Cari Berita

Kelelahan sebagai Privilese: Perenungan tentang Privilese yang Terlupakan dalam Profesi Hakim

Muamar Azmar Mahmud Farig (Hakim PN Poso) - Dandapala Contributor 2025-11-26 07:10:22
Dok. Penulis.

Dalam tradisi yudisial, proses mengadili sejak lama dipahami sebagai kerja akal budi yang menuntut ketelitian, kejernihan berpikir, dan tanggung jawab moral. Seorang hakim bekerja dengan mengurai fakta, memahami motif manusia, memeriksa bias, serta menimbang proporsionalitas sebagai jembatan antara norma hukum dan keadilan substantif.

Dari seluruh proses itu lahirlah suatu jenis kelelahan yang tidak ditemukan dalam pekerjaan administratif biasa. Kelelahan ini bukan tanda kelemahan, tetapi bukti bahwa proses peradilan dijalankan melalui kesungguhan intelektual dan kejujuran moral.

Namun dalam realitas profesi, pemaknaan terhadap Privilese hakim sering bergeser. Tidak sedikit yang menganggap Privilese itu terletak pada kekuasaan memutus nasib orang, pada penghormatan sosial yang sering kali semu, atau pada kenyamanan ekonomi yang melekat dalam jabatan.

Baca Juga: Akuntansi Forensik, Jurus Baru Pemberantasan Korupsi

Pemahaman seperti ini menutup mata terhadap inti moral profesi peradilan, kehormatan untuk lelah secara benar, lelah karena menjaga substansi, bukan karena mengejar simbol. Tulisan ini mengajak pembaca mengingat kembali Privilese yang paling sunyi namun paling penting itu melalui dua dimensi utama.

Kelelahan sebagai Privilese Akal Budi

Proses yudisial menempatkan hakim pada titik di mana hukum tidak hanya bekerja melalui teks, tetapi melalui penalaran yang hidup. Benjamin Cardozo menggambarkan tugas hakim sebagai pergulatan “di persimpangan antara logika dan kehidupan”, sebuah ruang di mana norma bertemu manusia dengan segala kompleksitasnya. (Benjamin N. Cardozo, 1921) Dalam ruang inilah muncul kelelahan yang bersifat istimewa, kelelahan yang menandai bahwa pikiran bekerja sampai batas paling jujur.

Kelelahan ini menjadi Privilese karena mencegah hakim jatuh pada penyelesaian yang dangkal. Ketika bukti diuji berulang kali, narasi para pihak diperiksa dengan kesetaraan, dan hipotesis alternatif ditimbang, kelelahan tersebut menjadi penanda bahwa putusan tidak dilahirkan secara terburu-buru atau mekanis. Namun sebagai bentuk perlawanan terhadap kecenderungan munculnya kepalsuan dalam rutinitas persidangan.

Lebih jauh lagi, kelelahan intelektual menjaga hakim dari ilusi kekuasaan. Kekuasaan memutus memang besar, tetapi tanpa kesadaran batas, kekuasaan mudah berubah menjadi dominasi. Dalam kerangka moral responsiveness Philip Selznick, (Philip Selznick, 1992) kelelahan justru membawa hakim kembali pada kesadaran bahwa putusan berada dalam ruang pertanggungjawaban moral, bukan sekadar kewenangan formal. Melalui kelelahan yang benar, hakim menegaskan bahwa kekuasaan tidak sedang digunakan untuk menaklukkan, tetapi untuk menjaga kehidupan hukum yang lebih adil.

Kelelahan sebagai Privilese Moral

Kelelahan dalam profesi hakim juga merupakan Privilese moral karena menjadi arena tempat integritas diuji. Tidak ada hakim yang sepenuhnya bebas dari bias, bias adalah bagian dari kemanusiaan. Tetapi bias yang disadari dapat difilter melalui disiplin berpikir, keberanian menantang asumsi pribadi, dan kesediaan membuka alasan untuk diuji.

Lon Fuller menyebut hal ini sebagai integrity of process bahwa legitimasi putusan lahir bukan hanya dari hasilnya, tetapi dari proses nalar yang jujur ( Lon L. Fuller, 1964). Kelelahan yang muncul dari proses ini adalah bukti bahwa penyaringan moral berjalan sebagaimana mestinya.

Selain itu, kelelahan adalah Privilese karena berkaitan dengan pencarian proporsionalitas. Proporsionalitas bukan sekadar ukuran hukuman, tapi juga upaya menyeimbangkan bobot kesalahan, motif, martabat manusia, dan dampak sosial secara adil. Aristoteles menyebut kerja seperti ini sebagai phronesis, akal budi praktis yang menilai kebaikan dalam konteks nyata. Ketika hakim bekerja untuk menemukan titik proporsionalitas itu, kelelahan menjadi penanda bahwa putusan lahir dari akal budi, bukan dari “selera atau tekanan”.

Kelelahan seperti ini menciptakan kedewasaan moral, kesadaran bahwa keadilan tidak pernah berada dalam ruang absolut, melainkan diusahakan melalui kepekaan yang terus diasah. Dalam kelelahan yang jernih, hakim menerima keterbatasannya, tetapi tetap berupaya memutus secara jujur dalam ketidaksempurnaan. Di titik inilah kelelahan menjadi Privilese, kesempatan untuk menjaga kualitas moral masyarakat melalui putusan yang lahir dari integritas batin.

Penutup: Privilese yang Perlu Diingat Kembali

Privilese terbesar dalam profesi hakim bukan terletak pada kekuasaan memutus, bukan pada penghormatan sosial yang mudah berubah, dan bukan pula pada kenyamanan ekonomi yang menyertai jabatan. Semua itu bersifat rapuh dan tidak berkelanjutan. Yang paling penting justru Privilese untuk lelah secara benar, kelelahan yang lahir dari proses yang jujur, penalaran yang matang, dan kesetiaan pada nilai universal yang menopang kehidupan hukum.

Kelelahan seperti ini memiliki bentuk yang sangat khas. Hadir bukan sebagai ketegangan batin ataupun kegelisahan moral, tetapi sebagai keheningan yang stabil setelah sebuah perkara diputuskan secara jernih. Tidak ada penyesalan yang tersisa, tidak ada bayangan bahwa satu langkah penting terlewat, dan tidak ada rasa bahwa putusan berdiri di atas fondasi yang rapuh. Yang tertinggal justru rasa tenang bahwa seluruh proses telah dijalankan dengan integritas, bukti ditimbang seimbang, alasan dibangun dengan kejujuran, dan keputusan lahir dari akal budi yang bekerja tanpa tergesa. Itulah bentuk kelelahan yang menjadi Privilese sejati dalam profesi hakim, kelelahan yang menandai bahwa seorang hakim telah menjaga martabat hukum dan masyarakat sejauh yang dapat dilakukan manusia.

Di tengah ritme kerja yang padat dan tuntutan administratif yang tidak pernah surut, mengingat Privilese ini adalah cara untuk mengembalikan profesi hakim pada kedudukannya yang paling esensial, penjaga kewarasan moral masyarakat. Dalam kelelahan yang jernih dan tanpa penyesalan itulah, kualitas peradilan menemukan bentuk terbaiknya. (ldr)

 

Baca Juga: Pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat: Ancaman atau Perlindungan terhadap Profesi Advokat?

Catatan Kaki

  1. Benjamin N. Cardozo, The Nature of the Judicial Process (Yale University Press, 1921).
  2. Philip Selznick, The Moral Commonwealth (University of California Press, 1994).
  3. Lon L. Fuller, The Morality of Law (Yale University Press, 1964).
  4. Aristoteles, Nicomachean Ethics, Buku VI.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…