Cari Berita

Antinomi Yudisial Sengketa Batas: Prioritas Antara Kepastian Formal (Surat Ukur) & Kebenaran Materiel Geospasial

Bony Daniel (Hakim PN Serang) - Dandapala Contributor 2025-11-21 07:10:33
Dok. Penulis.

Krisis sengketa pertanahan di Indonesia telah berevolusi melampaui sengketa kepemilikan (yuridis subjektif) konvensional, dan kini memasuki ranah baru yang lebih sofistikated: sengketa validitas data (teknis objektif). Preseden faktual, seperti sengketa tumpang tindih lahan yang dipicu oleh ketidakakuratan peta tematik, mengkonfirmasi bahwa akar litigasi pertanahan modern terletak pada kredibilitas data fisik. Problem ini bersifat sistemik, berakar pada tantangan teknis fundamental selama proses konversi data warisan analog ke basis data digital.   

Transisi data dari peta-peta analog warisan (periode 1960-1997) ke dalam basis data digital modern tidak berlangsung secara steril. Proses ini telah melahirkan konsekuensi signifikan dari proses digitalisasi tersebut. Dampak ini termanifestasi dalam berbagai bentuk, termasuk: bidang tanah yang tidak terletak pada posisi sebenarnya, adanya tumpang tindih (overlap) antar bidang, munculnya celah (gap) antar bidang, serta perbedaan luas antara data digital dengan dokumen analognya.

Konsekuensinya, Peta Pendaftaran Nasional, yang seharusnya menjadi rujukan tunggal, kini mengandung inkonsistensi data spasial. Inkonsistensi ini termanifestasi sebagai gap, overlap, dan sliver (bidang-bidang sisa nonstandar) yang mengkontaminasi basis data. Ini bukan sekadar isu teknis informatika, ini adalah krisis epistemologi kadastral. Kondisi ini menempatkan hakim dalam posisi sulit, yakni bagaimana sistem peradilan dapat menegakkan keadilan dan kepastian hukum jika instrumen pembuktian utamanya, Peta Pendaftaran, secara inheren mengandung ketidakpastian data dan inkonsistensi spasial?

Baca Juga: Eksistensi Hak Prioritas Tanah HGB yang Telah Habis Jangka Waktunya

Ironisnya, problem hukum paling pelik bagi yurisdiksi peradilan justru lahir dari solusi yang diterapkan untuk menyembuhkan patologi data tersebut. Melalui program perbaikan kualitas data spasial, dilakukan remediasi proaktif terhadap data yang tumpang tindih atau tidak akurat menggunakan metodologi teknis geodesi mutakhir, seperti block adjustment. Tujuannya adalah untuk menghasilkan Peta Pendaftaran digital (data "After") yang secara teknis geospasial superior, akurat, dan merepresentasikan kebenaran materiel di lapangan.   

Di sinilah letak antinomi yudisialnya. Terdapat sebuah mekanisme implementasi di mana pembaruan data fisik mutakhir yang telah divalidasi ini tidak secara otomatis, atau ex officio, menyebabkan penyesuaian langsung pada dokumen yuridis historis yang telanjur terbit. Penyesuaian dokumen lama kerap kali baru dilakukan kelak "sampai dengan adanya permohonan pemeliharaan data".

Sistem ini, secara de facto, mengizinkan eksistensi dua data resmi yang saling bertentangan untuk objek tanah yang sama. Di satu sisi, terdapat data yuridis historis yang sah (sertipikat dan surat ukur "Before"). Di sisi lain, terdapat data teknis mutakhir yang akurat (peta pendaftaran digital "After"). Administrasi pertanahan, dalam hal ini, memegang dua "kebenaran" yang inkompatibel.

Maka, pokok permasalahannya bersifat fundamental, yakni bagaimana seharusnya seorang hakim memutus sengketa batas ketika dihadapkan pada pertentangan hierarki bukti? Manakah yang harus diprioritaskan: legalitas formal Surat Ukur warisan (data "Before") yang menjadi alas hak, atau akurasi teknis Peta Pendaftaran digital mutakhir (data "After") yang didalilkan oleh administrasi sendiri sebagai kebenaran geospasial?

Dilema ini tidak dapat diurai dengan menggunakan kacamata hukum pertanahan konvensional yang berorientasi pada teks (Surat Ukur). Untuk menavigasi antinomi ini, hakim harus menginternalisasi tiga pergeseran paradigma fundamental dalam pembuktian geospasial, yang secara radikal mengubah standar pembuktian di ruang sidang.

Secara historis, kekuatan peta terletak pada pengesahannya (stempel dan tanda tangan), sebuah standar kualitatif. Era pemetaan modern, khususnya melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Terintegrasi, meruntuhkan paradigma ini. Kekuatan bukti Peta Dasar Pertanahan (PDP) yang baru, dihasilkan dari metode fotogrametri presisi tinggi, tidak lagi terletak pada stempel, melainkan pada metadata teknis yang menyertainya.

Standar pembuktian kini bersifat kuantitatif dan preskriptif. Akurasi data diukur secara objektif melalui nilai Ketelitian Horizontal (Circular Error 90% atau CE90) dan Ketelitian Vertikal (Linear Error 90% atau LE90). Sebagai contoh, Peta Foto untuk PTSL 2024 disyaratkan memiliki Ketelitian Horisontal (CE90) ≤ 0,40 meter.   

Implikasi yudisialnya sangat besar. Hakim kini memiliki instrumen untuk menilai bobot bukti secara objektif. Hakim dapat menyatakan bahwa Peta A (dengan CE90=0.4m) secara faktual lebih unggul dan memiliki evidentiary weight lebih tinggi daripada Peta B (misalnya, peta lama dengan standar 1:50.000 yang memiliki CE90=15m), terlepas dari status legalitas formal kedua peta tersebut. Argumen beralih dari "siapa yang mengesahkan peta" menjadi "seberapa akurat peta tersebut secara terukur".

Regulasi baru melalui Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 telah secara resmi mengintroduksi pendaftaran Ruang Atas Tanah (RAT) dan Ruang Bawah Tanah (RBT) sebagai objek hak yang terpisah. Sengketa pertanahan tidak lagi terbatas pada luas (area) di permukaan, tetapi telah berekspansi secara vertikal ke ranah volume.

Objek-objek hukum baru seperti unit apartemen (Satuan Rumah Susun), jembatan layang, infrastruktur bawah tanah (MRT), dan jaringan utilitas kini memiliki status kadastral independen. Alat bukti untuk sengketa ini bukan lagi peta 2D, melainkan Model 3D dengan standar Level of Detail (LoD) yang spesifik.   

Ini menciptakan causa litigasi yang sepenuhnya baru. Hakim harus siap mengadili sengketa pelanggaran batas vertikal (vertical trespass), sebuah konsep yang sebelumnya asing dalam yurisprudensi pertanahan nasional. Misalnya, sengketa antara pemilik RBT (terowongan MRT) dengan pemilik bidang tanah di permukaan yang aktivitas pondasi bangunannya secara tidak sengaja menembus "ruang hukum" RBT di bawahnya.   

Keterbatasan jumlah Surveyor ASN (hanya 2.123 per 2023) telah memaksa negara mendelegasikan fungsi vital pengukuran kadastral kepada entitas swasta, yakni Surveyor Berlisensi (SK/ASK) yang bernaung dalam Kantor Jasa Surveyor Berlisensi (KJSB).   

Implikasi hukum dari delegasi wewenang ini sangat signifikan. Ditegaskan bahwa KJSB "bertanggung jawab mutlak di hadapan hukum atas data survei dan pemetaan yang dihasilkannya". Pertanggungjawaban ini mencakup ranah "administrasi, teknis, etika dan hukum".

Bagi hakim, ini membuka pintu yurisdiksi baru. Sengketa batas tidak lagi murni sengketa privat antara dua pemegang hak. Pihak yang dirugikan oleh peta yang cacat kini dapat memperluas gugatannya. Gugatan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW) berbasis kelalaian profesional (professional negligence) kini dapat secara langsung ditujukan kepada KJSB yang memproduksi data yang merugikan tersebut, menuntut ganti rugi atas data yang tidak akurat.

Antinomi antara legalitas historis Surat Ukur "Before" dan akurasi teknis Peta Pendaftaran "After" adalah realitas hukum yang tidak terelakkan. Ini merupakan konsekuensi dari modernisasi administrasi yang bergerak lebih cepat daripada adaptasi doktrin hukum.

Untuk mengatasi ini, hakim tidak bisa lagi hanya berperan sebagai "corong undang-undang" yang secara kaku menerapkan pembuktian formal.

Asas presumptio iustae causa (presumsi bahwa suatu tindakan pejabat adalah sah) harus tetap ditegakkan. Sertipikat, beserta Surat Ukur warisan (data "Before"), adalah alat bukti hak yang sah dan mengikat sampai terbukti sebaliknya. Namun, frasa "terbukti sebaliknya" kini telah berevolusi. Pembuktian tersebut tidak lagi cukup dengan hanya menyajikan peta tandingan. Pihak yang mendalilkan kebenaran data "After" (baik itu pemegang hak lain, atau bahkan negara/BPN sendiri) kini memikul beban pembuktian. Mereka harus membuktikan di pengadilan, bukan bahwa Surat Ukur "Before" cacat secara formal, melainkan bahwa ia inferior secara materiel.

Standar pembuktian untuk sanggahan ini kini telah tersedia, yaitu dengan menyajikan metadata akurasi kuantitatif (nilai CE90/LE90) yang mendemonstrasikan superioritas teknis dan saintifik dari data "After". Peran hakim telah bergeser dari sekadar evaluator dokumen legal menjadi arbiter kebenaran materiel geospasial. (aar/ldr)

Baca Juga: Antinomi Hukum Tujuan Pemidanaan dan Pidana Penjara Pengganti dalam KUHP Baru


Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili pendapat lembaga.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…