Cari Berita

Saat Inggris di Era Kegelapan Korupsi, Naikkan Gaji Hakim 500 % Jadi Solusi

article | History Law | 2025-05-21 18:05:11

KORUPSI di Indonesia saat terjadi di segala lini. Dari proyek jalan hingga proyek Alquran. Suap pun menggurita di semua sektor dengan jumlah ratusan ribu hingga triliunan rupiah.  Jauh sebelumnya, di Eropa abad ke-18, Inggris pun pernah mengalaminya. Sebagaimana dikutip dari buku karya Peter Carey ‘Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia’ yang diterbitkan Komunitas Bambu, 2016. Salah satunya diceritakan dalam Bab 2 ‘Korupsi di Indonesia Kontemporer dan Pengalaman Sejarah Inggris 1660-1830’. Dipaparkan era kegelapan Inggris terjadi pada saat negara tersebut melakukan ekspansi menguasai dunia dengan kekuatan militernya.“Bahkan, Perdana Menteri Inggris pertama, Sir Robert Walpole (1726-1740) menyelundupkan barang-barang mewah Prancis melalui Sungai Thames menuju kediaman resminya dengan menggunakan kapal-kapal patroli Kerajaan,” tulis buku tersebut di halaman 53 sebagaimana dikutip DANDAPALA, Rabu (21/5/2025).Disebutkan, korupsi antarlembaga saat itu diperburuk dengan penaklukan Inggris atas imperium Asia. Seperti Gubernur Wilayah Benggala, India, Warren Hastings (1773-1784) yang diberhentikan atas tuduhan korupsi pada 1787 tapi dibebaskan delapan tahun kemudian. Sebelumnya, Sir Robert Clive (1725-1774) pulang dari India dengan membawa kekayaan GBP 90 juta atau setara sekitar Rp 1,8 triliun. Kekayaanya diselidiki oleh parleman dan Clive memilih bunuh diri setahun setelahnya.“Kasus Hastings dan Clive menarik dalam pengertian perkembangan gejala korupsi. Ini menujukkan bahwa apa yang dianggap ‘korup’ bergeser dari generasi ke generasi. Meski Hastings dituduh oleh musuhnya di dewan pengurus bertindak ‘korup’ sebagai gubernur, ia ternyata dibebaskan dari semua tuduhan setelah diadili delapan tahun lamanya,” ungkappnya.Lalu bagaimana solusi Inggris dari zaman kegelapan korupsi itu?Salah satunya adalah meningkatkan upah pegawai negeri sipil, termasuk pengadilan, secara substansial. Ini dilakukan dengan menaikkan gaji hakim Inggris mulai 1645. Ketika itu gaji hakim senior dinaikkan 500 persen, menjadi GBP 1.000 kala itu atau setara dengan GBP 151 ribu di tahun 2015 (setara Rp 3,3 miliar/tahun).“Setelah gaji hakim dinaikkan secara fantastis, pemerintah juga melarang hakim ‘menerima penghasilan tambahan, keuntungan, atau hadiah’ yang lain. Baik secara langsung atau melalui staf ahli mereka. Ini untuk mencegah malpraktik hukum dan meringankan ongkos penggugat,” tulisnya.Delapan tahun setelahnya, Inggris mengeluarkan kode etik ‘Akta untuk Mencegah Permohonan, Penyuapan dan Pemerasan kepada Hakim (Act to Prevent the Solicitation of Judges, Bribery and Extortion). Kode etik itu berdampak sifnifikan kepada kejujuran hakim. Akhirnya, pengadilan yang dulunya marak dengan korupsi, akhirnya bisa hilang, meski membutuhkan proses selama 3 dekade. Bagi Inggris, tidak peduli berapa gaji yang dibayarkan ke hakim asalkan mau bertindak baik (quamdiu se bene gesserit) dan tidak berbuat berdasarkan kemauan raja.“Memang tidak berarti semua hakim di Inggris sama sekali lepas dari pengaruh politik, tapi secara profesional mereka mulai bertindak jauh lebih solid dan bisa dipercaya bebas dari suap. Sesuatu yang sangat diperlukan Ketika pemerintah Inggris mulai menggugat pejabat yang korup pada akhir abad ke-18 ketika Reformasi Penghematan diterapkan antara 1780 dan dasawarsa 1830-an,” terangnya. (asp/asp)

Mengenal Jenis Sanksi Hukum di Jawa Abad ke-18, dari Cambuk hingga Dibuang

article | History Law | 2025-04-23 19:45:47

SISTEM hukum di Indonesia pada prinsipnya dipengaruhi oleh hukum adat, hukum Islam, dan hukum perdata barat. Lalu ada jenis sanksi apa saja kala sistem hukum Jawa abad ke-18?Di masa penjajahan ketika Indonesia masih belum bersatu dan berbentuk kerajaan salah satu sistem hukum yang berlaku adalah Sistem Hukum Jawa pada masyarakat Jawa. Secara periodisasi, salah satu yang menarik adalah bagaimana Sistem Hukum Jawa pada Abad Ke-18 pasca Perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian yaitu Surakarta (Kasunanan) dan Yogyakarta (Kasultanan) pada tanggal 13 Februari 1755 dan Perjanjian Salatiga pada bulan Februari 1757 yang memberikan Mangkunegara I tanah sejumlah 4000 karya dari Paku Buwana III. Pasca Perjanjian Giyanti struktur pemerintahan di dalam Sistem Hukum Jawa menjadi berbeda. Otoritas tertinggi di dalam struktur pemerintahan adalah Raja Surakarta dan Raja Yogyakarta. Otoritas tertinggi membuat peraturan yang kemudian dilaksanakan oleh Angabei Amongpraja untuk pengadilan di Surakarta dan Angabei Nitipraja untuk pengadilan di Yogyakarta. Selain Angabei, pelaksanaan aturan tertinggi juga dilakukan oleh patih kedua kerajaan yaitu Adipati Sasradiningrat sebagai patih di kerajaan Surakarta dan Adipati Danureja sebagai patih di kerajaan Yogyakarta. Pada prinsipnya, di dalam Sistem Hukum Jawa apabila terdapat sengketa di masyarakat lebih diselesaikan secara damai tanpa perlu mengajukan gugatan ke pengadilan. Namun, apabila tidak bisa diselesaikan dengan damai bisa diajukan ke pengadilan dengan beberapa syarat yaitu: (1) Dengan surat; (2) Ada capnya; (3) Boleh diwakilkan; (4) Uraian perkara di dalam gugatan tersebut; dan (5) Untuk memperkuat gugatan harus bersumpah terlebih dahulu. Apabila gugatan sudah dimasukan maka pihak yang kalah akan dikenakan sanksi. Namun, yang unik di dalam Sistem Hukum Jawa pejabat hukum yang terkait dengan perkara tersebut dapat juga dikenakan sanksi apabila terbukti memperlambat atau menyalahi batas waktu penyelesaian perkara yang sudah ditentukan oleh otoritas. Berikut jenis-jenis sanksi yang terdapat di dalam Sistem Hukum Jawa:1. Sanksi Denda UangSanksi ini digunakan terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan masalah perdata.2. Sanksi PekerjaanSanksi ini masih dalam kaitannya dengan hukum perdata yang mana pihak yang kalah. Dalam hal ini, apabila seluruh harta yang dimiliki oleh pihak yang kalah sudah digunakan untuk membayar denda atau ganti rugi dan masih tidak cukup, maka pihak yang kalah diwajibkan mengabdi (mujang) kepada yang menang sesuai dengan kesepakatan.3. Sanksi CambukSanksi ini diberikan kepada pihak yang melakukan kejahatan sampai menghilangkan nyawa manusia. Sama dengan sanksi sebelumya, sanksi ini merupakan pilihan terakhir apabila sanksi denda tidak dibayarkan oleh pihak yang kalah kepada kerajaan.4. Sanksi RantaiSanksi ini diberlakukan tehadap siapapun yang dianggap bersalah baik itu perdata ataupun pidana yang mengakibatkan luka-luka dan kematian orang lain. Apabila perbuatan pelaku mengakibatkan luka-luka pada umumnya dikenakan sanksi diikat rantai selama 4 tahun dan apabila mengakibatkan kematian dapat dikenakan sanksi diikat rantai seumur hidupnya atau dibuang ke seberang lautan. 5. Sanksi Ganti KerugianSanksi ini diberlakukan terhadap siapapun baik itu bangsa kulit putih (Belanda) maupun Cina yang mengalami kerugian karena barang bawaannya telah dirampok atau dicuri di dalam suatu penginapan yang resmi. Namun, apabila ingin mendapatkan perlindungan hukum harus melaporkan terlebih dahulu kepada yang berwajib sehingga barang yang kehilangan tersebut dapat diganti rugi oleh kerajaan dan yang mengalami kehilangan harus bersumpah terlebih dahulu.6. Sanksi BersumpahSanksi ini dikenakan kepada seseorang yang ingin membersihkan kejahatannya. Dalam hal ini, apabila seseorang merasa tidak bersalah nama baiknya dapat direhabilitasi dengan mengucapkan sumpah bahwa memang dirinya tidak bersalah.7. Sanksi Copot JabatanSanksi ini hanya berlaku bagi para pejabat hukum ataupun pemerintahan yang dikenakan apabila terbukti menyalahi aturan yang telah ada dalam menyelesaikan suatu perkara. Dalam hal ini, sanksi dikenakan apabila pejabat tersebut terbukti memperlama atau memperlambat penyelesaian perkara peradilan di setiap tingkatan peradilan sehingga waktu penyelesaiannya berlarut-larut.8. Sanksi DibuangSanksi ini hanya berlaku bagi seseorang yang kesalahan dan dosanya tidak dapat diampuni lagi. Sanksi ini merupakan sanksi yang paling berat dibandingkan dengan jenis sanksi yang lain. Salah satu jenis perbuatan yang dihukum dengan sanksi ini adalah perbuatan pembunuhan yang didahului dengan penganiayaan dan pemerkosaan. Pada umumnya, Sanksi Dibuang didahului oleh Sanksi Cambuk. Sanksi Dibuang terdiri dari hukuman buang jaba rangkah (luar wilayah), jaba nigari (luar kerajaan), ing wana (di hutan), dan tanah sabrang (keluar pulau).Urutan Kualitas Sanksi Sebagaimana jenis sanksi yang sudah dijelaskan, sanksi-sanksi tersebut juga mempunyau urutan kualitas sanksi dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Berikut urutan kualitas sanksi dari yang paling ringan ke yang paling berat sebagai berikut: (1) Bersumpah adalah sanksi yang dapat dianggap sangat ringan karena tidak ada kerugian secara fisik maupun material namun yang lebih ditekankan dalam sanksi ini adalah moral yang dipertaruhkan; (2) Denda Uang adalah sanksi yang dianggap cukup ringan karena tidak adak kerugian fisik dalam sanksi tersebut; (3) Ganti Rugi adalah sanksi yang dianggap ringan karena walaupun ganti rugi berupa sanksi yang bersifat material namun penggantian dilakukan apabila pihak yang kalah tidak cukup mengganti barang yang telah ditetapkan oleh pengadilan sehingga sifat dari sanksi Ganti Rugi adalah mengganti kekurangan dari denda yang telah dibayar sebelumnya; (4) Denda Pekerjaan adalah sanksi yang dapat dianggap cukup berat karena pihak yang kalah harus menjalani kewajiban mengabdi kepada yang menang sesuai dengan kesepakatan. Sanksi ini dapat dikatakan memberikan kerugian secara moral, material, dan fisik; (5) Pencopotan Jabatan adalah sanksi yang dianggap berat karena target dari sanksi ini adalah pejabat yang melakukan kesalahan dan sanksi ini memberikan kerugian secara moral dan gengsi; (6) Cambuk adalah sanksi yang dianggap berat karena memberikan kerugian secara fisik dan pelaku kejahatan juga harus direhabilitasi moralnya; (7) Rantai adalah sanksi yang berat karena secara moral pelaku kejahatan tidak dapat diampuni lagi dan juga memberikan kerugian secara fisik bagi pelaku kejahatan; dan terakhir (8) Dibuang adalah sanksi paling berat karena perbuata pelaku sudah dianggap tidak lagi dapat diampuni secara moral dan juga sudah dianggap tidak layak lagi tinggal di antara masyarakat sehingga pelaku harus dibuang jauh dari masyarakat. Pada umumnya, sanksi ini diberlakukan setelah pelaku dikenakan Sanksi Cambuk terlebih dahulu. (AAR/YBB)Referensi:1. Sistem Hukum Jawa dalam Masyarakat Jawa Abad Ke-18 Tinjauan Sejarah (Prapto Yuwono, Tesis, 2004, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)2.https://www.tempo.co/politik/kilas-balik-perjanjian-salatiga-yang-membagi-kesultanan-mataram-dan-akhiri-perang-di-jawa-76815 3. Angger Pradata Akir: Peraturan Hukum di Kerajaan Jawa Sesudah Mataram (Ugrasena Pranidhana, Jurnal Makara Sosial Humaniora, Vol.7, No. 2 Desember 2003)   

Diakui di KUHAP, Ternyata Autopsi Sudah Dikenal di Zaman Mesir Kuno

article | History Law | 2025-04-20 14:55:16

AUTOPSI menjadi salah satu sarana pembuktian adanya kejahatan. Hal itu juga diakui dalam KUHAP. Tapi tahukah Anda bila autopsi sudah dikenal sejak saman Romawi kuno?Autopsi di Indonesia diatur dalam Pasal 133 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya; Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat;Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat. Pasal tersebut dasar bagi penyidik utuk mendapatkan keterangan ahli dari dokter untuk menangani perkara pidana yang berhubungan dengan tubuh korban yang diakibatkan dari tindak pidana berbentuk keadaan luka ringan, luka berat atau korban yang sudah tidak bernyawa.Sebagaimana dikutip DANDAPALA dari buku Autopsi Medikolegal. karya Amir A, Minggu (20/4/2025), disebutkan berdasarkan catatan sejarah, autopsi sebenarnya sudah dipraktekan sejak lama. Bahkan telah berakar sejak zaman Era Kuno, Abad pencerahan, sampai pada Zaman modern. Berikut pembabakannya:Era KunoPraktik autopsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. peradaban pertama yang diketahui melakukan praktek ini adalah Mesir Kuno sekitar 3000 SM. Mesir kuno mempraktikan autopsi melalui proses mumifikasi, meskipun bukan bertujuan untuk menentukan penyebab kematian. Autopsi untuk mencari penyebab kematian baru dilakukan sekitar abad ke-3 SM oleh dua tokoh terkenal Erasistratus dan Herophilus dari Alexandria, walaupun praktik ini sangat jarang dilakukan. Adapun sejarah otopsi paling terkenal terjadi di zaman Roma, yang mana pembedahan mayat kala itu dilakukan untuk mengetahui penyebab kematan Julius Caesar. Pembunuhan Julius Caesar pada 15 Maret 44 SM adalah salah satu peristiwa paling terkenal dalam sejarah Romawi. Julius Caesar diketahui tewas setelah menjadi korban konspirasi oleh para senatornya yang tidak suka  pada dirinya. Sejarah mencatat bahwa sebanyak 60 konspirator berkonspirasi untuk membunuh dirinya saat menghadiri pertemuan senat. Diktaktor itu tewas setelah mendapat 23 tusukan. Para konspirator awalnya berencana membuang tubuh Caesar ke Sungai Tiber, tapi mereka berubah pikiran dan meninggalkan tubuhnya yang berlumuran darah di teater Pompey. Hal ini memungkinkan dokter antistius untuk melakukan otopsi dan mencatat kondisi tubuh Caesar setelah serangan mematikan tersebut, hasil otopsi itu mencatat 23 luka yang terdapat di tubuh Caesar, termasuk di bagian wajah dan selangkangan.Abad PencerahanZaman masa Renaisans atau pencerahan menandai kemajuan besar dalam bidang anatomi dan kedokteran, termasuk otopsi yang mulai dilakukan secara teratur sejak abad ke-12,  di Eropa.  Giovanni Battista Morgagni (1682–1771) dianggap sebagai orang yang mendewasakan otopsi, yang kemudian disebut sebagai bapak patologi anatomi. Ia menulis De Sedibus et Causis Morborum per Anatomen Indagatis, karya besar yang membahas penyebab penyakit berdasarkan pengamatan anatomi. Andreas Vesalius juga merupakan tokoh penting pada abad ke-16 yang melakukan diseksi publik terhadap jenazah seorang kriminal.Pada abad ke 17, pakar hukum di negara-negara Eropa mulai berpikir bahwa ilmu autopsi sangat dibutuhkan untuk membuktikan penyebab hilangnya nyawa korban. Pemikiran tersebut ditindaklanjuti oleh dokter dengan mengembangkangkan ilmu kedokteran untuk membuktikan kesalahan pelaku kejahatan melalui ilmu autopsi. Hasil pemeriksaan dokter tersebut akan dijadikan alat bukti melalui pemberian keterangan saksi ahli di sidang pengadilan. Penggunaan autopsi di pengadilan disebut dengan istilah Official Medicine, State Medicine, Medical Police dan Medical Jurisprudence. Dalam dunia praktisi hukum, ilmu kedokteran yang digunakan untuk keperluan penegak hukum di pengadilan disebut Medicolegal Science.Zaman Modern Pada abad ke-19, Carl von Rokitansky dan koleganya dari Second Vienna Medical School memperkenalkan otopsi sebagai metode untuk meningkatkan akurasi diagnosis medis. Rudolf Virchow, seorang peneliti medis terkenal, mengembangkan protokol autopsi yang terstandarisasi dan menciptakan konsep proses patologis yang masih dipakai hingga kini. Pada abad ke-20, Scotland Yard membentuk Kantor Ahli Patologi Forensik yang bertugas menyelidiki kematian tidak wajar, seperti akibat kecelakaan, pembunuhan, atau bunuh diri. (ees/asp)

Susanto: Ketua Pengadilan, Menteri, Pimpin Perang Gerilya Lawan Belanda (2)

article | History Law | 2025-03-28 16:05:11

Jakarta- Susanto Tirtoprodjo merupakan tokoh kemerdekaan yang berlatar belakang hakim/ketua pengadilan. Ia sempat memimpin perang gerilya melawan Belanda. Bagaimana kisahnya?Hal itu sebagaimana dikutip DANDAPALA dari buku Drs Susanto Tirtoprodjo SH: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Buku itu ditulis Masykuri yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983.Diceritakan pada 20 Desember 1948 tentara Belanda datang ke Kartusuro untuk menyerang Surakarta. Susanto Tirtoprodjo yang kala itu menjadi Menteri Kehakiman memilih perang gerilya melawan Belanda. Saat itu ia memimpin bersama dua menteri lainnya yaitu Menteri Dalam Negeri, Sukiman dan Menteri Pembangunan dan Urusan Pemuda, Supeno.“Susanto Tirtoprodjo dan kawan-kawannya telah bertekad untuk memimpin Perang Gerilya guna mempertahankan Republik Proklamasi,” demikian tulis Masykuri di halaman 35.Dari Solo, Susanto Tirtoprodjo geser ke Tawangmangu untuk melakukan perang gerilya. Tapi Belanda menyerang hingga Tawangmangu hingga kekuatan Republik dipecah dua, yaitu Menteri Susanto dan Menteri Supeno ke arah timur melewati Gunung Mongkrong. Diteruskan ke lereng Gunung Wilis.“Tujuh bulan Susanto Tirtoprodjo melaksanakan pemerintahan Gerilya sambil menghindari kejaran musuh, yaitu sampai kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta,” ucapnya.Selama perang gerilya, Susanto Tirtoprodjo banyak mengalami suka dan duka. Ia harus naik dan turun gunung, masuk dan keluar hutan. Dari satu desa ke desa lain.“Kadang-kadang sampai beberapa hari tidak mengenal nasi,” ujarnya.Selama memimpin perang gerilya, Susanto Tirtoprodjo juga terus menjalankan pemerintahan. Sejumlah menteri menemuinya untuk koordinasi pemerintahan. Susanto Tirtoprodjo juga sempat bertemu dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk koordinasi perang/pemerintahan.Pada 24 Maret 1949, tentara Belanda menangkap Menteri Supeno ditangkap saat sedang mandi. Karena tidak mau memberitahu keberadaaan Susanto Tirtoprodjo, Menteri Supeno dibunuh Belanda.“Menteri Supeno yang bersedia menanggung korban sendiri dengan tidak mau mengatakan kedudukannya sebagai menteri, telah berhasil menyelamatkan Menteri Susanto,” ujarnya.Pada 28 Januari 1949, disepakati gencatan senjata. Berangsur, tensi perang gerilya menurun. Pemerintahan mulai kembali berjalan. Setelah menjadi Menteri Kehakiman 1946-1950, Susanto Tirtoprodjo lalu dipercaya menjadi Gubernur Sunda Kecil (Bali-Nusa Tenggara). Lalu setahun setelahnya menjadi Kepala Perwakilan RI di Belanda. Pada 1955 ia dipercaya menjadi Dubes RI di Prancis hingga 1959.Setelah itu, ia kembali ke Indonesia sebagai Kepala Direktorat Hukum Departemen Luar Negeri. Setahun setelahnya, ia dipercaya memimpin Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (kini BPHN).Susanto Tirtoprodjo wafat pada 16 November 1969 tengah malam. Ia lalu dimakamkan di TMP Jurug, Surakarta pada 18 November 1969. Dalam pemakamannya, selain pihak keluarga, hadir Menteri Kehakiman Umar Senoadji mewakili Pemerintah. Sebelum dimakamkan, jenazahnya disemayamkan terlebih dahulu di Gedung Balai Kota Surakarta. Hadir memberikan penghormatan terakhir Wali Kota Surakarta, Danrem Surakarta, Ketua PN Surakarta, Kajari Surakarta, Dandim, Ketua DPRDGR Surakarta dan masih banyak lagi.

Susanto: Ketua Pengadilan, Menteri, Pimpin Perang Gerilya Lawan Belanda (1)

article | History Law | 2025-03-28 09:05:07

Jakarta- Dalam masa pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia, semua elemen masyarakat bahu membahu berjuang dari segala lini. Baik secara kooperatif, atau nonkooperatif. Salah satunya yang dilakukan Susanto Tirtoprodjo. Hal itu sebagaimana dikutip DANDAPALA, dari buku Drs Susanto Tirtoprodjo SH: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Buku itu ditulis Masykuri yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983.Susanto Tirtoprodjo lahir di Solo pada 3 Maret 1900. Salah satu adik Susanto Tirtoprodjo, yaitu Wiryono Prodjodikoro belakangan menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA) kedua pada 1952-1966. Ayah Susanto, M Ng Rekoprodjo merupakan penewu (pejabat pamong praja setingkat camat) di Kasunanan Surakarta. Sebagai anak priyayi, Susanto Tirtoprodjo bisa menempuh pendidikan yang setara dengan orang Belanda. Yaitu di Europeesche Lageree School di Solo. Setelah lulus dilanjutkan Rechtschool di Batavia dan lulus pada 1920 dengan angka terbaik.Karena mendapatkan peringkat terbaik, Susanto Tirtoprodjo mendapatkan beasiswa dari Belanda untuk kuliah di Universitas Leiden. Selama menjadi mahasiswa di Belanda, Susanto Tirtoprodjo aktif di gerakan mahasiswa yang mendorong kemerdekaan Indonesia yaitu Perhimpunan Indonesia (PI).Pada 1925 ia menyelesaikan kuliahnya di Belanda. Sepulangnya ke Indonesia, Susanto Tirtoprodjo lalu berkerja di pengadilan. “Pada 1925 itu juga Drs Susanto Tirtoprodjo SH pulang ke tanah air dan mulai bekerja di Pengadilan Negeri Solo,” tulis buku di halaman 3.Selain bekerja di pengadilan, Susanto Tirtoprodjo aktif dalam perjuangan Indonesia merdeka. Namun ia memilih taktik kooperatif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Alasannya untuk menyiapkan sistem dan struktural apabila Indonesia merdeka nantinya. Namun ia menghormati pilihan kawan seperjuannya yang menempuh jalan nonkooperatif dalam meraih kemerdekaan.“Susanto bersedia diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi pegawai negeri yaitu hakim sesuai dengan pendidikan yang telah ditempuhnya dengan tujuan mendapatkan pengalaman dalam jabatan-jabatan penting agar kelak apabila cita-cita kemerddekaan tercapai, kita telah memiliki tenaga yang berpengalaman dalam jabatan-jabatan penting, terutama dalam pemerintahan,” ujarnya.Oleh sebab itu, ia memilih menjadi Kepala Departemen Sosial Ekonomi Partai Indonesia Raya (Parindra), sebuah partai yang dipimpin Dr Sutomo dan merupakan gabungan Boedi Oetomo dan Perserikatan Bangsa Indonesia. Parindra memilih jalan kooperatif dengan Belanda. Susanto Tirtoprodjo mendorong terbentuknya koperasi di berbagai pelosok desa di Jawa Timur dan memberantas lintah darat di desa-desa. Pada 1936, Parindra sudah membentuk serikat sopor, serikat kusir, serikat buruh pelabuhan dan serikat buruh percetakan di berbagai tempat.Setekah 8 tahun menjadi hakim/ketua pengadilan (1925-1933), Susanto Tirtoprodjo dipindah oleh pemerintah Belanda sebagai Gudeputeerde Dewan Perwakilan Provinsi Jawa Timur pada 1933-1941. Setelah itu, Susanto Tirtoprodjo dipilih menjadi Wali Kota Madiun.  Pada 1944-1945 ia menjadi Bupati Pacitan dan setelahnya menjadi Residen Madiun.Setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan Soekarno-Hatta, Susanto Tirtoprodjo langsung bergabung dengan kabinet dan ikut menyusun sejumlah agenda penting. Susanto Tirtoprodjo juga dipercaya menjadi Menteri Kehakiman.Saat terjadi agresi militer, Susanto Tirtoprodjo tidak tinggal diam. Ia memimpin perang gerilya melawan Belanda. Bagaimana kisahnya? Simak terus di artikel selanjutnya.

Arsip 1984: Pria Hidung Belang Dihukum Ganti Rugi Gegara Batal Nikahi Pacar

article | History Law | 2025-03-24 11:30:52

DANDAFELLAS, pernah dengar lagu Band Hello tahun 2008 dengan judul Ular Berbisa?Kira-kira penggalan liriknya seperti ini?Seperti ular, seperti ularYang sangat berbisa, yang sangat berbisaSuka memangsa, suka memangsaDiriku tergigit cintaAku tertipu, aku terjebakAku terperangkap, muslihatmuPenggaran lirik tersebut, kiranya menggambarkan suasana batin perempuan asal Praya, Lombok Tengah yang mengajukan gugatan kepada calon suaminya pada tahun 1983. Cerita di dalam gugatannya seperti ini:Waktu awal merajut cinta tahun 1981, calon suami sempat menjanjikan akan menikahinya. Guna menunjukan bukti cinta, calon suami sempat menyerahkan Asli Surat Kartu Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen), Kartu Pegawai (Karpeg), dan bahkan sepeda motor Honda yang masih baru. Diketahui harga 1 unit sepeda motor Honda baru saat itu di kisaran Rp 200 ribu sampai dengan Rp 300 ribu. Sedangkan Gaji PNS waktu itu masih di angka Rp 30 ribu sampai dengan Rp 50 ribu.Kemudian seiring berjalannya waktu, si perempuan tersebut seakan tidak percaya, setelah 1 tahun 4 merajuk kasih dengan calon Suami, calon suami tidak kunjung juga memberikan kepastian untuk menikahinya. Padahal wanita tersebut tidak lelahnya untuk membujuk calon suami untuk segera menikahinya. Karena ia dan calon suami telah tinggal bersama dengan keluarganya. Namun bak disambar petir di siang bolong, di akhir perjalanan hubungan asmara mereka justru calon suami mengatakan: “Kalau saya nikah dengan kamu, maka saya akan dibuang oleh keluarga saya!”.Setelah hubungan wanita itu dengan calon suami kandas, maka kasus itu berujung pada meja hijau. Akhirnya Pengadilan Negeri (PN) Mataram mengeluarkan Putusan Nomor 073/PN. Mtr/Pdt/1983 tanggal 1 Maret 1984.Pada pokoknya di dalam Putusan PN Mataran tersebut  menyatakan calon suami  telah ingkar janji untuk menikahi penggugat (wanita asal Praya tersebut). Di samping itu PN Mataram juga menghukum calon suami (Tergugat) untuk membayar ganti rugi kepada pihak wanita sejumlah Rp 2,5 juta serta ada juga harta yang telah diletakan sita jaminan, telah dinyatakan sah dan berharga.Dalam perjalanan kasusnya, meskipun Putusan PN Mataram tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Mataram. Namun pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) akhirnya  menghukum si lelaki hidung belang. Pada amar Putusan MA Nomor 3191 K/Pdt/1984 disebutkan Tergugat (calon suami) telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). Lalu Tergugat juga dibebankan untuk mengganti rugi sejumlah Rp 2,5 juta kepada Penggugat.Dalam pertimbangan Putusan MA disebutkan:“Bahwa dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini tersebut, tergugat asal telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat dan perbuatan tergugat asal tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum, sehingga menimbulkan kerugian bagi Penggugat Asal, maka Tergugat Asal wajib memberi ganti kerugian sebagaimana tertera dalam amar Putusan nanti” (asp) 

Indonesia Pernah Ubah Irah-Irah Putusan, Ini Sejarahnya!

article | History Law | 2025-03-18 10:35:40

Kepala atau irah-irah putusan saat ini berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Namun, apakah Dandafellas mengetahui kepala putusan saat ini ternyata sebelumnya tidak berbunyi demikian dan merupakan hasil penyesuaian beberapa kali?Begini sejarahnya!Sebagaimana dikutip dari Buku berjudul “Hukum Acara Pidana” (1983) karya Bismar Siregar, tercatat pengadilan pernah beberapa kali menggunakan kepala putusan. Mulai dari “Atas Nama Raja/Ratu”, “Atas nama Negara”, “Atas nama Keadilan”, hingga terakhir  menggunakan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sudikno Mertokusumo dalam Disertasinya: “Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan di Indonesia Sejak 1942”, menyebutkan sebelum Indonesia merdeka, terlebih dahulu Indonesia menggunakan Irah-Irah Putusan “Atas Nama Raja/Ratu”. Dalam terjemahan Belanda, Iran-Irah tersebut berbunyi “In naam der Koningin”. Dapat dimaklumi mengapa bunyinya demikian. Dikarenakan, saat itu Nusantara masih sebagai Negara Hindia Belanda.Namun kemudian setelah Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Irah-Irah tersebut tidak digunakan lagi. Kepala putusan setelah itu berubah menjadi “Atas nama Negara”, “Atas nama Keadilan”, hingga terakhir “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Penyesuaian beberapa kali kepala putusan ini, tampaknya sangat kental dipengaruhi politik hukum perumusan perundang-undangan tentang kekuasaan kehakiman.Coba ditengok,Pada tahun 1948 Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 (UU 19/1948) Tentang Susunan dan Badan-Badan Kehakiman. Di dalam Beleid tersebut, diatur bahwa peradilan di seluruh daerah Negara dilaksanakan “atas nama Negara Republik Indonesia”. Kemudian berselang 2 (dua) tahun pada tahun 1950 saat Indonesia memasuki fase Republik Indonesia Serikat (RIS), rumusan fundamental ini diubah.  Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 Tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan-Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia (UU 1/1950) disebutkan Peradilan di Indonesia bukan lagi dilaksanakan atas nama Negara Republik Indonesia, tetapi dilaksanakan “Atas nama Keadilan”. Baru setelah itu, hingga saat ini akhirnya Kepala Putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal tersebut terkandung di dalam undang-undang kekuasaan kehakiman yang berlaku saat ini.Patut disyukuri, setelah mengalami beberapa kali penyesuaian kepala putusan, Tuhan Yang Maha Esa telah menakdirkan Bangsa Ini dimana setiap putusan-putusannya diharuskan dilaksanakan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Namun penting diketahui Insan Peradilan, apa makna hakiki kepala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" ini?Bismar Siregar menuturkan makna Irah-Irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” ini begitu sakral. Ia menyebut irah-irah tersebut mengandung makna sumpah dan pertanggungjawaban seorang hakim dalam setiap memutus suatu perkara. Apabila didengungkan kira-kira bunyi kata-kata sumpah tersebut seperti ini:“Aku bersumpah atas Nama Keadilan-Mu Ya Tuhan Yang Maha Esa dalam memutuskan perkara ini!”Sehingga atas setiap sumpah yang diucapkan seorang hakim itu, tentu akan selalu diminta pertanggungjawabannya oleh Tuhan Yang Maha Esa.Oleh karena begitu sakralnya, setiap ucapan sumpah hakim saat hendak memutuskan perkara, maka hendaknya seorang hakim untuk selalu berdoa memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa sebelum memutuskan perkara. Lalu menumbuhkan kesadaran diri dan selalu berusaha memperbaiki diri untuk menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga putusan atau penetapannya tersebut tidak terjebak kepada putusan yang berdasarkan “kepentingan uang”, “kepentingan golongan” atau “kepentingan hawa nafsu”.Referensi:Mengenang Bismar: Irah-Irah, Kepala Putusan yang Bermakna Sumpah (www.hukumonline.com)Keadilan Atas Nama Siapa? (www.hukumonline.com).

Mengenal Sri Widoyati, Hakim Agung Perempuan Pertama di Indonesia

article | History Law | 2025-03-10 09:35:27

Jakarta- Amerika Serikat baru memiliki hakim agung perempuan di tahun 1981. Sedangkan Indonesia sudah memiliki tahun 1968. Siapa srikandi pengadilan itu?Sejarah mencatat, terdapat perempuan yang menjabat sebagai Hakim Agung RI, sejak Agustus 1968. Sosok tersebut, Sri Widoyati Wiratmo Soekito yang lahir di Kendal, tanggal 29 September 1929. Sri Widoyati Wiratmo menamatkan pendidikan Sarjana Hukumnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 1955. Pernah menjabat sebagai hakim tingkat pertama di beberapa Pengadilan, antara lain Pengadilan Negeri Demak, Kendal, Purwodadi, Salatiga dan Semarang. Sebagai sosok hakim perempuan yang dikenal jenius, Sri Widoyati Wiratmo dipercaya menjabat sebagai pimpinan Pengadilan Negeri, antara lain Ketua Pengadilan Negeri Kudus, Jepara dan Semarang. Kehebatannya memimpin pengadilan tingkat pertama, membawanya promosi menjadi Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta tahun 1962 sampai dengan 1968. Selanjutnya tahun 1968, Sri Widoyati Wiratmo diangkat menjadi Hakim Agung perempuan pertama di Indonesia. Pengangkatannyaa sebagai Hakim Agung RI perempuan, mengalahkan negara maju dan adidaya yang baru memiliki Hakim Agung perempuan di medio tahun 1980an, ambil contoh Amerika Serikat mengangkat Sandra Day O’Connor sebagai Hakim Agung perempuan pada tahun 1981. Sri Widoyati Wiratmo selain memiliki pengetahuan hukum yang cemerang, dirinya dikenal juga sebagai hakim yang menjaga integritasnya. Bahkan hasil riset seorang peneliti hukum asal Belanda Sebastian Pompe, bahwa Sri Widoyati Wiratmo adalah hakim perempuan yang hidupnya sederhana dan menolak untuk memperkaya diri, untuk menjaga kedudukan serta kewibawaan Mahkamah Agung RI. Demikian juga apresiasi lahir dari advokat senior Adnan Buyung Nasution yang memberikan testimoni bahwa Sri Widoyati Wiratmo adalah seorang pejuang hukum dan keadilan yang pernah dimiliki Indonesia. Karirnya sebagai hakim, tidak menyurutkan keaktifannya dalam berbagai organisasi profesi dan sarjana, antara lain menjadi pengurus pusat Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), tahun 1963-1964, pengurus pusat Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI). Di internal organisasi Mahkamah Agung RI, di mana Sri Widoyati Wiratmo pernah didapuk sebagai Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) cabang  Jakarta Raya tahun 1966-1967 dan Ketua Sekretariat Bersama Pengabdi  Hukum Tahun 1967-1971. Demikian juga, semasa hidupnya Sri Widoyati Wiratmo aktif dalam mendorong pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan antara lain UU Hak Cipta, UU Perkawinan dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu, bersama sarjana dan tokoh hukum lainnya menginisiasi pembentukan Universitas Semarang tahun 1956.  Hakim Agung perempuan pertama di Indonesia dimaksud, juga aktif memprakasai dan mengadvokasi perempuan Indonesia untuk berkarya dalam bentuk menulis berbagai karya sasta, yang kemudian dirangkum dalam satu buku berjudul Anak dan Wanita dalam Hukum yang diterbitkan LP3ES. Sosok perempuan hebat tersebut, wafat tanggal 20 Februari 1982, saat berjuang melawan penyakit kanker yang dideritanya dari tahun 1980.Sumber referensi :1.https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sri_Widoyati2. https://www.hukumonline.com/berita/a/ia-yang-pertama-perempuan--terlupakan--menyimpan-pujian-lt640f1bf6221d1/3. https://www.hukumonline.com/berita/a/3-kisah-pilihan-hakim-agung-dan-hakim-konstitusi-inspiratif-lt6596592e06952/?page=24. https://www.kompas.id/artikel/kepemimpinan-hakim-perempuan

Arsip Pengadilan 1932 : Cikal Bakal Lahirnya Fidusia Di Indonesia

article | History Law | 2025-03-08 12:20:14

Dalam sejarah perkembangannya di Indonesia, jauh sebelum adanya Undang-Undang yang mengatur tentang jaminan fidusia, eksistensi dari lembaga fidusia telah diakui. Ini berangkat dari adanya perkembangan sosial yang terjadi di masyarakat, misalnya adanya kebutuhan yang mendesak dari para pedagang, pengusaha kecil dan pengecer yang mengingingkan fasilitas kredit untuk memenuhi kebutuhan usahanya. Namun adanya kebutuhan tersebut, haruslah juga diimbangi dengan adanya jaminan bagi kreditur yang akan memberikan pinjaman modal. Dalam kondisi seperti itu pada masa itu, lembaga hipotik tidak menjadi pilihan yang tepat, dikarenakan kebanyakan dari mereka tidak memiliki tanah sebagai jaminan.Pada masa pemerintahan Hindia Belanda waktu itu, ada lembaga hukum yang disebut dengan Voorraad Pand yang dibentuk untuk menampung kebutuhan fidusia. Akan tetapi dalam praktiknya kurang populer, dikarenakan kepemilikan dari debitur terhadap benda objek jaminan sangat kuat. Dalam sejarah hukum di negara kita, lembaga fidusia pertama yang diakui oleh yurisprudensi di zaman Hindia Belanda adalah melalui putusan Hooggerechtshof (HGH) tanggal 18 Agustus 1932.Duduk perkaranya secara singkat sebagai berikut:Pedro Clygnett selanjutnya disebut Clygnett meminjam uang dari Bataafse Petrolium Maatschappy selanjutnya disebut: B.P.M. dan sebagai jaminan ia telah menyerahkan hak miliknya atas sebuah mobil. Mobil tersebut tetap ada dalam penguasaan Clygnett, tetapi selanjutnya bukan sebagai pemilik tetapi sebagai peminjam pakai. Jadi ada penyerahan secara constitutum possessorium. Dalam perjanjian disepakati, bahwa pinjam pakai itu akan diakhiri antara lain, kalau Clygnett wanprestasi dan dalam hal demikian Clygnett wajib untuk menyerahkan mobil tersebut kepada B.P.M. Ketika Clygnett benar-benar wanprestasi, maka pihak B.P.M. mengakhiri perjanjian pinjam pakai tersebut di atas dan menuntut penyerahan mobil jaminan, yang ditolak oleh pihak Clygnett dengan mengemukakan sebagai alasan, bahwa mobil tersebut bukan milik B.P.M. dan perjanjian yang ditutup antara mereka adalah perjanjian gadai. Karena mobil jaminan tetap dibiarkan dalam penguasaan dirinya, maka perjanjian gadai itu adalah batal. Ketika perkara itu sampai pada Hooggerechtshof Batavia, maka HGH menolak alasan Clygnett dan mengatakan, bahwa perjanjian penjaminan Itu adalah suatu penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang sah. Sejak keputusan tersebut, fidusia mendapatkan pengakuannya secara jelas dalam yurisprudensi di Indonesia.Sejak ada putusan B.P.M. tersebut, semakin banyak putusan pengadilan baik pada Mahkamah Agung di zaman Hindia Belanda (HGH) maupun Mahkamah Agung dan juga pengadilan di bawahnya di zaman Indonesia merdeka yang telah mengikuti putusan B.P.M. tersebut. Berikut beberapa putusan pengadilan yang telah mengakui adanya lembaga fidusia yaitu:Lembaga fidusia hanya diperuntukkan terhadap benda bergerak (Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 158/1950/Pdt tanggal 22 Maret 1951 dalam perkara antara Algemene Volkscrediet Bank di Semarang melawan The Gwan Gee dan Marpuah).Membenarkan pengikatan fidusia sepanjang mengenai percetakan dan gedung perkantoran (Putusan Mahkamah Agung No. 372/K/Sip/1970 tanggal 1 September 1971 dalam perkara antara BNI Unit Semarang melawan Lo Ding Siang).Menegaskan bahwa kreditur pemilik fidusia (atas besi beton dan semen) bukanlah pemilik yang sebenarnya, tetapi hanya sebagai pemegang jaminan utang saja, sehingga jika utang tidak dibayar, pihak kreditur tidak dapat langsung memiliki benda tersebut (Putusan Mahkamah Agung No. 1500 K/Sip/1978, tanggal 2 Februari 1980).Bahwa dalam praktik sehari-hari lembaga fidusia ternyata telah memberikan peranan penting dalam perkembangan perekonomian, terutama dalam menjamin pemberian kredit yang ada. Dalam pelaksanaannya, fidusia tidak hanya dipergunakan untuk menjamin kredit-kredit, melainkan juga untuk menjamin pelunasan suatu jual beli yang dilakukan tidak secara tunai.Walupun lembaga fidusia telah menjadi jalan keluar sebagai jaminan kredit berupa benda bergerak di samping gadai, tetapi dalam pelaksanaannya masih menimbulkan persoalan yang baru, misalnya: terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan, terdapat celah bagi pemberi fidusia untuk menjaminkan benda yang telah dibebani fidusia tersebut kepada pihak lain tanpa sepengetahuan penerima fidusia. Selain itu pada umumnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia hanya terbatas pada benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Sementara berdasarkan perkembangan yang ada, objek jaminan fidusia bisa saja meliputi pada benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Dengan adanya persoalan tersebut, maka dibentuklah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.Adanya cikal bakal pengaturan lembaga fidusia di negara kita yang berawal dari yurisrudensi, menunjukkan kalau eksistensi putusan hakim dapat menjadi jalan keluar dalam mengisi kekosongan hukum. Sehingga tidak selamanya hukum harus jauh tertinggal dari perkembangan masyarakat.   Sumber Referensi:Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, J. Satrio, S.H, Bandung, 2005Tinjauan Sejarah Lembaga Fidusia di Indonesia, Andhika Desy Fluitahttps://www.kompas.com/stori/image/2023/10/03/170000479/kebijakan-jalan-tengah

Arsip Pengadilan 1974: Korupsi Rp 13 Juta Dihukum 5 Tahun Penjara

article | History Law | 2025-03-08 10:00:36

Jakarta- Korupsi dilakukan dengan berbagai modus dan di berbagai sektor. Nilainya korupsinya pun bervariatif. Salah satunya yang terjadi pada tahun 1974 yang terjadi di Dinas Pendidikan Agama  Kabupaten Liot, Muara Enim. Bagaimana ceritanya?Kasus Asnawi tertuang dalam arsip pengadilan yang dikutip DANDAPALA dari website direktori Putusan MA, Jumat (7/3/2025). Di kasus itu, duduk 5 orang sebagai terdakwa yaitu:1. Kepala Dinas Pendidikan Agama Kabupaten Liot, Muara Enim, Asnawi.2. Bendahara Dinas Pendidikan Agama, Muchsin.3. Pemilik pendidikan, Imron.4. Pemilik pendidikan, Djupni.5. Pegawai Dinas Pendidikan Agama, Sjaifuddin.Didakwakan kasus itu bila peristiwa itu terjadi pada tahun 1968-1970. Mereka membuat rapel gajian untuk 334 orang guru agama. Lalu dimintakan uang ke Kantor BKN Palembang sebanyak Rp 13,5 juta. Ternyata, sejumlah nama-nama guru agama itu fiktif. Kalaupun tidak fiktif, ada juga yang uangnya tidak sampai ke para guru agama. Atas perbuatannya, kelimanya dimintai pertanggungjawaban pidana di depan hakim. Pengadilan Negeri (PN) Muara Enim menjatuhkan hukuman sebagai berikut:1. Asnawi dihukum 5 tahun penjara, denda Rp 1 juta subsidair 1 1 tahun kurungan.2. Muchsin dihukum 5 tahun penjara, denda Rp 1 juta subsidair 1 tahun kurungan.3. Imron dihukum 2 tahun penjara, denda Rp 600 ribu subsidair 10 bulan kurungan.4. Djupni dihukum 2 tahun penjara, denda Rp 600 ribu subsidair 10 bulan kurungan.5. Sjaifuddin dihukum 2 tahun penjara, denda Rp 600 ribu subsidair 10 bulan kurungan.Pada 18 Februari 1971, putusan itu diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi (PT) Palembang menjadi:1. Asnawi divonis bebas.2. Muchsin dihukum 5 tahun penjara, denda Rp 1 juta subsidair 6 bulan kurungan.3. Imron divonis bebas.4. Djupni divonis bebas.5. Sjaifuddin dihukum 2 tahun penjara, denda Rp 600 ribu subsidair 10 bulan kurungan.Atas putusan itu, jaksa mengajukan kasasi. Apa kata MA?“Menolak permohonan kasasi dari penuntut kasasi Muchsin,” demikian amar putusan yang diketok oleh ketua majelis Prof Oemar Seno Adji dengan anggota DH Lumbanradja dan Busthanul Arifin. Oemar Seno Adji belakangan terpilih menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA) 1974-1982.Adapun panitera pengganti pada putusan kasasi yang diketok pada 14 Mei 1974 itu adalah Karlinah P Soebroto. Berikut alasan majelis menolak kasasi tersebut:Mengenai Keberatan ke-1:
Bahwa keberatan ini tidak dapat diterima karena Pengadilan Tinggi dalam pertimbangan dan putusannya sudah tepat. Oleh sebab itu diputuskan dan dituduhkan adalah tindak pidana korupsi yang diancam Pasal 16, 17 Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 24 Tahun 1960. Sedangkan Pasal 16,17 tersebut menunjuk pada Pasal 1 ayat 1 dan b.Mengenai Keberatan ke-2:Bahwa keberatan ini juga tidak dapat diterima oleh karena Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya dan putusannya sudah tepat. Oleh sebab yang dijadikan dasar penuntutan dan putusan adalah pasal 16 Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 24 Tahun 1960 yang tidak menunjuk bagi pemidanaannya kepada pasal 1 ayat d.Mengenai Keberatan ke-3:Bahwa keberatan ini juga tidak dapat diterima karena ancaman hukumannya adalah hukuman penjara dan/atau denda. Jadi pasal tersebut selain daripada memberikan kepada hakim untuk memilih antara hukuman tersebut, hakim dapat pula memberikan hukuman yang kumulatif sifatnya ialah hukuman badan dan denda.

Begini Penampakan Toga Hakim di Era Penjajahan Belanda di Indonesia

article | History Law | 2025-03-08 09:00:23

Sebelum Indonesia merdeka, pengadilan sudah berdiri. Termasuk di antaranya hakim sudah eksis. Lalu bagaimana penampakan toga hakim kala itu?Foto tampak sidang 'Landraad' di Indramayu pada tahun 1920-an yang sedang mengadili seorang penduduk pribumi yang diketuai oleh Regent van Indramajoe. Susunan Pengadilan Negeri terdiri dari Pimpinan (Ketua PN dan Wakil Ketua PN), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita.Toga atau jubah untuk hakim adalah atribut wajib yang harus dikenakan hakim selama proses pengadilan. Di Indonesia sendiri, aturan mengenai atribut hakim ini bahkan sudah tertulis dalam undang-undang.Jubah hakim adalah salah satu perlengkapan wajib dalam pengadilan yang memiliki aturan tersendiri. Jika sekarang warna jubah hakim identik dengan merah dan hitam. Pada masa lalu, di masa kolonial Hindia Belanda, pengadilan negeri bernama landraad ("dewan negeri"). Warna jubah hakim didominasi berwarna Hitam. Doc. Henri Edmund Boissevain, hakim Bangil pada tahun 1924Setelah Indonesia merdeka, istilah Landraad diganti dengan istilah Pengadilan Negeri atribut toga hakim tetap berwana hitam di seluruh pakaiannya masih dikenakan hakim pada kala itu, kemudian dengan berjalannya waktu toga yang kita kenakan sekarang tertuang dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang aturan berpakaian bagi hakim dalam persidangan. Pada pasal tersebut tercantum aturan bahwa hakim beserta staff wajib memakai pakaian yang lengkap dalam persidangan, yakni toga, simare dan juga bef dan warna jubah hakim berwarna merah dan hitam untuk pengadilan negeri.

Soekardjo Wirjopranoto, Dari Hakim, Pejuang Kemerdekaan hingga Dubes RI untuk PBB

article | History Law | 2025-03-06 19:25:07

Jakarta- Raden Soekardjo Wirjopranoto menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Dubes RI untuk PBB saat sidang perebutan Papua dari Belanda. Siapa nyana, Soekardjo ternyata mempunyai latar belakang hakim Landraad (Pengadilan Negeri).Hal itu sebagaimana DANDAPALA kutip dari Buku ‘Tokoh-Tokoh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia’, Jumat (6/3/2025). Buku itu diterbitkan Depdikbud tahun 1993. Soekardjo Wirjopranoto lahir pada 5 Juni 1903 dan merupakan anak mandor Staatsspoor (Jawatan Kereta Api). Masa kecil hingga besar ia habiskan di tempat kelahirannya, Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah.Sekolahnya dimulai di Europasche Lagere School (ELS) di Kota Cilacap. Ia bisa sekolah di ELS karena kakek Soekardjo Wirjopranoto adalah pegawai Keraton Surakarta. Soekardjo Wirjopranoto lalu menempuh ujian Klein Ambtenaar Examen, yaitu tamatan HIS yang ingin bekerja sebaagi pegawai pemerintah Hindia Belanda.Pada 1917, Soekardjo Wirjopranoto lulus ELS dan melanjutkan sekolah di Rechtschool di Jakarta. Soekardjo Wirjopranoto juga mahir bermain musik dan kerap mengadakan pertunjukan di sekolahnya.Pada 1923, Soekardjo Wirjopranoto selesai menempuh pendidikan di Rechtschool. Ia kembali ke kampung halamannya sebagai pegawai di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.Tiga tahun setelahnya, Soekardjo Wirjopranoto pindah tugas ke PN Magelang. Namun hanya 10 hari dinas di PN Magelang. Pangkalnya, ia berselisih dengan Ketua PN Magelang yang orang Belanda. Selisih itu bermula saat Ketua PN Magelang itu menuduh Soekardjo Wirjopranoto tidak menganggukan kepala saat berpapasan. Soekardjo Wirjopranoto tidak terima dengan tuduhan itu."Kalau tuan tidak percaya, istri saya boleh dipanggil. Bahkan waktu itu istri saya bertanya, mengapa saya menghormat Tuan?" kisah Soekardjo Wirjopranoto.Akhirnya Soekardjo Wirjopranoto pidah tugas di Landraad Lumajang. Pada 1929, Soekardjo Wirjopranoto dipromosikan menjadi hakim anggota majelis (lid Van de Landraad) di Landraad Malang. “Sebagai anggota majelis hakim, Soekardjo Wirjopranoto bekerja sangat tekun dan teliti, dan walaupun pangkatnya tetap tinggi tetapi ia tidak sombong.Dalam menilai orang lain ia selalu menghubungkan dengan dirinya. Ia pun menyadari bahwa sebagai pegawai negeri, harus bekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial, yakni pemerintah yang menjajah negerinya. “Untuk itu ia selalu memikirkan nasib rakyatnya yang sedang dijajah, bahkan dengan keadaannya sekarang ia tidak bebas bergerak. Karena itu setelah masa dinas di Pengadilan Negeri berakhir, ia mengajukan permohonan untuk ke luar dari dinas pemerintahan. Permohonannya itu dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda,” kisahnya.Usai melepas toga hakim, Soekardjo Wirjopranoto menjadi advokat dengan mendirikan kantor hukum ‘Wijnoe’. Dengan profesi baru ini, Soekardjo Wirjopranoto semakin bisa bebas bergerak membela kebenaran dengan turun langsung membela rakyat.“Kalau dulu sebagai anggota Majelis Hakim Soekardjo menjatuhkan vonis atau hukuman, maka selaku pengacara Soekardjo berdiri di hadapan hakim untuk membela rakyat yang lemah dalam mempertahankan kebenaran.”Tidak hanya sebagai advokat,  Soekardjo Wirjopranoto masuk gelanggang politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia memimpin Boedi Oetomo cabang Malang.“Pada tahun 1931 Soekardjo diangkat menjadi anggota Volksraad mewakili Boedi Oetomo. Untuk keperluan tugasnya ia bertempat tinggal di Jakarta. Sesekali ia menengok keluarganya di Malang,” kisahnya.Di Volksraad, ia bergabung di Fraksi Nasional bersama-sama Moehammad Hoesni Thamrin, R. Oto Iskandar Di Nata, R. Pandji Soeroso, Mochtar bin Prabu, Abdoel Rasjid, Jahja, Wiwoho, Soangkoepoen, dan Moehammad Noor.  Di luar Volksraad, Soekardjo juga aktif di dunia pers. Pada 1941, ia menjabat pemimpin surat kabar Berita Oemoem di Jakarta. Dalam permulaan masa pendudukan Jepang, Soekardjo menjabat pemimpin surat kabar Asia Raya. Ia juga menjabat anggota panitia Adat dan Tata Negara, di samping menjadi anggota Tjhuo Sangi-in. Pandangan Soekardjo soal kemerdekaan pers dapat dilihat dari sikapnya yaitu:. . . . . . Pers dengan pergerakan rakjat itoe , tidak boleh dipandang ringan sebagai bahasa jang satoe dengan jang lain mempoenjai perhoeboengan djalan sadja, akan tetapi didalam hakekatnja Pers dengan pergerakan rakjat itoe adalah satoe badan belaka. Maka soedahlah mendjadi kewadjiban kita kaoem pergerakan seoemoemnja oentoek berdaja oepaja sekeras-kerasnja dengan segala kekoeatan dan kepandaian jang ada pada kita oentoek melawan Oendang-Oendang jang menjempitkan kemerdekaan Pers itoe. Hanja Pers jang ada ditangan kaoem pergerakan sadja jang dapat menjoearakan soeara ‘Indonesia Merdeka’.Lewat berbagai kegiatan selepas keluar dari hakim, Soekardjo Wirjopranoto terus melakukan langkah-langkah politik agar Indonesia merdeka.  Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia menjadi jubir negara. Pada 1950, Soekardjo diangkat sebagai Dubes RI untuk Vatikan dan Italia. 7 Tahun setelahnya, ia menjadi Dubes RI untuk RRC dan tiga tahun setelahnya menjadi Dubes RI untuk PBB dengan agenda tunggal memasukkan Irian ke Republik Indonesia. Tugasnya itu diemban dengan sempurna hingga Papua masuk menjadi wilayah Republik pada 15 Agustus 1962.Namun dua bulan setelahnya atau 23 Oktober 1962, Sukardjo mendapat serangan jantung dan meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata, beberapa hari setelahnya.

Hakim PN Sibolga Blusukan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Sibolga

photo | Berita | 2025-03-06 14:00:06

Sibolga – Sumatera Utara.Hakim Wasmat PN Sibolga Fitrah Akbar Citrawan melakukan pengawasan dan pengamatan (wasmat) terhadap Terpidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Sibolga (6/3/2025).  Dalam kegiatan tersebut telah dilakukan checking on the spot, observasi, dan wawancara kepada Narapidana.

Operasi Kikis, Ini 7 Langkah Ketua MA Mudjono Kurangi Tunggakan Perkara

article | History Law | 2025-03-06 09:55:04

Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., dalam laporan tahunan 2025 melaporkan bahwa dari jumlah keseluruhan perkara yang diminutasi dan dikirim ke pengadilan pengaju yaitu 31.162 perkara, sebanyak 30.070 perkara diantaranya diselesaikan dalam tenggang waktu kurang dari 3 bulan atau 96,50%. Ketepatan waktu minutasi perkara tahun 2024 meningkat 6,18% dari tahun 2023 yang berjumlah 90,32%. Capaian ini menjadi yang tertinggi dalam sejarah Mahkamah Agung. Keberhasilan Mahkamah Agung saat ini merupakan buah dari jalan panjang upaya Mahkamah Agung dalam menyelesaikan tunggakan perkara.Bila kembali ke sejarah, sebenarnya pada awal tahun 1980an, Mahkamah Agung mengalami tunggakan perkara sebesar 10.425 perkara. Menurut catatan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dalam bukunya Pembatasan Perkara: Strategi Mendorong Peradilan Cepat, Murah, Efisien dan Berkualitas, jumlah tersebut merupakan peningkatan tunggakan perkara 3 kali lipat, dimana di akhir tahun 1970an, tunggakan perkara masih sekitar 2.914 perkara.Atas permasalahan tunggakan perkara tersebut, Ketua Mahkamah Agung Mudjono yang baru menjabat saat itu, mengatakan kepada Majalah Tempo edisi 1 Agustus 1981, “ayam mengeram boleh ditunggu. Tapi bila perkara mengeram, sampai kapan boleh ditunggu?.” Mudjono, yang berlatar belakang militer, sampai menyatakan bahwa jika diperkenankan, Ia akan membawa tank dan buldoser untuk membereskan tunggakan perkara di Mahkamah Agung.Menurut Sebastiaan Pompe dalam bukunya Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung menuliskan bahwa permasalahan tunggakan perkara tersebut mendorong Mudjono yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung sejak 18 Februari 1981 hingga 14 April 1984, membuat terobosan yang dinamakan sebagai Operasi Kikis, atau OPSKIS. Dalam perspektif OPSKIS, beban kerja, terutama tunggakan perkara, harus diatasi dengan peningkatan jumlah personel dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 mengenai organisasi internal Mahkamah Agung. OPSKIS terdiri dari tiga perubahan besar: peningkatan jumlah hakim Mahkamah Agung hingga tiga kali lipat, pembuatan struktur hierarkis dan pembentukan struktur baru pembidangan berdasarkan garis-garis yurisdiksional.Secara rinci, Sebastiaan Pompe mencatat terobosan Operasi Kikis Mudjono sebagai berikut:Pertama, penambahan jumlah hakim agung. Saat awal Mudjono menjabat, Hakim Agung saat itu masih berjumlah 17 hakim agung. Kemudian setelah 15 bulan menjabat, jumlah hakim agung bertambah menjadi 24 hakim agung. Penambahan hakim agung ini belum mengubah secara signifikan kondisi tunggakan perkara di MA. Mudjono kembali menginginkan penambahan jumlah hakim agung. Sebelum genap 1 tahun Ia menjabat, jumlah hakim agung kembali bertambah menjadi 51 Hakim Agung.Kedua, membuat jabatan Ketua Muda. Mudjono meresmikan jabatan ketua muda untuk mendelegasikan tugas dan kewenangan Ketua Mahkamah Agung. Untuk menangani tunggakan perkara, 3 ketua muda ditunjuk khusus untuk menangani: satu untuk hukum perdata tertulis, satu untuk hukum perdata tak tertulis (adat), dan satu untuk hukum pidana.Ketiga, membuat konsep Rapat Pimpinan dan Rapat Pleno. Kepemimpinan kolegial Mahkamah Agung membuat rapat mingguan dalam sebuah “rapat pimpinan” (Rapim). Rapat pimpinan yang terdiri dari ketua Mahkamah Agung, wakil ketua, dan enam ketua muda merupakan organisasi pembuat kebijakan paling penting di Mahkamah Agung. Selain fungsi manajemen, rapim juga dibuat untuk memastikan penerapan undang-undang dengan seragam. Sedangkan rapat pleno dapat dibuat jika terdapat perdebatan diantara para ketua dan para ketua tersebut dapat membawa masalah penting ke sidang pleno untuk diperdebatkan.Keempat, pembuatan Tim dan Bidang. Penambahan jumlah Hakim Agung pada tahun 1982 memungkinkan Mudjono merekonstruksi tim penanganan perkara Mahkamah Agung. Para hakim dibagi menjadi ke dalam delapan tim, dipimpin oleh semua ketua. Nama tim tersebut diurutkan sesuai abjad dari A sampai H yaitu: Alap-alap, Buraq, Cendrawasih, Dadali, Elang, Falcon, Garuda, Hantu, masing-masing huruf mewakili nama burung Indonesia . Kemudian tim tersebut dibagi lagi ke dalam bidang-bidang, masing-masing satu untuk ketua dan wakil ketua, dan satu atau dua untuk masing-masing ketua muda.  Kelima, membuat Sistem Kuota. Tujuan utama pembaruan Opskis yang dibuat oleh Mudjono adalah penyelesaian tunggakan perkara. Program ini juga memberlakukan kuota minimum per bulan untuk masing-masing bidang. Perkara-perkara dibagikan kepada masing-masing tim tanpa memperhitungkan pengembangan keahlian hukum masing-masing. Perkara pidana biasanya dianggap perkara yang mudah dan merupakan cara untuk mencapai target yang tinggi. Hakim agung yang memiliki keahlian perdata banyak menerima perkara perdata, meskipun juga menangani perkara pidana. Spesialisasi hakim agung saat itu hanya berlaku untuk sejumlah kecil perkara agama dan militer, tidak untuk perkara perdata dan pidana yang merupakan beban kerja Mahkamah Agung.Keenam, membuat sistem pengawasan yaitu Hakim Pengawas Mahkamah Agung untuk daerah. Hakim Agung baru yang diangkat pada 1981 ditunjuk menjadi pengawas Pengadilan Tinggi. Para hakim agung yang ditunjuk sebagai pengawas secara berkala akan mengunjungi daerah kerja, dengan perjalanan yang dibiayai pemerintah. Hakim pengawas daerah tersebut merupakan hal penting dan berpengaruh bagi pimpinan Mahkamah Agung dalam urusan manajemen sumber daya manusia.Ketujuh, mengenalkan konsep asisten Hakim Agung dan pembatasan waktu penanganan perkara. Para hakim agung untuk menyelesaikan perkara dibantu para asisten hakim agung. Para asisten tersebut dipersiapkan untuk menangani administrasi maupun teknis peradilan dan diangkat dari hakim-hakim di daerah. Mudjono juga membuat target dan pembatasan waktu penanganan perkara di Mahkamah Agung. Target penanganan perkara adalah lima puluh perkara yang dikerjakan setiap tim per bulan.  Sedangkan jangka waktu penanganan perkara di Mahkamah Agung adalah 1 bulan.Operasi Kikis Mudjono ini cukup efektif karena pada akhir jabatan Mudjono tunggakan perkara di MA hampir tidak ada. Selain karena kontribusi dari program OPSKIS, Mudjono sendiri merupakan pribadi yang tekun bekerja. Dalam obituarinya di Majalah Tempo 21 April 1984, Mudjono kerap masih bergelut dengan pekerjaannya sampai dini hari dan paginya pada pukul 07.00 secara mengejutkan Ia sudah ada kembali di ruangannya. Pada tahun 1984, Mudjono melaporkan kepada Presiden bahwa tunggakan perkara di Mahkamah Agung sudah diselesaikan. Ia meninggal dunia beberapa pekan kemudian tepatnya pada 14 April 1984. 

Arsip 1986: Kartu Advokat Adnan Buyung Nasution Dibekukan Gegara Protes Sidang

article | History Law | 2025-02-28 16:40:06

Jakarta- Pengacara senior Adnan Buyung Nasution pernah dibekukan kartu advokatnya oleh pengadilan pada 1986. Pangkalnya, ia protes saat hakim sedang membacakan putusan. Bagaimana kisahnya?Kasus ini berawal ketika Adnan Buyung Nasution menjadi pembela terdakwa kasus subversi HR Dharsono. Di mana HR Dharsono yang merupakan seorang militer yang dituduh berkomplot dengan AM Fatwa yang melakukan pemboman gedung BCA di Jakarta. Latar belakang Dharsono yang cukup mentereng yakni mantan Panglima Kodam Siliwangi, Sekjen ASEAN dan Anggota Petisi 50 membuat kasus ini sempat menjadi perhatian seantero negeri.Sejak 8 Januari 1986 pagi, gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sudah ramai dengan simpatisan Dharsono. Suasana ruang sidang juga dipadati media dan pendukung Darsono. Agenda hari itu adalah pembacaan putusan hakim dengan susunan majelis, Soedijono, sebagai hakim ketua, Ali Budiarto dan Achmad Intan,m sebagai hakim anggota. Pada saat Majelis Hakim membacakan putusan, Buyung tiba-tiba merasa tersinggung dengan uraian hakim di dalam pertimbangan putusan yang menyebutkan Buyung tidak etis. Serta merta Adnan Buyung berdiri dan menyambar pengeras suara. “Saya protes kata-kata Majelis itu – siapa yang tidak etis?”. Mendengar protes Buyung seketika massa yang ada di dalam ruang sidang menjadi semakin ricuh meneriaki hakim. Melihat kondisi yang semakin tidak kondusif akhirnya hakim ketua Soedijono menghentikan pembacaan putusan dan menskor sidang saat itu. Perlu pembaca ketahui bahwa ruang sidang yang terletak di lantai tiga PN Jakpus itu sudah dipadati ratusan orang. Dharsono yang juga anggota petisi 50, menjadi magnet bagi para aktivis anti Orba dan mantan pejabat penting untuk hadir di ruang sidang. Di antaranya ada Ali Sadikin (mantab Gubernur Jakarta), Hoegeng Iman Santoso (Mantan Kapolri) dan anggota petisi 50 lainnya. Setelah hakim keluar dari ruang sidang, masuklah para petugas kepolisian untuk mengamankan suasana. Melihat hal ini kemudian Buyung mengusir polisi dengan mengatakan. “Ruangan ini wewenang hakim, bukan polisi. Polisi keluar!”.Kejadian ini kemudian oleh Soedijono dilaporkan kepada Ketua PN Jakpus. Seobandi yang kemudian diteruskan kepada induk badan peradilan yang waktu itu adalah Departemen Kehakiman. Merespon kejadian ini, pada 11 Mei 1986, Ismail Saleh selaku Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Keputusan pembekuan atau pencabutan izin sementara Adnan Buyung Nasution sebagai pengacara. Pencabutan izin ini berlaku selama satu tahun yang membuat Buyung tidak bisa beracara di seluruh pengadilan yang ada di Indonesia. Di dalam konsiderannya Adnan Buyung dianggap telah menghina atau merendahkan martabat lembaga peradilan. Selain itu Menkeh dalam jumpa pers juga menyatakan “Menteri Kehakiman yang mengangkat (sumpah) dan memberhentikan advokat, jadi yang berwenang menjatuhkan tindak administrasi adalah Menteri Kehakiman”.Tidak tinggal diam Adnan Buyung sempat menggugat SK Menteri Kehakiman tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Buyung mendalilkan perbuatan Menkeh Ismail Saleh merupakan perbuatan melawan hukum karena tidak berdasar. Oleh sebab itu Buyung meminta agar Menkeh dinyatakan PMH, membayar ganti rugi sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) dan merehabilitasi nama baik serta kehormatan Buyung sebagai advokat. Dalam perkara gugatan ini Menkeh diwakili oleh dua pengacara yang juga guru besar yakni Prof Oemar Senoadji dan Prof Sudargo Gautama. Menurut dua begawan hukum ini, tindakan Menkeh Ismail Saleh sudah benar. Keputusan Menkeh masih dalam kewenangannya dalam mengawasi penasihat hukum(advokat). Wewenang ini lahir dari UU Mahkamah Agung dan Peradilan Umum yang identik dengan pengawasan advokat yang sudah ada sejak era Rechtelijke Organisatie yang berlaku di Indonesia sejak 1 Mei 1848. Selain itu kasus Adnan Buyung ini tidak termasuk perkara pidana ataupun perdata, melainkan perkara administratif. Majelis Hakim yang saat itu diketuai Sakir Ardiwinata serta hakim anggota Reni Retnowati dan LO Siahaan dalam putusan menyatakan bahwa skorsing Buyung sudah dilakukan dengan proses administrasi yang baik. Hal ini sebab sudah melalui proses panjang termasuk meminta keterangan dari Organisasi Advokat IKADIN. Perlu diketahui bahwa sebelumnya Dewan Kehormatan IKADIN juga sudah menyatakan bahwa perbuatan Buyung melanggar kode etik advokat. Pada akhirnya gugatan Buyung dinyatakan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim dan ia dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp 47.500,00(empat puluh tujuh ribu lima ratus rupiah).

Arsip Pengadilan 2010: Korupsi BBM Rp 6 M, Kepala Depot Pertamina Dibui 4 Tahun

article | History Law | 2025-02-27 12:10:46

Jakarta- Kepala Depot PT Pertamina Persero Maos Cilacap Pertamina UPMS IV Budi Darmawan dihukum 4 tahun penjara karena korupsi. Modusnya yaitu mengalihkan BBM subsidi sehingga negara merugi Rp 6,6 miliar.Hal itu tertuang dalam salinan putusan kasasi Nomor 1683 K/Pid.Sus/2009 yang dikutip DANDAPALA, Kamis (27/2/2025). Kasus itu terjadi pada 2001 saat ia menjadi Kepala depot Pertamina Sorong.Di mana seharusnya BBM disalurkan ke PT Satria Saka Perdana yang akan diteruskan ke 41 kapal nelayan. Namun kenyatannya disalurkan ke Kapal MT Top dan MT Yoto. “Bahwa kegiatan mengalihkan BBM Solar ke kapal-kapal asing yang dilakukan oleh Yoseph Renyut dan Yudistira, diketahui dengan Terdakwa yang pada saat itu menduduki jabatan sebagai Kepala Depot Pertamina Sorong, tetapi Terdakwa tidak mencegah atau tindakan bahkan Terdakwa sempat mengawasi penyaluran BBM Solar bersama dengan Agus Putranto Gambar selaku Petugas Pengawas penerimaan, penimbunan dan penya- luran, selain itu Terdakwa meminta agar proses bungker tersebut dialihkan ke kapal MT Yoto dan kapal MT Top,” demikian urai Penuntut Umum dalam dakwannya.Akibatnya, negara merugi hingga Rp 6,6 miliar sebagaimana audit BPKP Papua pada 24 Oktober 2005. Atas perbuatannya, Budi Darmawan diproses hingga pengadilan.Pada 6 Agustus 2007, Budi Darmawan dinyatakan bersalah berbuat korupsi dan dihukum 4 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta dan subsidair 6 bulan kurungan. Putusan itu dikuatan di tingkat banding pada 2 April 2008. Masih tidak terima, Budi Darmawan mengajukan kasasi. Apa kata MA?“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut,” demikain bunyi amar kasasi yang diketok oleh ketua majelis Mansyur Kartayasa dengan anggota Imam Harijadi dan Timur Manurung pada 22 Juni 2010.Mengapa MA menolak kasasi Budi? MA beralasan, argumen kasasi tidak dapat dibenarkan judex facti tidak salah menerapkan hukum karena sudah tepat dalam pertimbangan hukum dan putusannya. ‘Terdakwa selaku Kepala Depot Pertamina telah melakukan korupsi dalam penyaluran BBM ke kepal MT Yoto dan MT. Top padahal seharusnya ke kapal-kapal nelayan milik PT Satria sebanyak 41 kapal,” ucap majelis dengan panitera pengganti Emilia Djajasubagia.

PN Pekalongan: Tahun 1920 Landraad, Kini Pengadilan Plus Cagar Budaya

article | History Law | 2025-02-27 09:45:01

Pekalongan - Landraad adalah lembaga peradilan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada abad ke-19. Lembaga ini berfungsi sebagai pengadilan tingkat pertama yang menangani perkara perdata dan pidana bagi penduduk pribumi serta golongan Timur Asing (seperti Tionghoa, Arab, dan India). Landraad diperkenalkan sebagai bagian dari sistem hukum kolonial yang membedakan antara hukum untuk orang Eropa dan hukum untuk pribumi.Sebelum Landraad dibentuk, peradilan di Nusantara banyak dipengaruhi oleh hukum adat dan sistem peradilan kerajaan. Namun, setelah Belanda menguasai wilayah ini, mereka menerapkan sistem hukum yang menyerupai hukum di Eropa, tetapi tetap mempertimbangkan keberadaan hukum adat. Oleh karena itu, Landraad menjadi perwujudan dari peradilan modern yang berusaha mengintegrasikan hukum Belanda dengan hukum lokal. Landraad berfungsi sebagai pengadilan tingkat pertama bagi masyarakat pribumi dan non-Eropa, sedangkan orang Eropa tunduk pada Raad van Justitie (Pengadilan Negeri untuk orang Eropa). Dalam persidangan di Landraad, hakim ketua biasanya adalah seorang Belanda, sementara hakim anggota lainnya bisa berasal dari kalangan pribumi yang memahami hukum adat setempat. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sistem peradilan kolonial mulai dihapuskan dan digantikan dengan sistem hukum nasional. Landraad resmi dihapuskan pada tahun 1946 melalui perubahan sistem peradilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan. Peran Landraad kemudian digantikan oleh Pengadilan Negeri, yang berlaku untuk semua golongan penduduk tanpa diskriminasi ras atau status sosial.Landraad merupakan bagian dari sejarah peradilan Indonesia yang menggambarkan bagaimana hukum kolonial diterapkan di Hindia Belanda. Di Jawa Tengah, banyak Landraad yang kemudian bertransformasi menjadi Pengadilan Negeri (PN) yang masih beroperasi hingga kini terutama di Pekalongan. Meskipun sistemnya telah dihapus, warisan sejarah Landraad tetap terasa, terutama melalui bangunan cagar budaya yang dulunya merupakan pengadilan kolonial.Bangunan Cagar Budaya adalah bangunan yang memiliki nilai sejarah, budaya, ilmu pengetahuan, atau estetika yang penting dan dilindungi oleh undang-undang. Bangunan ini merupakan bagian dari Cagar Budaya, yang mencakup benda, struktur, situs, atau kawasan yang memiliki nilai penting bagi sejarah dan kebudayaan suatu bangsa.Di Indonesia, status cagar budaya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang menyebutkan bahwa bangunan cagar budaya harus dijaga kelestariannya dan tidak boleh diubah atau dihancurkan sembarangan.Sebuah bangunan dapat dikategorikan sebagai cagar budaya jika memenuhi beberapa kriteria berikut:1. Berusia minimal 50 tahun atau memiliki nilai penting dalam sejarah.2. Mempunyai arti khusus dalam perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, atau sosial.3. Memiliki keunikan arsitektur atau teknik konstruksi yang mencerminkan suatu periode tertentu.4. Berhubungan dengan peristiwa atau tokoh penting dalam sejarah.PN PekalonganSalah satunya PN Pekalongan yang memiliki sejarah panjang bermula sejak masa penjajahan Belanda. Berdiri pada tahun 1920 dengan nama Landraad, pengadilan ini menjadi salah satu lembaga peradilan yang menangani berbagai perkara di wilayah Pekalongan pada masa kolonial. Seiring berjalannya waktu, lembaga ini mengalami berbagai perkembangan hingga akhirnya menjadi PN Pekalongan seperti yang dikenal saat ini. Gedung pengadilan ini berdiri di atas lahan seluas 6.175 m², yang berlokasi di Jalan Cendrawasih No. 2, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan.Foto Pengadilan Negeri Pekalongan Tahun 1983Sebagai salah satu bangunan peninggalan kolonial Belanda, gedung PN Pekalongan telah mengalami berbagai perubahan dan renovasi. Meskipun demikian, statusnya sebagai bangunan cagar budaya membuat bagian utama gedung tetap dipertahankan tanpa perubahan atau penambahan. Untuk mendukung operasional pengadilan yang semakin berkembang, dilakukan penambahan dua bangunan baru berupa ruang sidang di bagian barat dan timur. Saat ini, pengadilan ini memiliki empat ruang sidang utama serta satu ruang sidang khusus untuk anak, yang dirancang untuk memberikan fasilitas yang lebih baik dalam proses peradilan.Dalam sistem peradilan di Indonesia, PN Pekalongan kini dikategorikan sebagai Pengadilan Negeri Klas IB. Pengadilan ini memiliki cakupan wilayah hukum yang meliputi dua daerah administratif, yaitu Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan. Dengan cakupan wilayah yang cukup luas, pengadilan ini memiliki peran penting dalam menegakkan hukum dan memberikan pelayanan peradilan bagi masyarakat di wilayahnya.Seiring dengan perkembangan zaman, PN Pekalongan terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan hukum dan peradilan. Meskipun bangunan utamanya tetap dipertahankan sebagai cagar budaya, pengadilan ini terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan sistem peradilan modern. Dengan tetap menjaga nilai historisnya sekaligus mengembangkan sistem yang lebih efisien, PN Pekalongan diharapkan dapat terus memberikan keadilan bagi masyarakat serta menjaga warisan sejarah yang telah ada sejak zaman kolonial.

Mengenal Kusumah Atmaja Ketua MA Pertama yang Disegani Presiden Soekarno

article | History Law | 2025-02-25 12:45:47

Jakarta- Jika kita berjalan di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), tampak sebuah patung yang seolah menjadi simbol MA. Banyak yang mengetahui patung tersebut adalah Ketua MA pertama, Prof Dr Kusumah Atmaja SH. Namun banyak yang tidak mengetahui keteladanannya. Kusumah Atmaja lahir di Purwakarta, 8 September 1898 dan meninggal di Jakarta, 11 Agustus 1952. Kusumah Atmaja memperoleh gelar diploma dari Rechtsschool pada tahun 1913. Kariernya di dunia pengadilan dimulai sebagai pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan di Bogor (1919). Pada tahun 1919, Kusumah Atmaja melanjutkan pendidikan hukumnya di Universitas Leiden, Belanda dan mendapat gelar Doctor in de recht geleerheid pada tahun 1922. Kembali ke Hindia Belanda, beliau dipercaya menjadi hakim di Raad Van Justitie (setingkat Pengadilan Tinggi) Batavia dan setelahnya diangkat menjadi Voor Zitter Landraad (Ketua Pengadilan Negeri) di Indramayu. Pada masa penjajahan Jepang, Kusumah Atmaja pernah menjabat Ketua Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) di Semarang, Hakim Pengadilan Tinggi Padang dan Hakim Pengadilan Tinggi Semarang. Kusumah Atmaja kemudian menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung, selama 7 tahun, sejak tahun 1945 sampai wafat pada tahun 1952. (Lembaga Kajian dan Independensi Peradilan, 2016)Tantangan Selama Jadi Ketua MAKusumah Atmaja selaku Ketua MA pertama menghadapi tantangan-tantangan zaman Revolusi. Di mana masih belum ada kejelasan tugas dan kewenangan MA. Namun demikian, keteguhan hati Kusumah Atmaja dalam memegang prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman, membuat Presiden Soekarno segan kepadanya. Daniel S. Lev dalam wawancara dengan Tempo pada November 1989, mengatakan bahwa akan sulit menemukan kembali figur seperti Kusumah Atmaja di dunia pengadilan.Sebastiaan Pompe, Penulis Buku Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, mencatat sebuah insiden pada tahun 1951 ketika Kusumah Atmaja, dalam sebuah jamuan resmi kenegaraan, tidak diberi tempat duduk sesuai dengan posisinya. Sebagai pemegang prinsip tentang pentingnya martabat kelembagaan MA, Kusumah Atmaja marah dan mengancam akan meninggalkan jamuan jika tidak diberi tempat sesuai dengan martabat jabatannya, yaitu tepat di sebelah Presiden.   Sebastiaan Pompe memandang insiden ini penting untuk para hakim dalam berjuang untuk mendapatkan perlakuan hormat bagi jabatan mereka. Pada saat awal kemerdekaan tersebut, para pemimpin politik Indonesia tidak menerima begitu saja kedudukan dan peran MA dan dalam kenyataannya MA mendapat sikap diremehkan.  Dalam penanganan perkara, MA mendapat tekanan dari Presiden yaitu pada perkara percobaan kudeta Sudarsono dan penculikan Perdana Menteri Sjahrir pada 26 Juni 1946 di Solo. Berdasarkan penelusuran Tempo dan Sebastiaan Pompe, percobaan kudeta tersebut gagal dan tokoh-tokohnya yang terlibat diadili. Beberapa Terdakwa memiliki hubungan dekat dengan Presiden Soekarno dan ada dugaan bahwa Soekarno menekan agar MA bersikap lunak. Meskipun demikian, Ketua MA Kusumah Atmaja menentang tekanan ini, serta mengancam akan mundur dari jabatannya kalau Soekarno berkeras. Bahkan dalam tiga pertimbangan putusannya, Kusumah Atmaja merasa perlu menekankan dengan tegas bahwa MA adalah lembaga mandiri yang harus tetap bebas dari campur tangan politik.  Akhirnya pada 27 Mei 1984, Kusumah Atmaja memvonis 18 bulan penjara untuk Sudarsono dan kawan-kawan. Dari sisi internal MA, Kusumah Atmaja menghadapi tantangan tuduhan korupsi. MA nyaris memecat salah seorang Hakim Agung pada awal 1950-an, ketika terdapat dugaan kuat bahwa salah seorang Hakim Agung terlibat korupsi. Meskipun baru dugaan korupsi saja, hal tersebut sudah cukup membuat Kusumah Atmaja untuk membentuk sebuah tim komite, yang menyertakan pihak luar, untuk menyelidiki masalah tersebut. Dalam pandangannya, integritas kelembagaan sedemikian penting hingga harus ditopang dengan pengawasan publik. Dugaan korupsi tersebut timbul karena perkara penyelundupan yang ditangani Hakim Agung tersebut, di mana ia diperkirakan memberi saran kepada presiden menyangkut amnesti. Kusumah Atmaja sangat keras dan tegas dalam menangani korupsi dan menegaskan bahwa semua hakim agung harus mutlak bersih. Ia melarang Hakim Agung tersebut memasuki gedung Mahkamah Agung dan melarangnya bertugas sebagai hakim sampai masalahnya selesai. Hakim Agung tersebut pun akhirnya hanya berdiam di rumah, dan tidak bekerja. Namun akhirnya, kasus dugaan korupsi Hakim Agung tersebut menguap, terutama karena Ketua MA Kusumah Atmaja, yang menangani masalah itu dengan tegas, keburu wafat.Prinsip integritas dan independensi ini dipegang teguh oleh Kusumah Atmaja meskipun dihimpit persoalan ekonomi. Dalam catatan Sebastiaan Pompe, Kusumah Atmaja, pada tahun 1949 digambarkan sangat miskin dan hanya bisa bertahan dengan menjual harta benda miliknya. Hal ini diperkuat oleh George McTurnan Kahin dalam bukunya Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. George McTurnan Kahin menyatakan bahwa meskipun Ketua MA Kusumah Atmaja, memperoleh gaji pegawai negeri sipil tertinggi, salah satu anaknya mulai menjadi buta karena kekurangan gizi akibat ketidakmampuan sang ayah membeli makanan yang cukup untuk keluarganya.

Mengenang Pledoi Indonesia Menggugat 1930 Bukti Kesakralan Ruang Sidang Pengadilan

article | History Law | 2025-02-22 09:00:55

Rakyat Indonesia kembali dihentakan dengan pemberitaan dari ruang persidangan. Pemberitaan tersebut adalah ketika dua oknum advokat mencaci maki hakim dengan sebutan koruptor di depan persidangan dan ada oknum advokat yang naik keatas meja sidang sambil mencaci maki lawan sidangnya. Kemudian merespon hal tersebut Mahkamah Agung menyatakan sebagai tindakan merendahkan dan melecehkan marwah pengadilan atau contempt of court.Jika kita menilik kembali ke dalam sejarah Bangsa Indonesia, bahwa pernah ada suatu sidang yang kemudian dicatat sejarah sebagai persidangan yang fenomenal. Persidangan tersebut yang akan merubah sejarah bangsa Indonesia selama beratus- ratus tahun setelah dijajah Belanda. Dengan tensi yang jauh lebih luar biasa, sidang ini ini menjadi perhatian seantero negeri, namun Soekarno dan pembelanya tidak pernah menunjukkan rasa tidak hormat kepada hakim atau bahkan naik ke atas meja persidangan. Persidangan ini menjadi momentum perjuangan bangsa Indonesia yang beralih dari perjuangan fisik yang sarat akan kekerasan menjadi perjuangan intelektual yang mengedepankan argumen hukum dan intelektualitas.Pada 02 Desember 1930, Ir. Soekarno membacakan pidato pembelaan berjudul Indonesia Menggugat di hadapan pengadilan kolonial Belanda (Landraad te Bandung). Pidato ini merupakan bentuk perlawanan intelektual terhadap tuduhan pemerintah Hindia Belanda yang menudingnya berupaya menggulingkan pemerintahan kolonial. Sebelumnya, Soekarno telah ditahan selama delapan bulan di Penjara Banceuy, Bandung, sebelum akhirnya disidangkan di Gedung Landraad.Naskah pidato Indonesia Menggugat ditulis Soekarno selama dalam tahanan. Dalam buku otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis bersama Cindy Adams, Soekarno mengisahkan bahwa ia menulis pidato tersebut di atas kertas dengan beralaskan kaleng tempat buang air kecil di dalam selnya. Pidato ini kemudian menjadi salah satu dokumen perjuangan yang menggambarkan ketidakadilan kolonialisme dan menyuarakan semangat nasionalisme.Persidangan dan Tuduhan Pemerintah KolonialGambar: Ruang sidang tempat Ir. Soekarno membacakan pledoinyaSoekarno diadili bersama tiga rekannya dari Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), yaitu Gatot Mangkupraja, Maskun Sumadireja, dan Supriadinata. Mereka dituduh menyebarkan kebencian serta mengancam stabilitas pemerintahan kolonial. Persidangan ini menarik perhatian luas, bahkan berita tentang rencana pengadilan terhadap Soekarno telah dimuat di berbagai surat kabar pada 16 Juni 1930.Dalam sidang tersebut, Soekarno dan rekan-rekannya didampingi oleh pengacara-pengacara terkemuka saat itu, di antaranya Mr. Sartono, Mr. Sastro Mulyono dari Tegal, Mr. Suyudi dari Yogyakarta, dan Idi Prawiradiputra dari Garut, yang juga anggota Volksraad. Pledoi Indonesia Menggugat yang dibacakan Soekarno mengguncang pemerintah Hindia Belanda karena mengungkap kebobrokan sistem kolonialisme yang menindas rakyat Indonesia.Belanda, yang diwakili oleh jaksa R. Soemadisoerja, menggunakan Pasal 169 bis dan Pasal 153 bis Wetboek van Strafrecht, yang dikenal dengan haatzai artikelen (penyebaran kebencian terhadap penguasa) untuk menjerat Soekarno dan rekan-rekannya. Mereka dianggap telah menghasut masyarakat melalui pemberitaan dan propaganda di Fikiran Ra’jat, untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Setelah drama pengadilan Soekarno yang fenomenal, bisa dikatakan Landraad tidak lagi menyidangkan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.Gambar: Potongan Koran Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad kasus penangkapan Ir. Soekarno diberitakan sampai ke negeri Belanda, 04 Desember 1930 Pada 22 Desember 1930, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Mr. R. Siegerbeek van Heukelom menjatuhkan hukuman: Soekarno: 4 tahun penjara, Gatot Mangkupraja: 2 tahun penjara, Maskun Sumadireja: 1 tahun 8 bulan penjara dan Supriadinata: 1 tahun 3 bulan penjara (dipotong masa tahanan). Keputusan ini menunjukkan bahwa pemerintah kolonial berusaha membungkam gerakan nasionalisme yang semakin berkembang di Indonesia.Gambar: Masyarakat Bandung Memadati Gedung Landraad pada saat pembacaan putusan Ir. SoekarnoSebagai PengingatGedung Landraad, tempat persidangan Soekarno berlangsung, kini dikenal sebagai Gedung Indonesia Menggugat (GIM). Bangunan yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 5, Bandung, ini awalnya merupakan rumah tinggal warga Belanda yang dibangun pada 1907. Sejak 1917, bangunan ini dialihfungsikan sebagai pengadilan kolonial (Landraad) dan menjadi tempat persidangan bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia. Saat ini, Gedung Indonesia Menggugat telah menjadi tempat wisata sejarah yang terbuka untuk umum. Dengan arsitektur khas indis dan halaman yang luas serta pohon beringin rindang, gedung ini tetap terawat dan menjadi simbol perjuangan bangsa Indonesia.Gambar: Kondisi Terkini Gedung Indonesia Menggugat, Dok. Kelihat.com Pidato Indonesia Menggugat merupakan warisan intelektual dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan. Gedung Indonesia Menggugat menjadi saksi bisu keberanian Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan melalui jalur hukum.  Selain itu pula Bangsa Indonesia dapat mengingat kembali bahwa persidangan adalah suatu prosesi yang sakral. Dalam situasi yang sakral tersebut tentunya tindakan penghinaan terhadap persidangan (contempt of court) menjadi suatu yang sangat dilarang. Dalam persidangan tersebut Bangsa Indonesia dapat belajar tentang bagaimana menghormati nilai keadilan dan kepada Bangsa itu sendiri.Hingga kini, pledoi ini tetap relevan sebagai inspirasi bagi generasi penerus dalam memahami kesakralan ruang sidang, nilai-nilai nasionalisme dan keadilan.Berikut Isi pledoi Soekarno yang berjudul “Indonesië Klaagt Aan” atau Indonesia Menggugat (1930):Pengadilan menuduh kami telah menjalankan kejahatan. Kenapa? Dengan apa kami menjalankan kejahatan, tuan-tuan hakim yang terhormat? Dengan pedang? Dengan bedil? Dengan bom?Senjata kami adalah rencana, rencana untuk mempersamakan pemungutan pajak, sehingga rakyat Marhaen yang mempunyai penghasilan maksimum 60 rupiah setahun tidak dibebani pajak yang sama dengan orang kulit putih yang mempunyai penghasilan minimum 9.000 setahun.Tujuan kami adalah exorbitante rechten, hak-hak luar biasa dari Gubernur Jendral, yang singkatnya secara peri kemanusiaan tidak lain daripada pengacauan yang dihalalkan.Satu-satunya dinamit yang pernah kami tanamkan adalah suara jeritan penderitaan kami. Medan perjuangan kami tak lain daripada gedung-gedung pertemuan dan surat-surat kabar umum.Tidak pernah kami melanggar batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak pernah kami mencoba membentuk pasukan serdadu-serdadu rahasia, yang berusaha atas dasar nihilisme.Kami punya modus operandi ialah untuk menyusun dan menggerakkan kekuatan kami dalam cara-cara yang legal.Ya, kami memang kaum revolusioner. Kata 'revolusioner' dalam pengertian kami berarti 'radikal', mau mengadakan perubahan dengan lekas. Istilah itu harus diartikan sebagai kebalikan kata 'sabar', kebalikan kata 'sedang'.Tuan-tuan Hakim yang terhormat, sedangkan seekor cacing kalau ia disakiti, dia akan menggeliat dan berbalik-balik. Begitu pun kami. Tidak berbeda daripada itu.Kami mengetahui, bahwa kemerdekaan memerlukan waktu untuk mencapainya. Kami mengetahui bahwa kemerdekaan itu tidak akan tercapai dalam satu helaan napas saja. Akan tetapi, kami masih saja dituduh, dikatakan 'menyusun suatu komplotan untuk mengadakan revolusi berdarah dan terluka, agar kami dapat merebut kemerdekaan penuh di tahun 30'.Jikalau ini memang benar, penggeledahan massal yang tuan-tuan lakukan terhadap rumah-rumah kami akan membuktikan satu tempat persembunyian senjata-senjata gelap. Tapi, tidak sebilah pisau pun yang dapat diketemukan.Golok. Bom. Dinamit. Keterlaluan! Seperti tidak ada sendjata yang lebih tajam lagi daripada golok, bom, dan dinamit itu. Semangat perjuangan rakyat yang berkobar-kobar akan dapat menghancurkan manusia lebih cepat daripada ribuan armada perang yang dipersenjatai lengkap.Suatu negara dapat berdiri tanpa tank dan meriam. Akan tetapi, suatu bangsa tidak mungkin bertahan tanpa kepercayaan. Ya, kepercayaan, dan itulah jang kami punyai. Itulah senjata rahasia kami.Baiklah, tentu orang akan bertanya, 'Akan tetapi sekalipun demikian, bukankah kemerdekaan yang engkau perjuangkan itu pada suatu saat akan direbut dengan pemberontakan bersenjata?'Saya akan mendjawab: Tuan-tuan Hakim yang terhormat, dengan segala kejujuran hati kami tidak tahu bagaimana atau dengan apakah langkah terakhir itu akan dilakukan. Mungkin juga Negeri Belanda akhirnya mengerti, bahwa lebih baik mengakhiri kolonialisme secara damai.Mungkin djuga kapitalisme Barat akan runtuh. Mungkin juga, seperti sudah sering saja ucapkan, Jepang akan membantu kami. Imperialisme bercokol di tangan bangsa kulit kuning maupun di tangan bangsa kulit putih.Sudah jelas bagi kita akan kerakusan kerajaan Jepang dengan menaklukkan semenanjung Korea dan menjalankan pengawasan atas Manchuria dan pulau-pulau di Lautan Pasifik.Pada suatu saat yang tidak lama lagi Asia akan berada dalam bahaya penyembelihan besar-besaran dari Jepang. Saya hanya mengatakan, bahwa ini adalah keyakinan saya jikalau ekor daripada naga raksasa itu sudah memukul-mukul ke kiri dan ke kanan, maka Pemerintah Kolonial tidak akan sanggup menahannya.Oleh karena itu, siapakah yang dapat menentukan terlebih dulu rencana kemerdekaan dari negeri kami.Jikalau kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam masa yang akan datang. Yang saya ketahui, bahwa pemimpin-pemimpin P.N.I. adalah pencinta perdamaian dan ketertiban.Kami berjuang dengan kejujuran seorang satria. Kami tidak menginginkan pertumpahan darah. Kami hanya menghendaki kesempatan untuk membangun harga diri daripada rakyat kami.Saya menolak tuduhan mengadakan rencana rahasia untuk mengadakan suatu pemberontakan bersenjata.Sungguhpun begitu, jikalau sudah menjadi Kehendak Yang Maha-Kuasa bahwa gerakan yang saya pimpin akan memperoleh kemajuan yang lebih pesat dengan penderitaan saya daripada dengan kebebasan saya, maka saya menyerahkan diri dengan pengabdian yang setinggi-tingginya ke hadapan Ibu lndonesia dan mudah-mudahan ia menerima nasib saya sebagai pengorbanan yang harum-semerbak di atas pangkuan persadanya.Tuan-tuan Hakim yang terhormat, dengan hati yang berdebar-debar saya bersama-sama dengan rakyat dari bangsa ini siap sedia mendengarkan putusan tuan-tuan Hakim!Gambar: Ir. Soekarno Berfoto di Depan Landraad BandungReferensi:Soekarno dan Adams, Cindy. 2018. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Bung Karno.https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/08/193919879/isi-pidato-indonesia-menggugat?page=all.https://marinews.mahkamahagung.go.id/berita/tegas-ma-kecam-kegaduhan-di-sidang-pn-jakarta-utara-0bbhttps://www.hukumonline.com/berita/a/jejak-pledoi-fenomenal-bung-karnohttps://www.detik.com/jabar/budaya/d-6972096/bung-karno-dan-sakralnya-perjuangan-di-gedungindonesia-menggugathttps://www.delpher.nl/nl/kranten/viewquery=landraad+bandung+soekarno&coll=ddd&identifier=MMUTRA04:253234112:mpeg21:p00010&resultsidentifier=MMUTRA04:253234112:mpeg21:a00111&rowid=4

1900 Vs 2024: Dua Zaman Ruang Sidang Pengadilan di Lampung

article | History Law | 2024-12-21 11:00:37

Jauh sebelum Indonesia merdeka, pengadilan sudah eksis. Salah satunya di Lampung.Karena belum merdeka, sistem hukum masih di bawah penjajah Belanda. Hal itu terlihat dalam sebuah foto yang mengabadikan persidangan tahun 1900 sebagaimana dilansir website wereldmuseum  (https://collectie.wereldmuseum.nl/#/query/6d0797b8-ec34-4732-b70f-bd6b7bc3a244)Altar hakim berlatarbelakang Ratu Belanda, Wilhelmina yang menduduki takhta sejak 1880 hingga 1962. Bukan Burung Garuda Pancasila seperti saat ini. Tampak hakim tunggal yang seorang berkebangsaan Belanda. Sedangkan panitera pengganti merupakan warga lokal.Setelah kemerdekaan, aroma penjajahan Belanda dihapus. Kini di persidangan hanya ada Burung Garuda , lambang negara Indonesia. Posisinya di tengah, di atas Ketua Majelis. Bahkan foto Presiden dan Wapres juga tidak ada dalam ruang sidang. Hal itu untuk menunjukan independensi pengadilan dalam mengadili perkara, tidak bisa diintervensi Kepala Negara sekali pun. "Oleh sebab itu, kemerdekaan merupakan pencapaian yang tidak bisa diganti oleh apapun selain harus dipertahankan dengan darah dan air mata," kata Humas PN Tanjungkarang, Dedy Wijaya Susanto,  kepada Dandapala, Jumat (13/12/2024).