"Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana
lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam
dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum
sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka". Begitulah bunyi Pasal 56 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Hakim adalah pejabat yang bersangkutan pada tingkat pemeriksaan di
Pengadilan, sehingga jelas bahwa Hakim mempunyai kewajiban melakukan
penunjukkan penasihat hukum kepada Terdakwa yang diancam pidana mati atau
pidana lima belas tahun atau lebih. Selain itu disebutkan juga Hakim wajib
melakukan penunjukan penasihat hukum kepada para Terdakwa yang "tidak
mampu" yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih.
Dalam penjelasan Pasal 56 KUHAP tidak ditemukan penjelasan mengenai
frasa "tidak mampu" sebagaimana disebutkan dalam pasal tersebut,
sehingga secara gramatikal frasa "tidak mampu" dapat diartikan
sebagai ketidakmampuan secara finansial bagi si Terdakwa.
Baca Juga: Keadilan Prosedural: Akses Bantuan Hukum di KUHAP VS RKUHAP
Lalu bagaimana Hakim dapat menilai seorang Terdakwa yang dihadapakan
kepadanya tergolong sebagai seseorang yang mampu secara finansial atau tidak?
Haruskah si Terdakwa memberikan laporan hasil kekayaannya? Melaporkan kepada
Hakim yang menyidangi perkaranya berapa aset yang ia punya dan berapa
pendapatan yang ia peroleh selama setahun bekerja?
Pada praktiknya, Hakim akan menanyakan terlebih apakah Terdakwa
memiliki SKTM atau tidak. SKTM merupakan singkatan dari Surat Keterangan Tidak
Mampu, yaitu surat keterangan yang dikeluarkan oleh kantor pemerintahan tingkat
desa/kelurahan, dan kecamatan di daerah domisili si Pemohon SKTM.
Dengan adanya SKTM tersebut, Hakim dapat dengan mudah menarik
kesimpulan bahwa Terdakwa yang dapat menunjukkan SKTM atas dirinya maka
tergolong sebagai Terdakwa yang tidak mampu secara finansial. Adanya SKTM
tersebut mempermudah Hakim dalam menentukan wajib atau tidaknya Terdakwa
tersebut yang didakwa dengan pasal dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih
disediakan Penasihat Hukum secara cuma-cuma.
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah Terdakwa yang tidak dapat
menunjukkan SKTM secara otomatis digolongkan sebagai Terdakwa yang mampu secara
finansial?
Dalam Hukum Pidana, Hakim bersifat aktif mencari kebenaran materiil.
Hal ini berarti Hakim berkewajiban untuk mencari tahu yang sebenarnya, tiada
lain dari yang sebenarnya. Berangkat dari asas tersebut dan berkenaan
pertanyaan di atas, maka Hakim wajib menggali atau mencari tahu apakah si
Terdakwa yang tidak mempunyai SKTM ini memang benar mampu secara finansial atau
tidak.
Hakim dapat mencari tahu dengan menanyakan seberapa banyak pendapatan
Terdakwa setiap bulannya. Selanjutnya Hakim dapat membandingkan pendapatan
Terdakwa selama satu bulan dengan Upah Minimum Provinsi di domisili Terdakwa
tersebut. Jika pendapatan Terdakwa telah mencapai atau melebihi dari upah
minimum tersebut, maka Terdakwa tergolong sebagai mereka yang mampu secara
finansial dan gugur pula kewajiban Hakim untuk melakukan penunjukkan penasihat
hukum untuk Terdakwa tersebut.
Namun jika ternyata pendapatan Terdakwa selama sebulan tidak
mencapai upah minimum, maka Hakim dapat menyimpulkan bahwa Terdakwa tersebut
tergolong sebagai mereka yang tidak mampu secara finansial dan timbul pula
kewajiban bagi Hakim untuk melakukan penunjukkan penasihat hukum kepada
Terdakwa tersebut.
Tentu, ada saja kemungkinan bahwa Terdakwa berbohong kepada Hakim
ketika ditanya seberapa besar pendapatannya selama sebulan. Untuk itu Hakim
juga harus dapat menilai dengan melihat pekerjaan Terdakwa dari Kartu Identitas
Penduduk Terdakwa dan secara kritis menilai apakah pendapatan Terdakwa yang ia
jawab berkesinambungan dengan pekerjaan yang disebutkan dalam kartu identitas.
Sehingga atas pertanyaan tersebut di atas, terjawab bahwa Terdakwa
yang tidak memiliki SKTM tidak serta merta tergolong ke dalam orang yang mampu
secara finansial. Hakim harus menggali kebenaran yang hakiki, mencari tahu
apakah benar Terdakwa yang tidak mempunyai SKTM tersebut mampu secara finansial
ataukah hanya tidak mengetahui tentang adanya SKTM sama sekali.
Hakim harus menghindari pemikiran bahwa “jika tidak dapat
menunjukan SKTM, maka jelas mereka adalah orang yang mampu”. Pemikiran tersebut
menunjukkan kemalasan dalam mencari kebenaran dan dapat berujung kepada
perlakuan tidak adil, jika ternyata memang si Terdakwa adalah orang yang tidak
mampu.
Sebagai penutup, semoga kita semua yang diberikan kesempatan dan wewenang oleh Tuhan untuk menentukan nasib orang lain, dapat menjalankan tugas kita yang dengan baik dan sepenuh hati serta berdasarkan kebenaran yang hakiki. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu membimbing kita di jalan yang lurus dan menuntun kita dalam memeriksa dan memutus perkara dengan berdasarkan Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian. Aamiin. (fjaa/snr/ldr)
Baca Juga: Semiologi Penggunaan Bahasa Hukum di Pengadilan: Mengapa Hakim Perlu Mempelajari Semiologi?
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI