Sistem hukum pembuktian di Indonesia baik dalam hukum acara perdata maupun hukum acara pidana berakar pada tradisi Eropa Kontinental (Civil Law) yang secara historis diatur dalam kerangka kodifikasi yang rigid dan terperinci.
Dalam konteks hukum acara perdata, landasan hukumnya tertuang dalam HIR dan RBg junctis KUHPerdata yang dalam Pasal 164 HIR dan Pasal 283 RBg junctis Pasal 1866 KUHPerdata secara limitatif mengatur alat bukti yang terdiri dari: bukti surat/bukti tertulis, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
Dalam konteks hukum acara pidana, landasan hukumnya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang dalam Pasal 184 KUHAP secara limitatif mengatur alat bukti yang terdiri dari: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Baca Juga: Urgensi Prinsip Solvabilitas Bagi Hakim di Kasus Kepailitan
Namun, dalam praktik peradilan modern, sering kali muncul dokumen-dokumen yang tidak secara langsung terklasifikasi sebagai alat bukti, salah satunya adalah affidavit. Affidavit merupakan instrumen hukum yang berasal dari sistem hukum Anglo-Saxon (Common Law) yang dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai: “A voluntary declaration of facts written down and sworn to by the declarant before an officer authorized to administer oaths”.
Secara singkat, affidavit adalah surat pernyataan atau keterangan tertulis yang dibuat secara sukarela di bawah sumpah serta di hadapan pejabat yang berwenang atau pejabat umum.
Pertanyaan yang menarik untuk dianalisis adalah, bagaimana kedudukan hukum affidavit dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia?
Meskipun tidak terdapat peraturan atau ketentuan yang mengatur secara eksplisit dan jelas mengenai affidavit dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia, namun kedudukan hukum affidavit dalam sistem hukum pembuktian perdata di Indonesia dapat diteliti dengan menganalisis terlebih dahulu tentang alat bukti yang diatur dalam HIR dan RBG junctis KUHPerdata yang memiliki relevansi dengan makna dari affidavit.
Berdasarkan analisis Penulis, meskipun affidavit dibuat di bawah sumpah serta di hadapan pejabat umum (misal: Notaris), namun ia tidak memenuhi syarat formal sebagai akta otentik sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata.
Akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum dan mencatat peristiwa yang disaksikan langsung oleh pejabat tersebut (misal: perjanjian jual beli yang dilakukan di hadapan Notaris), sedangkan affidavit merupakan pernyataan sepihak mengenai fakta yang diyakini kebenarannya oleh pembuatnya, bukan perjanjian atau perbuatan hukum yang disaksikan oleh pejabat umum.
Affidavit juga tidak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai akta di bawah tangan, karena meskipun affidavit bisa dianggap sebagai pernyataan sepihak yang mirip dengan surat pernyataan (yang termasuk akta di bawah tangan), akan tetapi proses pembuatannya melibatkan sumpah dan perantaraan pejabat umum, yang mana hal tersebut tidak diperlukan dalam pembuatan suatu akta di bawah tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1874 KUHPerdata.
Selain itu, kedudukan hukum affidavit dalam sistem hukum pembuktian perdata di Indonesia dapat diketahui dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 38 K/Sip/1954 yang pada pokoknya menyatakan bahwa suatu affidavit atau keterangan tertulis di bawah sumpah dari seseorang, tidak dapat disejajarkan dengan akta sebagai alat bukti tulisan serta tidak layak dianggap berkualitas atau bernilai seperti keterangan saksi yang diberikan dalam persidangan.
Senada dengan hal tersebut, Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 3901 K/Pdt/1985 memberikan kaidah hukum yang pada pokoknya menyatakan bahwa surat pernyataan yang merupakan pernyataan belaka dari orang-orang yang memberi pernyataan tanpa diperiksa di persidangan, tidak mempunyai kekuatan pembuktian apa-apa (tidak dapat disamakan dengan kesaksian).
Hal demikian dikuatkan pula dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 3428 K/Pdt/1985 yang memberikan kaidah hukum bahwa surat bukti yang hanya merupakan suatu “pernyataan” tidaklah mengikat dan tidak dapat disamakan dengan kesaksian yang seharusnya diberikan di bawah sumpah di muka pengadilan.
Berdasarkan hasil analisis dan kaidah-kaidah hukum tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam hukum perdata, affidavit pada dasarnya tidaklah memiliki nilai kekuatan pembuktian (heeft geen bewijskracht).
Selain dalam konteks hukum perdata sebagaimana telah diuraikan di atas, kedudukan hukum affidavit dalam sistem hukum pembuktian pidana di Indonesia dapat diteliti dengan menganalisis terlebih dahulu tentang alat bukti yang diatur dalam KUHAP yang memiliki relevansi dengan makna dari affidavit.
Berdasarkan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, dinyatakan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Affidavit sebagai suatu pernyataan atau keterangan tertulis tidaklah termasuk dalam keterangan saksi yang demikian karena terhadap pernyataan atau keterangannya tersebut tidak dapat dilakukan pemeriksaan silang (cross examination) di persidangan sebagaimana keterangan saksi yang dinyatakan di persidangan, yang mana ketentuan pemeriksaan silang tersebut memiliki tujuan untuk memperjelas, memverifikasi, serta menguji kebenaran keterangan saksi sebagaimana ketentuan Pasal 165 KUHAP.
Di sisi lain, berdasarkan ketentuan Pasal 187 KUHAP, dinyatakan bahwa alat bukti surat dalam hukum acara pidana dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah dengan menyebutkan beberapa jenis surat, termasuk “surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain” sebagaimana huruf d Pasal a quo.
Menurut analisis Penulis, affidavit dapat dianggap sebagai “surat lain” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 187 huruf d KUHAP, akan tetapi kedudukan hukum dan kekuatan pembuktiannya sangat terbatas yaitu sepanjang memiliki persesuaian atau relevansi dengan alat bukti yang lain.
Selain itu, affidavit dapat pula dipandang sebagai informasi/petunjuk awal, dokumen pendukung, atau keterangan tambahan yang dapat mengarah pada penemuan alat bukti lainnya yang sah maupun dianggap sebagai keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum affidavit dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia sangat lemah karena tidak diakui secara eksplisit sebagai alat bukti primer, baik dalam hukum acara perdata maupun hukum acara pidana. (asn/ldr)
Baca Juga: Analogi Dalam Putusan Pidana, Apakah Terobosan Atau Kemunduran Hukum ?
Referensi
Garner, Bryan A. Black's Law Dictionary: Ninth Edition. St. Paul: Thomson Reuters, 2009.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI