Krisis sengketa pertanahan di Indonesia telah berevolusi
melampaui sengketa kepemilikan (yuridis subjektif) konvensional, dan kini
memasuki ranah baru yang lebih sofistikated: sengketa validitas data (teknis
objektif). Preseden faktual, seperti sengketa tumpang tindih lahan yang dipicu
oleh ketidakakuratan peta tematik, mengkonfirmasi bahwa akar litigasi
pertanahan modern terletak pada kredibilitas data fisik. Problem ini bersifat
sistemik, berakar pada tantangan teknis fundamental selama proses konversi data
warisan analog ke basis data digital.
Transisi data dari peta-peta analog warisan (periode
1960-1997) ke dalam basis data digital modern tidak berlangsung secara steril.
Proses ini telah melahirkan konsekuensi signifikan dari proses digitalisasi
tersebut. Dampak ini termanifestasi dalam berbagai bentuk, termasuk: bidang
tanah yang tidak terletak pada posisi sebenarnya, adanya tumpang tindih (overlap) antar bidang, munculnya celah (gap) antar bidang, serta perbedaan luas
antara data digital dengan dokumen analognya.
Konsekuensinya, Peta Pendaftaran Nasional, yang seharusnya
menjadi rujukan tunggal, kini mengandung inkonsistensi data spasial.
Inkonsistensi ini termanifestasi sebagai gap,
overlap, dan sliver (bidang-bidang sisa nonstandar) yang mengkontaminasi basis
data. Ini bukan sekadar isu teknis informatika, ini adalah krisis epistemologi
kadastral. Kondisi ini menempatkan hakim dalam posisi sulit, yakni bagaimana
sistem peradilan dapat menegakkan keadilan dan kepastian hukum jika instrumen
pembuktian utamanya, Peta Pendaftaran, secara inheren mengandung ketidakpastian
data dan inkonsistensi spasial?
Baca Juga: Eksistensi Hak Prioritas Tanah HGB yang Telah Habis Jangka Waktunya
Ironisnya, problem hukum paling pelik bagi yurisdiksi
peradilan justru lahir dari solusi yang diterapkan untuk menyembuhkan patologi
data tersebut. Melalui program perbaikan kualitas data spasial, dilakukan
remediasi proaktif terhadap data yang tumpang tindih atau tidak akurat
menggunakan metodologi teknis geodesi mutakhir, seperti block adjustment. Tujuannya adalah untuk menghasilkan Peta
Pendaftaran digital (data "After") yang secara teknis geospasial
superior, akurat, dan merepresentasikan kebenaran materiel di lapangan.
Di sinilah letak antinomi yudisialnya. Terdapat sebuah
mekanisme implementasi di mana pembaruan data fisik mutakhir yang telah
divalidasi ini tidak secara otomatis, atau ex
officio, menyebabkan penyesuaian langsung pada dokumen yuridis historis
yang telanjur terbit. Penyesuaian dokumen lama kerap kali baru dilakukan kelak
"sampai dengan adanya permohonan pemeliharaan data".
Sistem ini, secara de
facto, mengizinkan eksistensi dua data resmi yang saling bertentangan untuk
objek tanah yang sama. Di satu sisi, terdapat data yuridis historis yang sah
(sertipikat dan surat ukur "Before"). Di sisi lain, terdapat data
teknis mutakhir yang akurat (peta pendaftaran digital "After").
Administrasi pertanahan, dalam hal ini, memegang dua "kebenaran" yang
inkompatibel.
Maka, pokok permasalahannya bersifat fundamental, yakni
bagaimana seharusnya seorang hakim memutus sengketa batas ketika dihadapkan
pada pertentangan hierarki bukti? Manakah yang harus diprioritaskan: legalitas
formal Surat Ukur warisan (data "Before") yang menjadi alas hak, atau
akurasi teknis Peta Pendaftaran digital mutakhir (data "After") yang
didalilkan oleh administrasi sendiri sebagai kebenaran geospasial?
Dilema ini tidak dapat diurai dengan menggunakan kacamata
hukum pertanahan konvensional yang berorientasi pada teks (Surat Ukur). Untuk
menavigasi antinomi ini, hakim harus menginternalisasi tiga pergeseran
paradigma fundamental dalam pembuktian geospasial, yang secara radikal mengubah
standar pembuktian di ruang sidang.
Secara historis, kekuatan peta terletak pada pengesahannya
(stempel dan tanda tangan), sebuah standar kualitatif. Era pemetaan modern,
khususnya melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Terintegrasi,
meruntuhkan paradigma ini. Kekuatan bukti Peta Dasar Pertanahan (PDP) yang
baru, dihasilkan dari metode fotogrametri presisi tinggi, tidak lagi terletak
pada stempel, melainkan pada metadata teknis yang menyertainya.
Standar pembuktian kini bersifat kuantitatif dan
preskriptif. Akurasi data diukur secara objektif melalui nilai Ketelitian
Horizontal (Circular Error 90% atau
CE90) dan Ketelitian Vertikal (Linear
Error 90% atau LE90). Sebagai contoh, Peta Foto untuk PTSL 2024 disyaratkan
memiliki Ketelitian Horisontal (CE90) ≤ 0,40 meter.
Implikasi yudisialnya sangat besar. Hakim kini memiliki
instrumen untuk menilai bobot bukti secara objektif. Hakim dapat menyatakan
bahwa Peta A (dengan CE90=0.4m) secara faktual lebih unggul dan memiliki evidentiary weight lebih tinggi daripada
Peta B (misalnya, peta lama dengan standar 1:50.000 yang memiliki CE90=15m),
terlepas dari status legalitas formal kedua peta tersebut. Argumen beralih dari
"siapa yang mengesahkan peta" menjadi "seberapa akurat peta
tersebut secara terukur".
Regulasi baru melalui Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
2021 telah secara resmi mengintroduksi pendaftaran Ruang Atas Tanah (RAT) dan
Ruang Bawah Tanah (RBT) sebagai objek hak yang terpisah. Sengketa pertanahan
tidak lagi terbatas pada luas (area) di permukaan, tetapi telah berekspansi
secara vertikal ke ranah volume.
Objek-objek hukum baru seperti unit apartemen (Satuan Rumah
Susun), jembatan layang, infrastruktur bawah tanah (MRT), dan jaringan utilitas
kini memiliki status kadastral independen. Alat bukti untuk sengketa ini bukan
lagi peta 2D, melainkan Model 3D dengan standar Level of Detail (LoD) yang spesifik.
Ini menciptakan causa
litigasi yang sepenuhnya baru. Hakim harus siap mengadili sengketa pelanggaran
batas vertikal (vertical trespass),
sebuah konsep yang sebelumnya asing dalam yurisprudensi pertanahan nasional.
Misalnya, sengketa antara pemilik RBT (terowongan MRT) dengan pemilik bidang
tanah di permukaan yang aktivitas pondasi bangunannya secara tidak sengaja
menembus "ruang hukum" RBT di bawahnya.
Keterbatasan jumlah Surveyor
ASN (hanya 2.123 per 2023) telah memaksa negara mendelegasikan fungsi vital
pengukuran kadastral kepada entitas swasta, yakni Surveyor Berlisensi (SK/ASK)
yang bernaung dalam Kantor Jasa Surveyor Berlisensi (KJSB).
Implikasi hukum dari delegasi wewenang ini sangat
signifikan. Ditegaskan bahwa KJSB "bertanggung jawab mutlak di hadapan
hukum atas data survei dan pemetaan yang dihasilkannya".
Pertanggungjawaban ini mencakup ranah "administrasi, teknis, etika dan
hukum".
Bagi hakim, ini membuka pintu yurisdiksi baru. Sengketa
batas tidak lagi murni sengketa privat antara dua pemegang hak. Pihak yang
dirugikan oleh peta yang cacat kini dapat memperluas gugatannya. Gugatan
perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW) berbasis kelalaian profesional (professional negligence) kini dapat
secara langsung ditujukan kepada KJSB yang memproduksi data yang merugikan
tersebut, menuntut ganti rugi atas data yang tidak akurat.
Antinomi antara legalitas historis Surat Ukur "Before"
dan akurasi teknis Peta Pendaftaran "After" adalah realitas hukum
yang tidak terelakkan. Ini merupakan konsekuensi dari modernisasi administrasi
yang bergerak lebih cepat daripada adaptasi doktrin hukum.
Untuk mengatasi ini, hakim tidak bisa lagi hanya berperan
sebagai "corong undang-undang" yang secara kaku menerapkan pembuktian
formal.
Asas presumptio
iustae causa (presumsi bahwa suatu tindakan pejabat adalah sah) harus tetap
ditegakkan. Sertipikat, beserta Surat Ukur warisan (data "Before"),
adalah alat bukti hak yang sah dan mengikat sampai terbukti sebaliknya. Namun,
frasa "terbukti sebaliknya" kini telah berevolusi. Pembuktian
tersebut tidak lagi cukup dengan hanya menyajikan peta tandingan. Pihak yang
mendalilkan kebenaran data "After" (baik itu pemegang hak lain, atau
bahkan negara/BPN sendiri) kini memikul beban pembuktian. Mereka harus
membuktikan di pengadilan, bukan bahwa Surat Ukur "Before" cacat
secara formal, melainkan bahwa ia inferior secara materiel.
Standar pembuktian untuk sanggahan ini kini telah tersedia, yaitu dengan menyajikan metadata akurasi kuantitatif (nilai CE90/LE90) yang mendemonstrasikan superioritas teknis dan saintifik dari data "After". Peran hakim telah bergeser dari sekadar evaluator dokumen legal menjadi arbiter kebenaran materiel geospasial. (aar/ldr)
Baca Juga: Antinomi Hukum Tujuan Pemidanaan dan Pidana Penjara Pengganti dalam KUHP Baru
Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili pendapat lembaga.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI