Cari Berita

Kombinasi Insentif dan Sanksi, Jurus Jitu Peradilan yang Bersih?

Satria Perdana-Hakim PN Lasusua - Dandapala Contributor 2025-07-20 09:05:31
Dok.Penulis.

Kenaikan gaji para hakim yang telah diumumkan Presiden Prabowo Subianto, membawa angin segar bagi dunia peradilan. Mengapa demikian? dengan gaji yang minim, kerap kali hakim dihadapkan untuk mengadili perkara yang nilainya tidak kecil, jumlahnya bisa miliaran bahkan triliunan.

Presiden sadar betul akan hal ini, maka dari itu Presiden mengambil kebijakan untuk menaikkan gaji para hakim. Hal itu guna mengurangi godaan korupsi yang coba dilakukan oleh mafia peradilan. Agar niat baik ini tidak sia-sia, pemerintah juga menegaskan perlunya hukuman berat bagi mereka yang tetap nekat berbuat curang. Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan di bidang yudikatif sudah seharusnya meningkatkan sistem pengawasan dan tambahan sanksi apabila setelah kenaikan gaji ini masih terdapat hakim yang berbuat curang.

Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif

Ada dua kategori besar terkait motivasi seorang manusia melakukan korupsi. Kategori pertama manusia melakukan korupsi karena kebutuhan dan bagian kedua manusia korupsi karena keserakahan. Korupsi karena kebutuhan umumnya dilakukan karena dorongan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Misalnya, ada hakim yang menerima suap dari pihak yang berperkara karena hakim tersebut tidak memiliki uang untuk membayar biaya pengobatan anaknya. Atau dalam kasus lain, karena seorang hakim harus hidup nomaden dari satu kota ke kota lainnya. Maka ada godaan bagi hakim untuk menerima suap karena tidak memiliki ongkos pulang ke kampung halamannya. Akhirnya korupsi dengan motivasi kebutuhan tersebut terpaksa dilakukan. Dengan kenaikan gaji para hakim ini diharapakan agar korupsi karena kebutuhan tidak lagi terjadi. Namun apakah menaikkan gaji menjadi jaminan hakim tidak korup? Tentu tidak, karena banyak hakim korup karena masuk dalam kategori kedua, yakni korupsi karena keserakahan.

Korupsi yang disebabkan ketidakpuasan dan tidak memiliki rasa syukur terhadap apa yang telah didapat. Sebagai contoh, seorang hakim yang hobi mengoleksi barang mewah dan gaya hidup yang tinggi, pastilah hakim tersebut akan mencari cara-cara haram dengan menjual jabatan dan kekuasaannya. Kalau motivasinya adalah keserahakan tersebut, berapapun gaji yang diberikan oleh negara pastilah terasa sia-sia.

Penyesuaian gaji ini penting. Mengingat lebih mudah menjaga para pengadil ini untuk tetap berintegritas dan independen, ketika kompensasi kepada mereka sudah diberikan secara. Layak yang dimaksud adalah tercukupinya kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan serta keamanan. Hal itu dimakudkan agar para pengadil ini fokus dalam memberikan keputusan yang berkeadilan dan tidak mencoba mencari sampingan dengan cara-cara tercela.

Sanksi berat dapat menjadi jawaban kepada mereka yang ingin berbuat curang. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah menetapkan sanksi dari empat tahun penjara hingga hukuman seumur hidup bagi pelaku tindak pidana korupsi. Bahkan di kasus yang sangat berat bisa berujung pada hukuman mati. Namun banyak suara mengusulkan agar sanksi bagi hakim masih melakukan korupsi hukumannya ditambah sepertiga dari hukuman standar. Supaya efek jeranya lebih menggigit.

Usul ini lahir dari keyakinan bahwa sang pengadil yang seharusnya memberi teladan. Sehingga harus diikat pada standar integritas jauh lebih tinggi. Dengan pemberian hukuman lebih berat, sistem hukum bisa dengan jelas mengatakan bahwa korupsi di kalangan yudikatif tidak akan ditoleransi. Sekaligus menekankan bahwa siapa pun yang menjalani tugas memberikan keadilan wajib menaati aturan dan etika tertinggi. 

Kepercayaan Presiden Prabowo Subianto dengan menaikkan kesejahteraan Hakim harus direspon balik dengan komitmen penuh para Hakim untuk menolak segala bentuk korupsi. Terkait perbandingan sanksi korupsi, ada baiknya kita intip praktik negara lain.

Misalnya Tiongkok, terkenal dengan kebijakannya yang keras, beberapa pelaku terbukti dihukum berat, bahkan dihukum vonis pidana mati. Di negeri itu, tindak pidana korupsi dipandang sebagai kejahatan yang sangat mengganggu. Sehingga aturan pada negara tersebut, memungkinkan eksekusi mati jika kerugian yang ditimbulkan luar biasa. Pada Desember 2024, Majalah Tempo menulis artikel yang memuat daftar para koruptor yang mendapatkan hukuman eksekusi mati, yang paling menarik perhatian adalah eksekusi Sekretaris Partai Komunis Cina, Li Jianping yang dieksekusi mati lantaran terjerat kasus suap.

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Tindakan serupa juga menimpa Wakil Walikota Hangzou, Xu Maiyong yang juga dieksekusi mati, karena disebut-sebut korupsi hampir 200 juta yuan sebelum ditangkap. Sejak Presiden Xi Jinping berkuasa, kampanye bersih-bersih besar-besaran diluncurkan. Ratusan pejabat bahkan keluarganya sendiri tak luput untuk diproses secara hukum. Beberapa di antaranya sudah mendekam dalam dinginnya penjara.

Alasan Tiongkok bertindak sekeras ini adalah keyakinan mereka, bahwa korupsi dapat menggoyang stabilitas dan kemakmuran negara. Lewat hukuman mati, kepemimpinan Tiongkok ingin menegaskan kepada publik. Bahwa siapapun, walau setinggi apapun pangkatnya, tidak akan selamat bila terbukti melakukan praktik korupsi. Meskipun ada penurunan kasus, sikap ekstrem itu masih membangkitkan perdebatan


Peningkatan gaji hakim di Indonesia ini layak dipuji karena bisa mendukung integritas lembaga peradilan. Namun kebijakan tersebut harus diikuti dengan hukuman yang lebih berat bagi hakim yang terjebak korupsi. Agar upaya bersih-bersih ini tidak setengah hati. Dengan kombinasi insentif dan sanksi, Indonesia dapat menghasilkan peradilan yang bersih dan juga menciptakan peradilan yang bertanggung jawab dan transparan kepada masyarakat pencari keadilan.

Program anti korupsi ketat di Tiongkok, misalnya, merefleksikan seberapa berpengaruh hukuman berat bisa menjadi pencegah yang efektif bagi pelaku tindak pidana korupsi. Meskipun demikian, pendekatan semacam itu mesti disesuaikan dengan sistem hukum dan norma sosial di Indonesia. Sehingga setiap langkah tetap adil dan menghormati standar hak asasi manusia internasional. Pada akhirnya kita semua mendambakan yudikatif yang bersih, di mana hakim merasa aman secara finansial. Sehingga para hakim tidak tergoyahkan secara moral untuk melakukan penyimpangan, sehingga keadilan yang kita cita-citakan dapat tercipta. (zm/ldr)


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI