Surabaya- Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya menerima kunjungan kerja dari Hoge Raad der Nederlanden (Mahkamah Agung Kerajaan Belanda), Selasa (17/6). Dalam kunjungan Hoge Raad Belanda tersebut, didampingi para pimpinan Mahkamah Agung RI.
Adapun para tamu yang hadir di Pengadilan Tinggi Surabaya, antara lain Suharto, S.H., M.Hum., Wakil Ketua MA RI Bidang Non Yudisial, Syamsul Maarif, S.H., LL.M., Ph.D., Ketua Kamar Pembinaan MA RI, Dr. H. Prim Haryadi, S.H., M.H., Ketua Kamar Pidana MA RI, H. Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum., Ketua Kamar Pengawasan MA RI, Dr. Cerah Bangun, S.H., M.H., Hakim Agung RI, dan H. Bambang Myanto, S.H., M.H., Dirjen Badilum MA RI. Sedangkan dari pihak Hoge Raad Belanda, hadir Prof. Mr. Dineke de Groot, Presiden Hoge Raad Belanda, Prof. Mr. Dr. Mariken Van Hilten, Wakil Presiden Hoge Raad, Mr. Dtjis Kooijmans, Hakim Agung Kerajaan Belanda dan perwakilan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia.
Baca Juga: Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indië, Pendahulu Mahkamah Agung pada Masa Kolonial Belanda
Pertemuan yang berlangsung hangat dan bersahabat tersebut, mendiskusikan beberapa hal penting untuk kemajuan penegakan hukum berkeadilan, antara lain etika dan integritas hakim di tengah tekanan sosial media dan resiko penghinaan terhadap pengadilan, serta membahas putusan hakim sebagai instrumen pembentukan hukum, studi kasus di wilayah Kerajaan Belanda.
Diskusi hukum tersebut, dihadiri juga secara langsung oleh 135 hakim tingkat banding dan tingkat pertama di 4 lingkungan badan peradilan Mahkamah Agung RI, yang berada di wilayah hukum Surabaya dan sekitarnya. Selain itu, hadir juga secara daring I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H., Ketua Kamar Perdata MA RI, Dr. H. Yasardin, S.H., M.H., Ketua Kamar Agama MA RI dan Brigjen TNI (Purn) Hidayat Manao, S.H., M.H., Ketua Kamar Militer MA RI, serta pimpinan dan hakim pengadilan tingkat pertama di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Surabaya.
Berdasarkan paparan Dineke de Groot, diuraikan terdapat kesalahan pemahaman, bilamana dalam sistem hukum civil law, Yurisprudensi tidak dijadikan dasar rujukan dalam mengadili perkara serupa. Di Belanda, kaidah hukum Yurisprudensi menjadi preseden hakim lain dan bahkan ikut mempengaruhi pembentukan hukum nasional, khususnya terhadap perkara yang aturannya kosong, tidak jelas dan ketentuan hukum tertulisnya tertinggal dengan perkembangan zaman.
Lembaga peradilan Kerajaan Belanda, menganut asas preseden yang didasarkan Yurispurdensi, tujuannya agar tercipta kesatuan hukum dan menghindari disparitas putusan pengadilan. Dengan menerapkan Yurisprundesi tersebut, tercipta kesatuan hukum nasional yang berlandaskan putusan pengadilan, sehingga pihak-pihak berhadapan dengan hukum merasakan akses keadilan yang sama, baik dalam perkara publik ataupun privat, ungkap Presiden Hoge Raad Belanda.
Diskusi antara Mahkamah Agung RI dan Hoge Raad Belanda, berlangsung interaktif dengan memberikan kesempat tanya jawab kepada para peserta diskusi yang hadir, bahkan Ketua Kamar Pidana MA RI dan Ketua Kamar Pengawasan MA RI ikut mengajukan pertanyaan, kepada Presiden dan Wakil Presiden Hoge Raad Belanda.
Baca Juga: Pengadilan Era Kolonial Belanda dari Landraad Sampai Hooggerechtshof
Dengan adanya diskusi ini, diharapkan seluruh aparatur di lingkungan Mahkamah Agung RI dan Khususnya Pengadilan Tinggi Surabaya semakin memahami kemajuan penegakan hukum berkeadilan, antara lain etika yang harus dijunjung tinggi dan integritas hakim di tengah tekanan sosial media dan resiko penghinaan terhadap pengadilan (EES/WI).
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI