Peradilan di Indonesia berdiri di atas empat pilar utama, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer yang berada di bawah Mahkamah Agung, masing-masing memegang fungsi penting dalam menjaga tegaknya hukum dan keadilan.
Dalam struktur di bawah Mahkamah Agung, peradilan semakin berkembang dengan hadirnya berbagai peradilan khusus, seperti Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Pengadilan Niaga, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Kehadiran peradilan khusus ini pada dasarnya menjawab kebutuhan masyarakat atas penyelesaian perkara yang membutuhkan keahlian, kecepatan, dan ketepatan hukum yang kini tidak dapat diberikan melalui mekanisme peradilan umum.
Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung
Untuk memastikan kualitas putusan, seorang hakim baru dapat bersidang di peradilan khusus setelah mengikuti dan lulus sertifikasi, yang menjadi bukti bahwa hakim tersebut telah memenuhi standar kompetensi tertentu.
Namun dalam praktiknya, meskipun telah bersertifikasi dan bertugas di peradilan khusus, para hakim tetap harus menangani perkara-perkara umum di pengadilan negeri, seperti tindak pidana pencurian, penggelapan, atau perkara perdata gugatan sederhana, wanprestasi, perbuatan melawan hukum, dan permohonan-permohonan lainnya.
Beban ganda antara perkara khusus dan perkara umum ini menimbulkan konsekuensi nyata: hakim kerap harus pulang larut malam, menghadapi tekanan kerja berlebih, dan beberapa merasa enggan mengikuti sertifikasi tambahan seperti hakim Tipikor karena khawatir beban akan semakin menumpuk, sementara hakim yang telah tersertifikasi pun merasa enggan ketika bertugas di Pengadilan Negeri Kelas IA yang memiliki pengadilan Tipikor dengan volume perkara yang sangat tinggi.
Situasi tersebut memantik pertanyaan penting: bagaimana strategi memastikan hakim bersertifikasi khusus seperti Tipikor dapat mempertahankan integritas dan profesionalitasnya di tengah beban kerja yang semakin kompleks?
Permasalahan beban kerja hakim bukanlah isu baru dalam peta peradilan Indonesia. Namun, kompleksitasnya semakin meningkat seiring berkembangnya jenis-jenis perkara dan ekspektasi masyarakat terhadap kecepatan sekaligus kualitas putusan.
Di sinilah pentingnya melihat secara objektif langkah-langkah yang telah disiapkan Mahkamah Agung melalui Badan Peradilan Umum (Badilum), serta merumuskan strategi penyempurnaan agar peradilan dapat benar-benar berjalan efektif, efisien, dan profesional.
1. Smart Majelis sebagai Mekanisme Pemerataan Beban Kerja
Badilum kini tengah mengembangkan program Smart Majelis, yang akan diberlakukan di seluruh Pengadilan Negeri se-Indonesia. Program ini dirancang untuk membantu penyusunan majelis hakim yang lebih proporsional dan berkeadilan.
Pada prinsipnya, Smart Majelis memberikan gambaran objektif mengenai distribusi perkara dan tingkat kerumitan masing-masing perkara sehingga memungkinkan penempatan hakim secara lebih merata, tidak ada lagi hakim yang terlalu banyak atau terlalu sedikit menerima perkara, dan variasi jenis perkara pun disalurkan secara seimbang.
Namun, untuk menjawab persoalan terkait hakim bersertifikasi khusus, program ini masih dapat disempurnakan. Penulis mengusulkan agar pengadilan, khususnya Pengadilan Negeri Kelas IA dan IA Khusus memiliki komposisi hakim yang lebih terstruktur berdasarkan profil dan kualifikasi.
Hakim-hakim muda yang telah dinilai memiliki kapasitas, kapabilitas, dan rekam jejak baik berdasarkan profiling Badan Pengawasan, dapat ditempatkan untuk menangani perkara-perkara umum.
Sementara itu, hakim senior yang memiliki pengalaman mendalam serta telah mengantongi sertifikasi khusus dapat difokuskan sepenuhnya pada perkara-perkara sesuai spesialisasinya.
Analogi terbaik untuk menggambarkan hal ini adalah profesi kedokteran. Seorang dokter spesialis tidak seharusnya dibebani menangani pasien dengan keluhan umum secara rutin, karena hal tersebut dapat mengurangi fokus dan kualitas layanan spesialisasinya. Hakim bersertifikasi Tipikor pun demikian: kompetensinya adalah hasil pendidikan khusus, seleksi ketat, serta pengalaman panjang yang seharusnya diarahkan semaksimal mungkin untuk perkara korupsi yang memang membutuhkan keahlian khusus. Jika spesialis ditempatkan pada area spesialisasinya, maka profesionalitas akan terjaga.
2. Smart TPM dan Peluang Insentif bagi Hakim Berkinerja Tinggi
Selain Smart Majelis, Mahkamah Agung saat ini telah menjalankan mekanisme Smart TPM (promosi dan mutasi berbasis rekam jejak). Sistem ini membuat setiap hakim Indonesia memiliki rapor digital yang memuat performa, integritas, dan rekam penanganan perkara selama bertugas. Smart TPM merupakan kemajuan besar dalam manajemen karier hakim, karena meminimalisasi subjektivitas dan memperkuat asas meritokrasi.
Namun, sebagai bagian dari penyempurnaan, penulis mengusulkan agar penilaian terhadap hakim yang bertugas di satuan kerja tertentu, khususnya PN Kelas IA Khusus seperti di Jakarta diberi bobot penilaian yang lebih besar.
Volume perkara yang tinggi, kompleksitas kasus, dan tekanan publik yang besar membuat komposisi kerja di pengadilan-pengadilan ini jauh lebih berat dari pengadilan secara reguler. Jika seorang hakim dapat bertahan dan menunjukkan kinerja sangat baik di lokasi tersebut, maka pencapaiannya sudah sepantasnya diberikan apresiasi khusus, demikian pula sebaliknya secara a contrario.
Bentuk reward yang dapat dipertimbangkan antara lain:
· penempatan sesuai peminatan dalam promosi atau mutasi berikutnya,
· kenaikan pangkat khusus (peluang hakim tinggi),
· dan ke depan perlu diperjuangkan tunjangan sertifikasi, yang bukan hanya penghargaan bagi hakim secara pribadi, tetapi juga penghargaan terhadap ilmu, kompetensi, dan profesionalitas itu sendiri.
Insentif yang jelas dan terukur akan menjadi motivasi kuat agar hakim tetap berminat mengikuti sertifikasi serta mendorong kompetisi sehat dalam peningkatan kapasitas.
Peradilan khusus hadir sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat akan penyelesaian perkara yang memerlukan kompetensi khusus. Namun, beban ganda antara perkara umum dan perkara khusus telah menimbulkan tantangan serius bagi hakim bersertifikasi, terutama dalam menjaga profesionalitas dan integritas.
Melalui implementasi Smart Majelis dan Smart TPM, Mahkamah Agung telah menapaki langkah besar menuju peradilan modern yang berbasis data dan meritokrasi. Meski demikian, masih ada ruang penyempurnaan agar hakim bersertifikasi khusus dapat bekerja optimal sesuai spesialisasinya.
Baca Juga: Akuntansi Forensik, Jurus Baru Pemberantasan Korupsi
Penulis menyimpulkan bahwa profesionalitas dapat dijaga jika:
- Penataan majelis dilakukan secara objektif dengan menempatkan hakim spesialis pada perkara spesialisasi dan memperkuat peran hakim muda untuk perkara umum.
- Rekam jejak hakim di satuan kerja berat seperti PN Kelas IA Khusus diberi bobot lebih dalam Smart TPM.
- Diberikan insentif yang proporsional seperti reward penempatan, kenaikan pangkat (peluang hakim tinggi), hingga tunjangan sertifikasi untuk menghargai kompetensi yang telah diraih hakim.
Sebagai saran, Mahkamah Agung dan seluruh unsur peradilan perlu terus memperkuat sistem manajemen hakim berbasis kinerja, meningkatkan efisiensi kerja melalui digitalisasi, dan membangun kultur penghargaan terhadap keahlian dan integritas. Dengan demikian, hakim bersertifikasi tidak hanya tetap termotivasi, tetapi juga mampu memberikan sumbangsih terbaik bagi tegaknya keadilan yang bermartabat. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI