Cari Berita

Solidaritas, Kunci Keberhasilan Eksekusi PN Kayuagung

photo | Berita | 2025-05-29 08:00:18

Kayuagung - Kembali lagi Tim Eksekusi Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, menunjukkan kepiawaiannya dalam melaksanakan eksekusi. Tercatat pada Rabu (28/05/2025), Tim Eksekusi yang dipimpin oleh Panitera PN Kayuagung, Abunawas, berhasil melaksanakan eksekusi pengosongan atas perkara Nomor 3/Pdt.Eks/2024/PN Kag.Dalam eksekusi tersebut, Abunawas dan Timnya mengosongkan objek eksekusi berupa sebidang lahan yang terletak di daerah Muara Kuang, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel.“Perjalanan yang harus ditempuh sekitar 2 jam dari kantor dan adanya beberapa masalah yang berpotensi memicu kericuhan menjadi tantangan yang harus kami hadapi dalam pelaksanaan eksekusi kali ini”, ungkap Abunawas saat ditemui DANDAPALA. Lebih lanjut, pria yang menjabat sebagai Panitera PN Kayuagung sejak tahun 2022 ini membuka rahasia keberhasilannya dalam melaksanakan eksekusi. “Solidaritas tim kuncinya. Sesulit apapun eksekusi yang dilakukan tetapi berkat solidaritas tim yang kuat dan dukungan dari tim pengamanan, eksekusi tetap dapat dilaksanakan”, pungkasnya.Dari pengamatan DANDAPALA, Pelaksanaan Eksekusi berjalan dengan tertib dan lancar. Kemudian pelaksanaan diakhiri dengan pembacaan dan penyerahan Berita Acara Eksekusi dari Tim Eksekusi PN Kayuagung kepada Pemohon Eksekusi. (AL)

Memahami Esensi Pidana Narkotika Dalam Kacamata Teleologis

article | Opini | 2025-03-27 15:15:56

HAKIM memiliki kewajiban untuk menjamin terselenggaranya kepastian hukum. Namun dalam beberapa hal undang-undang tidak menyebutkan secara jelas dan rinci mengenai perkara yang ditanganinya. Di dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) menyebutkan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.  Kemudian di dalam Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam Masyarakat”. Untuk itulah kedua ketentuan di atas dapat dipahami bahwa hakim wajib memeriksa suatu perkara meskipun hukumnya tidak jelas baik salah satunya melalui penafsiran guna menangani perkara yang ditanganinya tersebut. Salah satu jenis penafsiran yang dibahas dalam tulisan ini adalah “Penafsiran Teleologis”. Menurut Prof. Soedikno Mertokusumo, penafsiran teleologis, atau dikenal juga sebagai penafsiran sosiologis, merupakan metode interpretasi hukum yang berorientasi pada maksud dan tujuan pembentukan suatu undang-undang. Penafsiran ini diperlukan ketika terjadi perubahan sosial yang tidak diikuti dengan perubahan norma hukum tertulis, sehingga makna dari suatu ketentuan hukum harus disesuaikan dengan kondisi sosial yang berkembang. Dalam konteks hukum pidana positif, apabila suatu rumusan delik dianggap kurang jelas, hakim dapat melakukan penafsiran teleologis dengan mempertimbangkan tujuan utama pembentukan undang-undang tersebut. Hakim dapat melihat dari sisi tujuan undang-undang tersebut dibentuk. Dalam konteks Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), Tujuan dibentuknya UU tersebut telah diatur dalam Pasal 4, dimana Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan; a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi; b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika; c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.Keberlakuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) adalah sebagai bagian dari strategi besar pemberantasan peredaran dan penyalahgunaan narkotika (vide Pasal 4 huruf c), dengan sasaran keberlakuannya adalah mengarah pada subjek hukum “pengedar” dan “jaringan pengedar” narkotika dalam lingkup pemberantasan peredaran gelap narkotika, serta pada subjek hukum “penyalah guna”, “korban penyalahgunaan” dan “pecandu” narkotika dalam lingkup pemberantasan penyalahgunaan narkotika di mana pada UU Narkotika tersebut telah memilah dengan tegas pengaturan di antara keduanya, yakni dengan pasal-pasal yang mengatur tentang pemberantasan peredaran narkotika dan prekursor narkotika di satu sisi, dan pasal-pasal  yang mengatur tentang penyalah guna narkotika dan pecandu  narkotika di sisi lainnya (vide Pasal 4 huruf d). Pola diferensiasi tersebut sudah jelas ditujukan dalam esensi pemahaman agar terdapat pola penanganan yang tepat terhadap masing-masing subjek hukum  tersebut, tidak terkecuali penanganan dalam lingkup penegakan hukumnya, karena alih-alih memberantas peredaran dan penyalahgunaan narkotika, kesalahan dalam fase memilah dan mengidentifikasi makna “perbuatan” dan masing-masing dari subjek hukum yang di maksud, justru akan berakibat pada penanganan dan penegakan hukum yang tidak tepat, yang pada akhirnya malah akan memicu peningkatan intensitas peredaran dan penyalahgunaan narkotika, karena seorang pengedar atau seseorang dalam jaringan peredaran narkotika yan ditangani sebagai “penyalahguna” jelas tidak akan memberikan dampak yang signifikan bagi Upaya pemberantasan peredaran narkotika, Dimana selain dapat mencampakkan rasa keadilan, juga tidak akan menimbulkan dampak pembelajaran serta efek jera yang maksimal, baik bagi si pelaku tindak pidana maupun bagi Masyarakat luas pada umumnya. Demikian juga dengan seorang penyalahguna atau korban penyalahguna atau pecandu narkotika yang ditangani sebagai “pengedar” atau “bagian dari mata rantai peredaran narkotika”, jelas hal tersebut hanya akan menempatkan si pelaku dalam probabilitas yang tinggi untuk semakin menjadi “tidak baik” dan bukan tidak mungkin malah akan menyeret si pelaku dalam pusaran tindak pidana peredaran narkotika, sehingga pada akhirnya esensi pemberantasan tindak peredaran dan penyalahgunaan narkotika itu sendiri menjadi bias dan absurd.Pola diferensiasi pengaturan pelaku tindak pidana narkotika khususnya di dalam Pasal 114 dan Pasal 112 UU Narkotika  yang kedua pasal tersebut merupakan pasal-pasal yang ditujukan bagi mereka sebagai pelaku tindak pidana narkotika yang terkualifisir sebagai pelaku tindak pidana dalam lingkup peredaran gelap narkotika, sehingga perbuatan pelaku tersebut harus dibatasi sebagaimana dimaksud dalam kedua ketentuan pasal diatas sebagai “perbuatan dalam mata rantai peredaran narkotika”, “perbuatan dalam lingkup sebagai anggota suatu organisasi kejahatan narkotika”, atau “perbuatan yang bersifat mengorganisasikan suatu tindak pidana narkotika”. Apabila perbuatan-perbuatan yang terbukti di dalam persidangan tidak sebagaimana termasuk dalam batasan di atas, serta narkotika tersebut ditujukan hanya untuk dipergunakan sendiri oleh si pelaku, maka perbuatan tersebut tidak boleh dikualifisir sebagai perbuatan dalam tindak pidana yang dimaksud dalam pasal-pasal (112 dan 114) tersebut, melainkan harus dikualifisir sebagai perbuatan penyalahgunaan narkotika untuk tujuan digunakan bagi dirinya sendiri sebagaimana rumusan ketentuan Pasal 127 UU Narkotika.Definisi penyalahguna yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 yaitu “orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum” Dimana frasa “menggunakan” dalam pola pendefinisian tersebut sama sekali tidak boleh dimaknai secara sempit sebagai “memakai atau mengkonsumsi” narkotika semata, karena pemahaman sempit seperti itu dapat mengaburkan esensi atau hakikat dari UU narkotika itu sendiri. Seorang penyalahguna narkotika baru dapat “menggunakan” dalam arti sempit “memakai/mengkonsumsi” narkotika, tentunya setelah terlebih dahulu ia harus melakukan perbuatan-perbuatan lain sebagai cara bagaimana ia mendapatkan narkotika tersebut, perbuatan-perbuatan lain yang dimaksud seperti “membeli”, “menerima”, “menyimpan”, “menguasai”, “membawa”, atau “memiliki”, karena jelas tidak mungkin seseorang dapat mengkonsumsi narkotika tanpa terlebih dahulu melakukan rangkaian perbuatan di atas. Kemudian yang patut dipertanyakan adalah apakah saat ia (penyalah guna) baru dalam tahapan melakukan perbuatan-perbuatan dalam lingkup sebagai “cara mendapatkan” narkotika  tersebut dan kemudian tertangkap tangan sebelum sama sekali mengkonsumsi narkotika dimaksud, lalu serta merta secara serampangan ia harus dipersalahkan bukan sebagai penyalahguna,  melainkan sebagai pelaku tindak peredaran gelap narkotika? Maka jawabannya adalah tidak, sehingga oleh karenanya frasa “menggunakan” dalam definisi tentang penyalah guna dalam keberlakuan Pasal 127 UU Narkotika adalah harus dimaknai secara luas, tidak hanya menggunakan dalam arti “memakai” atau “mengkonsumsi” melainkan juga segenap perbuatan lain sebagai cara bagaimana narkotika yang akan dipakai / dikonsumsi tersebut sampai kepada si penyalah guna, namun dengan syarat limitatif bahwasanya perbuatan-perbuatan dimaksud adalah murni ditujukan untuk penggunaan narkotika bagi dirinya sendiri;Di dalam bab sanksi (pidana), terdapat diferensiasi dalam hal pengaturan maksimum khusus dan minimum khusus maupun diaturnya sanksi berupa tindakan. Berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP, ketentuan dalam Bab I-VIII Buku I KUHP berlaku pula terhadap UU Narkotika. Dalam hal UU Narkotika menentukan suatu ketentuan yang sifatnya berlainan dengan ketentuan Bab I-VIII Buku I KUHP, maka ketentuan UU Narkotika yang akan dipergunakan dalam aturan yang khusus. Dalam hal ini, stelsel pidana dalam UU Narkotika mengikuti KUHP. UU Narkotika memberikan ancaman pidana atau Jenis pidana (strafsroot) berupa pidana mati, penjara, kurungan, seumur hidup dan denda. Dari keseluruhan tindak pidana yang diformulasikan dalam UU Tipikor, dapat kita lihat ada pola ancaman pidana dengan model perumusan yang berbeda. Ada pasal yang sanksinya diancam secara alternatif, kumulatif, dan gabungan/campuran. Perumusan pidana dalam UU Narkotika menganut ancaman minimal khusus. Hal ini berarti ketentuan umum pidana penjara dan denda sebagaimana diatur dalam KUHP tidak berlaku. Di dalam UU Tipikor ada ancaman pidana minimal khusus dan maksimum khusus di dalam perumusan deliknya. Ancaman pidana minimum dan maksimum khusus ini diterapkan pada pidana penjara dan pidana denda. Dimana masing-masing Pasal memiliki batas pidana minimum khusus dan maksimum khusus yang berbeda-beda. Dalam rumusan delik pada tindak pidana narkotika di dalam Pasal 112 dan 114 terdapat minimum khusus, yang mengandung arti bahwa tindak pidana dari kedua pasal yang termasuk dalam tindak pidana peredaran gelap narkotika tersebut memiliki dampak destruksi yang besar sehingga perumusan sanksi pidananya berat dengan adanya ancaman minimum khusus. Sedangkan terjadi perbedaan terhadap tindak pidana yang termasuk dalam golongan penyalahguna narkotika dan pecandu narkotika. Rumusan sanksi pidana dari pelaku penyalahguna dan pecandu narkotika selain diatur ancaman pidana maksimum khusus juga diatur sanksi di luar pidana yakni sanksi Tindakan berupa Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (vide Pasal 127). Dilihat dari segi sanksi terdapat diferensiasi yang besar antara rumusan terhadap perbuatan yang termasuk peredaran gelap narkotika yang dirumuskan dengan adanya minimum khusus maupun terhadap perbuatan yang termasuk penyalahguna atau pecandu narkotika yang dirumuskan dengan ancaman pidana maksimum khusus maupun adanya rumusan mengenai Tindakan (rehabilitasi), sehingga penegak hukum khususnya Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana narkotika tidak hanya melihat dari segi gramatikal (rumusan kata pasal per pasal) semata, melainkan dapat menggunakan kacamata sosiologis / teleologis agar dapat mewujudkan penanganan (penegakan hukum) yang tepat terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

Jual Paket Sabu Rp 50 Ribuan, Pria di Teluk Kuantan Dibui 5 Tahun

article | Berita | 2025-03-19 09:05:53

Kota Teluk Kuantan- Pengadilan Negeri (PN) Teluk Kuantan, Riau menjatuhkan pidana penjara selama 5 tahun kepada Yondri (43). Terdakwa terbukti menjual narkotika jenis sabu seharga Rp 50 ribu per paket. “Menyatakan Terdakwa Yondri Als Boyak Bin Salim (Alm)telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak menjual narkotika Golongan I sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu Penuntut Umum," ucap Ketua Majelis Yosep Butar Butar dengan didampingi oleh Hakim Anggota Agung Rifqi Pratama danFaiq Irfan Rofii di ruang sidang PN Teluk Kuantan, Rabu (12/03/2025). Kasus bermula saat Terdakwa menghubungi penjual narkotika pada Rabu (11/09/2024) sekira pukul 08.30 untuk membeli 1 paket narkotika jenis shabu seharga Rp 250 ribu. Kemudian pukul 17.30 Terdakwa membagi 1 (satu) paket narkotika jenis sabu tersebut menjadi 4 (empat) paket narkotika jenis shabu.Selanjutnya Terdakwa menjual kepada pembeli sebanyak 1 paket narkotika jenis shabu seharga Rp 50 ribu dan selanjutnya Terdakwa memakai pula 1 paket narkotika jenis shabu tersebut. Dalam persidangan Terdakwa mengakui perbuatan yang dilakukannya dan Terdakwa pun belum sempat menikmati keuntungan hasil penjualannya karena keburu ditangkap oleh polisi. Selain itu Terdakwa juga menunjukkan penyesalan atas perbuatan yang dilakukannya. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim mendasarkan penjatuhan berat dan ringannya Terdakwa pada aspek status kepemilikan narkotika, peran Terdakwa dalam kepemilikan narkotika dan sejauhmana tingkat kesalahan Terdakwa dalam kepemilikan narkotika. Atas putusan itu, Terdakwa dan Penuntut Umum menyatakan pikir-pikir.

PN Teluk Kuantan Vonis Pria 6 Tahun Bui di Kasus Sabu, Draf Putusan Disusun AI

article | Berita | 2025-03-06 14:05:38

Teluk Kuantan- Pengadilan Negeri (PN) Teluk Kuantan, Kuantan Singingi, Riau, menjatuhkan vonis 6 tahun penjara kepada Maralis als Buyit (30),  atas kepemilikan narkotika jenis sabu. Dalam menyusun draft putusan itu, majelis hakim dibantu kecerdasan buatan/Artificial intelligence (AI).“PN Teluk Kuantan menjatuhkan vonis 6 tahun penjara dan denda Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) kepada Maralis,” kata ketua majelis saat membacakan putusan dalam sidang, Kamis (6/3/2025).Sebagai informasi, putusan ini menandai sejarah baru sebagai putusan pertama di PN Teluk Kuantan yang hampir sepenuhnya disusun dengan bantuan Grok. Grok adalah kecerdasan buatan (AI) yang dikembangkan oleh xAI, dirancang untuk memberikan jawaban yang akurat dan kontekstual berdasarkan data yang diberikan, sering kali dengan pendekatan analitis dan objektif. Dalam kasus ini, Grok digunakan untuk menyusun draf putusan berdasarkan fakta hukum, keterangan saksi, dan bukti, dengan Majelis Hakim berperan sebagai tim quality assurance. Mereka memverifikasi, menyempurnakan, dan memastikan kualitas dokumen putusan tersebut, serta memberikan perubahan yang penting, terutama di bagian pertimbangan unsur pasal yang digunakan.Kembali kepada kasus Maralis, Kasus ini bermula pada 26 Agustus 2024, sekitar pukul 16.30 WIB, ketika Tim Reskrim Polsek Kuantan Hilir menangkap Maralis di sebuah pondok terpencil di Desa Kampung Medan, Kecamatan Kuantan Hilir, Kabupaten Kuantan Singingi. Penangkapan dilakukan berdasarkan laporan masyarakat yang mencurigai aktivitas peredaran narkoba di lokasi tersebut. Saat ditangkap, Maralis bersama seorang pria bernama Depri Helmizah als Idep, yang berhasil melarikan diri.“Dalam penggeledahan, polisi menemukan lima paket sabu seberat 0,46 gram, timbangan digital, bong, dan dua unit telepon genggam,” ujar Jaksa Penuntut Umum Riva Cahya Limba saat membacakan dakwaan dalam perkara ini. Penyelidikan lebih lanjut mengungkap bahwa pondok tempat Maralis ditangkap tersebut telah lama digunakan sebagai tempat peredaran narkoba yang sulit terdeteksi oleh aparat. Hasil uji laboratorium mengonfirmasi bahwa barang bukti yang ditemukan mengandung metamfetamina, yang tergolong narkotika golongan I.Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menilai bahwa meskipun Maralis tidak terbukti menjual atau menawarkan narkotika karena tidak ada bukti konkret yang menunjukkan ia terlibat peredaran, ia tetap setidak-tidaknya menguasai barang ilegal tersebut. Dengan demikian, Maralis terbukti melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, selaras dengan tuntutan Jaksa Pentuntut Umum yang bersidang. Putusan ini lebih tinggi dari tuntutan jaksa karena mempertimbangkan dampak negatif perbuatannya terhadap upaya pemberantasan narkoba di daerah terpencil.Selain menjatuhkan hukuman kepada Maralis, Majelis Hakim memerintahkan pemusnahan barang bukti berupa sabu dan alat konsumsi narkoba, sementara telepon genggam yang disita dirampas untuk negara. Kasus ini juga membuka pertanyaan tentang jaringan yang lebih luas, termasuk keterlibatan Depri Helmizah yang masih buron, serta dugaan peran Rio Contus sebagai pemasok.Putusan ini menyoroti tantangan besar dalam pemberantasan narkoba di pedesaan, di mana pondok-pondok terpencil terkadang menjadi tempat peredaran gelap yang sulit terdeteksi. Kasus Maralis juga menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan ketat serta sinergi antara aparat dan masyarakat dalam memerangi peredaran narkotika.Untuk diketahui, putusan itu diketok oleh ketua majelis Timothee Kencono Malye dengan anggota Samuel Pebriyanto Marpaung dan Nurul Hasanah.

PN Kayuagung Hukum Ibu Rumah Tangga Penjual Sabu 7 Tahun Penjara

article | Berita | 2025-03-04 13:25:20

Kayuagung – PN Kayuagung menjatuhkan pidana penjara selama 7 tahun dan denda 1 Miliar Rupiah kepada seorang Ibu Rumah Tangga pelaku penjual Narkotika jenis sabu. Hukuman tersebut dikenakan karena Terdakwa telah terbukti menjual sabu seberat 3,170 gram pada penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian.Dalam putusan yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan digelar di Gedung Pengadilan Negeri Kayuagung, Jalan Letnan Mukhtar Saleh Nomor 119, Kayuagung, Selasa (04/03/2025), Majelis Hakim yang diketuai oleh Guntoro Eka Sekti tersebut membacakan amar putusan yang pada pokoknya “Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara tanpa hak atau melawan hukum menjual Narkotika Golongan I, menjatuhkan pidana penjara selama 7 tahun dan denda sejumlah 1 Miliar Rupiah”.Kasus bermula pada bulan Agustus tahun 2024, Terdakwa yang juga berprofesi sebagai Pegawai Rumah Makan menelepon saudara Endang untuk meminta diantarkan sabu dengan harga 850 ribu Rupiah. Selanjutnya Terdakwa menerima sabu pesanannya tersebut dari orang suruhan saudara Endang. Setelah mendapatkan pesanannya, 1 (satu) paket Narkotika jenis sabu tersebut, Terdakwa bagi menjadi 12 (dua belas) bungkus yang kemudian disimpan di dalam tas dan bola lampu.“Selanjutnya Terdakwa sempat menjual sabu tersebut dengan cara pembeli datang langsung menemui Terdakwa di kontrakannya. Beberapa hari kemudian Terdakwa kembali memesan sabu kepada saudara Endang dengan harga yang sama. Di mana saat itu sabu tersebut belum sempat Terdakwa bagi dan langsung disimpan di dalam bola lampu,” Ucap Majelis Hakim yang beranggotakan Anisa Lestari dan Yuri Alpha Fawnia.Malam harinya ketika Terdakwa sedang berada di rumah, pihak kepolisian melakukan penggrebekan dan menemukan 12 (dua belas) bungkus plastik bening berisi sabu yang sebelumnya Terdakwa simpan di dalam tas dan bola lampu. “Adapun maksud dan tujuan Terdakwa memiliki Narkotika jenis sabu tersebut adalah untuk dijual kembali. Di mana apabila Narkotika tersebut berhasil terjual semua, maka Terdakwa akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah),” ungkap Majelis Hakim.Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai perbuatan Terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam memberantas peredaran atau penyalahgunaan narkotika sehingga menjadi salah satu keadaan yang memberatkan penjatuhan pidana. Sementara riwayat Terdakwa yang belum pernah dihukum dan dinilai menyesali perbuatannya dianggap sebagai keadaan yang meringankan perbuatan Terdakwa.Selama persidangan berlangsung, Terdakwa yang didampingi Tim Penasihat Hukumnya terlihat kooperatif mengikuti jalannya persidangan pembacaan putusan, yang dihadiri pula oleh JPU dari Kejaksaan Negeri Ogan Komering Ilir.Atas putusan itu, baik Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya maupun Penuntut Umum menyatakan pikir-pikir. (AL)

PN Kayuagung Hukum Pembawa Sabu 100 Gram Selama 11 Tahun Penjara dan Denda Rp 1,4 M

article | Berita | 2025-01-13 18:20:21

Ogen Komering Ilir- Pengadilan Negeri Kayuagung, Sumatera Selatan menjatuhkan vonis berupa pidana penjara selama 11 tahun dan denda sejumlah Rp1.400.000.000,00 kepada Terdakwa Narkotika, Sani Bin Erlani. Vonis tersebut dijatuhkan karena Sani dinilai terbukti membawa Narkotika jenis sabu seberat 100 gram. “Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara tanpa hak atau melawan hukum menerima Narkotika Golongan I yang beratnya melebihi 5 (lima) gram, menjatuhkan pidana penjara selama 11 tahun dan denda sejumlah Rp1.400.000.000,00,” tutur Majelis Hakim dalam sidang terbuka untuk umum, yang digelar di Gedung Pengadilan Negeri Kayuagung, Jalan Letnan Mukhtar Saleh Nomor 119, Kayuagung, Senin (13/01/2025). Kasus bermula saat Sani Bin Erlani menerima ajakan rekannya untuk membeli 100 gram sabu di Pasar Hewan Desa Sungai Pinang, dengan imbalan dapat memakai Narkotika tersebut sebanyak 1 gram pada 26 September 2024. “Setelah membeli Narkotika jenis sabu dengan berat bruto 100,94 gram, Terdakwa kemudian menerima sabu tersebut dari rekannya dan keluar dari Pasar Hewan dengan tujuan untuk dijual kembali,” ucap Majelis Hakim. Belum terlalu jauh dari Pasar Hewan, sepeda motor yang dikendarai oleh Sani dan rekannya dihentikan oleh pihak kepolisian yang sedang melakukan penyelidikan atas maraknya transaksi Narkotika di lokasi tersebut. Sempat ada upaya melarikan diri, tetapi pihak kepolisan berhasil melakukan penangkapan dan penggeledahan terhadap Sani.  “Dari penggeledahan tersebut, Terdakwa didapati sedang membawa sabu seberat 100,94 gram di tangan kanannya”. tutur Majelis Hakim yang terdiri dari Guntoro Eka Sekti, Yuri Alpha Fawnia, dan Anisa Lestari. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam memberantas peredaran Narkotika dan Terdakwa sudah pernah dihukum sebelumnya atas perkara Narkotika. Adapun keadaan yang meringankan, Sani dinilai menyesali perbuatannya dan tidak berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan. Selama persidangan berlangsung, Sani terlihat dengan saksama mendengar pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim. Hadir pula dalam sidang pembacaan putusan, JPU Paramitha dan Tim Penasihat Hukum yang dipimpin oleh Andy Wijaya. Atas putusan itu, baik Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya maupun Penuntut Umum menyatakan menerima. (AL)

PN Kayuagung Hukum Pembeli Sabu 3 Tahun Penjara dan Denda Rp 1 Miliar!

article | Berita | 2025-01-09 13:30:05

Ogan Komering Ilir- Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung menjatuhkan hukuman kepada terdakwa narkotika Remal Bin Kecer selama 3 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Remal terbukti membeli narkotika jenis sabu dengan berat 0,175  gram.​“Menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara tanpa hak atau melawan hukum membeli Narkotika Golongan I, menjatuhkan pidana penjara selama 3 tahun dan denda sejumlah Rp 1.000.000.000,00,” ucap ketua majelis, Agung Nugroho Suryo Sulistio dalam sidang terbuka untuk umum, yang digelar di Gedung PN Kayuagung, Jalan Letnan Mukhtar Saleh Nomor 119, Kayuagung, Rabu (8/1/2025).​Kasus dimulai ketika Remal memesan sabu seharga Rp 200 ribu melalui WhatsApp dengan maksud untuk dikonsumsi. Kemudian disepakati transaksi tersebut akan dilakukan di samping Hotel 21 yang berada di Jalan Lintas Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir.​“Setelah menghubungi penjual melalui aplikasi WhatsApp, terdakwa kemudian pergi menuju Hotel 21 yang di Jalan Lintas Timur dengan maksud untuk mengambil sabu yang dipesannya tersebut,” ucap majelis hakim.​Setibanya di lokasi, Remal langsung bertemu dengan penjual dan melakukan transaksi pembelian sabu tersebut. Selesai bertransaksi, Remal yang sedang duduk di atas sepeda motor didatangi pihak kepolisan. Merasa panik, ia pun langsung membuang paket sabu yang digenggamnya ke tanah. Pihak kepolisian yang melihat hal itu, langsung mengamankan Remal beserta sabu yang telah dibuangnya.​​“Dari penangkapan Terdakwa, ditemukan sabu seberat 0,175 gram yang diakui oleh Terdakwa dibelinya dari saudara Galih,” tutur Agung Nugroho Suryo Sulistio dengan didampingi anggota majelis Yuri Alpha Fawnia, dan Indah Wijayati.​Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai meskipun Terdakwa terbukti melanggar Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika. Namun dikarenakan jumlah barang bukti yang ditemukan tergolong sebagai jumlah pemakaian 1 (satu) hari maka berpedoman kepada SEMA Nomor 3 Tahun 2023, majelis hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menyimpangi ancaman pidana penjara minimum khusus. ​Selain itu, lanjut Agung, majelis hakim berpendapat walaupun perbuatan yang dilakukan Terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam memberantas peredaran narkotika. Namun sikap menyesal Terdakwa serta riwayatnya yang belum pernah dihukum menjadi pertimbangan dalam meringankan pidana.​“Kami menyatakan pikir-pikir” ucap JPU Fadilah Juliana Putri setelah mendengar amar putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim. Sementara Remal melalui tim penasihat hukumnya yang dipimpin oleh Andy Wijaya menyatakan menerima putusan. (AL,ASP,WI)