Cari Berita

Pastikan Putusan Dilaksanakan, PN Takengon Laksanakan Wasmat

article | Berita | 2025-06-19 17:00:02

Takengon, Kab. Aceh Tengah. Dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan amanat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pengadilan Negeri (PN) Takengon secara rutin melaksanakan kegiatan Pengawas dan Pengamat (Wasmat), Kamis 19/6. Kegiatan ini merupakan bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan, khususnya terhadap narapidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan sedang menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan.“Tim Wasmat PN Takengon yang terdiri dari hakim pengawas, panitera muda pidana serta staf pendamping, melaksanakan kunjungan ke Rutan yang berada dalam wilayah hukum Takengon. Dalam kunjungan tersebut, tim melakukan pemantauan terhadap kondisi narapidana, mengecek pelaksanaan pembinaan, serta memastikan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan telah dijalankan sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” tulis rilis yang diterima DANDAPALA Kamis 19/6.Rilis tersebut selanjutnya menyampaikan Wasmat ini juga bertujuan untuk membangun sinergi yang baik antara Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, dalam mewujudkan keadilan yang humanis dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia. Hasil dari kegiatan Wasmat ini akan dituangkan dalam laporan resmi yang dilaporkan kepada Ketua PN Takengon untuk ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur.  “PN Takengon berkomitmen untuk terus menjaga integritas dan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas peradilan, salah satunya melalui pengawasan langsung terhadap eksekusi putusan. Melalui kegiatan Wasmat ini, diharapkan peran pengadilan dalam proses pemasyarakatan dapat berjalan secara optimal demi mewujudkan sistem peradilan pidana yang adil, transparan, dan manusiawi,” tutup rilis tersebut. (ldr)

PN Pulau Punjung Vonis 12 Tahun Pelaku Persetubuhan Terhadap Anak

article | Sidang | 2025-06-19 16:00:21

Pulau Punjung, Kab. Dharmasraya. Pengadilan Negeri (PN) Pulau Punjung, Kab. Dharmasraya, Prov. Sumatera Barat menghukum Pelaku persetubuhan terhadap anak di bawah umur selama 12 tahun penjara. “Terdakwa terbukti melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Terdakwa dihukum selama 12 tahun penjara,” bunyi rilis yang diterima DANDAPALA, Kamis 19/6. Putusan tersebut diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada Kamis 19/6 oleh Bangun Sagita Rambey sebagai ketua majelis dengan didampingi oleh Dedy Agung Prasetyo dan Iqbal Lazuardi. Selain pidana penjara, terdakwa juga dijatuhi pidana denda sejumlah Rp200 juta rupiah, jika denda tersebut tidak dibayar, akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Rilis tersebut juga menyampaikan, Perbuatan terdakwa dilakukan secara berulang di salah satu ruangan koperasi tempat Terdakwa bekerja, dalam kondisi sepi dan tanpa kehadiran orang lain. Berdasarkan fakta persidangan, terdakwa juga membujuk korban dengan cara mengiming-imingi uang sejumlah Rp50 ribu, agar mau melakukan persetubuhan denganya.“Kasus ini terungkap setelah pihak keluarga korban mencurigai kondisi kesehatan anak yang mengalami perubahan drastis. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, korban diketahui dalam keadaan hamil. Keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa serta Visum et Repertum menguatkan keyakinan Majelis Hakim bahwa terdakwa telah melakukan persetubuhan secara berulang terhadap korban yang masih berusia 14 tahun hingga akhirnya saat ini korban telah melahirkan,” tutup rilis tersebut. (ldr)

Telaah Batas Pidana Penjara pada Acara Pemeriksaan Singkat dalam RKUHAP

article | Opini | 2025-06-18 14:00:25

Pendahuluan Saat ini, Indonesia tengah merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, untuk selanjutnya disebut RKUHAP. Berdasarkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) versi 20 Maret 2025 yang diakses dari Institute for Criminal Justice Reform [1], terdapat perubahan signifikan yaitu kewenangan Penuntut Umum melimpahkan perkara ke sidang pemeriksaan singkat apabila terdakwa mengakui perbuatan dan bersalah atas tindak pidana dengan ancaman pidana tidak lebih dari 7 tahun. Namun, yang perlu dicermati dalam konteks ini adalah terdapat perbedaan pengaturan mengenai batas maksimal pidana dalam pemeriksaan singkat. Pasal 221 ayat (5) menyatakan pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi 2/3 ancaman maksimal pidana, sementara Pasal 241 ayat (5) membatasi maksimal pidana hanya 3 tahun penjara. Melalui pendekatan konseptual (Conceptual Approach), tulisan ini bertujuan untuk mengkaji potensi ketidaksesuaian dalam pengaturan batas maksimal pidana pada acara pemeriksaan singkat. Selain itu, tulisan ini menawarkan alternatif solusi guna mendorong harmonisasi hukum dan memperkuat kepastian serta perlindungan hak terdakwa. Telaah Ketentuan Pasal 221 dan Pasal 241 ayat (5) RKUHAP dalam Konteks Kepastian Hukum Pertentangan Pasal 221 ayat (5) dan Pasal 241 ayat (5) RKUHAP terlihat lebih jelas ketika dianalisis melalui perhitungan matematis. Pasal 221 ayat (5) RKUHAP memungkinkan hakim menjatuhkan hukuman hingga dua pertiga dari ancaman pidana maksimal, yang jika dihitung untuk ancaman maksimal yaitu tujuh tahun, setara dengan 56 bulan atau 4 tahun 8 bulan. Di lain pihak, Pasal 241 ayat (5) menetapkan batas maksimal pidana dalam pemeriksaan singkat hanya sampai 3 tahun atau 36 bulan. Selisih 20 bulan dalam batas maksimal pidana yang diatur kedua pasal tersebut mencerminkan ketidakharmonisan norma yang dapat memengaruhi kepastian hukum dalam penerapan acara pemeriksaan singkat. Dualisme pengaturan dalam RKUHAP tersebut tidak dapat secara sederhana diselesaikan melalui pendekatan asas Lex specialis derogat legi generali. Malahan, penggunaan asas tersebut membuka kesimpulan yang saling bertentangan. Dengan menggunakan pendapat Henrique Marcos tentang les specialis as a priority norm, LS.1 yang menyatakan bahwa “Lex specialis can prioritise the more specific provision by interpreting it as an exception to the general provision, thereby avoiding treating the specific provision as an invalid contradiction of the general one”, [2] akan memberikan pemahaman bahwa ketentuan yang memberikan hukuman hingga dua pertiga dari ancaman pidana bisa dianggap sebagai norma khusus yang memberi pengecualian terhadap batas maksimum tiga tahun. Dengan demikian, aturan ini membuka ruang kebebasan bagi hakim untuk menjatuhkan pidana yang lebih tinggi sesuai karakteristik perkara dan pengakuan terdakwa. Namun, apabila menggunakan LS.3 sebagai pisau analisis yang menegaskan bahwa “Lex specialis can focus on individual norms when addressing conflicts, giving priority to the norm that is more specific, regardless of the special regimes to which they belong” [3], kita akan menempatkan ketentuan batas maksimal tiga tahun sebagai norma yang lebih spesifik dan final dalam mengatur penjatuhan pidana dalam pemeriksaan singkat. Ketentuan dua pertiga ancaman pidana dianggap hanya sebagai norma umum atau administratif yang mengatur kelayakan perkara masuk ke prosedur singkat, bukan batasan hukuman akhir. Oleh karena itu, norma tiga tahun harus diutamakan untuk menjaga kepastian dan proporsionalitas hukuman. Perbedaan karakteristik antara norma yang bersifat substansial (Pasal 221) dan prosedural-teknis (Pasal 241) menjadikan keduanya tidak saling tumpang tindih dalam ruang lingkup kekhususan, tetapi justru saling bertabrakan secara normatif dalam konteks penerapan. Ketika dua norma berada dalam satu undang-undang dan keduanya bersifat khusus, maka yang terjadi bukanlah hubungan antara lex specialis dan lex generalis, tetapi konflik horizontal antarnorma yang setara. Oleh karena itu, penyelesaian konflik melalui lex specialis tidak memiliki dasar sistematis yang kuat. Dalam konteks ini, menarik untuk dicermati pendapat Hans Kelsen dalam The Concept Of The Legal Order yang menyatakan bahwa “If the acts through which the norms in question are posited take place at the same time—if, for example, one and the same statute contains mutually exclusive prescriptions—then we have no meaningful act whatever, we have no act whose subjective meaning can also be interpreted as its objective meaning, and we therefore have no objectively valid norm either”. [4] Dengan merujuk pada pendapat Kelsen tersebut, ketidaksesuaian batas pidana dalam RKUHAP tidak hanya menimbulkan ambiguitas dalam penafsiran hukum, tetapi juga berisiko merusak kepastian hukum dan legitimasi sistem peradilan pidana yang sedang dibangun. Lebih lanjut, Bagir Manan mengemukakan bahwa secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan fungsi penting dalam menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid). Untuk benar-benar efektif, peraturan perundang-undangan harus dirumuskan dengan jelas dan konsisten, baik secara internal, melalui keterpaduan sistematika, susunan, dan bahasa dalam satu regulasi maupun secara eksternal, melalui harmonisasi dengan peraturan lainnya. [5] Ketika satu pasal mengizinkan vonis pidana maksimal hingga dua pertiga dari tujuh tahun (yakni sekitar empat tahun delapan bulan), dan pasal lainnya justru membatasi maksimum pidana menjadi tiga tahun untuk acara pemeriksaan singkat, maka dapat dikatakan bahwa ketentuan tersebut tidak memenuhi asas konsistensi internal. Ketidakselarasan antara Pasal 221 dan Pasal 241 RKUHAP tidak hanya menimbulkan ambiguitas dalam penerapan hukum oleh aparat penegak hukum. Dalam konteks ini, perlu juga diungkapkan dalam tulisan ini mengenai pendapat Joseph Raz yang menyatakan bahwa "If it is to guide people they must be able to find out what it is. For the same reason its meaning must be clear. An ambiguous, vague, obscure, or imprecise law is likely to mislead or confuse at least some of those who desire to be guided by it." [6] Pandangan ini menekankan bahwa hukum yang kabur atau tidak dirumuskan dengan tepat berpotensi menimbulkan kebingungan, bahkan bagi mereka yang berniat mematuhinya. Dalam konteks RKUHAP, ketentuan Pasal 221 ayat (5) dan Pasal 241 ayat (5) menunjukkan potensi ketidakharmonisan yang patut dicermati. Manakala tidak dijelaskan secara eksplisit dalam struktur peraturan, perbedaan ini dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dalam praktik. Dari sudut pandang yang dikemukakan Raz, situasi semacam ini dapat mengurangi efektivitas hukum sebagai instrumen yang membimbing perilaku secara adil dan dapat diprediksi. Kendati secara teknis kedua pasal tersebut memiliki ruang lingkup yang berbeda, interpretasi dan implementasi yang tidak hati-hati dapat menimbulkan ambiguitas dalam praktik peradilan. Kontradiksi ini tidak cukup diselesaikan hanya dengan memilih salah satu norma dan mengesampingkan yang lain. Sebagai rancangan undang-undang yang memiliki salah materi pokok yaitu Penguatan hak Tersangka, Terdakwa, Terpidana, Saksi, Korban dan penyandang disabilitas sebagaimana yang dicantumkan dalam Penjelasan Umum RKUHAP, penting untuk meninjau kembali keselarasan antarbatas pidana demi menjaga koherensi hukum dan perlindungan hak terdakwa. Rekonstruksi Batasan Pidana Penjara Dalam Acara Pemeriksaan Singkat Untuk menjaga konsistensi dan kepastian hukum dalam penerapan batasan pidana penjara dalam acara pemeriksaan singkat sebagaimana diatur dalam RKUHAP, terdapat dua alternatif usulan yang diajukan. Pertama, apabila pembentuk undang-undang berkehendak mempertahankan keberadaan kedua pasal tersebut secara bersamaan, maka perlu dilakukan penyesuaian redaksional terhadap Pasal 241 ayat (5) dengan menambahkan klausul pengecualian terhadap ketentuan dalam Pasal 221 ayat (5). Dengan demikian, Pasal 241 ayat (5) dapat dirumuskan ulang menjadi: “Selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (5), pidana penjara yang dapat dijatuhkan terhadap Terdakwa paling lama 3 (tiga) tahun.” Rumusan ini memberi kejelasan bahwa ketentuan batas maksimal tiga tahun dalam Pasal 241 berlaku sebagai aturan umum, tetapi dapat dikesampingkan apabila perkara tunduk pada ketentuan khusus dalam Pasal 221. Upaya ini penting agar pengaturan penjatuhan pidana tidak saling bertentangan dan agar hakim tetap memiliki ruang kebebasan dalam menjatuhkan pidana yang proporsional terhadap pengakuan terdakwa. Kedua, apabila pembentuk undang-undang justru bermaksud menegaskan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan dalam acara pemeriksaan singkat tidak boleh melebihi tiga tahun secara mutlak, maka yang harus dilakukan adalah mengubah ketentuan Pasal 221 ayat (5) agar selaras dengan batasan tersebut. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 221 ayat (5) dapat dirumuskan ulang menjadi: “Penjatuhan pidana terhadap Terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 2/3 dari maksimum pidana tindak pidana yang didakwakan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (5).” Dengan demikian, seluruh norma yang mengatur acara pemeriksaan singkat akan tunduk pada satu standar batas maksimum pidana, yaitu tiga tahun yang lebih menekankan pada perlindungan hak-hak terdakwa. Kedua usulan tersebut tentu memiliki implikasi kebijakan yang berbeda. Alternatif pertama memberikan fleksibilitas kepada hakim dalam menjatuhkan pidana hingga 2/3 dari ancaman maksimal, sesuai dengan semangat proporsionalitas, sedangkan alternatif kedua lebih menekankan kepastian dan pembatasan tegas terhadap beratnya pidana dalam acara singkat yang sejalan dengan semangat peradilan cepat dan perlindungan hukum terhadap terdakwa. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang perlu secara cermat mempertimbangkan arah kebijakan yang ingin ditempuh dalam pembentukan sistem hukum acara pidana ke depan agar tercipta sistem yang tidak hanya efisien, tetapi juga adil dan dapat diterapkan secara konsisten. Penutup Menjaga kepastian hukum dalam sistem peradilan pidana merupakan hal yang sangat krusial demi tercapainya keadilan yang sejati dan perlindungan hak-hak setiap warga negara. Memang benar bahwa tatkala kepastian hukum berseteru dengan keadilan, maka keadilanlah yang mesti diutamakan. Namun tatkala kepastian hukum kehilangan arah, ketidakadilan akan tumbuh dengan megah, meruntuhkan keadilan yang seharusnya teguh dan mempesona. Melalui perbaikan normatif yang sistematis dan terukur, diharapkan sistem hukum acara pidana yang baru dapat berjalan efektif, adil, dan memberikan rasa kepercayaan kepada masyarakat. Kiranya langkah reformasi hukum ini tak henti-hentinya diberkati agar Indonesia senantiasa berada dalam terang kasih Tuhan Yang Abadi. (LDR)   Referensi: [1] Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) versi 20 Maret 2025, dibagikan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), tersedia di: https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2025/03/RUU-KUHAP-20-Maret-2025.pdf, diakses 6 Juni 2025, pukul 09.02 WIB. [2] H. Marcos, Lex Specialis as a Reason-Giving Norm: Balancing Norm Specificity and Individual Rights in Times of Crisis, International Community Law Review, Vol. 27, No. 3 (2025): 218–253, https://doi.org/10.1163/18719732-bja10138, hlm. 235. [3] Ibid., hlm. 236. [4] Hans Kelsen, The Concept of the Legal Order, diterjemahkan oleh Stanley L. Paulson, The American Journal of Jurisprudence, Vol. 27, No. 1 (1982): 64–84, https://academic.oup.com/ajj/article-pdf/27/1/64/7290065/ajj-27-64.pdf, hlm. 70. [5] Gazali, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan (Mataram: Sanabil, 2022), hlm. 29–32. [6] Joseph Raz, The Rule of Law and Its Virtue (Oxford: Oxford University Press, 1979): 211–228, https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780198253457.001.0001, hlm. 215.

Membangun Public Trust, Bercermin dari Kepala Hingga Kaki

article | Opini | 2025-06-18 08:10:40

Kepercayaan publik akan menjadi tinggi manakala setiap hakim dalam memutuskan suatu perkara telah dapat menyatukan asas keadilan, asas kepastian hukum dan asas kemanfaatan. Sejatinya Hakim bukan manusia kaku dalam menerapkan hukum tertulis semata pasal demi pasal, ada aspek sosiologis yang sangat patut menjadi pertimbangan dalam setiap langkah dalam mengambil keputusan, sehingga public trust tetap terjaga dengan baik. Mahkamah Agung (MA) sepertinya saat ini mengalami kemerosotan dalam mempertahankan kepercayaan masyarakat, betapa tidak dalam sepekan Presiden RI Prabowo Subianto saja menjabat (Oktober 2024) menyeruak kasus korupsi yang fantastis melibatkan orang dalam MA itu sendiri. Hakim serta aparatur peradilan dari tingkat paling bawah sampai tingkat atas yang notabene tonggak Badan Peradilan Yang Agung seolah sengaja mencoreng-moreng muka sendiri dengan “memperjual-belikan produk” berupa putusan. Bagaimana mungkin masyarakat meletakkan kepercayaan penuh tehadap MA manakala aparaturnya sendiri tidak lagi bisa dipercaya. “...saat ini lembaga peradilan yang kita cintai sedang berhadapan dengan tantangan kepercayaan publik (public trust) yang tereduksi akibat perbuatan judicial corruption oleh segelintir orang”. (Prof Sunarto, Ketua MA: Public Trus Tereduksi Judicial Coruption Segelintir Orang. Dandapala 12 juni 2025) Menggaungkan Integritas kepada seluruh personil pada setiap momentum oleh Ketua MA Prof Sunarto secara terus menerus, bahkan langkah pencegahan dalam rangka  memulihkan kepercayaan publik tersebut, Dirjen Badilum Bambang Myanto telah mengeluarkan SE Nomor 4 tahun 2025 tentang pola hidup sederhana dengan maksud semua Hakim dan aparatur peradilan MA tidak lagi tergiur menyeleweng telah pula dilakukan. Memposisikan seluruh Hakim dan aparatur peradilan  untuk hidup dengan kesederhanaan merupakan inti terpenting dalam upaya meningkatkan kembali kepercayaan publik. Mencerminkan kesederhanaan dalam keseharian terutama dalam melaksanakan tugas adalah tepat, tanpa memandang dari tingkat peradilan mana dia berada, bahkan setingkat Hakim Agung sekalipun. Dengan itu (kesederhanaan) akan dapat lebih menyelami dan merasakan penyatuan berkehidupan sosial masyarakat yang sebenarnya pada tiap-tiap daerah, sehingga kepercayaan publik terhadap MA dapat dirangkul kembali dan meningkat dengan sendirinya.   Ketidak-sederhanaan akan membutuhkan uang yang banyak, keberlimpahan dalam harta yang dipertontonkan menimbulkan persepsi yang buruk bagi seorang Hakim dan aparatur Peradilan MA disetiap tingkatan. “...saya menegaskan betapa pentingnya para hakim, anda adalah benteng terakhir keadilan. Orang miskin, orang kecil hanya bisa berharap kepada Hakim-Hakim yang adil. Orang yang kuat, orang yang punya uang banyak dia bisa berbuat, dia bisa punya tim hukum yang luar biasa, tapi orang kecil hanya tergantung sama Hakim yang adil, Hakim yang tidak bisa di sogok, Hakim yang tidak bisa dibeli, Hakim yang cinta keadilan, Hakim yang cinta rakyat.” (Prabowo Subianto, dalam sambutannya pada Pengukuhan Hakim tahun 2025) Kepada kita  dalam setiap tingkatan, baik sebagai Hakim dan aparatur yang berada di pelosok pulau, maupun di pusat kota sana, yang baru dilantik maupun yang telah lama bertugas, semoga tidak “menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”. (LDR)