Megamendung, Bogor - Pelaksanaan Pelatihan Hakim Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di Megamendung yang diselenggarakan oleh Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (BSDK), hari ini, Kamis (26/09/2025). resmi ditutup dengan hasil membanggakan. Sebanyak 79 orang hakim dinyatakan lulus dan siap mengimplementasikan ilmu yang didapat di satuan kerja masing-masing.
Dalam acara penutupan, Kepala Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Syamsul Arief, menyampaikan pesan mendalam kepada para hakim yang selesai mengikuti diklat. Beliau menekankan pentingnya independensi dan kebebasan hakim, khususnya para hakim yang selesai mengikuti diklat ini.
“Hakim-hakim Indonesia, jangan lupa bahwa kita itu mandiri dan bebas sesuai konstitusi. Kebebasan kita itu terbatas pada hukum acara dan kode etik pedoman perilaku”, tegas Dr. Syamsul Arief.
Baca Juga: Menelusuri Penerapan Pidana Peringatan Terhadap Anak
Ia juga menyoroti peran penting Kode Etik dan Pedoman Perilaku (KEPPH) yang sejatinya dibuat untuk melindungi profesi hakim. “Sejatinya KEPPH itu untuk melindungi, karena hakim itu manusia, sehingga harus dijaga & dilindungi dari anasir-anasir laku tindak dan laku pikir yang menyimpang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Kabadan mengingatkan bahwa hukum bukan sekadar alat penghukum. “Hukum dibuat bukan sekedar untuk menghukum-hukum atau mendenda-denda”, jelasnya.
Dalam sesi penutupan, Kabadan Syamsul Arief juga memantik pemikiran para hakim terkait filsafat hukum yang sering diperdebatkan. Beliau dengan tegas menepis adanya dikotomi antara positivisme hukum dan keadilan “Positivisme hukum versus keadilan itu tidak ada,” cetusnya.
Ia menambahkan sesungguhnya, posisi dikotomi itu hanya ada pada hukum tertulis dan tidak tertulis. Di dalam hukum tertulis itu juga ada keadilan, hukum tidak tertulis itu diambil dari moral-moral masyarakat yang beradab untuk mewujudkan keadilan.
Dengan penegasan ini, beliau menyimpulkan bahwa tidak ada dikotomi biner antara positivisme dan keadilan, maupun hukum tertulis dan tidak tertulis, karena keduanya memiliki tujuan yang sama: mencapai keadilan.
Baca Juga: Meneroka Konfigurasi Rechterlijk Pardon dalam UU SPPA
Pesan filosofis ini disampaikan dengan maksud untuk memantik laku pikir para hakim agar berani berpikir mendalam dalam setiap putusan, terutama dalam perkara anak, demi mewujudkan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).
Dengan selesainya pelatihan ini diharapkan dapat menjadi bekal utama para hakim dalam mengemban tugas mulia mereka di ruang sidang. Semoga para hakim yang baru lulus dari diklat ini dapat membawa semangat baru dalam penegakan hukum peradilan anak di seluruh Indonesia. (Bintoro/Dimas PJ/al/ldr).
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI