Cari Berita

RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, Mengurai Problematika di Balik Kepastian Hukum

Aditya Yudi Taurisanto - Dandapala Contributor 2025-10-29 16:00:40
Dok. Penulis.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati telah memasuki uji publik. Kehadirannya dipandang sebagai instrumen penting untuk menata kembali pelaksanaan pidana mati yang selama ini berlandaskan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.

Tujuan utama dari pembentukan RUU tersebut adalah menghadirkan kesan humanis dalam pelaksanaan pidana mati, tanpa mengabaikan aspek kepastian hukum bagi terpidana.

Namun, ibarat air tenang yang menghanyutkan, dibalik semangat pembaruannya bisa saja tersimpan problematika baru yang belum sepenuhnya terungkap. Terlebih, RUU ini masih berada pada tahap uji publik yang memungkinkan adanya perubahan substansial sesuai dinamika pandangan masyarakat dan ahli hukum. Dalam konteks itu, tulisan ini dimaksudkan sebagai sumbangsih pemikiran sederhana untuk turut memperkaya diskursus mengenai arah dan makna RUU tersebut.

Baca Juga: Dari Tiang Eksekusi ke Meja Refleksi, Evolusi Pidana Mati dalam Reformasi Hukum Pidana

Masa Tunggu Pelaksanaan Pidana Mati

Masa tunggu merupakan periode penantian sebelum pelaksanaan pidana mati dilaksanakan, yaitu setelah berakhirnya masa percobaan dan tidak adanya perubahan hukuman mati menjadi pidana penjara seumur hidup. Dalam RUU tersebut, pengaturan mengenai masa tunggu untuk terpidana mati tidak diuraikan secara jelas, hal ini dapat menimbulkan permasalahan terkait dengan kondisi kesehatan bagi terpidana mati padahal jika melihat syarat-syarat pelaksanaan pidana mati harus dipastikan terpidana mati dalam kondisi fisik dan mental yang sehat.

Perlu diketahui bahwa konsep masa tunggu dalam pelaksanaan pidana mati kerap disandingkan dengan istilah death row phenomenon yang merujuk pada Soering Case. Dalam  Soering Case tersebut Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa menyoroti persoalan the length of detention atau lamanya masa tunggu sebelum eksekusi dilakukan.

Pengadilan menilai bahwa masa tunggu yang terlalu panjang dapat menimbulkan penderitaan psikis yang mendalam bagi terpidana, bahkan berpotensi menimbulkan gangguan mental akibat hidup dalam ketidakpastian dan bayang-bayang kematian yang menghantui.

Selain itu, turut disoroti pula mengenai conditions on the death row, yakni masa tunggu bagi terpidana mati yang kerap diidentikkan dengan kondisi tempat penahanan yang tidak layak. Dalam RUU ini, tidak terdapat ketentuan yang secara spesifik mengatur tentang berapa lama masa tunggu tersebut berlangsung maupun dimana terpidana akan ditempatkan selama periode tersebut.

Oleh karena itu, masa tunggu pelaksanaan pidana mati perlu mendapat perhatian serius. Masa ini tidak boleh berlangsung tanpa batas waktu yang jelas, karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi terpidana. Selain itu, perlu disusun mekanisme perlakuan khusus selama periode masa tunggu guna memastikan hak-hak dasar terpidana mati tetap terlindungi, sehingga pelaksanaannya tidak berpotensi melanggar prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia.

Problematika Pelaksanaan Putusan Pidana Mati

Sebelum pelaksanaan pidana mati dilakukan, Jaksa Agung berkewajiban memberitahukan rencana pelaksanaan tersebut kepada Presiden. Apabila Presiden memberikan pertimbangan berupa penolakan terhadap pelaksanaan pidana mati, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemasyarakatan mengusulkan perubahan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup kepada Presiden.

RUU ini memberikan kewenangan bagi Presiden untuk menolak pelaksanaan pidana mati, meskipun terpidana telah memenuhi seluruh syarat pelaksanaan, seperti telah melewati masa percobaan namun tidak ada perubahan hukuman mati menjadi pidana penjara seumur hidup, permohonan grasi yang ditolak, serta kondisi kesehatan terpidana yang dinyatakan layak untuk dieksekusi.

Lantas, apakah mekanisme diatas berjalan tanpa melibatkan pertimbangan Mahkamah Agung? Hal ini tentunya berbeda dengan mekanisme sebelumnya yang mensyaratkan adanya pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam hal percobaan pelaksanaan pidana mati maupun terkait permohonan grasi sehingga rancangan ini menegaskan bahwa di tahap akhir pelaksanaan hukuman mati, Presiden memegang kunci terakhir atas hidup dan matinya seorang terpidana.

Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung beserta badan peradilan di bawahnya memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum dan keadilan yang diwujudkan dalam sebuah putusan pengadilan. Berpegang pada postulat hukum res judicata pro veritate habetur, bahwa putusan pengadilan harus dianggap sebagai suatu kebenaran.

Seorang juris agung, Herman Kantorowicz, mengibaratkan putusan hakim layaknya resep yang ditulis oleh seorang dokter. Sebagaimana obat yang dituliskan di atas kertas resep dipercaya sebagai formula untuk menyembuhkan pasien, demikian pula putusan pengadilan diyakini sebagai hasil dari proses penalaran hukum yang benar dan bertujuan menegakkan keadilan. Oleh karenanya, putusan pengadilan harus dihormati sebagai representasi dari kebenaran hukum yang telah melalui proses yudisial yang sah dan berlandaskan pertimbangan rasional serta nilai-nilai keadilan.

Dengan demikian, melalui mekanisme tersebut, sudah sepatutnya Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk turut memberikan pertimbangan hukum atas usulan perubahan pidana mati. Langkah ini penting untuk menghindari potensi kontradiksi peran Mahkamah Agung dalam proses perubahan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup. Terlebih, dalam tahapan masa percobaan pelaksanaan pidana mati maupun proses pemberian grasi, Mahkamah Agung selama ini memiliki peran strategis dengan diberikan ruang untuk menyampaikan pertimbangan hukum kepada Presiden.

Refleksi: Kepastian Hukum di Persimpangan Humanisme

Pada akhirnya, RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati telah memasuki babak baru, menggantikan ketentuan yang sebelumnya diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964. Namun demikian, keberadaan RUU ini membuka ruang refleksi yang penting bagi pembuat kebijakan.

RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati bukan sekadar instrumen administratif untuk menegakkan putusan pengadilan, tetapi juga menjadi sarana penyeimbang kepastian hukum, prinsip keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang melekat pada setiap individu. Lebih dari itu, RUU ini menegaskan perlunya sinergi yang harmonis kewenangan antar lembaga, sehingga setiap keputusan terkait pelaksanaan pidana mati tidak hanya bersifat formal atau politis, tetapi tetap berpijak pada kepastian hukum dan penghormatan terhadap martabat manusia. (ikaw/ldr)

Referensi

Baca Juga: Pidana Mati: Melawan Takdir Tuhan atau Menjalankan Takdir Tuhan?

Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S Hiariej. 2021. Dasar-Dasar Ilmu Hukum: Memahami Kaidah, Teori, Asas, dan Filsafat Hukum, Red & White Publishing, Indonesia.

David A. Sadoff, International Law and the Mortal Precipice: A Legal Policy Critique of the Death Row Phenomenon, Tulane Journal of International and Comparative Law, Vol. 17 No. 1, 2008.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI