Di jantung Sulawesi Tengah, dikenal sebuah sistem peradilan yang unik dan berakar kuat pada nilai-nilai budaya lokal yakni peradilan adat Kaili. Tidak hanya menjadi peninggalan sejarah, tetapi juga instrumen sosial yang tetap relevan dalam menjaga ketertiban dan keseimbangan di tengah masyarakat modern.
Eksistensi dan Fungsi Peradilan Adat Kaili
Peradilan adat Kaili berfungsi sebagai wadah resmi bagi masyarakat adat Kaili dalam mengatur hubungan sosial serta menyelesaikan berbagai bentuk sengketa, termasuk perkara pidana seperti perzinahan. Keberadaannya tetap kuat, terutama di wilayah yang sulit dijangkau oleh aparatur negara, seperti Desa Salena, Desa Sivua di Kabupaten Donggala, dan Kelurahan Silae di Kota Palu. Masyarakat Kaili memiliki sistem hukum adat lisan yang dikenal sebagai Atura Nu Ada, yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi pedoman perilaku masyarakat dalam aspek ucapan (posumba), perbuatan (ampena), dan tindakan (kainggua).
Baca Juga: Interpretasi Pengadilan Atas Hak Tradisional Masyarakat Adat Timor Tengah Selatan
Tujuan utama dari peradilan adat ini bukanlah semata-mata menghukum, melainkan untuk memulihkan keseimbangan yang terganggu akibat pelanggaran. Sebagaimana dijelaskan dalam penelitian Buyung Merdeka, sanksi adat merupakan reaksi atau koreksi untuk mengembalikan ketentraman dan harmoni sosial. Bahkan, tanggung jawab atas pelanggaran bisa bersifat kolektif, di mana seluruh masyarakat memiliki andil dalam menjaga norma agar tidak terjadi pengulangan. [1]
Proses dan Mekanisme Penyelesaian Perkara
Proses penyelesaian perkara dalam peradilan adat Kaili berlangsung secara partisipatif dan berlandaskan pada prinsip musyawarah. Apabila terjadi pelanggaran, seperti perzinahan, tahapan dimulai dengan adanya laporan dari masyarakat atau pihak yang dirugikan (To Rugi) kepada lembaga adat setempat yang diketuai oleh Balengga Nu Ada (Ketua Adat).
Sebelum persidangan dimulai, dilakukan pemeriksaan awal terhadap para pihak yang terlibat, termasuk pelaku (To Sala). Persidangan adat selanjutnya diselenggarakan di tempat pertemuan masyarakat seperti Bantaya (pondok adat) atau area terbuka lainnya. Sidang tersebut dihadiri oleh para tetua adat, tokoh masyarakat, saksi dengan jumlah minimal dua orang, serta masyarakat umum. Seluruh proses berlangsung secara terbuka, di mana pelaku dan korban diberi kesempatan menyampaikan keterangan, saksi dimintai penjelasan, dan barang bukti turut diperiksa.
Keputusan akhir dalam peradilan adat Kaili ditetapkan melalui musyawarah dan pertimbangan mendalam oleh dewan adat. Uniknya, sistem peradilan ini tidak mengenal keberadaan kuasa hukum atau pengacara. Penentuan kesalahan didasarkan pada fakta yang terungkap di persidangan serta pengakuan dari para pihak yang terlibat. Putusan yang dihasilkan bersifat final dan mengikat, bahkan diakui oleh aparat kepolisian berdasarkan asas ne bis in idem (seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman dua kali atas perkara yang sama), sebagaimana terjadi dalam kasus di Desa Sivua tahun 2011 ketika penyidikan dihentikan setelah perkara diselesaikan melalui mekanisme peradilan adat.
Sanksi Adat: Dari Denda Hingga Pengasingan
Dalam hukum adat Kaili, sanksi yang dikenal dengan istilah Givu memiliki variasi yang luas sesuai dengan tingkat beratnya pelanggaran. Sistem pemberian sanksi tersebut terbagi ke dalam tiga kategori utama: [2]
- Sala Kana (Sanksi Berat/Nakaputu Tambolo): Untuk pelanggaran berat seperti perzinahan, pembunuhan, atau penghinaan terhadap kepala adat.
- Sala Mbivi (Sanksi Sedang): Untuk pelanggaran menengah.
- Sala Baba (Sanksi Ringan): Untuk pelanggaran ringan.
Fokus utama seringkali tertuju pada Sala Kana, yang memiliki beberapa bentuk eksekusi:
- Nilabu merupakan sanksi berupa perendaman atau penenggelaman pelaku di laut. Dalam praktik modern, seperti yang terjadi di Kelurahan Silae pada tahun 2017, Nilabu telah mengalami penyesuaian menjadi bentuk “perendaman” di laut tanpa menghilangkan nyawa pelaku, sebagai simbol penyucian kampung dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Prosesi tersebut disaksikan oleh masyarakat sebagai bentuk ritual pembuangan sial.
- Nipali: Pelaku diusir dari kampung atau wilayah adatnya.
- Nibeko: Pelaku dikucilkan dari kehidupan sosial masyarakat.
- Bangu Mate: Pelaku diwajibkan membayar denda adat berupa hewan ternak (biasanya seekor kerbau untuk pelanggaran berat) dan perlengkapan adat. Seiring waktu, karena sulitnya menemukan benda adat, denda ini sering dikonversi ke dalam bentuk uang.
Dalam perkara perzinahan, bentuk sanksi yang dijatuhkan memiliki ketentuan yang sangat khusus. Sebagai contoh, pada kasus perzinahan antara seseorang yang telah menikah dengan pasangan lain (Nobualo atau Nebualosi), sanksi yang dikenakan adalah Bangu Mate, yang mencakup seekor kerbau, kain adat, piring adat, dulang, mangkuk putih, mata uang Riyal (yang kini dikonversi ke Rupiah), serta piring adat khusus. Apabila pelaku tidak mampu memenuhi denda materiil tersebut, maka sanksi alternatif seperti Nilabu dan Nipali akan diberlakukan, sebagaimana diterapkan di Silae.
Peradilan adat Kaili menjadi bukti konkret bahwa kearifan lokal mampu bertahan sekaligus beradaptasi di tengah derasnya arus modernisasi dan perkembangan hukum nasional. Walaupun bentuk sanksinya telah mengalami penyesuaian agar selaras dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) dan ajaran agama, hakikat serta perannya sebagai penjaga keharmonisan sosial tetap terpelihara.
Keberadaan peradilan adat ini semestinya dijaga dan dihormati, bukan dipandang sebagai pesaing hukum nasional, melainkan sebagai pelengkap yang menawarkan penyelesaian berbasis budaya dan rasa keadilan masyarakat setempat. Dalam kerangka pluralisme hukum di Indonesia, peradilan adat Kaili merupakan kekayaan berharga yang mencerminkan kedalaman dan keagungan budaya bangsa. (SNR/LDR)
Referensi:
Baca Juga: Nilai Keadilan Restoratif dalam Hukum Adat Minangkabau
[1] Buyung Merdeka, Eksistensi Givu Dalam Putusan Peradilan Adat Kaili Terhadap Tindak Pidana Perzinahan: Studi Kasus di Daerah Palu Desa Salena dan Desa Powelua Kabupaten Donggala, 2017.
[2] Syadila Afifah Widya, Praktik Sala Kana dalam Hukum Adat Suku Kaili: Perspektif Hukum Islam, 2023.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI