AUTOPSI menjadi salah satu sarana pembuktian adanya kejahatan. Hal itu juga diakui dalam KUHAP. Tapi tahukah Anda bila autopsi sudah dikenal sejak saman Romawi kuno?
Autopsi di Indonesia diatur dalam Pasal 133 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :
- Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya;
- Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat;
- Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal tersebut dasar bagi penyidik utuk mendapatkan keterangan ahli dari dokter untuk menangani perkara pidana yang berhubungan dengan tubuh korban yang diakibatkan dari tindak pidana berbentuk keadaan luka ringan, luka berat atau korban yang sudah tidak bernyawa.
Sebagaimana dikutip DANDAPALA dari buku Autopsi Medikolegal. karya Amir A, Minggu (20/4/2025), disebutkan berdasarkan catatan sejarah, autopsi sebenarnya sudah dipraktekan sejak lama. Bahkan telah berakar sejak zaman Era Kuno, Abad pencerahan, sampai pada Zaman modern. Berikut pembabakannya:
Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law
Era Kuno
Praktik autopsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. peradaban pertama yang diketahui melakukan praktek ini adalah Mesir Kuno sekitar 3000 SM. Mesir kuno mempraktikan autopsi melalui proses mumifikasi, meskipun bukan bertujuan untuk menentukan penyebab kematian. Autopsi untuk mencari penyebab kematian baru dilakukan sekitar abad ke-3 SM oleh dua tokoh terkenal Erasistratus dan Herophilus dari Alexandria, walaupun praktik ini sangat jarang dilakukan.
Adapun sejarah otopsi paling terkenal terjadi di zaman Roma, yang mana pembedahan mayat kala itu dilakukan untuk mengetahui penyebab kematan Julius Caesar. Pembunuhan Julius Caesar pada 15 Maret 44 SM adalah salah satu peristiwa paling terkenal dalam sejarah Romawi. Julius Caesar diketahui tewas setelah menjadi korban konspirasi oleh para senatornya yang tidak suka pada dirinya.
Sejarah mencatat bahwa sebanyak 60 konspirator berkonspirasi untuk membunuh dirinya saat menghadiri pertemuan senat. Diktaktor itu tewas setelah mendapat 23 tusukan. Para konspirator awalnya berencana membuang tubuh Caesar ke Sungai Tiber, tapi mereka berubah pikiran dan meninggalkan tubuhnya yang berlumuran darah di teater Pompey. Hal ini memungkinkan dokter antistius untuk melakukan otopsi dan mencatat kondisi tubuh Caesar setelah serangan mematikan tersebut, hasil otopsi itu mencatat 23 luka yang terdapat di tubuh Caesar, termasuk di bagian wajah dan selangkangan.
Abad Pencerahan
Zaman masa Renaisans atau pencerahan menandai kemajuan besar dalam bidang anatomi dan kedokteran, termasuk otopsi yang mulai dilakukan secara teratur sejak abad ke-12, di Eropa. Giovanni Battista Morgagni (1682–1771) dianggap sebagai orang yang mendewasakan otopsi, yang kemudian disebut sebagai bapak patologi anatomi. Ia menulis De Sedibus et Causis Morborum per Anatomen Indagatis, karya besar yang membahas penyebab penyakit berdasarkan pengamatan anatomi. Andreas Vesalius juga merupakan tokoh penting pada abad ke-16 yang melakukan diseksi publik terhadap jenazah seorang kriminal.
Pada abad ke 17, pakar hukum di negara-negara Eropa mulai berpikir bahwa ilmu autopsi sangat dibutuhkan untuk membuktikan penyebab hilangnya nyawa korban. Pemikiran tersebut ditindaklanjuti oleh dokter dengan mengembangkangkan ilmu kedokteran untuk membuktikan kesalahan pelaku kejahatan melalui ilmu autopsi.
Hasil pemeriksaan dokter tersebut akan dijadikan alat bukti melalui pemberian keterangan saksi ahli di sidang pengadilan. Penggunaan autopsi di pengadilan disebut dengan istilah Official Medicine, State Medicine, Medical Police dan Medical Jurisprudence. Dalam dunia praktisi hukum, ilmu kedokteran yang digunakan untuk keperluan penegak hukum di pengadilan disebut Medicolegal Science.
Baca Juga: Jejak Prasasti Jayapatra, Bukti Hukum Acara Pengadilan di Jawa Abad ke-9 M
Zaman Modern
Pada abad ke-19, Carl von Rokitansky dan koleganya dari Second Vienna Medical School memperkenalkan otopsi sebagai metode untuk meningkatkan akurasi diagnosis medis. Rudolf Virchow, seorang peneliti medis terkenal, mengembangkan protokol autopsi yang terstandarisasi dan menciptakan konsep proses patologis yang masih dipakai hingga kini. Pada abad ke-20, Scotland Yard membentuk Kantor Ahli Patologi Forensik yang bertugas menyelidiki kematian tidak wajar, seperti akibat kecelakaan, pembunuhan, atau bunuh diri. (ees/asp)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum