article | Opini
| 2025-06-18 14:00:25
Pendahuluan
Saat ini, Indonesia
tengah merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, untuk
selanjutnya disebut RKUHAP. Berdasarkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (RKUHAP) versi 20 Maret 2025 yang diakses dari Institute for
Criminal Justice Reform [1], terdapat perubahan signifikan yaitu kewenangan
Penuntut Umum melimpahkan perkara ke sidang pemeriksaan singkat apabila
terdakwa mengakui perbuatan dan bersalah atas tindak pidana dengan ancaman
pidana tidak lebih dari 7 tahun. Namun, yang perlu dicermati dalam konteks ini adalah terdapat perbedaan
pengaturan mengenai batas maksimal pidana dalam pemeriksaan singkat.
Pasal 221 ayat
(5) menyatakan pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi 2/3 ancaman maksimal
pidana, sementara Pasal 241 ayat (5) membatasi maksimal pidana hanya 3 tahun
penjara. Melalui pendekatan konseptual (Conceptual Approach), tulisan ini
bertujuan untuk mengkaji potensi ketidaksesuaian dalam pengaturan batas
maksimal pidana pada acara pemeriksaan singkat. Selain itu, tulisan ini
menawarkan alternatif solusi guna mendorong harmonisasi hukum dan memperkuat
kepastian serta perlindungan hak terdakwa.
Telaah
Ketentuan Pasal 221 dan Pasal 241 ayat (5) RKUHAP dalam Konteks Kepastian Hukum
Pertentangan Pasal
221 ayat (5) dan Pasal 241 ayat (5) RKUHAP terlihat lebih jelas ketika
dianalisis melalui perhitungan matematis. Pasal 221 ayat (5) RKUHAP memungkinkan
hakim menjatuhkan hukuman hingga dua pertiga dari ancaman pidana maksimal, yang
jika dihitung untuk ancaman maksimal yaitu tujuh tahun, setara dengan 56 bulan
atau 4 tahun 8 bulan. Di lain pihak, Pasal 241 ayat (5) menetapkan batas
maksimal pidana dalam pemeriksaan singkat hanya sampai 3 tahun atau 36 bulan. Selisih
20 bulan dalam batas maksimal pidana yang diatur kedua pasal tersebut mencerminkan
ketidakharmonisan norma yang dapat memengaruhi kepastian hukum dalam penerapan
acara pemeriksaan singkat.
Dualisme
pengaturan dalam RKUHAP tersebut tidak dapat secara sederhana diselesaikan
melalui pendekatan asas Lex specialis derogat legi generali. Malahan,
penggunaan asas tersebut membuka kesimpulan yang saling bertentangan. Dengan
menggunakan pendapat Henrique Marcos tentang les specialis as a priority
norm, LS.1 yang menyatakan bahwa “Lex specialis can prioritise the more
specific provision by interpreting it as an exception to the general provision,
thereby avoiding treating the specific provision as an invalid contradiction of
the general one”, [2] akan memberikan pemahaman bahwa ketentuan yang
memberikan hukuman hingga dua pertiga dari ancaman pidana bisa dianggap sebagai
norma khusus yang memberi pengecualian terhadap batas maksimum tiga tahun. Dengan
demikian, aturan ini membuka ruang kebebasan bagi hakim untuk menjatuhkan
pidana yang lebih tinggi sesuai karakteristik perkara dan pengakuan terdakwa.
Namun,
apabila menggunakan LS.3 sebagai pisau analisis yang menegaskan bahwa “Lex
specialis can focus on individual norms when addressing conflicts, giving
priority to the norm that is more specific, regardless of the special regimes
to which they belong” [3], kita akan menempatkan ketentuan batas maksimal
tiga tahun sebagai norma yang lebih spesifik dan final dalam mengatur
penjatuhan pidana dalam pemeriksaan singkat. Ketentuan dua
pertiga ancaman pidana dianggap hanya sebagai norma umum atau administratif
yang mengatur kelayakan perkara masuk ke prosedur singkat, bukan batasan
hukuman akhir. Oleh karena itu, norma tiga tahun harus diutamakan untuk menjaga
kepastian dan proporsionalitas hukuman.
Perbedaan
karakteristik antara norma yang bersifat substansial (Pasal 221) dan
prosedural-teknis (Pasal 241) menjadikan keduanya tidak saling tumpang tindih
dalam ruang lingkup kekhususan, tetapi justru saling bertabrakan secara
normatif dalam konteks penerapan. Ketika dua norma berada dalam satu
undang-undang dan keduanya bersifat khusus, maka yang terjadi bukanlah hubungan
antara lex specialis dan lex generalis, tetapi konflik horizontal
antarnorma yang setara. Oleh karena itu, penyelesaian konflik melalui lex
specialis tidak memiliki dasar sistematis yang kuat.
Dalam konteks ini, menarik untuk
dicermati pendapat Hans Kelsen dalam The Concept Of The Legal Order yang
menyatakan bahwa “If the acts through which the norms in question are
posited take place at the same time—if, for example, one and the same statute
contains mutually exclusive prescriptions—then we have no meaningful act
whatever, we have no act whose subjective meaning can also be interpreted as
its objective meaning, and we therefore have no objectively valid norm either”.
[4] Dengan merujuk pada pendapat Kelsen tersebut, ketidaksesuaian batas pidana dalam
RKUHAP tidak hanya menimbulkan ambiguitas dalam penafsiran hukum, tetapi juga
berisiko merusak kepastian hukum dan legitimasi sistem peradilan pidana yang
sedang dibangun.
Lebih lanjut, Bagir
Manan mengemukakan bahwa secara internal, peraturan perundang-undangan
menjalankan fungsi penting dalam menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid).
Untuk benar-benar efektif, peraturan perundang-undangan harus dirumuskan dengan
jelas dan konsisten, baik secara internal, melalui keterpaduan sistematika,
susunan, dan bahasa dalam satu regulasi maupun secara eksternal, melalui
harmonisasi dengan peraturan lainnya. [5] Ketika satu pasal mengizinkan vonis
pidana maksimal hingga dua pertiga dari tujuh tahun (yakni sekitar empat tahun
delapan bulan), dan pasal lainnya justru membatasi maksimum pidana menjadi tiga
tahun untuk acara pemeriksaan singkat, maka dapat dikatakan bahwa ketentuan
tersebut tidak memenuhi asas konsistensi internal.
Ketidakselarasan
antara Pasal 221 dan Pasal 241 RKUHAP tidak hanya menimbulkan ambiguitas dalam
penerapan hukum oleh aparat penegak hukum. Dalam konteks ini, perlu juga diungkapkan dalam tulisan ini
mengenai pendapat Joseph Raz yang menyatakan bahwa "If it is to guide
people they must be able to find out what it is. For the same reason its
meaning must be clear. An ambiguous, vague, obscure, or imprecise law is likely
to mislead or confuse at least some of those who desire to be guided by
it." [6] Pandangan ini menekankan bahwa hukum yang kabur atau
tidak dirumuskan dengan tepat berpotensi menimbulkan kebingungan, bahkan bagi
mereka yang berniat mematuhinya. Dalam konteks RKUHAP, ketentuan Pasal 221 ayat
(5) dan Pasal 241 ayat (5) menunjukkan potensi ketidakharmonisan yang patut
dicermati. Manakala tidak dijelaskan secara eksplisit dalam struktur peraturan,
perbedaan ini dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dalam praktik.
Dari sudut pandang yang dikemukakan Raz, situasi semacam ini dapat mengurangi
efektivitas hukum sebagai instrumen yang membimbing perilaku secara adil dan
dapat diprediksi.
Kendati secara
teknis kedua pasal tersebut memiliki ruang lingkup yang berbeda, interpretasi
dan implementasi yang tidak hati-hati dapat menimbulkan ambiguitas dalam
praktik peradilan. Kontradiksi ini tidak cukup diselesaikan hanya dengan
memilih salah satu norma dan mengesampingkan yang lain. Sebagai rancangan
undang-undang yang memiliki salah materi pokok yaitu Penguatan hak Tersangka,
Terdakwa, Terpidana, Saksi, Korban dan penyandang disabilitas sebagaimana yang
dicantumkan dalam Penjelasan Umum RKUHAP, penting untuk meninjau kembali
keselarasan antarbatas pidana demi menjaga koherensi hukum dan perlindungan hak
terdakwa.
Rekonstruksi
Batasan Pidana Penjara Dalam Acara Pemeriksaan Singkat
Untuk menjaga
konsistensi dan kepastian hukum dalam penerapan batasan pidana penjara dalam
acara pemeriksaan singkat sebagaimana diatur dalam RKUHAP, terdapat dua
alternatif usulan yang diajukan. Pertama, apabila pembentuk
undang-undang berkehendak mempertahankan keberadaan kedua pasal tersebut secara
bersamaan, maka perlu dilakukan penyesuaian redaksional terhadap Pasal 241 ayat
(5) dengan menambahkan klausul pengecualian terhadap ketentuan dalam Pasal 221
ayat (5). Dengan demikian, Pasal 241 ayat (5) dapat dirumuskan ulang menjadi: “Selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (5), pidana penjara yang dapat
dijatuhkan terhadap Terdakwa paling lama 3 (tiga) tahun.” Rumusan ini
memberi kejelasan bahwa ketentuan batas maksimal tiga tahun dalam Pasal 241 berlaku
sebagai aturan umum, tetapi dapat dikesampingkan apabila perkara tunduk pada
ketentuan khusus dalam Pasal 221. Upaya ini penting agar pengaturan penjatuhan
pidana tidak saling bertentangan dan agar hakim tetap memiliki ruang kebebasan
dalam menjatuhkan pidana yang proporsional terhadap pengakuan terdakwa.
Kedua, apabila
pembentuk undang-undang justru bermaksud menegaskan bahwa pidana penjara yang
dapat dijatuhkan dalam acara pemeriksaan singkat tidak boleh melebihi tiga
tahun secara mutlak, maka yang harus dilakukan adalah mengubah ketentuan Pasal
221 ayat (5) agar selaras dengan batasan tersebut. Dalam hal ini, ketentuan
Pasal 221 ayat (5) dapat dirumuskan ulang menjadi: “Penjatuhan pidana
terhadap Terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 2/3
dari maksimum pidana tindak pidana yang didakwakan dengan memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (5).” Dengan demikian,
seluruh norma yang mengatur acara pemeriksaan singkat akan tunduk pada satu
standar batas maksimum pidana, yaitu tiga tahun yang lebih menekankan pada perlindungan
hak-hak terdakwa.
Kedua usulan
tersebut tentu memiliki implikasi kebijakan yang berbeda. Alternatif pertama
memberikan fleksibilitas kepada hakim dalam menjatuhkan pidana hingga 2/3 dari
ancaman maksimal, sesuai dengan semangat proporsionalitas, sedangkan alternatif
kedua lebih menekankan kepastian dan pembatasan tegas terhadap beratnya pidana
dalam acara singkat yang sejalan dengan semangat peradilan cepat dan
perlindungan hukum terhadap terdakwa. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang
perlu secara cermat mempertimbangkan arah kebijakan yang ingin ditempuh dalam
pembentukan sistem hukum acara pidana ke depan agar tercipta sistem yang tidak
hanya efisien, tetapi juga adil dan dapat diterapkan secara konsisten.
Penutup
Menjaga
kepastian hukum dalam sistem peradilan pidana merupakan hal yang sangat krusial
demi tercapainya keadilan yang sejati dan perlindungan hak-hak setiap warga
negara. Memang benar bahwa tatkala kepastian hukum berseteru dengan keadilan,
maka keadilanlah yang mesti diutamakan. Namun tatkala kepastian hukum
kehilangan arah, ketidakadilan akan tumbuh dengan megah, meruntuhkan keadilan
yang seharusnya teguh dan mempesona. Melalui perbaikan normatif yang sistematis
dan terukur, diharapkan sistem hukum acara pidana yang baru dapat berjalan
efektif, adil, dan memberikan rasa kepercayaan kepada masyarakat. Kiranya
langkah reformasi hukum ini tak henti-hentinya diberkati agar Indonesia
senantiasa berada dalam terang kasih Tuhan Yang Abadi. (LDR)
Referensi:
[1] Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (RKUHAP) versi 20 Maret 2025, dibagikan oleh Institute for
Criminal Justice Reform (ICJR), tersedia di: https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2025/03/RUU-KUHAP-20-Maret-2025.pdf,
diakses 6 Juni 2025, pukul 09.02 WIB.
[2] H. Marcos, Lex Specialis as a
Reason-Giving Norm: Balancing Norm Specificity and Individual Rights in Times
of Crisis, International Community Law Review, Vol. 27, No. 3
(2025): 218–253, https://doi.org/10.1163/18719732-bja10138, hlm. 235.
[3] Ibid., hlm. 236.
[4] Hans Kelsen, The Concept of
the Legal Order, diterjemahkan oleh Stanley L. Paulson, The American
Journal of Jurisprudence, Vol. 27, No. 1 (1982): 64–84, https://academic.oup.com/ajj/article-pdf/27/1/64/7290065/ajj-27-64.pdf, hlm. 70.
[5] Gazali, Pengantar
Ilmu Perundang-Undangan (Mataram: Sanabil, 2022), hlm. 29–32.
[6] Joseph Raz, The Rule
of Law and Its Virtue (Oxford: Oxford University Press, 1979): 211–228, https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780198253457.001.0001, hlm. 215.