Cari Berita

Tidak Ada yang Bisa Hidup di Atas Hukum, Sekali pun Hidupnya Tragis

article | Opini | 2025-05-20 19:15:11

PADA suatu malam yang tidak terlalu sibuk, saya menerima ajakan beberapa teman untuk nobar atau nonton bareng film Joker II: Folie a Deux. Sebelum mengiyakan ajakan nonton film di bioskop, sesuatu hal yang sudah jarang sekali saya lakukan sejak menjadi ibu balita itu, saya pun mencoba mengukur risikonya.Mengapa? Sebab, film Joker pertama banyak mengundang kritik. Film yang menceritakan tentang trauma masa kecil Arthur Fleck yang hidup bersama ibunya yang sakit itu dikritik tajam oleh publik Amerika.Kepedihan hidup Arthur, yang selalu dirundung, dikucilkan, dan didiskriminasi oleh sesama itu seolah menjadi alasan pembenar (license) untuk melakukan tindakan kriminal extra judicial killing di dalam kereta bawah tanah di kota utopia Gotham City.Film pertama yang gelap, intens, dan meneror itu dianggap menginspirasi penembakan massal di sekolahan di Amerika, beberapa saat setelah film itu tayang di Box Office seluruh dunia. Arthur adalah Joker, yang suka tertawa terbahak-bahak pada hal yang sebenarnya tidak lucu. Ia menginap gangguan mental Pseudobulbar Affect (PBA). PBA adalah kondisi di mana seseorang tertawa atau menangis secara tiba-tiba dan tidak terkendali, bahkan dalam situasi yang tidak pantas.Saya menonton film itu bersama empat kolega jurnalis. Semuanya laki-laki. Hanya saya sendiri yang perempuan. Karena yang lain tidak bisa gabung dalam agenda yang selalu dadakan itu. Saat film sudah berlangsung selama beberapa menit, saya menyeletuk kepada seorang teman: “Ini siapa sih yang milih filmnya? Sudah sehari-hari menyimak dan meliput persidangan, nonton film pun juga harus sidang,” cetus saya.Seorang teman lain pun menjawab: “Itu, yang milih Mas A. Mungkin, latihan jadi Yang Mulia, hahaha,” selorohnya.Jujur, kami agak bosan di tengah-tengah durasi film ditayangkan. Sebab, nuansa thriller psikologis dari film kedua yang dibesut oleh sutradara Todd Phillips itu sangat kental.Lady Gaga, yang berperan sebagai Lee Quinzel, di film tersebut lebih sering bersenandung sebagai terapi atau kegiatan pemberdayaan masyarakat kalau di lembaga pemasyarakatan Indonesia. Musik sebagai bahasa universal diangkat sebagai koneksi dan terapi bagi Joker dan Lee yang masing-masing memiliki isu sendiri di kesehatan mental. Mereka bertemu, merasa terhubung (feel related), dan saling memahami lewat musik. Lagu berjudul “Close to You” dari The Carpenters pun menjadi soundtrack yang pas dan on point sepanjang film tersebut.Ringkasnya, film itu menceritakan upaya pembelaan dari kuasa hukum Joker agar ia bebas dari hukuman setelah membunuh di luar hukum di dalam kereta bawah tanah. Oleh kuasa hukumnya, Joker diminta menjual kepiluan dirinya, agar mendapatkan belas kasihan dari jury dan hakim.Namun, apakah orang yang mengalami trauma masa kecil, diskriminasi, pelanggaran HAM, dan teralienase di masyarakat berhak melakukan pembunuhan di luar hukum? Di sini, ujian Gotham City sebagai negara hukum diuji.Setelah mendengarkan keterangan dari berbagai pihak di persidangan, hakim dan jury pun memutuskan Arthur tetap bersalah dan harus kembali mendekam di dinginnya penjara. Kisah cinta Arthur dan Lee pun diuji di sini.Lee ternyata tidak mencintai Arthur apa adanya. Ia mencintai Arthur karena imajinya bahwa Joker adalah juru selamat atau heroes dari kaum tertindas dan termarginalkan.Walakin, apakah heroes harus berbuat kekerasan dan memberikan contoh buruk dan destruktif bagi masyarakat? Tentunya, tidak.Heroes haruslah seperti Batman. Orang dermawan yang hidup dalam gelimang privilese (entitled). Lahir dengan sendok perak di mulutnya, tetapi mau jadi super heroes yang menyelamatkan Gotham City dari kehancuran.Sosok imaji yang jarang ditemui di kehidupan nyata. Sebab, di kehidupan nyata, fokus utama orang kaya adalah membuat dirinya makin kaya (money work for them, they’re not work for money).Bagian paling dramatis dan plot twist-nya adalah ketika mendekam di penjara, Arthur sering melontarkan jokes-jokes kepada sipir sebagai pelipur lara. Para sipir yang bosan bekerja di penjara pun juga kerap memintanya mengeluarkan guyonan sebagai hiburan murah.Lalu, babak penutup film itu, begitu tragis. Narapidana lain membuat guyonan kepada Arthur. Ia tertawa dengan candaan tersebut. Namun, kemudian, si napi itu menghunuskan belati di perut sang Joker. Adegan itu seolah ingin memvalidasi bahwa apapun yang seorang heroeslakukan selalu akan menginspirasi pengikutnya. Dan, tindakan kekerasan dalam bentuk apapun tidak boleh dicontoh dan ditiru oleh masyarakat karena akan membuat kerusakan di muka bumi.Film Joker II ini cukup baik untuk membayar dosa masa lalu di mana kisah dalam film tersebut sudah men-trigger banyak orang terutama masyarakat Amerika Serikat sendiri untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan di luar hukum.Setelah film itu berakhir, seorang teman bertanya kepada saya “Jadi, menurut kamu bagus enggak filmnya? Apakah sudah pas Joker dihukum, atau sebaiknya lepas dengan alasan pembenar gangguan mental dan trauma masa lalunya?,” tanya dia.“Menurutku sudah bener itu skenario filmnya. Joker harus dihukum. Karena orang tidak boleh hidup di atas hukum hanya karena dia mengalami trauma dan gangguan mental. Hukum harus melindungi masyarakat for the greaters good. Bener nggak? Soalnya gue kan bukan anak hukum,” jawabku.“That’s good. Itu baru namanya wartawan hukum,” timpal teman lagi.Teman yang memahami ilmu hukum karena belajar ilmu hukum tata negara saat di bangku kuliah. Sekarang, nasib baik membawa teman tersebut menjadi Yang Mulia. Sang pengadil yang akan mengetokkan palu bagi para pencari keadilan.Sebagai mantan kawan seprofesi juru ketik dan kuli tinta, aku hanya ingin berpesan semoga amanah dan istiqomah membuat putusan yang seadil-adilnya. Buat kami para jurnalis terus bangga pernah mengenal dan nonton film sidang bareng saat hidup sedang tidak baik-baik saja, wkwkwk.DEA (Jurnalis, tinggal di Jakarta)

Melihat Ewali Orahua, Situs Musyawarah Adat Masyarakat Nias Selatan

article | History Law | 2025-04-05 14:55:24

Nias Selatan- Pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah melalui musyawarah sudah dikenal sejak zaman dahulu. Budaya bermusyawarah juga tercermin dalam Pancasila yang merupakan falsafah bangsa Indonesia, khususnya sila keempat. Istilah musyawarah berasal dari bahasa Arab ‘syawara’ yang berarti berunding, urun rembuk, atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Musyawarah menjadi pilihan utama dalam penyelesaian masalah karena dapat menampung aspirasi dari berbagai pihak, meminimalisir resiko terjadinya perpecahan, dan mengedepankan solusi terbaik bagi semua pihak sehingga kualitas putusan yang dihasilkan bernilai tinggi.Tidak heran jika musyawarah banyak dipergunakan dalam berbagai aspek pengambilan keputusan. Baik dalam mekanisme pengambilan keputusan oleh Majelis Hakim sampai penyelesaian konflik dalam hukum adat. Salah satunya oleh masyarakat di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara.Berdasarkan informasi yang dihimpun DANDAPALA, Sabtu (5/4/2025), dalam tata kehidupan bermasyarakat Nias Selatan dikenal tradisi musyawarah yang disebut Orahu. Apa itu?Tradisi ini dilaksanakan dalam setiap kegiatan-kegiatan penting di masyarakat misalnya membicarakan masalah yang berkaitan dengan kampung dan diputuskan bagaimana cara penanganannya. Dahulu, Orahu juga digunakan sebagai persidangan dan untuk penentuan hukuman bagi para pelanggar adat-istiadat kampung. Dalam skala besar Orahu disebut sebagai Orahua Mbanua, yang dilaksanakan di Ewali Sawolo atau Ewali Orahua yaitu halaman di depan rumah bangsawan yang paling berpengaruh atau Balö Ji’ulu. Serta diikuti oleh para Si’ulu atau bangsawan, Si’ila atau tokoh adat, dan Ono Mbanua atau seluruh masyarakat.Orahu dimulai dengan memanggil para Si’ulu, Si’ila dan masyarakat kampung untuk berkumpul. Kemudian musyawarah dibuka Balö Ji’ila dengan membeberkan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas. Selanjutnya masing-masing orang, terutama Sorahu atau orang yang dituakan dan sudah berpengalaman mengungkapkan pendapatnya akan masalah tersebut. Uniknya karena dalam penyampaiannya banyak menggunakan perumpamaan-perumpamaan kuno juga permainan intonasi kalimat, maka untuk berbicara dalam Orahu diperlukan kemampuan seni berpidato (oratory) yang baik. Nah, beberapa waktu lalu, DANDAPALA berkesempatan melihat salah satu desa yang masih memiliki kelengkapan elemen-elemen desa adat khas Nias Selatan, termasuk Situs musyawarah adat (Ewali Orahua) adalah Desa Hilinawalo Fau atau Desa Hilinawalo Batusalawa di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara (Sumut). Selain dikelola berdasarkan prinsip hukum administrasi negara yang berlaku nasional, desa ini juga diatur menurut hukum adat lokal yang telah berlaku selama ratusan tahun. Hukum adat yang menjadi salah satu keunikan desa ini, terlihat tidak hanya dalam sistem tata kelola desa, tetapi juga terwujud dalam kehidupan sehari-hari seperti upacara adat, pakaian tradisional, tari-tarian, arsitektur, lanskap desa, dan lain sebagainya. Kabar baiknya, Desa Hilinawalo Batusalawa hanya berjarak sekitar 15 Km dari pusat ibu kota kabupaten dan dapat diakses dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Jadi, apakah Dandafellas tertarik untuk berkunjung ke desa ini?. (AL/asp)

Susanto: Ketua Pengadilan, Menteri, Pimpin Perang Gerilya Lawan Belanda (2)

article | History Law | 2025-03-28 16:05:11

Jakarta- Susanto Tirtoprodjo merupakan tokoh kemerdekaan yang berlatar belakang hakim/ketua pengadilan. Ia sempat memimpin perang gerilya melawan Belanda. Bagaimana kisahnya?Hal itu sebagaimana dikutip DANDAPALA dari buku Drs Susanto Tirtoprodjo SH: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Buku itu ditulis Masykuri yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983.Diceritakan pada 20 Desember 1948 tentara Belanda datang ke Kartusuro untuk menyerang Surakarta. Susanto Tirtoprodjo yang kala itu menjadi Menteri Kehakiman memilih perang gerilya melawan Belanda. Saat itu ia memimpin bersama dua menteri lainnya yaitu Menteri Dalam Negeri, Sukiman dan Menteri Pembangunan dan Urusan Pemuda, Supeno.“Susanto Tirtoprodjo dan kawan-kawannya telah bertekad untuk memimpin Perang Gerilya guna mempertahankan Republik Proklamasi,” demikian tulis Masykuri di halaman 35.Dari Solo, Susanto Tirtoprodjo geser ke Tawangmangu untuk melakukan perang gerilya. Tapi Belanda menyerang hingga Tawangmangu hingga kekuatan Republik dipecah dua, yaitu Menteri Susanto dan Menteri Supeno ke arah timur melewati Gunung Mongkrong. Diteruskan ke lereng Gunung Wilis.“Tujuh bulan Susanto Tirtoprodjo melaksanakan pemerintahan Gerilya sambil menghindari kejaran musuh, yaitu sampai kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta,” ucapnya.Selama perang gerilya, Susanto Tirtoprodjo banyak mengalami suka dan duka. Ia harus naik dan turun gunung, masuk dan keluar hutan. Dari satu desa ke desa lain.“Kadang-kadang sampai beberapa hari tidak mengenal nasi,” ujarnya.Selama memimpin perang gerilya, Susanto Tirtoprodjo juga terus menjalankan pemerintahan. Sejumlah menteri menemuinya untuk koordinasi pemerintahan. Susanto Tirtoprodjo juga sempat bertemu dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk koordinasi perang/pemerintahan.Pada 24 Maret 1949, tentara Belanda menangkap Menteri Supeno ditangkap saat sedang mandi. Karena tidak mau memberitahu keberadaaan Susanto Tirtoprodjo, Menteri Supeno dibunuh Belanda.“Menteri Supeno yang bersedia menanggung korban sendiri dengan tidak mau mengatakan kedudukannya sebagai menteri, telah berhasil menyelamatkan Menteri Susanto,” ujarnya.Pada 28 Januari 1949, disepakati gencatan senjata. Berangsur, tensi perang gerilya menurun. Pemerintahan mulai kembali berjalan. Setelah menjadi Menteri Kehakiman 1946-1950, Susanto Tirtoprodjo lalu dipercaya menjadi Gubernur Sunda Kecil (Bali-Nusa Tenggara). Lalu setahun setelahnya menjadi Kepala Perwakilan RI di Belanda. Pada 1955 ia dipercaya menjadi Dubes RI di Prancis hingga 1959.Setelah itu, ia kembali ke Indonesia sebagai Kepala Direktorat Hukum Departemen Luar Negeri. Setahun setelahnya, ia dipercaya memimpin Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (kini BPHN).Susanto Tirtoprodjo wafat pada 16 November 1969 tengah malam. Ia lalu dimakamkan di TMP Jurug, Surakarta pada 18 November 1969. Dalam pemakamannya, selain pihak keluarga, hadir Menteri Kehakiman Umar Senoadji mewakili Pemerintah. Sebelum dimakamkan, jenazahnya disemayamkan terlebih dahulu di Gedung Balai Kota Surakarta. Hadir memberikan penghormatan terakhir Wali Kota Surakarta, Danrem Surakarta, Ketua PN Surakarta, Kajari Surakarta, Dandim, Ketua DPRDGR Surakarta dan masih banyak lagi.

Arsip 1984: Pria Hidung Belang Dihukum Ganti Rugi Gegara Batal Nikahi Pacar

article | History Law | 2025-03-24 11:30:52

DANDAFELLAS, pernah dengar lagu Band Hello tahun 2008 dengan judul Ular Berbisa?Kira-kira penggalan liriknya seperti ini?Seperti ular, seperti ularYang sangat berbisa, yang sangat berbisaSuka memangsa, suka memangsaDiriku tergigit cintaAku tertipu, aku terjebakAku terperangkap, muslihatmuPenggaran lirik tersebut, kiranya menggambarkan suasana batin perempuan asal Praya, Lombok Tengah yang mengajukan gugatan kepada calon suaminya pada tahun 1983. Cerita di dalam gugatannya seperti ini:Waktu awal merajut cinta tahun 1981, calon suami sempat menjanjikan akan menikahinya. Guna menunjukan bukti cinta, calon suami sempat menyerahkan Asli Surat Kartu Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen), Kartu Pegawai (Karpeg), dan bahkan sepeda motor Honda yang masih baru. Diketahui harga 1 unit sepeda motor Honda baru saat itu di kisaran Rp 200 ribu sampai dengan Rp 300 ribu. Sedangkan Gaji PNS waktu itu masih di angka Rp 30 ribu sampai dengan Rp 50 ribu.Kemudian seiring berjalannya waktu, si perempuan tersebut seakan tidak percaya, setelah 1 tahun 4 merajuk kasih dengan calon Suami, calon suami tidak kunjung juga memberikan kepastian untuk menikahinya. Padahal wanita tersebut tidak lelahnya untuk membujuk calon suami untuk segera menikahinya. Karena ia dan calon suami telah tinggal bersama dengan keluarganya. Namun bak disambar petir di siang bolong, di akhir perjalanan hubungan asmara mereka justru calon suami mengatakan: “Kalau saya nikah dengan kamu, maka saya akan dibuang oleh keluarga saya!”.Setelah hubungan wanita itu dengan calon suami kandas, maka kasus itu berujung pada meja hijau. Akhirnya Pengadilan Negeri (PN) Mataram mengeluarkan Putusan Nomor 073/PN. Mtr/Pdt/1983 tanggal 1 Maret 1984.Pada pokoknya di dalam Putusan PN Mataran tersebut  menyatakan calon suami  telah ingkar janji untuk menikahi penggugat (wanita asal Praya tersebut). Di samping itu PN Mataram juga menghukum calon suami (Tergugat) untuk membayar ganti rugi kepada pihak wanita sejumlah Rp 2,5 juta serta ada juga harta yang telah diletakan sita jaminan, telah dinyatakan sah dan berharga.Dalam perjalanan kasusnya, meskipun Putusan PN Mataram tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Mataram. Namun pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) akhirnya  menghukum si lelaki hidung belang. Pada amar Putusan MA Nomor 3191 K/Pdt/1984 disebutkan Tergugat (calon suami) telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). Lalu Tergugat juga dibebankan untuk mengganti rugi sejumlah Rp 2,5 juta kepada Penggugat.Dalam pertimbangan Putusan MA disebutkan:“Bahwa dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini tersebut, tergugat asal telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat dan perbuatan tergugat asal tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum, sehingga menimbulkan kerugian bagi Penggugat Asal, maka Tergugat Asal wajib memberi ganti kerugian sebagaimana tertera dalam amar Putusan nanti” (asp) 

Terseret Kasus Korupsi, Mantan Ketua Bawaslu OKU Timur Dipenjara 2 Tahun

article | Berita | 2025-03-19 15:50:49

Palembang- Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Palembang , Sumatera Selatan (Sumsel) menjatuhkan hukuman kepada Abdul Ghufron. Mantan Ketua Bawaslu Ogan Komering Ulu (OKU) Timur itu dinyatakan terbukti korupsi dana hibah.Kasus bermula saat Bawaslu OKU Timur mengajukan penambahan anggaran dana hibah ke pemda setempat sebesar Rp 28 miliar lebih pada 2019. Tujuannya untuk pilkada serentak.Lalu yang disetujui sebesar Rp 16,6 miliar. Ternyata anggaran ini mengalami kebocoran di sana-sini. Abdul Ghufron pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut di muka hukum.Setelah melalui persidangan, majelis hakim menilai Abdul Ghufron bersalah dan harus dihukum.“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 100 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan,” demikian bunyi putusan PN Palembang yang dikutip DANDAPALA dari website Mahkamah Agung (MA), Rabu (19/3/2025).Putusan itu diketok ketua majelis hakim Kristanto Sahat Sianipat dengan anggota Ardian Angga dan Waslam Wakhsid. Di mana Waslam adalah hakim ad hoc tipikor. Putusan itu diketok pada Senin (17/3) kemarin.“Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 200 juta,” ujar majelis.Uang itu diperhitungkan dari penyitaan uang di Penuntut Umum sejumlah Rp 716.000.000 juta dari saksi Mulkan sejumlah Rp 1.035.865.000 dari Akhmad Widodo Bin Jemingun dan Rp 725.188.312 yang diserahkan dari Para Komisioner BAWASLU Kab. OKU Timur termasuk Terdakwa dengan total berjumlah Rp 2.477.053.312 diperhitungkan sebagai pengembalian kerugian keuangan negara oleh Terdakwa yang dirampas untuk negara dan disetorkan ke Kas Pemerintah Kabupaten OKU Timur.“Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,” putus majelis hakim.Sebelum memutuskan hukuman itu, majelis mempertimbangkan keadaan yang memberatkan yaitu perbuatan Terdakwa tidak mendukung program pemerintah untuk mewujudkan masyarakat yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Selain itu, Terdakwa tidak berterus terang dan tidak mengakui perbuatannya dan telah menikmati hasil tindak pidana.“Terdakwa merupakan pimpinan Bawaslu Kab OKU Timur selaku Ketua yang seharusnya memberikan contoh dan menjadi panutan bagi staf atau bawahannya,” ucap majelis hakim.

Menangkan Warga, MA Hukum Perusahaan Pencemar Lingkungan di Sukoharjo

article | Berita | 2025-01-31 15:35:47

Mahkamah Agung menyatakan Tergugat (PT Rayon Utama Makmur) telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga dihukum membayar ganti kerugian materiil yang dialami Para Penggugat dan Anggota Kelompok yaitu berupa pembelian masker akibat bau busuk sebesar Rp277.500.000,00 dan pembelian obat-obatan sebesar Rp222.000.000,00. Tergugat juga dihukum untuk melakukan tindakan pemulihan dengan membuat rencana pemulihan sebagaimana ketentuan Pasal 55 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2023 yang diketahui dan disetujui serta pengawasan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo dan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo yaitu untuk meniadakan bau busuk, memasang dan memperbaiki unit pengolah limbah udara dan cair serta memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran udara dan air.“Mengabulkan permohonan kasasi Para Pemohon Kasasi. Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo. Mengadili sendiri: mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian,” demikian di lansir di website MA.Putusan No. 4441 K/Pdt/2024 ini diucapkan pada hari Senin, 16 Desember 2024 oleh Prof. Dr. H. Hamdi, S.H., M.Hum sebagai Ketua Majelis, Maria Anna Samiyati, S.H., M.H., dan Dr. Lucas Prakoso, S.H., M.Hum sebagai Hakim Anggota, dengan Adhitya Ariwirawan, S.H., M.H., sebagai Panitera Pengganti.Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) ini diajukan oleh Sarmi dan Slamet Riyanto mewakili 183 anggota kelompok yang sejak tahun 2017 terkena dampak pencemaran limbah yang dihasilkan oleh Tergugat dari produksi serat rayon sintetis ke aliran sungai Gupit, Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo.Pada awalnya Pengadilan Negeri Sukoharjo berpendapat tidak ada bukti yang sah dan valid yang menunjukan bahwa pencemaran Sungai Gupit tersebut terjadi akibat air limbah yang berasal dari pabrik Tergugat, sehingga PN Sukoharjo menolak gugatan Penggugat.Di tingkat banding, putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang dengan pertimbangan pada saat yang bersamaan sedang dilakukan proses pidana terhadap Tersangka PT Rayon Utama Makmur, sehingga untuk menghindari adanya putusan yang saling bertentangan, maka Pengadilan Tinggi Semarang berpendapat gugatan premature sehingga gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Mahkamah Agung membatalkan putusan Judex Facti tersebut dengan pertimbangan sanksi perdata dan sanksi pidana dalam perkara lingkungan dapat dikenakan secara bersamaan tanpa harus menunggu satu dengan lainnya dan tanpa mengecualikan satu dengan lainnya. Inilah pendekatan yang dianut dalam penegakan hukum lingkungan, yaitu multidoor approach.Mahkamah Agung juga berpendapat Judex Facti telah mengabaikan Laporan Hasil Uji Laboratorium, baik dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah dan dari Laboratorium Teknik Kimia Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang menerangkan adanya air yang tercemar, udara mengandung Hidrogen Sulfida (H2S) berakibat pada iritasi mata, hidung, tenggorokan, gangguan sistem pernafasan, sesak, mual, pusing, dan berdasarkan dua kali pemeriksaan kesehatan gratis, ditemukan total 232 warga terdampak dengan diagnosa 28 orang ISPA berat, 72 orang ISPA ringan, 56 orang dispepsia, dan 1 orang dermatitis.Selain itu juga ada Surat Keputusan Bupati Sukoharjo Nomor 660.1/207 Tahun 2018 tentang Pemberian Sanksi Administratif dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berupa paksaan pemerintah dalam bentuk penghentian sementara selama delapan belas bulan kegiatan produksi kepada penanggung jawab Perusahaan Industri Serat Rayon PT Rayon Utama Makmur di Kabupaten Sukoharjo yang pada intinya menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan pencemaran lingkungan dan memerintahkan Tergugat untuk memasang Continuous Emission Monitoring (CEM) pada cerobong Cimney, melakukan pengendalian emisi sehingga tidak menimbulkan bau yang mengganggu masyarakat, dan menyelesaikan pemasangan pipa pembuangan air limbah hasil pengolahan limbah dari Instalasi.Judex Facti telah mengabaikan fakta masuknya limbah cair dari pabrik Tergugat ke Sungai Gupit melalui instalasi pipa air limbah yang patah sehingga Sungai Gupit menjadi tercemar, selain itu Tergugat ternyata juga tidak memiliki tempat Penyimpanan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang berizin.Dalam putusan ini Judex Juris menegaskan bahwa jikapun dalam menguji bukti-bukti ilmiah dari Penggugat dan Tergugat, ternyata ditemukan perbedaan atas hasil bukti-bukti ilmiah tersebut, seharusnya Judex Facti menerapkan precautionary principle (prinsip pencegahan dini) atau yang disebut dalam ketentuan Pasal 2 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebut dengan asas kehati-hatian yang dalam penjelasan dari pasal tersebut dinyatakan: "yang dimaksud dengan asas kehati-hatian adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.Penggunaan asas ini adalah relevan dengan semakin banyaknya pencemaran lingkungan dari aktifitas yang dihasilkan dari kegiatan industri yang mengancam dan merusak lingkungan sehingga mengakibatkan hak-hak warga negara untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat terabaikan. Pencegahaan dini disini dimaksudkan agar pencemaran baik udara maupun air yang terjadi sebagai akibat dari aktifitas Tergugat tidak semakin meluas dan dapat dikendalikan sehingga di satu sisi, kegiatan industri yang dapat meningkatkan kemakmuran bagi warga dapat terus berjalan namun lingkungan tetap dapat terjaga.

Tahun Baru Imlek, Keberagaman dan Hukum

article | Dirjen Menyapa | 2025-01-25 09:15:30

Belum selesai gempita perayaan tahun baru Masehi ke 2025, kita kembali dihadapkan dengan gegap perayaan tahun baru. Kali ini adalah Imlek ke 2576 yang jatuh pada 29 Januari 2025 ini. Imlek pun menjadi salah satu bukti keberagaman bangsa Indonesia.Dalam kalender Indonesia, tahun baru banyak ditemui. Selain tahun baru Masehi dan Imlek, kita juga mengenal tahun baru Hijriah yang dirayakan oleh ummat Islam. Selain itu, kita juga mengakui tahun baru Saka yang dirayakan oleh ummat Hindu dibarengi dengan perayaan Nyepi.Tahun baru selain sebagai penanda kalender juga menjadi penanda Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Bangsa yang sudah tumbuh sejak ratusan tahun lamanya, jauh sebelum Kemerdekaan Indonesia. Sebuah bangsa yang tersebar di ribuan pulau, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.Keberagaman itu terkristaliasi dalam Sumpah Pemuda hingga mencapai puncaknya yaitu Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Proklamasi ini juga menandai lahirnya Bangsa Indonesia secara de jure. Pasca kemerdekaan, masyarakat lazim merayakan Imlek di berbagai penjuru Indonesia. Hingga terjadi peristiwa berdarah 1966 yang menjadi latar belakang lahirnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 soal larangan perayaan Imlek.Selama beberapa dekade, Imlek dan budaya masyarakat China menjadi sesuatu yang tabu dirayakan di ruang publik, hingga datang Reformasi 98. Semangat keberagaman untuk tidak mendiskriminasi orang/budaya berlatar belakang etnis menjadi gerakan yang menguat.Puncaknya lahirlah Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur. Keppres ini mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dan membolehkan Imlek dirayakan lagi di ruang terbuka. Awalnya Imlek menjadi hari libur fakultatif, tetapi sejak 2003 menjadi hari libur nasional. Kini, Imlek menjadi salah satu perayaan tahunan yang setara dengan perayaan tahun baru lainnya. Keberagaman HukumSelain dalam ranah sosial, keberagaman itu juga tumbuh dan diakui dalam sistem hukum Indonesia. Di antaranya sistem pewarisan yang memiliki banyak ragam dan masih diakui di Indonesia. Seperti hukum waris Islam, hukum waris adat, hukum waris perdata dan hukum waris Tionghoa. Khusus sengketa hukum waris Islam diselesaikan di Pengadilan Agama dan sisanya diselesaikan di Pengadilan Negeri.Dalam hukum pidana, keberagaman itu sempat sedikit redup saat KUHP diberlakukan Belanda sejak 1918 silam. Namun keberagaman itu kembali hidup dengan akan berlakunya KUHP Nasional pada 2 Januari 2026 nanti. Yaitu dengan diakuinya hukum adat dalam sistem hukum pidana nasional dalam Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Pengakuan keberagaman hukum itu sempat juga dilontarkan jauh-jauh hari oleh JE Jonkers, seorang hakim dari Belanda yang pernah bertugas di Maros, Sulawesi Selatan (Sulsel) sebelum Indonesia merdeka. Sebagai ahli pidana yang mengajar di kampus Leiden University, ia meyakini hukum pidana Belanda yang homogen tidak cocok diterapkan di Indonesia yang multikultur, multietnis dan multireligi.Keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan ini juga membuat sengketa perdata memiliki keunikan dan karakteristik yang berbeda tiap kasus. Penyelesaian sengketa tanah di Jawa akan berbeda dengan di Papua. Demikian juga kasus pembatalan pernikahan di Sumatera, akan berbeda dengan di masyarakat Nusa Tenggara.Oleh sebab itu, Mahkamah Agung (MA) mendorong hakim sejak dini mengenal pluralitas masyarakat Indonesia itu. Yaitu salah satunya dengan menerapkan pola promosi dan mutasi antarpulau agar hakim bisa terus mempelajari hukum Indonesia secara menyeluruh. Hal itu juga bagian dari amanat UU 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 5 ayat 1 yaitu ‘Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.’ Selamat Tahun Baru Imlek. Gong Xi Fa Cai !!!Salam DANDAPALADirjen Badilum Mahkamah AgungH Bambang Myanto SH MH