Cari Berita

Legalitas Alat Bukti di Era KUHAP Baru: Cara Perolehan dan Isi Sama Pentingnya

Gillang Pamungkas-Hakim PN Singkawang - Dandapala Contributor 2025-12-14 07:20:14
Dok. Ist.

Kehadiran KUHAP baru menandai pergeseran paradigma mendasar dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Melalui Pasal 2, KUHAP memperkenalkan konsep sistem peradilan pidana terpadu yang dibangun atas prinsip diferensiasi fungsional.

Prinsip ini menegaskan pembagian kewenangan secara tegas di antara aparat penegak hukum pada setiap tahapan proses peradilan. Konsekuensinya, setiap aparat dilarang melampaui atau menyalahgunakan kewenangan yang telah ditetapkan secara tertulis (lex scripta).

Jika terdapat ruang tafsir, penafsiran tersebut harus dilakukan secara ketat dan berpihak pada perlindungan hak pihak yang diperkarakan, sejalan dengan asas exceptio format regulam.

Baca Juga: Sistem Pembuktian Terbuka Dalam KUHAP Baru, Era Baru Peradilan Pidana Indonesia

Paradigma kehati-hatian ini sejalan dengan pemikiran Herbert L. Packer melalui teori due process model dalam artikelnya Two Models of the Criminal Process (1964).

Berbeda dengan orientasi lama yang cenderung mengusung crime control model yang menitikberatkan pada kecepatan dan efisiensi, due process model menempatkan perlindungan hak individu dan keadilan prosedural sebagai prioritas utama.

Proses peradilan tidak lagi dipahami sebagai jalur lurus menuju putusan, melainkan sebagai mekanisme berlapis yang dirancang untuk mencegah kesalahan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Perubahan paradigma ini juga tercermin dalam ketentuan pembuktian. KUHAP baru memperluas cakupan alat bukti, termasuk pengakuan yang lebih eksplisit terhadap bukti elektronik.

Perluasan ini selaras dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengakui informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah. Langkah ini menunjukkan bahwa hukum acara pidana berupaya mengakomodasi kompleksitas pembuktian di era digital.

Standar pembuktian yang ketat menjadi semakin dibutuhkan di tengah kompleksitas perkara pidana yang kerap berhadapan dengan bukti digital. Hal ini terlihat dari kasus yang menyita perhatian publik terkait dugaan tindak pidana perzinahan yang dikaitkan dengan publik figure Inara Rusli, di mana rekaman CCTV dijadikan dasar pelaporan dan kemudian memicu perdebatan luas.

Terlepas dari benar atau tidaknya isi rekaman tersebut, problem hukum yang sesungguhnya terletak pada pertanyaan mendasar sejauh mana pelanggaran prosedur dalam memperoleh bukti dapat menghilangkan nilai pembuktiannya di persidangan.

Dalam due process model, asas praduga tak bersalah mengharuskan hakim memastikan bahwa setiap alat bukti tidak hanya relevan secara materiil, tetapi juga diperoleh melalui cara yang legal.

Prinsip ini ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 235 ayat (5) KUHAP baru, yang memberi kewenangan kepada hakim untuk menyatakan alat bukti tidak memiliki kekuatan pembuktian apabila tidak autentik atau diperoleh secara melawan hukum. Dengan demikian, pembuktian tidak lagi hanya berfokus pada substansi bukti, tetapi juga pada proses perolehannya.

Ketentuan ini menandai penguatan prinsip exclusionary rule of evidence dalam sistem hukum Indonesia. Selama ini, prinsip tersebut hidup dalam ranah doktrin dan yurisprudensi, sementara dalam praktiknya sangat bergantung pada diskresi hakim. KUHAP baru mengubah posisi tersebut dengan memberikan dasar hukum yang jelas untuk mengesampingkan alat bukti yang diperoleh secara tidak sah demi perlindungan hak asasi manusia dalam proses peradilan.

Pertanyaan “bagaimana bukti diperoleh” sama pentingnya dengan “apa isi bukti tersebut”. Tanpa pembatasan yang tegas, penegakan hukum berisiko membuka ruang bagi praktik penyadapan tanpa izin, penggeledahan ilegal, peretasan perangkat pribadi, rekayasa alat bukti, hingga pengambilan rekaman tanpa hak. Untuk mencegah hal tersebut berkembang doktrin exclusionary rules of evidence atau yang dalam sistem hukum Amerika dengan fruit of the poisonous tree, artinya bukti turunan dari perolehan yang melawan hukum ikut tercemar dan harus dikesampingkan.

Meskipun istilah tersebut tidak dikenal secara formal dalam hukum Indonesia, esensinya telah lama hidup dalam praktik peradilan. Salah satu contohnya adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010 yang secara tegas mengkritik cara penanganan perkara yang membuka peluang rekayasa alat bukti. Mahkamah Agung menegaskan bahwa aparat penegak hukum dilarang menciptakan, merekayasa, atau menyudutkan melalui alat bukti yang diperoleh secara tidak objektif. Secara substansial, putusan ini telah menerapkan prinsip exclusionary rule of evidence jauh sebelum KUHAP baru disahkan.

Di era modern, bukti tidak lagi hanya berbentuk saksi atau dokumen kertas, melainkan juga data digital. Rekaman dapat berasal dari CCTV, perangkat rumah pintar, hingga aplikasi di telepon genggam, dan sering kali direkam tanpa sepengetahuan orang yang terekam. Karena itu, persoalan terpenting dalam hukum saat ini bukan semata apa isi bukti tersebut, tetapi bagaimana bukti itu diperoleh.

Dalam kerangka KUHAP baru, meskipun penyidik dan penuntut umum ditempatkan sebagai aparat penegak hukum yang sejajar dalam fungsi penyidikan dan penuntutan, hakim tetap menjadi otoritas terakhir yang berwenang menilai keabsahan proses perolehan alat bukti, termasuk apakah tindakan pada tahap penyidikan dan penuntutan telah sesuai dengan hukum dan prinsip perlindungan hak asasi manusia. Dengan posisi ini, hakim berperan sebagai penjaga agar proses pembuktian tidak bergeser menjadi alat kesewenangan.

Baca Juga: Eksistensi Alat Bukti Bekas Hak Milik Adat Dalam Sengketa Hak Atas Tanah

KUHAP baru menegaskan bahwa pencarian kebenaran tidak dapat ditempuh dengan menghalalkan segala cara. Era digital memang membuka peluang besar bagi pengungkapan kejahatan, tetapi sekaligus membawa risiko penyalahgunaan kewenangan. Dalam konteks inilah peran hakim menjadi penyeimbang kekuasaan aparat penegak hukum sekaligus benteng terakhir perlindungan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. (ikaw/ldr)

Referensi:

  • Herbert L. Packer, “Two Models of the Criminal Process,” University of Pennsylvania Law Review 113, no. 1 (1964): 1–68.

Hafidz Yanuar Ramadhani & Waluyo, “Implementasi Prinsip Exclusionary Rules of Evidence dalam Sistem Pembuktian Peradilan Indonesia,” Kabilah: Journal of Social Community 9, no. 2 (2024): 318–330.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…