Di tengah
dinamika modern dan kompleksitas kehidupan pemerintahan, nilai-nilai luhur dari
budaya lokal tetap menjadi pijakan moral yang kuat. Tradisi dan kearifan lokal mengajarkan
masyarakat untuk menjunjung kejujuran, kemandirian, dan integritas, nilai-nilai
yang relevan bagi warga peradilan dalam menolak gratifikasi dan praktik-praktik
korupsi.
Warisan
budaya ini bukan sekadar cerita atau simbol, tetapi pedoman hidup yang menuntun
tindakan sehari-hari dan meneguhkan moral masyarakat serta penegak hukum.
Di
tanah Papua, jauh dari hiruk-pikuk kota besar, kehidupan masyarakatnya
membentuk sebuah budaya yang menolak praktik-praktik korupsi dan gratifikasi.
Dalam bahasa Melayu Papua, istilah yang dikenal bukan gratifikasi atau korupsi,
melainkan pencuri, dan pencuri adalah perbuatan yang tercela.
Baca Juga: Melihat Alur Mudah Pelaporan Gratifikasi
Cerita
lokal tentang pengawal anjing, yang dikenal dengan sebutan Jogo, mengajarkan
nilai ini secara simbolik. Dalam kisah itu, seorang petani yang kebunnya
terlalu luas untuk dijaga sendiri melatih anjing-anjingnya sebagai pengawas.
Dengan cara ini, ia menjaga kebun dari pencurian tanpa tergantung pada pihak
lain.
Nilai
yang tersirat jelas, manusia harus menjaga miliknya dengan kejujuran dan
kearifan, tanpa mengandalkan pemberian yang tidak semestinya, serta tidak
menyerah pada godaan gratifikasi
Di
Palembang, khususnya wilayah Musi, nilai-nilai anti gratifikasi tersurat dalam
sastra lisan dan pertunjukan rakyat yang menekankan kejujuran, keterbukaan, dan
kerja ikhlas.
Cerita
Tumamiah dan Raja Penenca menjadi salah satu contoh yang hidup dalam ingatan
masyarakat. Tumamiah, seorang pemuda sakti dan sabar, diperintahkan Raja
Penenca untuk membuat pentongan yang indah dengan janji akan dijadikan menantu
kerajaan. Namun ketika janji itu diingkari, Tumamiah menumpahkan kemarahannya,
dan bencana melanda kerajaan.
Dari
cerita ini tersirat pesan penting bagi setiap pekerja, termasuk warga
peradilan, bahwa bekerja haruslah ikhlas. Mengharapkan hadiah atau gratifikasi
ilegal hanya akan merusak profesionalisme dan menimbulkan kerugian bagi orang
lain maupun institusi.
Nilai
yang sama juga terpancar dalam pertunjukan Senjang, seni pantun rakyat Musi,
yang meski sederhana namun sarat makna. Liriknya mengajarkan agar adat dan
tradisi dijaga, dikembangkan, dan tidak dilupakan, yang secara implisit
menekankan hidup jujur tanpa tergiur hadiah atau keuntungan yang tidak
semestinya.
Di
Sulawesi Selatan, orang Bugis-Makassar menegaskan konsep siri’, yang bermakna
malu atau muruwah diri. Siri’ bukan sekadar harga diri pribadi, melainkan
tanggung jawab sosial untuk menegakkan norma dan keadilan.
Seorang
yang tidak menegakkan siri’ dipandang hanya sebagai rapang tau, manusia yang
lebih rendah dari binatang, sementara yang memiliki siri’ menjaga martabat diri
sekaligus martabat negeri. Ade’, atau adat, menjadi landasan kehidupan yang
melahirkan becci’, garis lurus yang menjadi tolok ukur kepatutan dalam
bertindak.
Dalam
sejarah Bone, Kajaol Ladidong, seorang cendekiawan sekaligus hakim abad ke-16,
menegaskan bahwa hakim yang menyeleweng dengan menerima suap atau gratifikasi
ilegal, mala pasoso dan naenreki waramparang, akan menjadi pertanda kehancuran
negeri atau cinna matena tanaé. Kejayaan suatu negeri hanya akan terwujud
apabila penegak hukum bersikap getteng, tegas, dan sesuai pawinrue’, kehendak
Sang Pencipta.
Budaya
Madura pun tak kalah kaya dalam menanamkan nilai antigratifikasi. Pepatah
berbunyi Abhântal ombâ’ asapo’ angèn, apajung iman mengajarkan bahwa meskipun
hidup penuh tempaan, manusia harus mengandalkan iman dan kerja kerasnya
sendiri. Filosofi Ta’ mènta’a jhuma’ menekankan kemandirian, menolak menerima
sesuatu yang bukan haknya, termasuk gratifikasi ilegal.
Peribahasa
seperti Ollèna pello konèng atau Apello dârâ menegaskan kebanggaan atas hasil
jerih payah sendiri. Nilai-nilai ini, meski bersifat lokal, mengandung pesan
universal bagi warga peradilan bahwa integritas dan profesionalisme harus
selalu dijaga. Penerimaan hadiah atau gratifikasi yang memiliki maksud
tersembunyi merusak kepercayaan publik dan menodai fungsi hukum.
Dalam
hukum modern, gratifikasi di Indonesia didefinisikan luas dan diatur ketat.
Gratifikasi berupa uang, barang, fasilitas perjalanan, tiket, atau pengobatan
gratis menjadi bermasalah bila berhubungan dengan jabatan penerima, berlawanan
dengan kewajiban, tidak dilaporkan, atau memengaruhi objektivitas dan
profesionalisme.
Baca Juga: Mencari Akar Gratifikasi: Dari Romawi, Sriwijaya hingga UU Tipikor
Mekanisme
pelaporan gratifikasi melalui KPK dan Unit Pengendali Gratifikasi instansi
menjadi kunci pencegahan. Pegawai negeri wajib melaporkan penerimaan dalam 30
hari kerja, kegagalan melaporkan dapat berakibat pidana penjara hingga seumur
hidup dan denda hingga satu miliar rupiah. KEPPH menekankan hakim sebagai
penjaga keadilan harus menolak gratifikasi atau suap, sejalan dengan nilai
budaya lokal yang menekankan kemandirian, kejujuran, dan martabat negeri.
Nilai-nilai antigratifikasi di Indonesia bukan sekadar aturan hukum tetapi warisan budaya yang memandu masyarakat dan warga peradilan. Dari Jogo di Papua hingga siri’ di Bugis, Senjang di Musi, dan falsafah Madura, semua mengingatkan bahwa kebaikan, kerja keras, dan kejujuran dijunjung sehingga penghargaan, jabatan, dan kekuasaan dijalankan dengan cara mulia dan benar. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI