Pembentukan Pengadilan Pajak di
Indonesia memiliki tujuan ganda yang kompleks: melaksanakan kekuasaan kehakiman
dengan prosedur efisien (cepat, murah, sederhana) sekaligus menciptakan
keadilan dan kepastian hukum.
Dilema muncul ketika tuntutan efisiensi mendorong formalisme
prosedural yang bertabrakan dengan keadilan substantif, terutama menghadapi
undang-undang perpajakan yang sangat teknis dan terkodifikasi. Tekanan
institusional untuk memproses sengketa secara efisien dapat membatasi ruang
gerak hakim untuk melakukan penemuan hukum mendalam, memaksa mereka berfokus
semata-mata pada pencocokan fakta dengan kaidah yang berlaku.
Konseptualisasi
Yuris: Dilema antara Tukang Hukum dan Koki
Master Keadilan
Kajian konseptualisasi hukum menggarisbawahi bahaya
epistemologis yang mengintai para ahli hukum yang bekerja dalam lingkungan yang
sangat formalistik. Ari Julianto (n.d.) menjelaskan bahwa
apabila seorang yuris hanya mendekati hukum sebagai suatu teknik untuk mengatur
hubungan kemasyarakatan dan menyelesaikan sengketa, maka ia sesungguhnya
tereduksi menjadi hanya merupakan "tukang
hukum".
Tukang hukum ini dicirikan sebagai individu yang hanya
berpegangan pada logika kaidah saat ini—seperti juru masak yang hanya mengikuti
resep yang tertulis tanpa memedulikan konteks atau kualitas bahan baku.
Baca Juga: Dialektika Pendulum dan Yudisialisme: Menelusuri Dinamika Sumber Hukum Peradilan Pajak
Risiko dari pendekatan formalistik ini adalah menghasilkan
putusan yang kaku, "hambar atau terlalu asin," atau secara paradoks
tidak adil (Julianto, n.d.). Sebaliknya, seorang yuris terdidik dituntut untuk bertransformasi menjadi Koki Master Keadilan, yang mampu menempatkan
peraturan dalam dimensi waktu, memahami asal-usulnya, dan menggunakan
"pengalaman" untuk menyesuaikan resep (kaidah normatif) demi mencapai
rasa (keadilan) yang dicari. Peran metodologis untuk mewujudkan visi Koki Master ini terletak pada studi Sejarah Hukum.
Kritik Rasionalisme
Hukum dan Warisan Kodifikasi A-Historis
Hukum perpajakan di Indonesia menunjukkan pengaruh kuat cara
berpikir normatif yang berakar pada visi Spiritualisme-Ideologisme, yang
meyakini hukum lahir dari akal budi murni sehingga bersifat statis dan
a-historis. Kaidah dianggap universal dan abadi, tidak terpengaruh perubahan
sosial.
Visi rasionalitas ini melahirkan vernunfrecht (hukum kecerdasan) yang diwujudkan melalui gerakan
kodifikasi besar seperti yang dipelopori Napoleon (1804-1810). Logika normatif
murni beroperasi dengan menganalisis sengketa melalui fokus eksklusif pada
perhitungan teknis atau bahasa undang-undang, tanpa menelusuri konteks
sosio-historis di baliknya.
Formalisme kaku ini menyebabkan
yuris gagal melihat bahwa kaidah mungkin telah mengalami perubahan substansial,
atau lebih penting, gagal memahami mengapa pranata hukum ada sebagaimana adanya
saat ini.
Ketegangan logika normatif murni
terletak pada klaimnya menegakkan kepastian hukum, padahal dalam praktik justru
dapat merusak keadilan substantif. Kegagalan menemukan kebenaran materiil
melalui pendekatan a-historis juga mengancam kepastian hukum bagi Wajib Pajak.
Sejarah Hukum sebagai Jembatan menuju Pemahaman Dialektis
Untuk melampaui logika normatif,
yuris wajib mengadopsi pendekatan Sejarah Hukum yang menunjukkan bahwa hukum bukanlah entitas statis melainkan produk
dialektika dalam kehidupan manusia. Perkembangan pemikiran ini didukung
oleh visi Materialisme-Sosiologisme abad ke-19 yang melihat hukum sebagai
produk realitas sosial, membujuk para ahli hukum memandang hukum sebagai gejala
sosial biasa..
Pendapat
Gilissen dan Gorle: Hukum dalam Dimensi Ruang dan Waktu
Pemahaman ini diperkuat oleh
tokoh historiografi hukum kontinental, John
Gilissen dan Frits Gorle. Dalam karya mereka, Historische Inleiding tot het Recht, ditegaskan bahwa suatu
hukum tidak hanya dapat berubah dalam dimensi ruang, melainkan juga harus berubah dalam dimensi waktu (Gilissen & Gorle,
2007). Perubahan ini harus terjadi agar hukum mengalami pembaruan (perbedaan)
dari masa ke masa, yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan fundamental hukum itu
sendiri, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum (Gilissen &
Gorle, 2007).
Perspektif Gilissen dan Gorle
(2007) memberikan justifikasi teoretis bagi Koki Master Keadilan. Pemahaman teleologis
ini memungkinkan yuris untuk merelatifkan hukum yang berlaku—mengakui
bahwa kaidah yang ada selalu dapat disesuaikan dan diperbaiki sesuai kebutuhan
sosial (Julianto, n.d.). Sejarah Hukum bertindak sebagai metode penelitian penting yang memungkinkan Hakim untuk
memperjelas, meluaskan, dan mendalami objek sengketa, sehingga ia tidak
terjebak pada definisi yang a-historis (Julianto, n.d.).
Oliver Wendell Holmes Jr.: Supremasi Pengalaman di Atas
Logika
Untuk lebih memperkuat kritik terhadap logika normatif,
penting untuk mengintegrasikan pandangan Oliver
Wendell Holmes Jr., seorang pakar sejarah hukum Amerika dan tokoh sentral dalam
gerakan Realisme Hukum Amerika. Pandangan Holmes muncul sebagai respons terhadap
formalisme hukum abad ke-19, melihat hukum bukan sebagai sistem aturan-aturan
logis yang abstrak, melainkan sebagai proses evolusi yang pragmatis.
Dalam karya klasiknya, The Common Law, yang pertama kali diterbitkan
pada tahun 1881, Holmes Jr. menyampaikan kritik tegas terhadap superioritas
logika dalam hukum:
"The life of the
law has not been logic: it has been experience." (Holmes Jr., 1881/2004,
p. 1)
Kutipan ini adalah landasan filosofis yang penting bagi Koki Master Keadilan. Holmes menolak pandangan
deduktif bahwa hukum dapat diperlakukan "seolah-olah ia hanya berisi
aksioma dan korelatif dari buku matematika" (Holmes Jr., 1881/2004, p. 1).
Bagi Holmes, "pengalaman" meliputi kebutuhan nyata yang dirasakan
masyarakat, moralitas yang berlaku, dan bahkan kepentingan politik, yang
semuanya membentuk jalur evolusioner hukum.
Penerapan pandangan Holmes sangat relevan di Pengadilan
Pajak. Dalam sengketa yang sangat logis-deduktif, logika normatif murni hanya
berfokus pada pasal yang berlaku. Namun, pandangan Holmes menuntut Hakim untuk
memasukkan faktor eksternal (pengalaman wajib pajak, praktik bisnis historis,
dan konteks ekonomi) yang secara ketat dikesampingkan oleh formalisme. Inilah
peran Koki
Master
yang menggunakan pengalaman (Sejarah Hukum) untuk
menyesuaikan resep (kaidah normatif).
Rekonstruksi Keyakinan Hakim: Model Koki Master Keadilan
Penerapan peran Koki Master sangat vital, karena
putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian,
peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, dan yang terpenting,
berdasarkan keyakinan Hakim (Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002).
Untuk mencapai keyakinan Hakim
yang mendalam, Hakim tidak boleh hanya puas dengan penalaran logika normatif
formal. Hakim harus secara aktif berupaya menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian, dan melakukan penilaian yang adil bagi para pihak (Julianto, n.d.).
Studi Sejarah Hukum memberikan fondasi bagi Hakim untuk mengadopsi pendekatan
bersegi banyak (multi-faceted
approach) yang memungkinkan Hakim untuk merelatifkan
hukum yang berlaku. Merelatifkan hukum berarti memandang kaidah dengan
keyakinan bahwa hukum selalu dapat disesuaikan dan diperbaiki, karena ia adalah
produk dialektika sosial, sebagaimana ditegaskan oleh Gilissen dan Gorle
(2007).
Fungsi Sejarah Hukum tidak hanya
terbatas pada penemuan keadilan substantif; ia juga berfungsi sebagai perisai
terhadap kesewenangan penguasa, dengan menempatkan hukum dalam dimensi
kesejarahan, sehingga melindungi hak azasi manusia (HAM) wajib pajak. Pemahaman
historis memastikan Hakim tidak mengesampingkan perikatan-perikatan yang dibuat dahulu atau ketentuan yang pernah
berlaku, yang mana kepastian hukum tersebut merupakan jaminan fundamental bagi
penegakan HAM.
Kesimpulan
Yuris yang hanya mengandalkan
logika normatif murni terperangkap sebagai "tukang hukum" yang kaku
dan rentan menghasilkan putusan tidak adil. Melalui adopsi studi Sejarah Hukum
sebagai metode penelitian yudisial, yuris di Pengadilan Pajak bertransformasi
menjadi Koki Master Keadilan yang mampu mengintegrasikan warisan rasionalistik
dengan dinamika Realitas Hukum dari Materialisme-Sosiologisme.
Sebagaimana ditekankan Holmes
Jr., jalan hukum bukanlah logika tetapi pengalaman, dan pengalaman historis ini
menjadi metode penting untuk memastikan keyakinan Hakim menghasilkan rasa
keadilan sebenarnya dalam penyelesaian Sengketa Pajak, sesuai tujuan hukum: keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum. (ldr)
DAFTAR PUSTAKA
Gilissen, J., & Gorle, F. (2007). Sejarah hukum, suatu
pengantar (F. Tengker, Penyadur). Refika Aditama.
Holmes Jr., O. W. (1896). Speeches by Oliver Wendell Holmes. Little, Brown, and
Company.
Holmes Jr., O. W. (2004). The Common Law (1st ed.). Routledge.
https://doi.org/10.4324/9780429338908 (Karya asli diterbitkan tahun 1881).
Baca Juga: Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Kesembilan
Indonesia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189.
Julianto, A. (n.d.). Melampaui logika normatif: Peran sejarah hukum sebagai metode penelitian dalam mencegah yuris peradilan pajak menjadi ‘tukang hukum’ [Unpublished manuscript]. Pengadilan Pajak Republik Indonesia.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI