Nias Selatan- Pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah melalui musyawarah sudah dikenal sejak zaman dahulu. Budaya bermusyawarah juga tercermin dalam Pancasila yang merupakan falsafah bangsa Indonesia, khususnya sila keempat.
Istilah musyawarah berasal dari bahasa Arab ‘syawara’ yang berarti berunding, urun rembuk, atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Musyawarah menjadi pilihan utama dalam penyelesaian masalah karena dapat menampung aspirasi dari berbagai pihak, meminimalisir resiko terjadinya perpecahan, dan mengedepankan solusi terbaik bagi semua pihak sehingga kualitas putusan yang dihasilkan bernilai tinggi.
Tidak heran jika musyawarah banyak dipergunakan dalam berbagai aspek pengambilan keputusan. Baik dalam mekanisme pengambilan keputusan oleh Majelis Hakim sampai penyelesaian konflik dalam hukum adat. Salah satunya oleh masyarakat di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara.
Baca Juga: Eksistensi Alat Bukti Bekas Hak Milik Adat Dalam Sengketa Hak Atas Tanah
Berdasarkan informasi yang dihimpun DANDAPALA, Sabtu (5/4/2025), dalam tata kehidupan bermasyarakat Nias Selatan dikenal tradisi musyawarah yang disebut Orahu. Apa itu?
Tradisi ini dilaksanakan dalam setiap kegiatan-kegiatan penting di masyarakat misalnya membicarakan masalah yang berkaitan dengan kampung dan diputuskan bagaimana cara penanganannya. Dahulu, Orahu juga digunakan sebagai persidangan dan untuk penentuan hukuman bagi para pelanggar adat-istiadat kampung.
Dalam skala besar Orahu disebut sebagai Orahua Mbanua, yang dilaksanakan di Ewali Sawolo atau Ewali Orahua yaitu halaman di depan rumah bangsawan yang paling berpengaruh atau Balö Ji’ulu. Serta diikuti oleh para Si’ulu atau bangsawan, Si’ila atau tokoh adat, dan Ono Mbanua atau seluruh masyarakat.
Orahu dimulai dengan memanggil para Si’ulu, Si’ila dan masyarakat kampung untuk berkumpul. Kemudian musyawarah dibuka Balö Ji’ila dengan membeberkan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas. Selanjutnya masing-masing orang, terutama Sorahu atau orang yang dituakan dan sudah berpengalaman mengungkapkan pendapatnya akan masalah tersebut.
Uniknya karena dalam penyampaiannya banyak menggunakan perumpamaan-perumpamaan kuno juga permainan intonasi kalimat, maka untuk berbicara dalam Orahu diperlukan kemampuan seni berpidato (oratory) yang baik.
Nah, beberapa waktu lalu, DANDAPALA berkesempatan melihat salah satu desa yang masih memiliki kelengkapan elemen-elemen desa adat khas Nias Selatan, termasuk Situs musyawarah adat (Ewali Orahua) adalah Desa Hilinawalo Fau atau Desa Hilinawalo Batusalawa di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara (Sumut).
Selain dikelola berdasarkan prinsip hukum administrasi negara yang berlaku nasional, desa ini juga diatur menurut hukum adat lokal yang telah berlaku selama ratusan tahun. Hukum adat yang menjadi salah satu keunikan desa ini, terlihat tidak hanya dalam sistem tata kelola desa, tetapi juga terwujud dalam kehidupan sehari-hari seperti upacara adat, pakaian tradisional, tari-tarian, arsitektur, lanskap desa, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Iklankan Situs Judol, Selebgram Kiki Apriyanti Dihukum 10 Bulan Penjara
Kabar baiknya, Desa Hilinawalo Batusalawa hanya berjarak sekitar 15 Km dari pusat ibu kota kabupaten dan dapat diakses dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Jadi, apakah Dandafellas tertarik untuk berkunjung ke desa ini?. (AL/asp)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum