PADA tahun 1841, di sebuah ruang sidang kecil di Boston, seorang pembuat sepatu bernama John Augustus mengubah arah sejarah pemidanaan. Ia membayar bail (jaminan untuk tidak ditahan) seorang pemabuk yang berjanji akan berubah. Tiga minggu kemudian, pria itu kembali ke pengadilan dalam keadaan sadar dan tertib. Hakim terkesan, dan Augustus pun memulai praktik yang kelak dikenal sebagai probation, cikal bakal pidana pengawasan berbasis rehabilitasi yang kini diadopsi dalam KUHP Nasional.
Selama 18 tahun, Augustus secara sukarela membina hampir 2.000 pelaku kejahatan ringan termasuk perempuan dan anak-anak. Ia membuka rumahnya sebagai tempat pembinaan, bukan hanya untuk membebaskan orang dari penjara tetapi untuk membimbing mereka kembali ke masyarakat.
Baca Juga: Perdebatan Yamin VS Soepomo: Cikal Bakal Lahirnya Judicial Review
Menurut arsip Federal Probation dan sebuah surat anonim tahun 1858 berjudul “The Labors of Mr. John Augustus, The Well-Known Philanthropist”, hanya sepuluh dari ribuan orang yang ia dampingi gagal memenuhi harapan. Data ini menunjukkan bahwa pendekatan kemanusiaan justru lebih efektif daripada pemidanaan yang keras.
“Filosofi Augustus sederhana namun revolusioner. Ia menganggap bahwa pelaku kejahatan bukanlah musuh masyarakat melainkan warga yang tersesat dan masih bisa disembuhkan. Menurutnya, masyarakat sering kali menambah penderitaan mantan pelaku dengan cemoohan dan kecurigaan yang membuat mereka kehilangan harga diri. Augustus menentang pandangan itu dengan satu tindakan nyata yaitu memberi kesempatan kedua,” demikian bunyi arsip tersebut, sebagaimana dikutip DANDAPALA, Senin (13/10/2025).
Dari upaya tersebut lahirlah konsep probation yang kemudian diadopsi secara resmi oleh pengadilan Boston pada tahun 1878, dan menyebar ke seluruh Amerika Serikat. Probation menjadi alternatif pemidanaan yang mengutamakan reintegrasi sosial daripada pembalasan. Hakim diberikan ruang untuk menjatuhkan pidana non-penjara yang tetap mengandung unsur tanggung jawab, pengawasan, dan perbaikan moral.
Di Indonesia, praktik serupa mulai dikenal melalui pidana bersyarat yang terdapat dalam KUHP. Sekarang, dalam KUHP Nasional yang mulai berlaku 2 Januari 2026 konsep probation diakui secara eksplisit sebagai pidana pengawasan dan merupakan bagian dari sistem pemidanaan. Pidana pengawasan dapat dijatuhkan sebagai alternatif pidana penjara, dengan tujuan membina perilaku dan mencegah residivisme.
Pidana pengawasan dijatuhkan kepada pelaku yang dinilai masih memiliki potensi untuk memperbaiki diri tanpa harus menjalani pidana penjara. Selama masa pengawasan, pelaku wajib memenuhi syarat umum maupun khusus yang ditetapkan oleh hakim. Apabila kewajiban tersebut dilanggar, pelaku dapat dikenai konsekuensi hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Semangat yang diusung KUHP Nasional sejalan dengan gagasan John Augustus hampir dua abad lalu. Paradigma baru pemidanaan yang bersifat reintegratif menempatkan pemidanaan bukan lagi semata sebagai sarana pembalasan, melainkan sebagai upaya pemulihan dan pembinaan. Seperti halnya Augustus yang melihat harapan di balik setiap pelanggaran, KUHP Nasional menegaskan bahwa keadilan sejati bukan hanya menghukum, tetapi juga memberi kesempatan untuk berubah.
“Waktu saya tidak dihabiskan untuk menulis buku, tetapi untuk mengeluarkan orang dari penjara,” tulisan terakhir Augustus, yang kini dikenang sebagai Father of Probation.
Referensi:
Federal Probation: A Journal of Correctional Philosophy and Practice. “John Augustus, Father of Probation, and the Anonymous Letter.” Volume 70, Number 1, 2006.
https://www.uscourts.gov/about-federal-courts/probation-and-pretrial-services/federal-probation-journal/2006/06/john-augustus-father-probation-and-anonymous-letter. Diakses pada 12 Oktober 2025.
Baca Juga: Perilaku Altruistik: Pilar Layanan Pengadilan Non Transaksional dan Berintegritas
- Hiariej, E. O. S., & Santoso, T. (2025). Anotasi KUHP Nasional. Depok: Rajawali Pers.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI