article | Opini
| 2025-03-30 13:00:01
Pendahuluan
Sistem peradilan pidana anak di Indonesia telah mengalami pembaharuan.
Terakhir pembaharuannya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Tujuan pembaharuan ini adalah
untuk mendedikasikan sistem peradilan yang lebih berfokus pada perlindungan
hak-hak anak, kepentingan terbaik bagi anak, serta perampasan kemerdekaan dan
pidana penjara sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
Namun, dalam pelaksanaannya, masih terdapat kendala, yaitu belum
diterapkannya pidana peringatan oleh hakim yang diatur dalam Pasal 71 Ayat (1)
huruf a Jo. Pasal 72 UU SPPA. Hal ini disebabkan karena masih adanya kekaburan
hukum mengenai jenis tindak pidana dan bentuk template putusan pidana
peringatan ini sendiri.
Pembicaraan
tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah
kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan,
yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subyek pelaksana pembangunan yang
berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara (Nashriana, 2014).
Dengan demikian anak seharusnya mendapatkan pembinaan dan perlindungan, mengingat
keadaan fisik dan mentalnya masih labil, yang dalam banyak hal perlu mendapat
perlakuan dan perlindungan khusus, terutama terhadap perbuatan yang dapat
merugikan dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan diri si anak. Menurut
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Pengaturan anak
sebagai pelaku tindak pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pasal 1 Angka 3 UU SPPA
menyatakan bahwa “Anak yang Berkonflik
dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12
tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.
Sejak diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012, terdapat perubahan jenis pidana
yang dapat dijatuhkan kepada Anak yang diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) dan (2)
UU SPPA, yaitu:
Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:
a. Pidana peringatan;
b. Pidana dengan syarat:
1. Pembinaan di luar
lembaga;
2. Pelayanan masyarakat;
atau
3. Pengawasan.
c. Pelatihan kerja;
d. Pembinaan dalam lembaga;
dan
e. Penjara.
2.
Pidana tambahan terdiri atas:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. Pemenuhan kewajiban adat.
Dari sekian
jenis pidana yang menjadi perhatian penulis adalah pidana peringatan yang
diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) huruf a UU SPPA. Selanjutnya Pasal 72 UU SPPA
menyatakan bahwa “Pidana Peringatan
merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak”.
Pidana
peringatan selain diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) Jo. Pasal 72 UU SPPA juga
diatur dalam Pasal 115 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) dan Pasal 4 huruf a Jo. Pasal 7
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2022 tentang Bentuk dan Tata Cara
Pelaksanaan Pidana dan Tindakan Terhadap Anak.
Berbeda dengan
pidana peringatan dalam Pasal 71 UU SPPA, KUHP Nasional tidak menyebutkan
definisi pidana peringatan. Namun disisi lain terdapat persamaan antara Pasal
71 UU SPPA dengan Pasal 115 huruf a KUHP Nasional yang hanya menyebutkan “cukup jelas” dalam penjelasan UU
tersebut. Kemudian untuk melaksanakan ketentuan Pasal 71 Ayat (5) dan Pasal 82
Ayat (4) UU SPPA, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2022 tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan Terhadap Anak
(PP Pidana dan Tindakan Terhadap Anak) yang mengatur mengenai pidana peringatan
dalam Pasal 7 dengan ketentuan sebagai berikut:
Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan
pembatasan kebebasan Anak.Pidana peringatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dijatuhkan
kepada Anak dengan tujuan agar Anak tidak mengulangi perbuatannya.Putusan pemidanaan yang memuat pidana peringatan sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1) diucapkan Hakim dalam persidangan.Dalam hal putusan pidana peringatan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dilakukan oleh
Jaksa dengan cara membacakan peringatan dari putusan pengadilan kepada Anak
yang didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan, advokat atau pemberi bantuan
hukum lainnya, dan/atau orangtua/wali.
Dalam penjelasan
dari Pasal 7 Ayat (2) PP Pidana dan Tindakan Terhadap Anak disebutkan bahwa “Pidana peringatan antara lain berupa
teguran, nasihat, wejangan, himbauan, atau anjuran”. Dalam praktiknya
terdapat banyak putusan yang telah menerapkan pidana peringatan terhadap anak,
diantaranya Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sitoli Nomor
7/Pid.Sus-Anak/2024/PN Gst yang telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan
dan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 72/PID.SUSAnak/2024/PT MDN tanggal 12
Desember 2024 dan Putusan Nomor 2189 K/Pid.Sus/2025 tertanggal 3 Maret 2025.
Penempatan
pidana peringatan pada urutan ke-1 (kesatu) dalam Pasal 71 Ayat (1) UU SPPA
bukanlah tanpa maksud, hal tersebut dimaksudkan sebagai salah satu bentuk
proteksi terhadap anak pelaku tindak pidana serta memberikan alternatif jenis
pidana bagi hakim dalam memberikan hukuman atau sanksi kepada anak selain
pidana penjara. Pidana penjara sendiri diletakkan pada posisi terakhir dalam
Pasal 71 Ayat (1) UU SPPA yang berarti pidana penjara adalah sebagai upaya
terakhir dalam penjatuhan pidana (ultimum remedium).
Pembahasan
Penjelasan atas
UU SPPA menyatakan bahwa prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai
dengan hasil ratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak
Anak). UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak)
dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum
agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi
kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk
menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, dan berguna bagi diri sendiri,
keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun kemudian UU Pengadilan Anak ini
dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga digantikan
oleh UU SPPA yang dilakukan dengan tujuan agar dapat mewujudkan peradilan yang
benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa.
Hakim dalam
memeriksa suatu perkara akan menuangkan hasil pemeriksaannya di dalam putusan,
termasuk apabila hakim memutus perkara pidana anak yang menjadi pelaku pidana.
Putusan pengadilan ini adalah ujung dari proses perkara dimana perkara tersebut
gagal dilakukan upaya diversi dalam setiap tingkat penanganan perkara, baik di
tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan. Aturan tentang
penjatuhan pidana terhadap anak yang menjadi pelaku pidana sangatlah beragam
dan telah mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari KUHP, UU Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak dan UU SPPA yang jika dibandingkan aturan pidana
pokoknya dapat dilihat dari tabel berikut:
KUHP Lama
UU 3 Tahun
1997
Pasal 10
1. Pidana mati
2. Pidana
penjara
3. Pidana
kurungan
4. Pidana denda
5. Pidana
tututan
Pasal 23 Ayat (2)
a. Pidana
penjara
b. Pidana
kurungan
c. Pidana denda
d. Pidana
pengawasan
UU 11 Tahun
2012
UU 1 Tahun
2023 (KUHP Nasional)
Pasal 71 Ayat (1)
a. Pidana
peringatan
b. Pidana dengan
syarat:
1. Pembinaan di
luar lembaga
2. Pelayanan
masyarakat
3. Pengawasan
c. Pelatihan
kerja
d. Pembinaan
dalam lembaga
e. Penjara
Pasal 65 Ayat (1)
a. Pidana
penjara
b. Pidana
tutupan
c. Pidana
pengawasan
d. Pidana denda
e. Pidana kerja
sosial
Pasal 115
a. Pidana
peringatan
b. Pidana dengan
syarat:
1. Pembinaan di
luar lembaga
2. Pelayanan
masyarakat
3. Pengawasan
c. Pelatihan
kerja
d. Pembinaan
dalam lembaga
e. Pidana
penjara
Dari
perbandingan dan pembaharuan jenis pidana pokok pada kolom di atas, terdapat
hal yang menarik perhatian, yaitu adanya pidana peringatan dalam UU 11 Tahun
2012 atau UU SPPA dan UU 1 Tahun 2023 atau UU KUHP Nasional yang memberikan
perubahan dalam hal perlindungan terhadap anak. Mengapa pidana peringatan ini
menjadi menarik perhatian untuk dibahas? Hal ini dikarenakan pidana peringatan
sebelumnya tidak ada di dalam KUHP Lama maupun di dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Pengertian
peringatan menurut Kamus Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional adalah 1) nasihat (teguran dsb) untuk memperingatkan, 2)
kenang-kenangan; sesuatu yang dipakai untuk memperingati, 3) catatan, 4)
ingatan, 5) hal memperingati (mengenang dsb). Sedangkan definisi pidana sendiri
memiliki berapa unsur-unsur atau ciri-ciri pidana menurut Priatno yang terdiri
dari:
Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu
pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau
badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau badan
hukum (korporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang
(Priyatno, 2006).
Setelah
dijelaskan dan dipahami unsur-unsur atau ciri-ciri pidana, maka dapat
dijelaskan mengenai pengertian pemidanaan itu sendiri. Menurut Muladi,
pemidanaan adalah sinonim dari penghukuman yang dapat diartikan bahwa
penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai
menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya. Penetapan hukum untuk suatu
peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga
hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah
tersebut harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang
kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh
hakim (Muladi dan Barda Nawawi, 2005).
Tujuan
pemidanaan menurut UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP Nasional yang akan berlaku Januari 2025) adalah:
Mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi perlindungan dan
pengayoman masyarakat.Memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang
baik dan berguna.Menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta
mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat.Menumbuhkan
rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Jika kita
berkaca kembali ke dalam Pasal 72 UU SPPA yang menyatakan bahwa “Pidana Peringatan merupakan pidana ringan
yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan Anak”, maka dapat
disimpulkan bahwa pidana peringatan itu bentuknya dapat berupa teguran dan
peringatan yang diterima oleh anak yang menjadi pelaku pidana agar anak
tersebut tidak melakukan pelanggaran atau kesalahan yang dapat merugikan atau
menyakiti orang lain.
Penjatuhan
pidana peringatan terhadap Anak mempunyai maksud untuk melindungi dan
menghindarkan anak dari penjatuhan pidana penjara. Menurut Nurini Aprilianda,
dengan adanya pidana penjara pada pilihan akhir dalam urut-urutan jenis sanksi
pidana pokok, harapannya hakim memprioritaskan penjatuhan jenis sanksi pidana
pokok yang lain (Nurini Aprilianda, 2017).
Pasal 71 Ayat
(5) UU SPPA menyebutkan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana
peringatan diatur dengan peraturan pemerintah, yaitu dengan terbitnya PP
tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan terhadap Anak.
Ketentuan tentang pidana peringatan dalam PP tersebut diatur dalam Pasal 4 Jo.
Pasal 7 PP Nomor 58 Tahun 2022.
Pidana
peringatan dapat berupa teguran, nasihat, wejangan, himbauan, atau anjuran.
Dalam praktiknya putusan penjatuhan pidana peringatan membuat hakim cenderung
menjatuhkan pidana pokok lainnya terhadap anak, terutama menjatuhkan pidana
penjara daripada pidana peringatan.
Menurut
pendapat penulis, penjatuhan pidana peringatan terhadap Anak dapat dilakukan oleh
hakim apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana sebagai berikut:
Tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana
penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak
pidana jinayat menurut qanun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak
pidana ringan atau kerugian korban bernilai tidak lebih dari Rp.2.500.000,-
(dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi
setempat.Tindak pidana merupakan delik aduan.Tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya
tidak berhasil.Tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.Tindak pidana yang berupa pelanggaran, atauTindak pidana tanpa korban.
Ketentuan jenis
tindak pidana yang dapat dikenakan pidana peringatan terhadap Anak yang telah
dijabarkan di atas sebenarnya telah terdapat juga dalam UU SPPA dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana
Berdasarkan Keadilan Restoratif (PERMA RJ). Perlunya dilakukan pengaturan
mengenai template dan pedoman
penulisan putusan bagi hakim yang akan menjatuhkan pidana peringatan terhadap
Anak. Hal ini dimaksudkan agar memberikan kemudahan dan keseragaman bagi
seluruh hakim yang menangani perkara Anak dan akan menjatuhkan pidana
peringatan.
Saat ini aturan
terkait template dan pedoman
penulisan putusan diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan
Pedoman Penulisan Putusan/ Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat
Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan Dibawah Mahkamah Agung (SK KMA
359). Namun nyatanya dalam SK KMA 359 tersebut belum mengatur mengenai template dan pedoman penulisan
putusan pidana peringatan ini. Berikut adalah contoh amar putusan pidana
peringatan yang dapat dijatuhkan terhadap Anak, yaitu:
Mengadili
Menyatakan Anak tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana ……………………… sebagaimana dalam dakwaan Penuntut
Umum.Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Anak dengan pidana peringatan
berupa ……….. (teguran, nasihat, wejangan, himbauan, atau anjuran).Memberikan peringatan kepada Anak agar menyadari kesalahannya dan tidak
mengulangi melakukan tindak pidana.dst.
Jika melihat
posisi peletakan pidana peringatan di dalam Pasal 71 Ayat (1) huruf a UU SPPA,
maka seharusnya pidana peringatan ini menjadi jenis pidana pokok yang utama
dapat dijatuhkan kepada anak yang menjadi pelaku pidana dibandingkan dengan
menjatuhkan sanksi pidana penjara yang berada di urutan kelima (terakhir)
pidana pokok dalam UU SPPA atau sebagai upaya terakhir penjatuhan pidana (ultimum remedium) dalam penyelesaian
perkara anak.
Dengan adanya
jenis pidana pokok berupa pidana peringatan terhadap Anak merupakan salah satu
pembaharuan sistem pemidanaan terhadap Anak dalam sistem peradilan pidana anak
agar terciptanya sistem peradilan pidana anak sesuai yang diatur dalam UU SPPA
yang mana dalam Pasal 2 UU SPPA dinyatakan bahwa sistem peradilan pidana anak
dilaksanakan berdasarkan asas perlindungan, asas kepentingan terbaik bagi anak,
serta perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir.
Penutup
Pidana pokok
berupa pidana peringatan terhadap anak yang menjadi pelaku pidana sebagaimana
dalam UU SPPA memberikan perubahan dalam hal perlindungan hukum terbaik bagi
anak. Pidana penjara ditempatkan pada urutan terakhir pidana pokok dengan
tujuan sebagai jalan terakhir dalam penyelesaian perkara Anak (ultimum remedium), namun dalam praktiknya hakim lebih cenderung dan lebih banyak menjatuhkan pidana penjara
terhadap Anak. Selain itu, secara konkrit juga saat ini belum ditegaskan tindak
pidana apa saja yang dapat dijatuhi dengan sanksi berupa pidana peringatan. Dalam
pembuatan putusan juga, belum ada bentuk template
putusan pidana peringatan. Sehingga diperlukan kebijakan
dari Mahkamah Agung untuk menjadi pedoman dan mengisi kekosongan dalam
mengadili perkara Anak khususnya mengenai sanksi berupa pidana peringatan.
Refrensi
Aprilianda, Nurini. 2017. Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Teori dan Praktik. PERSADA
Universitas Brawijaya.
Muladi &
Arief, Barda Nawawi. 2005. Teori-Teori
dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni
Nashriana.
2014. Perlindungan Hukum Pidana Anak
di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers
Priyatno, Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: PT.
Relika Aditomo.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:
Pusat Bahasa.