perhatian, yaitu adanya pidana peringatan dalam UU 11 Tahun 2012 atau UU SPPA dan UU 1 Tahun 2023 atau UU KUHP Nasional yang memberikan perubahan dalam hal perlindungan terhadap anak. Mengapa pidana peringatan ini menjadi menarik perhatian untuk dibahas? Hal ini dikarenakan pidana peringatan sebelumnya tidak ada di dalam KUHP Lama maupun di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pengertian peringatan menurut Kamus Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional adalah 1) nasihat (teguran dsb) untuk memperingatkan, 2) kenang-kenangan; sesuatu yang dipakai untuk memperingati, 3) catatan, 4) ingatan, 5) hal memperingati (mengenang dsb). Sedangkan definisi pidana sendiri memiliki berapa unsur-unsur atau ciri-ciri pidana menurut Priatno yang terdiri dari: Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau badan hukum (korporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang (Priyatno, 2006). Setelah dijelaskan dan dipahami unsur-unsur atau ciri-ciri pidana, maka dapat dijelaskan mengenai pengertian pemidanaan itu sendiri. Menurut Muladi, pemidanaan adalah sinonim dari penghukuman yang dapat diartikan bahwa penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya. Penetapan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim (Muladi dan Barda Nawawi, 2005). Tujuan pemidanaan menurut UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional yang akan berlaku Januari 2025) adalah: Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat.Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna.Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat.Menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Jika kita berkaca kembali ke dalam Pasal 72 UU SPPA yang menyatakan bahwa “Pidana Peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan Anak”, maka dapat disimpulkan bahwa pidana peringatan itu bentuknya dapat berupa teguran dan peringatan yang diterima oleh anak yang menjadi pelaku pidana agar anak tersebut tidak melakukan pelanggaran atau kesalahan yang dapat merugikan atau menyakiti orang lain.  Penjatuhan pidana peringatan terhadap Anak mempunyai maksud untuk melindungi dan menghindarkan anak dari penjatuhan pidana penjara. Menurut Nurini Aprilianda, dengan adanya pidana penjara pada pilihan akhir dalam urut-urutan jenis sanksi pidana pokok, harapannya hakim memprioritaskan penjatuhan jenis sanksi pidana pokok yang lain (Nurini Aprilianda, 2017). Pasal 71 Ayat (5) UU SPPA menyebutkan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana peringatan diatur dengan peraturan pemerintah, yaitu dengan terbitnya PP tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan terhadap Anak. Ketentuan tentang pidana peringatan dalam PP tersebut diatur dalam Pasal 4 Jo. Pasal 7 PP Nomor 58 Tahun 2022.  Pidana peringatan dapat berupa teguran, nasihat, wejangan, himbauan, atau anjuran. Dalam praktiknya putusan penjatuhan pidana peringatan membuat hakim cenderung menjatuhkan pidana pokok lainnya terhadap anak, terutama menjatuhkan pidana penjara daripada pidana peringatan. Menurut pendapat penulis, penjatuhan pidana peringatan terhadap Anak dapat dilakukan oleh hakim apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana sebagai berikut: Tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian korban bernilai tidak lebih dari Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.Tindak pidana merupakan delik aduan.Tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil.Tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.Tindak pidana yang berupa pelanggaran, atauTindak pidana tanpa korban. Ketentuan jenis tindak pidana yang dapat dikenakan pidana peringatan terhadap Anak yang telah dijabarkan di atas sebenarnya telah terdapat juga dalam UU SPPA dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (PERMA RJ). Perlunya dilakukan pengaturan mengenai template dan pedoman penulisan putusan bagi hakim yang akan menjatuhkan pidana peringatan terhadap Anak. Hal ini dimaksudkan agar memberikan kemudahan dan keseragaman bagi seluruh hakim yang menangani perkara Anak dan akan menjatuhkan pidana peringatan. Saat ini aturan terkait template dan pedoman penulisan putusan diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan/ Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan Dibawah Mahkamah Agung (SK KMA 359). Namun nyatanya dalam SK KMA 359 tersebut belum mengatur mengenai template dan pedoman penulisan putusan pidana peringatan ini. Berikut adalah contoh amar putusan pidana peringatan yang dapat dijatuhkan terhadap Anak, yaitu: Mengadili Menyatakan Anak tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ……………………… sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum.Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Anak dengan pidana peringatan berupa ……….. (teguran, nasihat, wejangan, himbauan, atau anjuran).Memberikan peringatan kepada Anak agar menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi melakukan tindak pidana.dst. Jika melihat posisi peletakan pidana peringatan di dalam Pasal 71 Ayat (1) huruf a UU SPPA, maka seharusnya pidana peringatan ini menjadi jenis pidana pokok yang utama dapat dijatuhkan kepada anak yang menjadi pelaku pidana dibandingkan dengan menjatuhkan sanksi pidana penjara yang berada di urutan kelima (terakhir) pidana pokok dalam UU SPPA atau sebagai upaya terakhir penjatuhan pidana (ultimum remedium) dalam penyelesaian perkara anak. Dengan adanya jenis pidana pokok berupa pidana peringatan terhadap Anak merupakan salah satu pembaharuan sistem pemidanaan terhadap Anak dalam sistem peradilan pidana anak agar terciptanya sistem peradilan pidana anak sesuai yang diatur dalam UU SPPA yang mana dalam Pasal 2 UU SPPA dinyatakan bahwa sistem peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas perlindungan, asas kepentingan terbaik bagi anak, serta perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir.   Penutup Pidana pokok berupa pidana peringatan terhadap anak yang menjadi pelaku pidana sebagaimana dalam UU SPPA memberikan perubahan dalam hal perlindungan hukum terbaik bagi anak. Pidana penjara ditempatkan pada urutan terakhir pidana pokok dengan tujuan sebagai jalan terakhir dalam penyelesaian perkara Anak (ultimum remedium), namun dalam praktiknya hakim lebih cenderung dan lebih banyak menjatuhkan pidana penjara terhadap Anak. Selain itu, secara konkrit juga saat ini belum ditegaskan tindak pidana apa saja yang dapat dijatuhi dengan sanksi berupa pidana peringatan. Dalam pembuatan putusan juga, belum ada bentuk template putusan pidana peringatan. Sehingga diperlukan kebijakan dari Mahkamah Agung untuk menjadi pedoman dan mengisi kekosongan dalam mengadili perkara Anak khususnya mengenai sanksi berupa pidana peringatan. Refrensi Aprilianda, Nurini. 2017. Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Teori dan Praktik. PERSADA Universitas Brawijaya. Muladi & Arief, Barda Nawawi. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni Nashriana. 2014. Perlindungan Hukum Pidana Anak di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers Priyatno, Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: PT. Relika Aditomo. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa.