Cari Berita

Kedudukan Hukum dan Kekuatan Mengikat Fatwa MA dalam Sistem Hukum di Indonesia

Gerry Geovant Supranata Kaban - Dandapala Contributor 2025-11-24 15:50:56
Dok. Penulis.

Sebagai pelaksana tertinggi kekuasaan kehakiman yang merdeka, Mahkamah Agung (“MA”) memegang peran sentral dalam sistem hukum di Indonesia. Adapun tugas pokok dan fungsi MA terdiri dari: fungsi peradilan, fungsi pengawasan, fungsi mengatur, fungsi penasihat, fungsi administratif, dan fungsi lain-lain. Sehubungan dengan fungsi-fungsi tersebut, artikel ini akan fokus membahas kedudukan MA dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga tinggi negara yang memberikan pertimbangan atau nasihat dalam bidang hukum kepada lembaga tinggi negara, lembaga negara, maupun lembaga pemerintahan lainnya.

Meskipun belum terdapat nomenklatur yang digunakan secara baku dan tetap mengenai peristilahan “pertimbangan atau nasihat dalam bidang hukum” yang diberikan oleh MA, dalam tataran praktik, pertimbangan atau nasihat dalam bidang hukum yang diberikan oleh MA lazim diistilahkan dengan nomenklatur “fatwa” MA.

Kewenangan MA untuk memberikan fatwa diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”) yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain”.

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Selain dalam UU MA, kewenangan MA dalam memberikan fatwa diatur pula dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Mahkamah Agung  dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan”. Dalam ayat (2) pasal a quo disebutkan bahwa “Ketentuan mengenai pemberian keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan diatur dalam undang-undang”.

Kendati telah diamanatkan dalam UU 48/2009, namun hingga saat ini belum terdapat undang-undang yang mengatur mengenai pemberian fatwa dari MA kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan lainnya. Selain itu, hingga saat ini pun, belum terdapat aturan (regelende functie) yang diterbitkan MA sebagai norma hukum (rule making power) yang mengatur secara jelas mengenai mekanisme pengajuan permohonan fatwa oleh lembaga negara maupun lembaga pemerintahan kepada MA.

Definisi fatwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah: (1) jawab (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti/ahli tentang suatu masalah; dan (2) nasihat orang alim; pelajaran baik; atau petuah. Sedangkan secara garis besar, fatwa MA adalah pertimbangan hukum yang diberikan oleh MA baik atas permintaan lembaga negara, maupun dengan inisiatif dari MA sendiri.

Secara normatif, SK KMA Nomor 213/KMA/SK/XII/2014 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar pada Mahkamah Agung Republik Indonesia pada bagian V tentang Penanganan Perkara Lainnya dan Permohonan memberikan petunjuk bahwa dalam hal terdapat permohonan fatwa, maka Ketua MA menjawab permohonan fatwa yang diajukan oleh lembaga negara dengan mendengar pertimbangan Ketua Kamar terkait. Selain itu, diatur pula bahwa Ketua MA mendelegasikan kewenangan menjawab permohonan fatwa yang diajukan oleh perseorangan atau badan hukum kepada Ketua Kamar atau pejabat terkait untuk ditindaklanjuti dengan pemberian petunjuk hukum.

Dalam praktik, bukan hanya lembaga negara atau lembaga pemerintahan yang meminta fatwa kepada MA untuk menyelesaikan persoalan hukum yang sedang dihadapinya, bahkan terdapat pula permintaan pendapat hukum yang diajukan kepada MA oleh perseorangan atau badan hukum.

Sebagai contoh konkret, terdapat fatwa yang diterbitkan oleh MA kepada lembaga negara dan/atau lembaga pemerintahan seperti Fatwa Nomor 030/KMA/III/2009 kepada Jaksa Agung Republik Indonesia mengenai pendapat hukum atas ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan Fatwa Nomor 30/Tuaka.Pid/IX/2015 kepada Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengenai pengertian mantan terpidana dan mantan narapidana.

Selanjutnya, terdapat pula contoh konkret fatwa yang diterbitkan oleh MA kepada perseorangan seperti Fatwa Nomor 149/KMA/XII/2009 kepada Anita D.A. Kolopaking mengenai pendapat hukum atas perbedaan pendapat terkait pelaksanaan eksekusi.

Ruang lingkup fatwa yang diberikan oleh MA dapat dilihat dalam Fatwa Nomor 130/KMA/X/2009 kepada Ketua DPR RI, di mana MA menjelaskan bahwa ia tidak dapat memberikan pendapat hukum terhadap suatu persoalan yang dapat menjadi persoalan hukum di pengadilan. Disebutkan pula bahwa MA tidak boleh memberikan pendapat atas suatu putusan lembaga peradilan lain in casu Putusan Mahkamah Konstitusi.

Lebih lanjut, dalam Fatwa Nomor 044/KMA/II/2007 kepada perseorangan bernama IGN. Lianawati B, MA menyampaikan bahwa ia tidak dapat memberikan fatwa yang berkaitan dengan suatu perkara.

Contoh konkretnya adalah ketika MA menolak memberikan fatwa terkait status Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) karena adanya proses hukum yang sedang berjalan di pengadilan, baik kasusnya sendiri maupun gugatan terkait jabatan. MA menolak memberikan pendapat hukum karena khawatir akan mengganggu independensi hakim dalam memutus perkara dan tidak ingin melanggar prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman dengan memberikan pendapat pada isu yang sudah berproses menjadi perkara di pengadilan.

Apabila dianalisis berdasarkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan hukum fatwa yang dikeluarkan oleh MA tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan yang mengikat secara formal, karena figur hukum dari fatwa MA bukanlah sebuah peraturan (regeling) melainkan hanya sebatas pendapat hukum (legal opinion) atau nasihat hukum (legal advice).

Fatwa MA lebih tepat diklasifikasikan sebagai pertimbangan hukum atau nasihat hukum yang bersifat konsultatif dan informatif, bukan norma hukum yang diciptakan melalui legislasi formal. Konsekuensi dari ketiadaan figur hukum ini adalah fatwa secara de jure tidak memiliki daya ikat hukum formal yang setara dengan peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Prof. Bagir Manan selaku Mantan Ketua MA Periode 2001-2008 menjelaskan bahwa fatwa MA diputuskan bersama sejumlah hakim agung yang dipimpin langsung oleh Ketua MA. Ia menyampaikan bahwa fatwa MA tidaklah mengikat dan tidak mempunyai implikasi serta mekanisme agar dilaksanakan oleh pihak-pihak yang “beperkara”. Fatwa MA bukanlah putusan pengadilan, oleh karena itu kekuatan hukumnya bersifat etik semata-mata. Bentuk fatwa MA ini berupa pendapat hukum yang tidak mengikat. Fatwa MA bukanlah suatu keputusan (beschikking) maupun peraturan (regeling).

Sekalipun kedudukan hukumnya secara normatif lemah, fatwa memiliki peranan penting sebagai manifestasi dari judicial policy MA. Dalam sistem hukum yang menghadapi ketidakpastian norma, fatwa menyediakan panduan interpretatif dan legal reasoning yang berasal dari MA sebagai otoritas peradilan tertinggi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fatwa MA merupakan produk hukum yang legitimate berdasarkan Pasal 37 UU MA juncto Pasal 22 ayat (1) UU 48/2009, di mana kedudukan hukumnya tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan yang mengikat secara formal di Indonesia sehingga hanya dianggap sebatas pendapat hukum (legal opinion) atau nasihat hukum (legal advice) dan tidak memiliki kekuatan mengikat secara normatif-yudisial, melainkan lebih bersifat administratif-moral.

Penulis: Gerry Geovant Supranata Kaban, S.H., M.H. (Hakim Pengadilan Negeri Wamena)

Referensi

Baca Juga: Jalan Tengah: Solusi Alternatif Penyelesaian dalam Pelanggaran HAM Berat

https://www.hukumonline.com/klinik/a/sifat-fatwa-mahkamah-agung-cl1586/

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Tag
Memuat komentar…