Cari Berita

Dikenal Sejak Raja Babilonia, Asas Praduga Tak Bersalah Eksis hingga Saat Ini

article | History Law | 2025-04-12 12:10:01

SOBAT DANDAPALA tentu tidak asing dengan asas praduga tak bersalah. Tapi tahukah anda bila asas ini mulai dikenal sejak zaman Raja Babilonia?Sebagaimana informnasi yang dihimpun DANDAPALA, Sabtu (12/4/2025), sejarah pertama asas praduga tak bersalah lahir pada zaman Raja Babilonia ke-6 yang dikenal sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Mesopotamia. Memerintah dari sekitar tahun 1792 hingga 1750 SM, ia tidak hanya mengubah wajah pemerintahan di Babilonia, tetapi juga memberikan kontribusi besar dalam pengembangan sistem hukum yang masih menjadi acuan hingga saat ini. Dikutip Dandapala di situs Encyclopedia Britannica, Hukum Hammurabi yang berisikan  282 kasus hukum meliputi ketentuan ekonomi (harga, tarif, perdagangan, dan niaga), hukum keluarga (perkawinan dan perceraian), serta hukum pidana (penyerangan dan perncurian), dan hukum perdata (perbudakan utang). Hukum Hammurabi adalah contoh paling awal dari seorang terdakwa yang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah (asas praduga tak bersalah). Dalam hukum ketiga Hammurabi menuliskan bahwa:Jika seseorang mengajukan tuduhan kejahatan apa pun di hadapan para penatua atau hakim istilah zaman sekarang, dan tidak dapat membuktikan apa yang dituduhkannya, jika itu tuduhan berat, maka penuduh harus dihukum mati. Hukum tersebut menggambarkan asas praduga tak bersalah pada masa pemerintahan Hammurabi. Di mana seseorang tidak langsung dinyatakan bersalah ketika mendapat tuduhan, melainkan tuduhan tersebut harus benar-benar dibuktikan. Dan jika penuduh yang berbohong (melakukan fitnah), maka penuduh akan mendapat hukuman. Filosofi praduga tak bersalah menekankan bahwa lebih baik membiarkan seorang yang bersalah bebas daripada menghukum yang tidak bersalah.Kemudian asas praduga tak bersalah ini diadopsi dalam hukum Romawi kuno. Hal itu dengan bukti dokumen Inggris seperti Magna Carta pada abad ke-13. Kemudian pada abad ke-18 dan ke-19 diikuti oleh sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law). Kemudian Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia membawa sistem hukum ini dan memberlakukannya di seluruh wilayah jajahannya (asas konkordasi).Seperti dikutip DANDAPALA dari Farihan Aulia, Sholahuddin Al-Fatih ‘Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Lasw dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir’ Legality, Vol.25, No.1, Maret 2017-Agustus 2017, diterangkan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam Pasal 8 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman menerangkan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Itulah sekelumit sejarah singkat asas praduga tak bersalah atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan presumption of innocence yang kita kenal saat ini.(EES/asp)

Profesi Hakim dan Kisah Nabi Sulaiman Adili Perkara Rebutan Bayi

article | History Law | 2025-03-22 08:05:00

DUA wanita datang kepada Nabi Daud ‘alaihissalam mengadukan perkara setelah salah satu anak mereka diterkam serigala. Mereka saling mengklaim bahwa anak yang masih hidup adalah miliknya. Wanita yang lebih tua bersikeras anak itu miliknya, sementara wanita yang lebih muda juga tidak mengalah. Berdasarkan bukti yang ada, Nabi Daud memutuskan anak tersebut diberikan kepada wanita yang lebih tua, sehingga wanita yang lebih muda pulang dengan sedih, sementara wanita yang lebih tua mengambil anak itu dengan senang.Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, yang dikenal akan hikmahnya, menyaksikan keadaan ini dan memutuskan untuk menguji keduanya.  Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memang dikenal seorang nabi yang memiliki pandangan tajam, diberi hikmah yang mendalam oleh Allah subhanahu wata’ala dan diajari bagaimana menjelaskan seruan-Nya. Dalam hati, beliau berpikir, “Yang dapat memutus perkara ini adalah perasaan yang lembut, bukan akal. Karena itu, aku akan meminta pandangan kedua wanita itu. Siapa yang kecintaannya lebih besar terhadap si anak, maka aku akan berikan anak itu padanya.” Kemudian, Nabi Sulaiman bertanya kepada mereka, “Masing-masing meyakini bahwa ini adalah anak kalian?” “Betul,” jawab mereka.“Dan kalian mengklaim itu adalah anak kalian?”  “Betul sekali.”   “Sekarang berikanlah aku pisau tajam untuk membelah anak ini jadi dua!”   Sontak wanita yang lebih muda berteriak keras, “Jangan, jangan lakukan itu! Itu anak dia!” Sementara wanita yang lebih tua hanya diam.    Akhirnya, wanita yang lebih muda merelakan anaknya diberikan kepada wanita yang lebih tua agar si anak bisa tumbuh bersamanya daripada harus dibelah dua. Dengan tumbuhnya si anak itu, walaupun bukan dalam asuhan dirinya, si wanita muda merasa lebih tenang. Memang, ibu mana yang tega melihat anaknya dibelah dua? Dari situ saja Nabi ‘alaihissalam bisa melihat, hingga kemudian beliau melirik kepada wanita yang lebih muda dan berkata, “Berarti itu adalah anakmu, ambillah!”Dari reaksi ini, Nabi Sulaiman menyimpulkan bahwa wanita yang lebih muda adalah ibu sejati karena menunjukkan kasih sayang yang besar. Akhirnya, Nabi Sulaiman memberikan anak tersebut kepada wanita yang lebih muda, membuktikan kebijaksanaannya dalam menyelesaikan perkara yang rumit.  Kebijaksanaan Nabi Sulaiman dan Nabi Daud juga disinggung dalam Alquran surah Al-Anbiya ayat 79. ''Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat), dan kepada masing-masing mereka (Daud dan Sulaiman) telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.'' Demikian kisah yang disarikan dari hadits sahih yang diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahîh-nya, tepatnya dalam Kitâb Ahâdîts al-Anbiyâ, Bâb Tarjamah Sulaimân, jilid 6, hal. 458, nomor hadits 3427, juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitâb al-Aqdhiyah, Bâb Ikhtilâf al-Mujtahidîn, jilid 3, hal. 1344, nomor hadits 1720. Pelajaran dari Kisah Ini yang dapat diambil hikmahnya untuk profesi Hakim adalah:1. Hakim harus menunjukkan kecerdasan dalam menetapkan hukum.Hal ini selaras juga dengan dalam kode etik pedoman perilaku hakim  yang diatur dakam Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI No. 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012. Dalam pembukannya menyataka bahwa hakim sebagai aktor utama atau  figure sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat banyak.2. Seorang hakim dapat mengoreksi keputusan hakim sebelumnya jika ditemukan fakta baru.Hal ini selaras dengan mekanisme upaya hukum Peninjauan kembali dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 67 huruf (b) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yag menyatakan bahwa syarat penunjauan kembali adalah apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.3. Pengambilan keputusan dapat didasarkan pada persepektif psikologis.Jika dikaji dari perspektif psikologi Nabi Sulaiman menunjukkan kecerdasan dan pemikiran kritis dalam menyelesaikan perkara ini. Dengan mengusulkan agar bayi dibelah dua, ia tidak benar-benar bermaksud melaksanakan tindakan itu, tetapi ingin melihat reaksi emosional dari kedua wanita tersebut. Ibu yang sebenarnya menunjukkan altruisme dan kasih sayang dengan rela mengorbankan haknya demi keselamatan anaknya.Referensi: https://khazanah.republika.co.id/berita/qf06dv430/kebijaksanaan-nabi-sulaimanhttps://islam.nu.or.id/hikmah/kecerdasan-nabi-sulaiman-dan-kisah-anak-diterkam-serigala-1pRsl

Indonesia Pernah Ubah Irah-Irah Putusan, Ini Sejarahnya!

article | History Law | 2025-03-18 10:35:40

Kepala atau irah-irah putusan saat ini berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Namun, apakah Dandafellas mengetahui kepala putusan saat ini ternyata sebelumnya tidak berbunyi demikian dan merupakan hasil penyesuaian beberapa kali?Begini sejarahnya!Sebagaimana dikutip dari Buku berjudul “Hukum Acara Pidana” (1983) karya Bismar Siregar, tercatat pengadilan pernah beberapa kali menggunakan kepala putusan. Mulai dari “Atas Nama Raja/Ratu”, “Atas nama Negara”, “Atas nama Keadilan”, hingga terakhir  menggunakan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sudikno Mertokusumo dalam Disertasinya: “Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan di Indonesia Sejak 1942”, menyebutkan sebelum Indonesia merdeka, terlebih dahulu Indonesia menggunakan Irah-Irah Putusan “Atas Nama Raja/Ratu”. Dalam terjemahan Belanda, Iran-Irah tersebut berbunyi “In naam der Koningin”. Dapat dimaklumi mengapa bunyinya demikian. Dikarenakan, saat itu Nusantara masih sebagai Negara Hindia Belanda.Namun kemudian setelah Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Irah-Irah tersebut tidak digunakan lagi. Kepala putusan setelah itu berubah menjadi “Atas nama Negara”, “Atas nama Keadilan”, hingga terakhir “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Penyesuaian beberapa kali kepala putusan ini, tampaknya sangat kental dipengaruhi politik hukum perumusan perundang-undangan tentang kekuasaan kehakiman.Coba ditengok,Pada tahun 1948 Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 (UU 19/1948) Tentang Susunan dan Badan-Badan Kehakiman. Di dalam Beleid tersebut, diatur bahwa peradilan di seluruh daerah Negara dilaksanakan “atas nama Negara Republik Indonesia”. Kemudian berselang 2 (dua) tahun pada tahun 1950 saat Indonesia memasuki fase Republik Indonesia Serikat (RIS), rumusan fundamental ini diubah.  Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 Tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan-Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia (UU 1/1950) disebutkan Peradilan di Indonesia bukan lagi dilaksanakan atas nama Negara Republik Indonesia, tetapi dilaksanakan “Atas nama Keadilan”. Baru setelah itu, hingga saat ini akhirnya Kepala Putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal tersebut terkandung di dalam undang-undang kekuasaan kehakiman yang berlaku saat ini.Patut disyukuri, setelah mengalami beberapa kali penyesuaian kepala putusan, Tuhan Yang Maha Esa telah menakdirkan Bangsa Ini dimana setiap putusan-putusannya diharuskan dilaksanakan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Namun penting diketahui Insan Peradilan, apa makna hakiki kepala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" ini?Bismar Siregar menuturkan makna Irah-Irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” ini begitu sakral. Ia menyebut irah-irah tersebut mengandung makna sumpah dan pertanggungjawaban seorang hakim dalam setiap memutus suatu perkara. Apabila didengungkan kira-kira bunyi kata-kata sumpah tersebut seperti ini:“Aku bersumpah atas Nama Keadilan-Mu Ya Tuhan Yang Maha Esa dalam memutuskan perkara ini!”Sehingga atas setiap sumpah yang diucapkan seorang hakim itu, tentu akan selalu diminta pertanggungjawabannya oleh Tuhan Yang Maha Esa.Oleh karena begitu sakralnya, setiap ucapan sumpah hakim saat hendak memutuskan perkara, maka hendaknya seorang hakim untuk selalu berdoa memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa sebelum memutuskan perkara. Lalu menumbuhkan kesadaran diri dan selalu berusaha memperbaiki diri untuk menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga putusan atau penetapannya tersebut tidak terjebak kepada putusan yang berdasarkan “kepentingan uang”, “kepentingan golongan” atau “kepentingan hawa nafsu”.Referensi:Mengenang Bismar: Irah-Irah, Kepala Putusan yang Bermakna Sumpah (www.hukumonline.com)Keadilan Atas Nama Siapa? (www.hukumonline.com).

Mengenal Sri Widoyati, Hakim Agung Perempuan Pertama di Indonesia

article | History Law | 2025-03-10 09:35:27

Jakarta- Amerika Serikat baru memiliki hakim agung perempuan di tahun 1981. Sedangkan Indonesia sudah memiliki tahun 1968. Siapa srikandi pengadilan itu?Sejarah mencatat, terdapat perempuan yang menjabat sebagai Hakim Agung RI, sejak Agustus 1968. Sosok tersebut, Sri Widoyati Wiratmo Soekito yang lahir di Kendal, tanggal 29 September 1929. Sri Widoyati Wiratmo menamatkan pendidikan Sarjana Hukumnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 1955. Pernah menjabat sebagai hakim tingkat pertama di beberapa Pengadilan, antara lain Pengadilan Negeri Demak, Kendal, Purwodadi, Salatiga dan Semarang. Sebagai sosok hakim perempuan yang dikenal jenius, Sri Widoyati Wiratmo dipercaya menjabat sebagai pimpinan Pengadilan Negeri, antara lain Ketua Pengadilan Negeri Kudus, Jepara dan Semarang. Kehebatannya memimpin pengadilan tingkat pertama, membawanya promosi menjadi Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta tahun 1962 sampai dengan 1968. Selanjutnya tahun 1968, Sri Widoyati Wiratmo diangkat menjadi Hakim Agung perempuan pertama di Indonesia. Pengangkatannyaa sebagai Hakim Agung RI perempuan, mengalahkan negara maju dan adidaya yang baru memiliki Hakim Agung perempuan di medio tahun 1980an, ambil contoh Amerika Serikat mengangkat Sandra Day O’Connor sebagai Hakim Agung perempuan pada tahun 1981. Sri Widoyati Wiratmo selain memiliki pengetahuan hukum yang cemerang, dirinya dikenal juga sebagai hakim yang menjaga integritasnya. Bahkan hasil riset seorang peneliti hukum asal Belanda Sebastian Pompe, bahwa Sri Widoyati Wiratmo adalah hakim perempuan yang hidupnya sederhana dan menolak untuk memperkaya diri, untuk menjaga kedudukan serta kewibawaan Mahkamah Agung RI. Demikian juga apresiasi lahir dari advokat senior Adnan Buyung Nasution yang memberikan testimoni bahwa Sri Widoyati Wiratmo adalah seorang pejuang hukum dan keadilan yang pernah dimiliki Indonesia. Karirnya sebagai hakim, tidak menyurutkan keaktifannya dalam berbagai organisasi profesi dan sarjana, antara lain menjadi pengurus pusat Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), tahun 1963-1964, pengurus pusat Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI). Di internal organisasi Mahkamah Agung RI, di mana Sri Widoyati Wiratmo pernah didapuk sebagai Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) cabang  Jakarta Raya tahun 1966-1967 dan Ketua Sekretariat Bersama Pengabdi  Hukum Tahun 1967-1971. Demikian juga, semasa hidupnya Sri Widoyati Wiratmo aktif dalam mendorong pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan antara lain UU Hak Cipta, UU Perkawinan dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu, bersama sarjana dan tokoh hukum lainnya menginisiasi pembentukan Universitas Semarang tahun 1956.  Hakim Agung perempuan pertama di Indonesia dimaksud, juga aktif memprakasai dan mengadvokasi perempuan Indonesia untuk berkarya dalam bentuk menulis berbagai karya sasta, yang kemudian dirangkum dalam satu buku berjudul Anak dan Wanita dalam Hukum yang diterbitkan LP3ES. Sosok perempuan hebat tersebut, wafat tanggal 20 Februari 1982, saat berjuang melawan penyakit kanker yang dideritanya dari tahun 1980.Sumber referensi :1.https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sri_Widoyati2. https://www.hukumonline.com/berita/a/ia-yang-pertama-perempuan--terlupakan--menyimpan-pujian-lt640f1bf6221d1/3. https://www.hukumonline.com/berita/a/3-kisah-pilihan-hakim-agung-dan-hakim-konstitusi-inspiratif-lt6596592e06952/?page=24. https://www.kompas.id/artikel/kepemimpinan-hakim-perempuan

Arsip Pengadilan 1932 : Cikal Bakal Lahirnya Fidusia Di Indonesia

article | History Law | 2025-03-08 12:20:14

Dalam sejarah perkembangannya di Indonesia, jauh sebelum adanya Undang-Undang yang mengatur tentang jaminan fidusia, eksistensi dari lembaga fidusia telah diakui. Ini berangkat dari adanya perkembangan sosial yang terjadi di masyarakat, misalnya adanya kebutuhan yang mendesak dari para pedagang, pengusaha kecil dan pengecer yang mengingingkan fasilitas kredit untuk memenuhi kebutuhan usahanya. Namun adanya kebutuhan tersebut, haruslah juga diimbangi dengan adanya jaminan bagi kreditur yang akan memberikan pinjaman modal. Dalam kondisi seperti itu pada masa itu, lembaga hipotik tidak menjadi pilihan yang tepat, dikarenakan kebanyakan dari mereka tidak memiliki tanah sebagai jaminan.Pada masa pemerintahan Hindia Belanda waktu itu, ada lembaga hukum yang disebut dengan Voorraad Pand yang dibentuk untuk menampung kebutuhan fidusia. Akan tetapi dalam praktiknya kurang populer, dikarenakan kepemilikan dari debitur terhadap benda objek jaminan sangat kuat. Dalam sejarah hukum di negara kita, lembaga fidusia pertama yang diakui oleh yurisprudensi di zaman Hindia Belanda adalah melalui putusan Hooggerechtshof (HGH) tanggal 18 Agustus 1932.Duduk perkaranya secara singkat sebagai berikut:Pedro Clygnett selanjutnya disebut Clygnett meminjam uang dari Bataafse Petrolium Maatschappy selanjutnya disebut: B.P.M. dan sebagai jaminan ia telah menyerahkan hak miliknya atas sebuah mobil. Mobil tersebut tetap ada dalam penguasaan Clygnett, tetapi selanjutnya bukan sebagai pemilik tetapi sebagai peminjam pakai. Jadi ada penyerahan secara constitutum possessorium. Dalam perjanjian disepakati, bahwa pinjam pakai itu akan diakhiri antara lain, kalau Clygnett wanprestasi dan dalam hal demikian Clygnett wajib untuk menyerahkan mobil tersebut kepada B.P.M. Ketika Clygnett benar-benar wanprestasi, maka pihak B.P.M. mengakhiri perjanjian pinjam pakai tersebut di atas dan menuntut penyerahan mobil jaminan, yang ditolak oleh pihak Clygnett dengan mengemukakan sebagai alasan, bahwa mobil tersebut bukan milik B.P.M. dan perjanjian yang ditutup antara mereka adalah perjanjian gadai. Karena mobil jaminan tetap dibiarkan dalam penguasaan dirinya, maka perjanjian gadai itu adalah batal. Ketika perkara itu sampai pada Hooggerechtshof Batavia, maka HGH menolak alasan Clygnett dan mengatakan, bahwa perjanjian penjaminan Itu adalah suatu penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang sah. Sejak keputusan tersebut, fidusia mendapatkan pengakuannya secara jelas dalam yurisprudensi di Indonesia.Sejak ada putusan B.P.M. tersebut, semakin banyak putusan pengadilan baik pada Mahkamah Agung di zaman Hindia Belanda (HGH) maupun Mahkamah Agung dan juga pengadilan di bawahnya di zaman Indonesia merdeka yang telah mengikuti putusan B.P.M. tersebut. Berikut beberapa putusan pengadilan yang telah mengakui adanya lembaga fidusia yaitu:Lembaga fidusia hanya diperuntukkan terhadap benda bergerak (Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 158/1950/Pdt tanggal 22 Maret 1951 dalam perkara antara Algemene Volkscrediet Bank di Semarang melawan The Gwan Gee dan Marpuah).Membenarkan pengikatan fidusia sepanjang mengenai percetakan dan gedung perkantoran (Putusan Mahkamah Agung No. 372/K/Sip/1970 tanggal 1 September 1971 dalam perkara antara BNI Unit Semarang melawan Lo Ding Siang).Menegaskan bahwa kreditur pemilik fidusia (atas besi beton dan semen) bukanlah pemilik yang sebenarnya, tetapi hanya sebagai pemegang jaminan utang saja, sehingga jika utang tidak dibayar, pihak kreditur tidak dapat langsung memiliki benda tersebut (Putusan Mahkamah Agung No. 1500 K/Sip/1978, tanggal 2 Februari 1980).Bahwa dalam praktik sehari-hari lembaga fidusia ternyata telah memberikan peranan penting dalam perkembangan perekonomian, terutama dalam menjamin pemberian kredit yang ada. Dalam pelaksanaannya, fidusia tidak hanya dipergunakan untuk menjamin kredit-kredit, melainkan juga untuk menjamin pelunasan suatu jual beli yang dilakukan tidak secara tunai.Walupun lembaga fidusia telah menjadi jalan keluar sebagai jaminan kredit berupa benda bergerak di samping gadai, tetapi dalam pelaksanaannya masih menimbulkan persoalan yang baru, misalnya: terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan, terdapat celah bagi pemberi fidusia untuk menjaminkan benda yang telah dibebani fidusia tersebut kepada pihak lain tanpa sepengetahuan penerima fidusia. Selain itu pada umumnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia hanya terbatas pada benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Sementara berdasarkan perkembangan yang ada, objek jaminan fidusia bisa saja meliputi pada benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Dengan adanya persoalan tersebut, maka dibentuklah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.Adanya cikal bakal pengaturan lembaga fidusia di negara kita yang berawal dari yurisrudensi, menunjukkan kalau eksistensi putusan hakim dapat menjadi jalan keluar dalam mengisi kekosongan hukum. Sehingga tidak selamanya hukum harus jauh tertinggal dari perkembangan masyarakat.   Sumber Referensi:Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, J. Satrio, S.H, Bandung, 2005Tinjauan Sejarah Lembaga Fidusia di Indonesia, Andhika Desy Fluitahttps://www.kompas.com/stori/image/2023/10/03/170000479/kebijakan-jalan-tengah

Soekardjo Wirjopranoto, Dari Hakim, Pejuang Kemerdekaan hingga Dubes RI untuk PBB

article | History Law | 2025-03-06 19:25:07

Jakarta- Raden Soekardjo Wirjopranoto menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Dubes RI untuk PBB saat sidang perebutan Papua dari Belanda. Siapa nyana, Soekardjo ternyata mempunyai latar belakang hakim Landraad (Pengadilan Negeri).Hal itu sebagaimana DANDAPALA kutip dari Buku ‘Tokoh-Tokoh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia’, Jumat (6/3/2025). Buku itu diterbitkan Depdikbud tahun 1993. Soekardjo Wirjopranoto lahir pada 5 Juni 1903 dan merupakan anak mandor Staatsspoor (Jawatan Kereta Api). Masa kecil hingga besar ia habiskan di tempat kelahirannya, Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah.Sekolahnya dimulai di Europasche Lagere School (ELS) di Kota Cilacap. Ia bisa sekolah di ELS karena kakek Soekardjo Wirjopranoto adalah pegawai Keraton Surakarta. Soekardjo Wirjopranoto lalu menempuh ujian Klein Ambtenaar Examen, yaitu tamatan HIS yang ingin bekerja sebaagi pegawai pemerintah Hindia Belanda.Pada 1917, Soekardjo Wirjopranoto lulus ELS dan melanjutkan sekolah di Rechtschool di Jakarta. Soekardjo Wirjopranoto juga mahir bermain musik dan kerap mengadakan pertunjukan di sekolahnya.Pada 1923, Soekardjo Wirjopranoto selesai menempuh pendidikan di Rechtschool. Ia kembali ke kampung halamannya sebagai pegawai di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.Tiga tahun setelahnya, Soekardjo Wirjopranoto pindah tugas ke PN Magelang. Namun hanya 10 hari dinas di PN Magelang. Pangkalnya, ia berselisih dengan Ketua PN Magelang yang orang Belanda. Selisih itu bermula saat Ketua PN Magelang itu menuduh Soekardjo Wirjopranoto tidak menganggukan kepala saat berpapasan. Soekardjo Wirjopranoto tidak terima dengan tuduhan itu."Kalau tuan tidak percaya, istri saya boleh dipanggil. Bahkan waktu itu istri saya bertanya, mengapa saya menghormat Tuan?" kisah Soekardjo Wirjopranoto.Akhirnya Soekardjo Wirjopranoto pidah tugas di Landraad Lumajang. Pada 1929, Soekardjo Wirjopranoto dipromosikan menjadi hakim anggota majelis (lid Van de Landraad) di Landraad Malang. “Sebagai anggota majelis hakim, Soekardjo Wirjopranoto bekerja sangat tekun dan teliti, dan walaupun pangkatnya tetap tinggi tetapi ia tidak sombong.Dalam menilai orang lain ia selalu menghubungkan dengan dirinya. Ia pun menyadari bahwa sebagai pegawai negeri, harus bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial, yakni pemerintah yang menjajah negerinya. “Untuk itu ia selalu memikirkan nasib rakyatnya yang sedang dijajah, bahkan dengan keadaannya sekarang ia tidak bebas bergerak. Karena itu setelah masa dinas di Pengadilan Negeri berakhir, ia mengajukan permohonan untuk ke luar dari dinas pemerintahan. Permohonannya itu dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda,” kisahnya.Usai melepas toga hakim, Soekardjo Wirjopranoto menjadi advokat dengan mendirikan kantor hukum ‘Wijnoe’. Dengan profesi baru ini, Soekardjo Wirjopranoto semakin bisa bebas bergerak membela kebenaran dengan turun langsung membela rakyat.“Kalau dulu sebagai anggota Majelis Hakim Soekardjo menjatuhkan vonis atau hukuman, maka selaku pengacara Soekardjo berdiri di hadapan hakim untuk membela rakyat yang lemah dalam mempertahankan kebenaran.”Tidak hanya sebagai advokat,  Soekardjo Wirjopranoto masuk gelanggang politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia memimpin Boedi Oetomo cabang Malang.“Pada tahun 1931 Soekardjo diangkat menjadi anggota Volksraad mewakili Boedi Oetomo. Untuk keperluan tugasnya ia bertempat tinggal di Jakarta. Sesekali ia menengok keluarganya di Malang,” kisahnya.Di Volksraad, ia bergabung di Fraksi Nasional bersama-sama Moehammad Hoesni Thamrin, R. Oto Iskandar Di Nata, R. Pandji Soeroso, Mochtar bin Prabu, Abdoel Rasjid, Jahja, Wiwoho, Soangkoepoen, dan Moehammad Noor.  Di luar Volksraad, Soekardjo juga aktif di dunia pers. Pada 1941, ia menjabat pemimpin surat kabar Berita Oemoem di Jakarta. Dalam permulaan masa pendudukan Jepang, Soekardjo menjabat pemimpin surat kabar Asia Raya. Ia juga menjabat anggota panitia Adat dan Tata Negara, di samping menjadi anggota Tjhuo Sangi-in. Pandangan Soekardjo soal kemerdekaan pers dapat dilihat dari sikapnya yaitu:. . . . . . Pers dengan pergerakan rakjat itoe , tidak boleh dipandang ringan sebagai bahasa jang satoe dengan jang lain mempoenjai perhoeboengan djalan sadja, akan tetapi didalam hakekatnja Pers dengan pergerakan rakjat itoe adalah satoe badan belaka. Maka soedahlah mendjadi kewadjiban kita kaoem pergerakan seoemoemnja oentoek berdaja oepaja sekeras-kerasnja dengan segala kekoeatan dan kepandaian jang ada pada kita oentoek melawan Oendang-Oendang jang menjempitkan kemerdekaan Pers itoe. Hanja Pers jang ada ditangan kaoem pergerakan sadja jang dapat menjoearakan soeara ‘Indonesia Merdeka’.Lewat berbagai kegiatan selepas keluar dari hakim, Soekardjo Wirjopranoto terus melakukan langkah-langkah politik agar Indonesia merdeka.  Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia menjadi jubir negara. Pada 1950, Soekardjo diangkat sebagai Dubes RI untuk Vatikan dan Italia. 7 Tahun setelahnya, ia menjadi Dubes RI untuk RRC dan tiga tahun setelahnya menjadi Dubes RI untuk PBB dengan agenda tunggal memasukkan Irian ke Republik Indonesia. Tugasnya itu diemban dengan sempurna hingga Papua masuk menjadi wilayah Republik pada 15 Agustus 1962.Namun dua bulan setelahnya atau 23 Oktober 1962, Sukardjo mendapat serangan jantung dan meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata, beberapa hari setelahnya.

Hakim PN Sibolga Blusukan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Sibolga

photo | Berita | 2025-03-06 14:00:06

Sibolga – Sumatera Utara.Hakim Wasmat PN Sibolga Fitrah Akbar Citrawan melakukan pengawasan dan pengamatan (wasmat) terhadap Terpidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Sibolga (6/3/2025).  Dalam kegiatan tersebut telah dilakukan checking on the spot, observasi, dan wawancara kepada Narapidana.

Arsip Pengadilan 1922: Malam-malam Napi Dikeluarkan Kalapas untuk Mencuri

article | History Law | 2025-03-01 17:30:45

Jakarta- Landraad, kini Pengadilan Negeri, menjadi salah satu saksi sejarah Indonesia pra kemerdekaan. Salah satunya soal kasus pencurian yang ternyata dilakukan oleh napi yang sedang mendekam di dalam penjara. Kok bisa?Hal ini terungkap dalam buku 'Kebebasan Hakim-Analisis Kritis Terhadap Peran Hakim dalam Menjalankan Kekuasaan Kehakiman' karya Arbijoto seperti dikutip DANDAPALA, Sabtu (1/3/2025). Hakim agung 1998-2006 ini menceritakan kasus pencurian di Trenggalek, Jawa Timur (Jatim) yang diadili di Landraad setempat pada 1922.Dalam persidangan era kolonial ini, seorang saksi korban memberikan keterangan di bawah sumpah yaitu melihat pelaku mencuri di rumahnya. Kesaksiannya itu disampaikan di bawah sumpah Al Quran.Saksi korban mengaku melihat dengan jelas karena lampu petromak sangat terang. Apalagi, si pelaku juga teman satu desa pemilik rumah sehingga ingat muka pencuri tersebut.Tapi apa alibi terdakwa atas kesaksian itu?"Terdakwa lalu mengajukan alibi bahwa pada malam terjadinya pencurian, dia sedang berada di penjara Trenggalek," cerita Arbijoto dalam bukunya.Setelah dicek di sana-sini, pengakuan pencuri ini benar adanya. Menurut catatan jaksa setempat, pelaku saat kejadian sedang di dalam penjara karena sedang menjalani masa hukuman untuk kasus lain.Akhirnya, alibi terdakwa itu diamini oleh majelis hakim. Akhirnya sang pencuri divonis bebas. Lalu bagaimana dengan saksi korban/pemilik rumah? Apes! Si saksi korban giliran duduk di kursi pesakitan dengan delik 'sumpah palsu'.Atas fakta yang bertentangan itu maka majelis hakim yang harus membongkar apakah kesaksian korban yang benar atau alibi pencuri yang salah. Setelah melalui persidangan pelik, dalam sidang  kasus ’sumpah palsu' terungkap fakta yang menggemparkan.Ternyata di pencuri dikeluarkan malam-malam oleh Kepala Penjara untuk mencuri."Terdakwa pencurian pada malam kejadian sengaja dikeluarkan oleh Kepala Penjara dengan suatu perjanjian bahwa pada jam 20.00 WIB hingga jam 05.00 WIB, terdakwa diperkenankan keluar rumah penjara untuk menjalankan pencurian yang hasilnya dibagi di antara kedua orang itu," kisah Arbijoto.Akhirnya si pencuri tidak jadi bebas, dan pemilik rumah lolos dari tuduhan sumpah palsu. Sementara Kepala Penjara harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Arsip 1986: Kartu Advokat Adnan Buyung Nasution Dibekukan Gegara Protes Sidang

article | History Law | 2025-02-28 16:40:06

Jakarta- Pengacara senior Adnan Buyung Nasution pernah dibekukan kartu advokatnya oleh pengadilan pada 1986. Pangkalnya, ia protes saat hakim sedang membacakan putusan. Bagaimana kisahnya?Kasus ini berawal ketika Adnan Buyung Nasution menjadi pembela terdakwa kasus subversi HR Dharsono. Di mana HR Dharsono yang merupakan seorang militer yang dituduh berkomplot dengan AM Fatwa yang melakukan pemboman gedung BCA di Jakarta. Latar belakang Dharsono yang cukup mentereng yakni mantan Panglima Kodam Siliwangi, Sekjen ASEAN dan Anggota Petisi 50 membuat kasus ini sempat menjadi perhatian seantero negeri.Sejak 8 Januari 1986 pagi, gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sudah ramai dengan simpatisan Dharsono. Suasana ruang sidang juga dipadati media dan pendukung Darsono. Agenda hari itu adalah pembacaan putusan hakim dengan susunan majelis, Soedijono, sebagai hakim ketua, Ali Budiarto dan Achmad Intan,m sebagai hakim anggota. Pada saat Majelis Hakim membacakan putusan, Buyung tiba-tiba merasa tersinggung dengan uraian hakim di dalam pertimbangan putusan yang menyebutkan Buyung tidak etis. Serta merta Adnan Buyung berdiri dan menyambar pengeras suara. “Saya protes kata-kata Majelis itu – siapa yang tidak etis?”. Mendengar protes Buyung seketika massa yang ada di dalam ruang sidang menjadi semakin ricuh meneriaki hakim. Melihat kondisi yang semakin tidak kondusif akhirnya hakim ketua Soedijono menghentikan pembacaan putusan dan menskor sidang saat itu. Perlu pembaca ketahui bahwa ruang sidang yang terletak di lantai tiga PN Jakpus itu sudah dipadati ratusan orang. Dharsono yang juga anggota petisi 50, menjadi magnet bagi para aktivis anti Orba dan mantan pejabat penting untuk hadir di ruang sidang. Di antaranya ada Ali Sadikin (mantab Gubernur Jakarta), Hoegeng Iman Santoso (Mantan Kapolri) dan anggota petisi 50 lainnya. Setelah hakim keluar dari ruang sidang, masuklah para petugas kepolisian untuk mengamankan suasana. Melihat hal ini kemudian Buyung mengusir polisi dengan mengatakan. “Ruangan ini wewenang hakim, bukan polisi. Polisi keluar!”.Kejadian ini kemudian oleh Soedijono dilaporkan kepada Ketua PN Jakpus. Seobandi yang kemudian diteruskan kepada induk badan peradilan yang waktu itu adalah Departemen Kehakiman. Merespon kejadian ini, pada 11 Mei 1986, Ismail Saleh selaku Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Keputusan pembekuan atau pencabutan izin sementara Adnan Buyung Nasution sebagai pengacara. Pencabutan izin ini berlaku selama satu tahun yang membuat Buyung tidak bisa beracara di seluruh pengadilan yang ada di Indonesia. Di dalam konsiderannya Adnan Buyung dianggap telah menghina atau merendahkan martabat lembaga peradilan. Selain itu Menkeh dalam jumpa pers juga menyatakan “Menteri Kehakiman yang mengangkat (sumpah) dan memberhentikan advokat, jadi yang berwenang menjatuhkan tindak administrasi adalah Menteri Kehakiman”.Tidak tinggal diam Adnan Buyung sempat menggugat SK Menteri Kehakiman tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Buyung mendalilkan perbuatan Menkeh Ismail Saleh merupakan perbuatan melawan hukum karena tidak berdasar. Oleh sebab itu Buyung meminta agar Menkeh dinyatakan PMH, membayar ganti rugi sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) dan merehabilitasi nama baik serta kehormatan Buyung sebagai advokat. Dalam perkara gugatan ini Menkeh diwakili oleh dua pengacara yang juga guru besar yakni Prof Oemar Senoadji dan Prof Sudargo Gautama. Menurut dua begawan hukum ini, tindakan Menkeh Ismail Saleh sudah benar. Keputusan Menkeh masih dalam kewenangannya dalam mengawasi penasihat hukum(advokat). Wewenang ini lahir dari UU Mahkamah Agung dan Peradilan Umum yang identik dengan pengawasan advokat yang sudah ada sejak era Rechtelijke Organisatie yang berlaku di Indonesia sejak 1 Mei 1848. Selain itu kasus Adnan Buyung ini tidak termasuk perkara pidana ataupun perdata, melainkan perkara administratif. Majelis Hakim yang saat itu diketuai Sakir Ardiwinata serta hakim anggota Reni Retnowati dan LO Siahaan dalam putusan menyatakan bahwa skorsing Buyung sudah dilakukan dengan proses administrasi yang baik. Hal ini sebab sudah melalui proses panjang termasuk meminta keterangan dari Organisasi Advokat IKADIN. Perlu diketahui bahwa sebelumnya Dewan Kehormatan IKADIN juga sudah menyatakan bahwa perbuatan Buyung melanggar kode etik advokat. Pada akhirnya gugatan Buyung dinyatakan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim dan ia dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp 47.500,00(empat puluh tujuh ribu lima ratus rupiah).

Mengenal Kusumah Atmaja Ketua MA Pertama yang Disegani Presiden Soekarno

article | History Law | 2025-02-25 12:45:47

Jakarta- Jika kita berjalan di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), tampak sebuah patung yang seolah menjadi simbol MA. Banyak yang mengetahui patung tersebut adalah Ketua MA pertama, Prof Dr Kusumah Atmaja SH. Namun banyak yang tidak mengetahui keteladanannya. Kusumah Atmaja lahir di Purwakarta, 8 September 1898 dan meninggal di Jakarta, 11 Agustus 1952. Kusumah Atmaja memperoleh gelar diploma dari Rechtsschool pada tahun 1913. Kariernya di dunia pengadilan dimulai sebagai pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan di Bogor (1919). Pada tahun 1919, Kusumah Atmaja melanjutkan pendidikan hukumnya di Universitas Leiden, Belanda dan mendapat gelar Doctor in de recht geleerheid pada tahun 1922. Kembali ke Hindia Belanda, beliau dipercaya menjadi hakim di Raad Van Justitie (setingkat Pengadilan Tinggi) Batavia dan setelahnya diangkat menjadi Voor Zitter Landraad (Ketua Pengadilan Negeri) di Indramayu. Pada masa penjajahan Jepang, Kusumah Atmaja pernah menjabat Ketua Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) di Semarang, Hakim Pengadilan Tinggi Padang dan Hakim Pengadilan Tinggi Semarang. Kusumah Atmaja kemudian menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung, selama 7 tahun, sejak tahun 1945 sampai wafat pada tahun 1952. (Lembaga Kajian dan Independensi Peradilan, 2016)Tantangan Selama Jadi Ketua MAKusumah Atmaja selaku Ketua MA pertama menghadapi tantangan-tantangan zaman Revolusi. Di mana masih belum ada kejelasan tugas dan kewenangan MA. Namun demikian, keteguhan hati Kusumah Atmaja dalam memegang prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman, membuat Presiden Soekarno segan kepadanya. Daniel S. Lev dalam wawancara dengan Tempo pada November 1989, mengatakan bahwa akan sulit menemukan kembali figur seperti Kusumah Atmaja di dunia pengadilan.Sebastiaan Pompe, Penulis Buku Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, mencatat sebuah insiden pada tahun 1951 ketika Kusumah Atmaja, dalam sebuah jamuan resmi kenegaraan, tidak diberi tempat duduk sesuai dengan posisinya. Sebagai pemegang prinsip tentang pentingnya martabat kelembagaan MA, Kusumah Atmaja marah dan mengancam akan meninggalkan jamuan jika tidak diberi tempat sesuai dengan martabat jabatannya, yaitu tepat di sebelah Presiden.   Sebastiaan Pompe memandang insiden ini penting untuk para hakim dalam berjuang untuk mendapatkan perlakuan hormat bagi jabatan mereka. Pada saat awal kemerdekaan tersebut, para pemimpin politik Indonesia tidak menerima begitu saja kedudukan dan peran MA dan dalam kenyataannya MA mendapat sikap diremehkan.  Dalam penanganan perkara, MA mendapat tekanan dari Presiden yaitu pada perkara percobaan kudeta Sudarsono dan penculikan Perdana Menteri Sjahrir pada 26 Juni 1946 di Solo. Berdasarkan penelusuran Tempo dan Sebastiaan Pompe, percobaan kudeta tersebut gagal dan tokoh-tokohnya yang terlibat diadili. Beberapa Terdakwa memiliki hubungan dekat dengan Presiden Soekarno dan ada dugaan bahwa Soekarno menekan agar MA bersikap lunak. Meskipun demikian, Ketua MA Kusumah Atmaja menentang tekanan ini, serta mengancam akan mundur dari jabatannya kalau Soekarno berkeras. Bahkan dalam tiga pertimbangan putusannya, Kusumah Atmaja merasa perlu menekankan dengan tegas bahwa MA adalah lembaga mandiri yang harus tetap bebas dari campur tangan politik.  Akhirnya pada 27 Mei 1984, Kusumah Atmaja memvonis 18 bulan penjara untuk Sudarsono dan kawan-kawan. Dari sisi internal MA, Kusumah Atmaja menghadapi tantangan tuduhan korupsi. MA nyaris memecat salah seorang Hakim Agung pada awal 1950-an, ketika terdapat dugaan kuat bahwa salah seorang Hakim Agung terlibat korupsi. Meskipun baru dugaan korupsi saja, hal tersebut sudah cukup membuat Kusumah Atmaja untuk membentuk sebuah tim komite, yang menyertakan pihak luar, untuk menyelidiki masalah tersebut. Dalam pandangannya, integritas kelembagaan sedemikian penting hingga harus ditopang dengan pengawasan publik. Dugaan korupsi tersebut timbul karena perkara penyelundupan yang ditangani Hakim Agung tersebut, di mana ia diperkirakan memberi saran kepada presiden menyangkut amnesti. Kusumah Atmaja sangat keras dan tegas dalam menangani korupsi dan menegaskan bahwa semua hakim agung harus mutlak bersih. Ia melarang Hakim Agung tersebut memasuki gedung Mahkamah Agung dan melarangnya bertugas sebagai hakim sampai masalahnya selesai. Hakim Agung tersebut pun akhirnya hanya berdiam di rumah, dan tidak bekerja. Namun akhirnya, kasus dugaan korupsi Hakim Agung tersebut menguap, terutama karena Ketua MA Kusumah Atmaja, yang menangani masalah itu dengan tegas, keburu wafat.Prinsip integritas dan independensi ini dipegang teguh oleh Kusumah Atmaja meskipun dihimpit persoalan ekonomi. Dalam catatan Sebastiaan Pompe, Kusumah Atmaja, pada tahun 1949 digambarkan sangat miskin dan hanya bisa bertahan dengan menjual harta benda miliknya. Hal ini diperkuat oleh George McTurnan Kahin dalam bukunya Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. George McTurnan Kahin menyatakan bahwa meskipun Ketua MA Kusumah Atmaja, memperoleh gaji pegawai negeri sipil tertinggi, salah satu anaknya mulai menjadi buta karena kekurangan gizi akibat ketidakmampuan sang ayah membeli makanan yang cukup untuk keluarganya.

4 Fakta Sejarah Mahkamah Agung Yang Tidak Banyak Diketahui Orang

article | History Law | 2025-02-23 17:45:18

Sebelum merdeka, negara kita dijajah oleh Jepang. Pada zaman pendudukan Jepang lembaga yudikatif dikenal dengan nama Badan Kehakiman Tertinggi yang disebut Saikoo Hooin, yang kemudian dihapuskan pada tahun 1944 dengan Osamu Seirei (Undang-Undang) Nomor 2 Tahun 1944, sehingga segala tugasnya dilimpahkan kepada Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi).Gambar Osamu Seirei (Undang-Undang) Nomor 2 tahun 1944Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, yang diikuti dengan diundangkannya konstitusi negara kita yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945, eksistensi dari lembaga yudikatif di negara kita semakin kuat. Salah satu lembaga negara yang diatur secara khusus dalam UUD adalah Mahkamah Agung. Melalui pasal 24 ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Agung langsung diberikan kewenangan sebagai pemegang kekuasan kehakiman tertinggi. Sebagai sebuah negara yang baru merdeka, tempat kedudukan dari Mahkamah Agung selanjutnya diatur oleh Pemerintah melalui Penetapan Pemerintah Nomor 9/S.D. Tahun 1946 yang isinya menunjuk Jakarta Raya sebagai kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia.Gambar: Gedung Mahkamah Agung tahun 1946, gedung bersejarah terletak di Jalan Lapangan Banteng Timur 1 JakartaSebagai sebuah lembaga negara yang sudah lama berdiri, terdapat 4 fakta sejarah Mahkamah Agung yang tidak diketahui banyak orang. Ingin tahu faktanya? Berikut kami uraikan:1.   Mahkamah Agung Pernah Berkedudukan di YogyakartaOleh karena situasi Jakarta yang tidak aman pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka pada tahun 1946 ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Dengan berpindahnya ibu kota negara tersebut, maka kedudukan Mahkamah Agung ikut berpindah ke Yogyakarta sejak bulan Juli 1946 dan kembali lagi ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950.2.   Pernah Ada 2 Pengadilan Tertinggi di Indonesia          Pada tanggal 12 Desember 1947 Pemerintah Belanda Federal mendirikan Pengadilan Tertinggi yang dinamakan Hooggerechtshof yang beralamat di Jalan Lapangan Banteng Timur 1 Jakarta di samping istana Gubernur Jenderal yang sekarang adalah gedung Kementerian Keuangan. Pada saat yang bersamaan pula, Mahkamah Agung masih tetap berkuasa di daerah Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Dengan telah dipulihkannya kembali kedaulatan Republik Indonesia atas seluruh wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat), maka pekerjaan Hooggerechtshof, diserahkan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai satu-satunya Badan Peradilan Tertinggi. Pada tanggal 1 Januari 1950, para anggota Hooggerechtshof dan Procureur General meletakkan jabatan masing-masing dan menyerahkan pekerjaannya termasuk gedung dan personil kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat yang saat itu dipimpin oleh Dr. Mr. Kusumah Atmadja.Gambar: Lukisan Gedung Hooggerechtshof Hindia Belanda, berdampingan dengan Istana Gubernur Jenderal di Batavia, 1828.3.   Kejaksaan Agung Pernah Berada Satu Atap Dengan Mahkamah Agung di bawah Departemen KehakimanPada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sidangnya menetapkan pembentukan 12 (dua belas) Departemen di Republik Indonesia termasuk di dalamnya Departemen Kehakiman. Adapun tugas yang diemban oleh Departemen Kehakiman mencakup hal-hal mengenai Pengadilan, Penjara, Kejaksaan dan Kadaster.Dengan kewenangan yang luas, yang dimiliki Departemen Kehakiman tersebut, menjadikan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung saat itu berada satu atap di bawah Departemen Kehakiman. Tak heran jika dulu Kejaksaan Agung disebut dengan Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung dan Kejaksaan Negeri disebut dengan Kejaksaan Pengadilan NegeriNamun dengan lahirnya Undang-Undang No. 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, maka Kejaksaan Agung memisahkan diri dari Mahkamah Agung.4.   Para Pejabat Mahkamah Agung Dulu Diberikan Pangkat TitulerBerdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1946 Tentang Pemberian Pangkat Militer Kepada Ketua, Wakil Ketua, Anggota-Anggota Mahkamah Tentara Agung, Jaksa Tentara Dan Panitera Mahkamah Tentara, para pejabat Mahkamah Agung saat itu diberikan pangkat militer tituler. Hal tersebut merupakan tindak lanjut dari pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara. Adapun yang dimaksud dengan pangkat titular adalah suatu gelar atau pangkat yang diberikan kepada seseorang yang dibutuhkan untuk keperluan-keperluan bersifat sementara, yang diterima dalam rangka melakukan tugas yang berkaitan dengan gelar/pangkat yang diberikan.Gambar: Dr. Mr. Kusumah Atmadja (Ketua Mahkamah Agung Pertama) Sumber Referensi:Mahkamah Agung RI, Sejarah Berdirinya Mahkamah Agung Republik Indonesia, 1986https://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Agung_Republik_Indonesiahttps://kc.umn.ac.id/id/eprint/21204/4/BAB_II.pdfhttps://id.wikipedia.org/wiki/Titulerhttps://dandapala.com/article/detail/pengadilan-era-kolonial-belanda-dari-landraad-sampai-hooggerechtshof

Mengenang Pledoi Indonesia Menggugat 1930 Bukti Kesakralan Ruang Sidang Pengadilan

article | History Law | 2025-02-22 09:00:55

Rakyat Indonesia kembali dihentakan dengan pemberitaan dari ruang persidangan. Pemberitaan tersebut adalah ketika dua oknum advokat mencaci maki hakim dengan sebutan koruptor di depan persidangan dan ada oknum advokat yang naik keatas meja sidang sambil mencaci maki lawan sidangnya. Kemudian merespon hal tersebut Mahkamah Agung menyatakan sebagai tindakan merendahkan dan melecehkan marwah pengadilan atau contempt of court.Jika kita menilik kembali ke dalam sejarah Bangsa Indonesia, bahwa pernah ada suatu sidang yang kemudian dicatat sejarah sebagai persidangan yang fenomenal. Persidangan tersebut yang akan merubah sejarah bangsa Indonesia selama beratus- ratus tahun setelah dijajah Belanda. Dengan tensi yang jauh lebih luar biasa, sidang ini ini menjadi perhatian seantero negeri, namun Soekarno dan pembelanya tidak pernah menunjukkan rasa tidak hormat kepada hakim atau bahkan naik ke atas meja persidangan. Persidangan ini menjadi momentum perjuangan bangsa Indonesia yang beralih dari perjuangan fisik yang sarat akan kekerasan menjadi perjuangan intelektual yang mengedepankan argumen hukum dan intelektualitas.Pada 02 Desember 1930, Ir. Soekarno membacakan pidato pembelaan berjudul Indonesia Menggugat di hadapan pengadilan kolonial Belanda (Landraad te Bandung). Pidato ini merupakan bentuk perlawanan intelektual terhadap tuduhan pemerintah Hindia Belanda yang menudingnya berupaya menggulingkan pemerintahan kolonial. Sebelumnya, Soekarno telah ditahan selama delapan bulan di Penjara Banceuy, Bandung, sebelum akhirnya disidangkan di Gedung Landraad.Naskah pidato Indonesia Menggugat ditulis Soekarno selama dalam tahanan. Dalam buku otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis bersama Cindy Adams, Soekarno mengisahkan bahwa ia menulis pidato tersebut di atas kertas dengan beralaskan kaleng tempat buang air kecil di dalam selnya. Pidato ini kemudian menjadi salah satu dokumen perjuangan yang menggambarkan ketidakadilan kolonialisme dan menyuarakan semangat nasionalisme.Persidangan dan Tuduhan Pemerintah KolonialGambar: Ruang sidang tempat Ir. Soekarno membacakan pledoinyaSoekarno diadili bersama tiga rekannya dari Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), yaitu Gatot Mangkupraja, Maskun Sumadireja, dan Supriadinata. Mereka dituduh menyebarkan kebencian serta mengancam stabilitas pemerintahan kolonial. Persidangan ini menarik perhatian luas, bahkan berita tentang rencana pengadilan terhadap Soekarno telah dimuat di berbagai surat kabar pada 16 Juni 1930.Dalam sidang tersebut, Soekarno dan rekan-rekannya didampingi oleh pengacara-pengacara terkemuka saat itu, di antaranya Mr. Sartono, Mr. Sastro Mulyono dari Tegal, Mr. Suyudi dari Yogyakarta, dan Idi Prawiradiputra dari Garut, yang juga anggota Volksraad. Pledoi Indonesia Menggugat yang dibacakan Soekarno mengguncang pemerintah Hindia Belanda karena mengungkap kebobrokan sistem kolonialisme yang menindas rakyat Indonesia.Belanda, yang diwakili oleh jaksa R. Soemadisoerja, menggunakan Pasal 169 bis dan Pasal 153 bis Wetboek van Strafrecht, yang dikenal dengan haatzai artikelen (penyebaran kebencian terhadap penguasa) untuk menjerat Soekarno dan rekan-rekannya. Mereka dianggap telah menghasut masyarakat melalui pemberitaan dan propaganda di Fikiran Ra’jat, untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Setelah drama pengadilan Soekarno yang fenomenal, bisa dikatakan Landraad tidak lagi menyidangkan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.Gambar: Potongan Koran Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad kasus penangkapan Ir. Soekarno diberitakan sampai ke negeri Belanda, 04 Desember 1930 Pada 22 Desember 1930, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Mr. R. Siegerbeek van Heukelom menjatuhkan hukuman: Soekarno: 4 tahun penjara, Gatot Mangkupraja: 2 tahun penjara, Maskun Sumadireja: 1 tahun 8 bulan penjara dan Supriadinata: 1 tahun 3 bulan penjara (dipotong masa tahanan). Keputusan ini menunjukkan bahwa pemerintah kolonial berusaha membungkam gerakan nasionalisme yang semakin berkembang di Indonesia.Gambar: Masyarakat Bandung Memadati Gedung Landraad pada saat pembacaan putusan Ir. SoekarnoSebagai PengingatGedung Landraad, tempat persidangan Soekarno berlangsung, kini dikenal sebagai Gedung Indonesia Menggugat (GIM). Bangunan yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 5, Bandung, ini awalnya merupakan rumah tinggal warga Belanda yang dibangun pada 1907. Sejak 1917, bangunan ini dialihfungsikan sebagai pengadilan kolonial (Landraad) dan menjadi tempat persidangan bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia. Saat ini, Gedung Indonesia Menggugat telah menjadi tempat wisata sejarah yang terbuka untuk umum. Dengan arsitektur khas indis dan halaman yang luas serta pohon beringin rindang, gedung ini tetap terawat dan menjadi simbol perjuangan bangsa Indonesia.Gambar: Kondisi Terkini Gedung Indonesia Menggugat, Dok. Kelihat.com Pidato Indonesia Menggugat merupakan warisan intelektual dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan. Gedung Indonesia Menggugat menjadi saksi bisu keberanian Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan melalui jalur hukum.  Selain itu pula Bangsa Indonesia dapat mengingat kembali bahwa persidangan adalah suatu prosesi yang sakral. Dalam situasi yang sakral tersebut tentunya tindakan penghinaan terhadap persidangan (contempt of court) menjadi suatu yang sangat dilarang. Dalam persidangan tersebut Bangsa Indonesia dapat belajar tentang bagaimana menghormati nilai keadilan dan kepada Bangsa itu sendiri.Hingga kini, pledoi ini tetap relevan sebagai inspirasi bagi generasi penerus dalam memahami kesakralan ruang sidang, nilai-nilai nasionalisme dan keadilan.Berikut Isi pledoi Soekarno yang berjudul “Indonesië Klaagt Aan” atau Indonesia Menggugat (1930):Pengadilan menuduh kami telah menjalankan kejahatan. Kenapa? Dengan apa kami menjalankan kejahatan, tuan-tuan hakim yang terhormat? Dengan pedang? Dengan bedil? Dengan bom?Senjata kami adalah rencana, rencana untuk mempersamakan pemungutan pajak, sehingga rakyat Marhaen yang mempunyai penghasilan maksimum 60 rupiah setahun tidak dibebani pajak yang sama dengan orang kulit putih yang mempunyai penghasilan minimum 9.000 setahun.Tujuan kami adalah exorbitante rechten, hak-hak luar biasa dari Gubernur Jendral, yang singkatnya secara peri kemanusiaan tidak lain daripada pengacauan yang dihalalkan.Satu-satunya dinamit yang pernah kami tanamkan adalah suara jeritan penderitaan kami. Medan perjuangan kami tak lain daripada gedung-gedung pertemuan dan surat-surat kabar umum.Tidak pernah kami melanggar batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak pernah kami mencoba membentuk pasukan serdadu-serdadu rahasia, yang berusaha atas dasar nihilisme.Kami punya modus operandi ialah untuk menyusun dan menggerakkan kekuatan kami dalam cara-cara yang legal.Ya, kami memang kaum revolusioner. Kata 'revolusioner' dalam pengertian kami berarti 'radikal', mau mengadakan perubahan dengan lekas. Istilah itu harus diartikan sebagai kebalikan kata 'sabar', kebalikan kata 'sedang'.Tuan-tuan Hakim yang terhormat, sedangkan seekor cacing kalau ia disakiti, dia akan menggeliat dan berbalik-balik. Begitu pun kami. Tidak berbeda daripada itu.Kami mengetahui, bahwa kemerdekaan memerlukan waktu untuk mencapainya. Kami mengetahui bahwa kemerdekaan itu tidak akan tercapai dalam satu helaan napas saja. Akan tetapi, kami masih saja dituduh, dikatakan 'menyusun suatu komplotan untuk mengadakan revolusi berdarah dan terluka, agar kami dapat merebut kemerdekaan penuh di tahun 30'.Jikalau ini memang benar, penggeledahan massal yang tuan-tuan lakukan terhadap rumah-rumah kami akan membuktikan satu tempat persembunyian senjata-senjata gelap. Tapi, tidak sebilah pisau pun yang dapat diketemukan.Golok. Bom. Dinamit. Keterlaluan! Seperti tidak ada sendjata yang lebih tajam lagi daripada golok, bom, dan dinamit itu. Semangat perjuangan rakyat yang berkobar-kobar akan dapat menghancurkan manusia lebih cepat daripada ribuan armada perang yang dipersenjatai lengkap.Suatu negara dapat berdiri tanpa tank dan meriam. Akan tetapi, suatu bangsa tidak mungkin bertahan tanpa kepercayaan. Ya, kepercayaan, dan itulah jang kami punyai. Itulah senjata rahasia kami.Baiklah, tentu orang akan bertanya, 'Akan tetapi sekalipun demikian, bukankah kemerdekaan yang engkau perjuangkan itu pada suatu saat akan direbut dengan pemberontakan bersenjata?'Saya akan mendjawab: Tuan-tuan Hakim yang terhormat, dengan segala kejujuran hati kami tidak tahu bagaimana atau dengan apakah langkah terakhir itu akan dilakukan. Mungkin juga Negeri Belanda akhirnya mengerti, bahwa lebih baik mengakhiri kolonialisme secara damai.Mungkin djuga kapitalisme Barat akan runtuh. Mungkin juga, seperti sudah sering saja ucapkan, Jepang akan membantu kami. Imperialisme bercokol di tangan bangsa kulit kuning maupun di tangan bangsa kulit putih.Sudah jelas bagi kita akan kerakusan kerajaan Jepang dengan menaklukkan semenanjung Korea dan menjalankan pengawasan atas Manchuria dan pulau-pulau di Lautan Pasifik.Pada suatu saat yang tidak lama lagi Asia akan berada dalam bahaya penyembelihan besar-besaran dari Jepang. Saya hanya mengatakan, bahwa ini adalah keyakinan saya jikalau ekor daripada naga raksasa itu sudah memukul-mukul ke kiri dan ke kanan, maka Pemerintah Kolonial tidak akan sanggup menahannya.Oleh karena itu, siapakah yang dapat menentukan terlebih dulu rencana kemerdekaan dari negeri kami.Jikalau kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam masa yang akan datang. Yang saya ketahui, bahwa pemimpin-pemimpin P.N.I. adalah pencinta perdamaian dan ketertiban.Kami berjuang dengan kejujuran seorang satria. Kami tidak menginginkan pertumpahan darah. Kami hanya menghendaki kesempatan untuk membangun harga diri daripada rakyat kami.Saya menolak tuduhan mengadakan rencana rahasia untuk mengadakan suatu pemberontakan bersenjata.Sungguhpun begitu, jikalau sudah menjadi Kehendak Yang Maha-Kuasa bahwa gerakan yang saya pimpin akan memperoleh kemajuan yang lebih pesat dengan penderitaan saya daripada dengan kebebasan saya, maka saya menyerahkan diri dengan pengabdian yang setinggi-tingginya ke hadapan Ibu lndonesia dan mudah-mudahan ia menerima nasib saya sebagai pengorbanan yang harum-semerbak di atas pangkuan persadanya.Tuan-tuan Hakim yang terhormat, dengan hati yang berdebar-debar saya bersama-sama dengan rakyat dari bangsa ini siap sedia mendengarkan putusan tuan-tuan Hakim!Gambar: Ir. Soekarno Berfoto di Depan Landraad BandungReferensi:Soekarno dan Adams, Cindy. 2018. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Bung Karno.https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/08/193919879/isi-pidato-indonesia-menggugat?page=all.https://marinews.mahkamahagung.go.id/berita/tegas-ma-kecam-kegaduhan-di-sidang-pn-jakarta-utara-0bbhttps://www.hukumonline.com/berita/a/jejak-pledoi-fenomenal-bung-karnohttps://www.detik.com/jabar/budaya/d-6972096/bung-karno-dan-sakralnya-perjuangan-di-gedungindonesia-menggugathttps://www.delpher.nl/nl/kranten/viewquery=landraad+bandung+soekarno&coll=ddd&identifier=MMUTRA04:253234112:mpeg21:p00010&resultsidentifier=MMUTRA04:253234112:mpeg21:a00111&rowid=4

1900 Vs 2024: Dua Zaman Ruang Sidang Pengadilan di Lampung

article | History Law | 2024-12-21 11:00:37

Jauh sebelum Indonesia merdeka, pengadilan sudah eksis. Salah satunya di Lampung.Karena belum merdeka, sistem hukum masih di bawah penjajah Belanda. Hal itu terlihat dalam sebuah foto yang mengabadikan persidangan tahun 1900 sebagaimana dilansir website wereldmuseum  (https://collectie.wereldmuseum.nl/#/query/6d0797b8-ec34-4732-b70f-bd6b7bc3a244)Altar hakim berlatarbelakang Ratu Belanda, Wilhelmina yang menduduki takhta sejak 1880 hingga 1962. Bukan Burung Garuda Pancasila seperti saat ini. Tampak hakim tunggal yang seorang berkebangsaan Belanda. Sedangkan panitera pengganti merupakan warga lokal.Setelah kemerdekaan, aroma penjajahan Belanda dihapus. Kini di persidangan hanya ada Burung Garuda , lambang negara Indonesia. Posisinya di tengah, di atas Ketua Majelis. Bahkan foto Presiden dan Wapres juga tidak ada dalam ruang sidang. Hal itu untuk menunjukan independensi pengadilan dalam mengadili perkara, tidak bisa diintervensi Kepala Negara sekali pun. "Oleh sebab itu, kemerdekaan merupakan pencapaian yang tidak bisa diganti oleh apapun selain harus dipertahankan dengan darah dan air mata," kata Humas PN Tanjungkarang, Dedy Wijaya Susanto,  kepada Dandapala, Jumat (13/12/2024).