Pengaturan mengenai Hak Masyarakat Hukum Adat telah secara tegas diakui dalam Pasal 18 B ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 dan telah pula diadopsi dalam berbagai undang-undang, diantaranya:
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
- Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA).
- Peraturan Menteri
ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan
Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Dalam praktek
peradilan masih terdapat sengketa tentang pengelolaan tanah Masyarakat Hukum
Adat (MHA) yang diajukan ke Pengadilan Negeri Dumai Kelas IA. Sengketa yang
diajukan adalah mengenai hak pengelolaan tanah adat yang berupa tanah, air, dan
atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas
tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan
secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh
melalui pewarisan dari leluhur mereka.
Peran Lembaga Peradilan dalam menerapkan Prinsip Keadilan Sosial Dalam Pengelolaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Wilayah Propinsi Riau.
Bahwa Pasal 3 Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2024 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan
Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat (MHA), telah memberikan
batasan tentang bidang-bidang tanah yang tidak dapat diajukan sebagai tanah Hak
Ulayat oleh Masyarakat Hukum
Adat (MHA).
Baca Juga: Putusan Pengadilan sebagai Wadah Rekognisi Hak Ulayat
Guna memenuhi pembatasan pelaksanaan Hak Ulayat
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 tersebut di atas, menurut hemat
Penulis hendaknya segera diterbitkan Daftar
Tanah Hak Ulayat oleh Kementrian
terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala
Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi
Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat,
yang memuat Identitas
Bidang Tanah Hak Ulayat dengan suatu Sistem Penomoran
yang diperoleh dari Hasil Pengukuran dan Pemetaan Kadastral agar tidak lagi terdapat pengajuan gugatan / sengketa agraria
oleh masyarakat adat yang juga memiliki
Hak Konstitusional untuk mengelola Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
(MHA) sehingga tercapai Prinsip Keadilan
Sosial bagi Masyarakat Indonesia sebagaimana butir ke – 5 Pancasila.
Adapun Daftar Tanah Hak Ulayat tersebut harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
- Bahwa
tanah tersebut adalah benar milik Kelompok/Anggota Masyarakat Hukum Adat (MHA)
yang telah dikuasai secara fisik secara terus menerus dan tidak ada pihak lain
yang menguasainya selama paling sedikit 20 (dua puluh) tahun. (1)
- Bahwa
penguasaan tanah dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang
bersangkutan sebagai pihak yang berhak atas tanah. (2)
- Bahwa
tanah tersebut tidak dalam status sengketa pidana maupun perdata, demikian pula
tidak dalam sengketa batas ataupun sengketa penguasaan/pemilikan.
- Bahwa
tanah tersebut tidak berada dalam status jaminan suatu utang, baik pada bank
atau pihak lain.
- Bahwa
tanah tersebut bukan merupakan aset pemerintah pusat/pemerintah daerah atau
aset badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah lainnya.
- Bahwa
tanah tersebut berada di luar kawasan hutan dan/atau di luar areal yang
dihentikan perizinannya pada hutan alam primer dan lahan gambut.
- Bahwa
tanah tersebut tidak mengurung/menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari
lalu lintas umum, akses publik dan/atau jalan air. (3)
Penerbitan Daftar
Tanah Hak Ulayat tersebut merupakan langkah nyata negara dalam menjalankan
amanat Pasal 18B ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, yang berfokus pada:
1.
Kepastian
Hukum
Daftar Tanah Hak Ulayat ini memberikan Kepastian Hukum
Formal mengenai Letak, Luas, dan Batas-Batas Tanah Hak Ulayat yang dikuasai
secara turun-temurun oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA). Daftar Tanah Hak Ulayat ini
berperan penting dalam menghilangkan ketidakpastian hukum yang selama ini
dialami oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA).
2.
Perlindungan
dari Konflik
Dengan
adanya pengakuan dan pencatatan resmi dari negara, Tanah Hak Ulayat menjadi
terlindung dari klaim sepihak atau pengambilalihan oleh pihak luar (baik swasta
maupun pemerintah). Hal ini secara fundamental mengurangi pengajuan gugatan /
sengketa agraria yang diajukan ke
Pengadilan yang merugikan Masyarakat Hukum Adat (MHA).
Penutup
Konsitutsi Negara Republik
Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Hak
Masyarakat Hukum Adat (MHA) untuk mengelola Tanah Hak Ulayat belum sepenuhnya
mengatur Petunjuk Teknis atau Daftar Definitif mengenai tanah tanah mana yang
dikualifikasikan sebagai Tanah Hak Ulayat yang berpotensi memberikan
ketidakpastian hukum bagi Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang memiliki Hak
Konstitusional untuk mengelola Tanah Hak Ulayat.
Saran
Guna memberikan Kepastian Hukum dan
Mengurangi Sengketa Agraria ke Pengadilan Negeri hendaknya segera diterbitkan
Daftar Tanah Hak Ulayat oleh Kementrian terkait sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi
Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat (MHA),
yang memuat Identitas
Bidang Tanah Hak Ulayat dengan suatu Sistem Penomoran yang diperoleh dari Hasil Pengukuran dan Pemetaan Kadastral agar tidak lagi terdapat pengajuan gugatan / sengketa agraria
oleh Masyarakat Hukum Adat yang juga memiliki
Hak Konstitusional untuk mengelola Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat sehingga tercapai Prinsip Keadilan
Sosial bagi Masyarakat Indonesia sebagaimana butir ke – 5 Pancasila. (al/ldr)
Refrenasi:
(1) Lindsey L Wiersma, “Indigenous Lands as Cultural Property: A New
Approach to Indigenous Land Claims”, Duke Law Journal, Vol.54, No.4, 2005,
pp.1061-1088, tersedia di http://www.jstor.org/stable/40040510,
(2) Wismar
Harianto, “Eksistensi Masyarakat Adat Dalam Mempertahankan Hak Atas Tanah
Ulayat (Studi Masyarakat Adat
Kebatinan Muara Sakal Kabupaten Pelalawan), Eksekusi,
Volume 3, Nomor 1, Juni 2021, pp.62-81, tersedia di https://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/eksekusi/article/view/13031/6380.
(3) Lampiran V Permen ATR/BPN Nomor 14/2024.
Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili pendapat lembaga.
Baca Juga: Eksistensi Alat Bukti Bekas Hak Milik Adat Dalam Sengketa Hak Atas Tanah
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI