Dalam tradisi yudisial, proses mengadili sejak lama dipahami sebagai kerja akal budi yang menuntut ketelitian, kejernihan berpikir, dan tanggung jawab moral. Seorang hakim bekerja dengan mengurai fakta, memahami motif manusia, memeriksa bias, serta menimbang proporsionalitas sebagai jembatan antara norma hukum dan keadilan substantif.
Dari seluruh proses itu lahirlah suatu jenis kelelahan
yang tidak ditemukan dalam pekerjaan administratif biasa. Kelelahan ini bukan
tanda kelemahan, tetapi bukti bahwa proses peradilan dijalankan melalui
kesungguhan intelektual dan kejujuran moral.
Namun dalam realitas profesi, pemaknaan terhadap Privilese hakim sering bergeser. Tidak sedikit yang menganggap Privilese itu terletak pada kekuasaan memutus nasib orang, pada penghormatan sosial yang sering kali semu, atau pada kenyamanan ekonomi yang melekat dalam jabatan.
Baca Juga: Akuntansi Forensik, Jurus Baru Pemberantasan Korupsi
Pemahaman seperti ini menutup
mata terhadap inti moral profesi peradilan, kehormatan untuk lelah secara benar,
lelah karena menjaga substansi, bukan karena mengejar simbol. Tulisan ini
mengajak pembaca mengingat kembali Privilese yang paling sunyi namun paling
penting itu melalui dua dimensi utama.
Kelelahan
sebagai Privilese Akal Budi
Proses
yudisial menempatkan hakim pada titik di mana hukum tidak hanya bekerja melalui
teks, tetapi melalui penalaran yang hidup. Benjamin Cardozo menggambarkan tugas
hakim sebagai pergulatan “di persimpangan antara logika dan kehidupan”, sebuah
ruang di mana norma bertemu manusia dengan segala kompleksitasnya. (Benjamin N.
Cardozo, 1921) Dalam ruang inilah muncul kelelahan yang bersifat istimewa,
kelelahan yang menandai bahwa pikiran bekerja sampai batas paling jujur.
Kelelahan
ini menjadi Privilese karena mencegah hakim jatuh pada penyelesaian yang
dangkal. Ketika bukti diuji berulang kali, narasi para pihak diperiksa dengan
kesetaraan, dan hipotesis alternatif ditimbang, kelelahan tersebut menjadi
penanda bahwa putusan tidak dilahirkan secara terburu-buru atau mekanis. Namun
sebagai bentuk perlawanan terhadap kecenderungan munculnya kepalsuan dalam
rutinitas persidangan.
Lebih
jauh lagi, kelelahan intelektual menjaga hakim dari ilusi kekuasaan. Kekuasaan
memutus memang besar, tetapi tanpa kesadaran batas, kekuasaan mudah berubah
menjadi dominasi. Dalam kerangka moral responsiveness Philip Selznick, (Philip
Selznick, 1992) kelelahan justru membawa hakim kembali pada kesadaran bahwa
putusan berada dalam ruang pertanggungjawaban moral, bukan sekadar kewenangan
formal. Melalui kelelahan yang benar, hakim menegaskan bahwa kekuasaan tidak
sedang digunakan untuk menaklukkan, tetapi untuk menjaga kehidupan hukum yang
lebih adil.
Kelelahan
sebagai Privilese Moral
Kelelahan
dalam profesi hakim juga merupakan Privilese moral karena menjadi arena tempat
integritas diuji. Tidak ada hakim yang sepenuhnya bebas dari bias, bias adalah
bagian dari kemanusiaan. Tetapi bias yang disadari dapat difilter melalui
disiplin berpikir, keberanian menantang asumsi pribadi, dan kesediaan membuka
alasan untuk diuji.
Lon
Fuller menyebut hal ini sebagai integrity of process bahwa legitimasi
putusan lahir bukan hanya dari hasilnya, tetapi dari proses nalar yang jujur ( Lon
L. Fuller, 1964). Kelelahan yang muncul dari proses ini adalah bukti bahwa
penyaringan moral berjalan sebagaimana mestinya.
Selain
itu, kelelahan adalah Privilese karena berkaitan dengan pencarian
proporsionalitas. Proporsionalitas bukan sekadar ukuran hukuman, tapi juga
upaya menyeimbangkan bobot kesalahan, motif, martabat manusia, dan dampak
sosial secara adil. Aristoteles menyebut kerja seperti ini sebagai phronesis,
akal budi praktis yang menilai kebaikan dalam konteks nyata. Ketika hakim
bekerja untuk menemukan titik proporsionalitas itu, kelelahan menjadi penanda
bahwa putusan lahir dari akal budi, bukan dari “selera atau tekanan”.
Kelelahan
seperti ini menciptakan kedewasaan moral, kesadaran bahwa keadilan tidak pernah
berada dalam ruang absolut, melainkan diusahakan melalui kepekaan yang terus
diasah. Dalam kelelahan yang jernih, hakim menerima keterbatasannya, tetapi
tetap berupaya memutus secara jujur dalam ketidaksempurnaan. Di titik inilah
kelelahan menjadi Privilese, kesempatan untuk menjaga kualitas moral masyarakat
melalui putusan yang lahir dari integritas batin.
Penutup: Privilese
yang Perlu Diingat Kembali
Privilese
terbesar dalam profesi hakim bukan terletak pada kekuasaan memutus, bukan pada
penghormatan sosial yang mudah berubah, dan bukan pula pada kenyamanan ekonomi
yang menyertai jabatan. Semua itu bersifat rapuh dan tidak berkelanjutan. Yang
paling penting justru Privilese untuk lelah secara benar, kelelahan yang lahir
dari proses yang jujur, penalaran yang matang, dan kesetiaan pada nilai
universal yang menopang kehidupan hukum.
Kelelahan
seperti ini memiliki bentuk yang sangat khas. Hadir bukan sebagai ketegangan
batin ataupun kegelisahan moral, tetapi sebagai keheningan yang stabil setelah
sebuah perkara diputuskan secara jernih. Tidak ada penyesalan yang tersisa,
tidak ada bayangan bahwa satu langkah penting terlewat, dan tidak ada rasa
bahwa putusan berdiri di atas fondasi yang rapuh. Yang tertinggal justru rasa
tenang bahwa seluruh proses telah dijalankan dengan integritas, bukti ditimbang
seimbang, alasan dibangun dengan kejujuran, dan keputusan lahir dari akal budi
yang bekerja tanpa tergesa. Itulah bentuk kelelahan yang menjadi Privilese
sejati dalam profesi hakim, kelelahan yang menandai bahwa seorang hakim telah
menjaga martabat hukum dan masyarakat sejauh yang dapat dilakukan manusia.
Di
tengah ritme kerja yang padat dan tuntutan administratif yang tidak pernah
surut, mengingat Privilese ini adalah cara untuk mengembalikan profesi hakim
pada kedudukannya yang paling esensial, penjaga kewarasan moral masyarakat.
Dalam kelelahan yang jernih dan tanpa penyesalan itulah, kualitas peradilan
menemukan bentuk terbaiknya. (ldr)
Baca Juga: Pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat: Ancaman atau Perlindungan terhadap Profesi Advokat?
Catatan Kaki
- Benjamin N. Cardozo, The Nature of the
Judicial Process (Yale University Press, 1921).
- Philip Selznick, The Moral Commonwealth
(University of California Press, 1994).
- Lon L. Fuller, The Morality of Law
(Yale University Press, 1964).
- Aristoteles, Nicomachean Ethics, Buku
VI.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI