Rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati telah memasuki uji publik. Kehadirannya dipandang
sebagai instrumen penting untuk menata kembali pelaksanaan pidana mati yang
selama ini berlandaskan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan
Umum dan Militer.
Tujuan utama dari
pembentukan RUU tersebut adalah menghadirkan kesan humanis dalam pelaksanaan
pidana mati, tanpa mengabaikan aspek kepastian hukum bagi terpidana.
Namun, ibarat air
tenang yang menghanyutkan, dibalik semangat pembaruannya bisa saja tersimpan
problematika baru yang belum sepenuhnya terungkap. Terlebih, RUU ini masih
berada pada tahap uji publik yang memungkinkan adanya perubahan substansial
sesuai dinamika pandangan masyarakat dan ahli hukum. Dalam konteks itu, tulisan
ini dimaksudkan sebagai sumbangsih pemikiran sederhana untuk turut memperkaya
diskursus mengenai arah dan makna RUU tersebut.
Baca Juga: Dari Tiang Eksekusi ke Meja Refleksi, Evolusi Pidana Mati dalam Reformasi Hukum Pidana
Masa Tunggu
Pelaksanaan Pidana Mati
Masa
tunggu merupakan periode penantian sebelum pelaksanaan pidana mati
dilaksanakan, yaitu setelah berakhirnya masa percobaan dan tidak adanya
perubahan hukuman mati menjadi pidana penjara seumur hidup. Dalam RUU tersebut,
pengaturan mengenai masa tunggu untuk terpidana mati tidak diuraikan secara
jelas, hal ini dapat menimbulkan permasalahan terkait dengan kondisi kesehatan
bagi terpidana mati padahal jika melihat syarat-syarat pelaksanaan pidana mati harus
dipastikan terpidana mati dalam kondisi fisik dan mental yang sehat.
Perlu diketahui bahwa konsep masa tunggu dalam pelaksanaan pidana mati kerap disandingkan dengan istilah death row phenomenon yang merujuk pada Soering Case. Dalam Soering Case tersebut Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa menyoroti persoalan the length of detention atau lamanya masa tunggu sebelum eksekusi dilakukan.
Pengadilan menilai bahwa masa tunggu yang terlalu panjang dapat
menimbulkan penderitaan psikis yang mendalam bagi terpidana, bahkan berpotensi
menimbulkan gangguan mental akibat hidup dalam ketidakpastian dan bayang-bayang
kematian yang menghantui.
Selain itu, turut
disoroti pula mengenai conditions on the death row, yakni masa
tunggu bagi terpidana mati yang kerap diidentikkan dengan kondisi tempat
penahanan yang tidak layak. Dalam RUU ini, tidak terdapat ketentuan yang secara
spesifik mengatur tentang berapa lama masa tunggu tersebut berlangsung maupun
dimana terpidana akan ditempatkan selama periode tersebut.
Oleh karena
itu, masa tunggu pelaksanaan pidana mati perlu mendapat perhatian serius.
Masa ini tidak boleh berlangsung tanpa batas waktu yang jelas, karena dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum bagi terpidana. Selain itu, perlu
disusun mekanisme perlakuan khusus selama periode masa tunggu guna
memastikan hak-hak dasar terpidana mati tetap terlindungi, sehingga
pelaksanaannya tidak berpotensi melanggar prinsip kemanusiaan dan hak
asasi manusia.
Problematika Pelaksanaan
Putusan Pidana Mati
Sebelum pelaksanaan pidana mati dilakukan, Jaksa Agung berkewajiban memberitahukan rencana pelaksanaan tersebut kepada Presiden. Apabila Presiden memberikan pertimbangan berupa penolakan terhadap pelaksanaan pidana mati, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemasyarakatan mengusulkan perubahan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup kepada Presiden.
RUU ini memberikan kewenangan bagi Presiden untuk menolak pelaksanaan pidana mati, meskipun terpidana telah memenuhi seluruh syarat pelaksanaan, seperti telah melewati masa percobaan namun tidak ada perubahan hukuman mati menjadi pidana penjara seumur hidup, permohonan grasi yang ditolak, serta kondisi kesehatan terpidana yang dinyatakan layak untuk dieksekusi.
Lantas, apakah
mekanisme diatas berjalan tanpa melibatkan pertimbangan Mahkamah Agung? Hal ini
tentunya berbeda dengan mekanisme sebelumnya yang mensyaratkan adanya pertimbangan
dari Mahkamah Agung dalam hal percobaan pelaksanaan pidana mati maupun terkait
permohonan grasi sehingga rancangan ini menegaskan bahwa di tahap akhir
pelaksanaan hukuman mati, Presiden memegang kunci terakhir atas hidup dan matinya
seorang terpidana.
Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung beserta badan peradilan di bawahnya memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum dan keadilan yang diwujudkan dalam sebuah putusan pengadilan. Berpegang pada postulat hukum res judicata pro veritate habetur, bahwa putusan pengadilan harus dianggap sebagai suatu kebenaran.
Seorang juris agung, Herman Kantorowicz, mengibaratkan putusan hakim
layaknya resep yang ditulis oleh seorang dokter. Sebagaimana obat yang
dituliskan di atas kertas resep dipercaya sebagai formula untuk menyembuhkan
pasien, demikian pula putusan pengadilan diyakini sebagai hasil dari proses
penalaran hukum yang benar dan bertujuan menegakkan keadilan. Oleh karenanya,
putusan pengadilan harus dihormati sebagai representasi dari kebenaran hukum
yang telah melalui proses yudisial yang sah dan berlandaskan pertimbangan rasional
serta nilai-nilai keadilan.
Dengan demikian, melalui mekanisme tersebut, sudah sepatutnya Mahkamah Agung
diberikan kewenangan untuk turut memberikan pertimbangan hukum atas usulan
perubahan pidana mati. Langkah ini penting untuk menghindari potensi kontradiksi peran Mahkamah Agung dalam proses perubahan pidana
mati menjadi pidana penjara seumur hidup. Terlebih, dalam tahapan masa percobaan pelaksanaan pidana mati maupun
proses pemberian grasi, Mahkamah Agung selama ini memiliki
peran strategis dengan diberikan ruang untuk menyampaikan
pertimbangan hukum kepada
Presiden.
Refleksi:
Kepastian Hukum di Persimpangan Humanisme
Pada akhirnya, RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati telah memasuki babak baru, menggantikan ketentuan yang sebelumnya diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964. Namun demikian, keberadaan RUU ini membuka ruang refleksi yang penting bagi pembuat kebijakan.
RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati bukan sekadar
instrumen administratif untuk menegakkan putusan pengadilan, tetapi juga
menjadi sarana penyeimbang kepastian hukum, prinsip keadilan, dan nilai-nilai
kemanusiaan yang melekat pada setiap individu. Lebih dari itu, RUU ini
menegaskan perlunya sinergi yang harmonis kewenangan antar lembaga, sehingga
setiap keputusan terkait pelaksanaan pidana mati tidak hanya bersifat formal
atau politis, tetapi tetap berpijak pada kepastian hukum dan penghormatan
terhadap martabat manusia. (ikaw/ldr)
Referensi
Baca Juga: Pidana Mati: Melawan Takdir Tuhan atau Menjalankan Takdir Tuhan?
Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S Hiariej. 2021.
Dasar-Dasar Ilmu Hukum: Memahami Kaidah, Teori, Asas, dan Filsafat Hukum, Red
& White Publishing, Indonesia.
David A. Sadoff, International Law and the Mortal Precipice: A Legal Policy Critique of the Death Row Phenomenon, Tulane Journal of International and Comparative Law, Vol. 17 No. 1, 2008.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI