Sleman- Di sudut tenang kawasan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), DANDAPALA berkesempatan menyambangi ruang kerja dosen Dr Antari Inaka. Selidik punya selidik, Dr Antari adalah putri dari bagawan hukum Prof Soedikno Mertokusumo.
Suasana hangat langsung terasa ketika beliau menyambut dengan senyum sederhana, layaknya potret keluarga yang ia ceritakan.
“Ayah adalah sosok penyayang yang tidak pernah marah,” ungkap Dr Antari saat berbincang dengan DANDAPALA beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Merawat Integritas Melalui Keteladanan
“Kalaupun ada yang membuatnya kecewa, beliau lebih memilih tidur daripada mengucap kata kasar,” sambungnya.
Sebuah kalimat yang mencerminkan filosofi hidup yang dijunjung sang profesor yaitu keteguhan moral dalam kesunyian dan kesabaran.
Sebagai ayah, Prof Soedikno dikenal akrab dengan anak dan cucunya. Namun, di balik kelembutan itu, tersimpan ketegasan dalam mendidik dan membentuk karakter anak-anaknya yaitu sebuah pendidikan moral yang berakhlak. Ia tidak pernah meninggikan suara, karena baginya, kata-kata kasar bisa menjadi luka yang membekas dalam hati dan memori.
Dari Hakim Jadi Dosen
Prof Soedikno lahir di Surabaya, 7 Desember 1924. Semangat belajar telah terpupuk sejak kecil. Ia mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Bumiputra atau Hollandsch Inlandsche School (HIS), lalu melanjutkan ke MULO, dan kemudian Sekolah Menengah Tinggi pada tahun 1946.
Kariernya di bidang hukum dimulai sebagai hakim di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta, hingga akhirnya menjabat sebagai Ketua PN Yogyakarta tahun 1965. Lima tahun kemudian, ia dipercaya memimpin PN Bandung.
Namun saat ditugaskan ke Pengadilan Ujung Pandang, Sulawesi Selatan (Sulsel), Prof Soedikno memilih keputusan yang tak lazim yaitu ia memutuskan mengundurkan diri sebagai hakim.
Bukan karena ketidakmampuan, tetapi karena keyakinan hati dan cinta lamanya kepada dunia pendidikan memanggil. Saat itu sebagai PNS, ia bisa berpindah antar departemen, maka ia memilih menjadi dosen tetap di FH UGM.
Kesederhanaan yang Tak Pernah Luntur
Di usia pensiunnya sebagai dosen UGM, Prof. Soedikno tak memiliki rumah pribadi. Ia tinggal di rumah dinas dosen di kawasan Sekip, Yogyakarta. Rumah itu, menurut cerita putrinya, sudah bocor di sana-sini. Namun ia tak pernah mengeluh, dan saat menjelang pensiun sebagai dosen walaupun sebenarnya masih punya hak dalam aturan bahwa sampai suami atau istri dosen tersebut meninggal dunia baru diperkenankan untuk pindah namun , beliau berkata dengan lirih dalam bahasa Jawa, “Omah iki wes udu hak e dewe” (rumah ini bukan lagi hak kita).
Dengan tabungan yang tersisa, beliau dan sang istri membangun rumah kecil di Pogung, Sleman. Rumah itu sederhana, tak megah, namun dipenuhi rasa cukup dan syukur. Ketika sang istri ditawari sebidang tanah murah oleh pihak UGM, Prof Soedikno menolak dengan tegas.
"Satu rumah saja cukup. Kita tidak perlu menumpuk kekayaan," ucap Prof Soedikno kala itu.
Menjadi mantan hakim dan guru besar tak membuatnya bergaya hidup glamor. Hingga usia senja, beliau tak memiliki sopir pribadi. Anak- anaknya yang akhirnya mencarikan sopir untuk mengantar mengajar. Namun suatu hari, ketika sang sopir terlambat datang, Prof Soedikno memilih menyetir sendiri ke kampus.
Dalam perjalanan, mereka berpapasan. Uniknya, Prof Soedikno tidak meminta sang sopir menggantikannya di kursi pengemudi. Ia justru mempersilakan sopir tersebut duduk di kursi belakang. "Tidak usah repot-repot. Kita teruskan saja," begitu kurang lebih sikapnya.
Sebagai begawan hukum, dosen senior, guru besar dan mantan hakim tak pernah menjadikannya pribadi yang ingin dilayani. Dalam dirinya, kehormatan bukan datang dari status, tapi dari kerendahan hati dan dedikasi tanpa pamrih.
Baca Juga: Perdamaian Gugatan Sederhana di PN Lamongan Hampir 50 Persen per Tahun
Bersama istrinya, Siti Soedarti yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Prof Soedikno dikaruniai empat orang anak, sebagian besar menapaki dunia pengajaran, meneruskan semangat mendidik yang telah ditanamkan sejak dini.
Kini, kisah tentang beliau bukan hanya tersimpan dalam buku-buku hukum yang ia tulis, tetapi juga dalam cerita-cerita kecil tentang sikap hidupnya. Tentang kesederhanaan, keteguhan prinsip, dan kerendahan hati yang menjadi warisan paling bernilai. (nj/asp)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI