Cari Berita

Menafsirkan Makna Tidak Mampu: Dasar Penunjukkan Penasihat Hukum bagi Terdakwa

M.R. Angkasa Putra - Hakim Pengadilan Negeri Nabire - Dandapala Contributor 2025-11-21 07:10:05
Dok. Penulis.

"Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka". Begitulah bunyi Pasal 56 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Hakim adalah pejabat yang bersangkutan pada tingkat pemeriksaan di Pengadilan, sehingga jelas bahwa Hakim mempunyai kewajiban melakukan penunjukkan penasihat hukum kepada Terdakwa yang diancam pidana mati atau pidana lima belas tahun atau lebih. Selain itu disebutkan juga Hakim wajib melakukan penunjukan penasihat hukum kepada para Terdakwa yang "tidak mampu" yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih.

Dalam penjelasan Pasal 56 KUHAP tidak ditemukan penjelasan mengenai frasa "tidak mampu" sebagaimana disebutkan dalam pasal tersebut, sehingga secara gramatikal frasa "tidak mampu" dapat diartikan sebagai ketidakmampuan secara finansial bagi si Terdakwa.

Baca Juga: Keadilan Prosedural: Akses Bantuan Hukum di KUHAP VS RKUHAP

Lalu bagaimana Hakim dapat menilai seorang Terdakwa yang dihadapakan kepadanya tergolong sebagai seseorang yang mampu secara finansial atau tidak? Haruskah si Terdakwa memberikan laporan hasil kekayaannya? Melaporkan kepada Hakim yang menyidangi perkaranya berapa aset yang ia punya dan berapa pendapatan yang ia peroleh selama setahun bekerja?

Pada praktiknya, Hakim akan menanyakan terlebih apakah Terdakwa memiliki SKTM atau tidak. SKTM merupakan singkatan dari Surat Keterangan Tidak Mampu, yaitu surat keterangan yang dikeluarkan oleh kantor pemerintahan tingkat desa/kelurahan, dan kecamatan di daerah domisili si Pemohon SKTM.

Dengan adanya SKTM tersebut, Hakim dapat dengan mudah menarik kesimpulan bahwa Terdakwa yang dapat menunjukkan SKTM atas dirinya maka tergolong sebagai Terdakwa yang tidak mampu secara finansial. Adanya SKTM tersebut mempermudah Hakim dalam menentukan wajib atau tidaknya Terdakwa tersebut yang didakwa dengan pasal dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih disediakan Penasihat Hukum secara cuma-cuma.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah Terdakwa yang tidak dapat menunjukkan SKTM secara otomatis digolongkan sebagai Terdakwa yang mampu secara finansial?

Dalam Hukum Pidana, Hakim bersifat aktif mencari kebenaran materiil. Hal ini berarti Hakim berkewajiban untuk mencari tahu yang sebenarnya, tiada lain dari yang sebenarnya. Berangkat dari asas tersebut dan berkenaan pertanyaan di atas, maka Hakim wajib menggali atau mencari tahu apakah si Terdakwa yang tidak mempunyai SKTM ini memang benar mampu secara finansial atau tidak.

Hakim dapat mencari tahu dengan menanyakan seberapa banyak pendapatan Terdakwa setiap bulannya. Selanjutnya Hakim dapat membandingkan pendapatan Terdakwa selama satu bulan dengan Upah Minimum Provinsi di domisili Terdakwa tersebut. Jika pendapatan Terdakwa telah mencapai atau melebihi dari upah minimum tersebut, maka Terdakwa tergolong sebagai mereka yang mampu secara finansial dan gugur pula kewajiban Hakim untuk melakukan penunjukkan penasihat hukum untuk Terdakwa tersebut.

Namun jika ternyata pendapatan Terdakwa selama sebulan tidak mencapai upah minimum, maka Hakim dapat menyimpulkan bahwa Terdakwa tersebut tergolong sebagai mereka yang tidak mampu secara finansial dan timbul pula kewajiban bagi Hakim untuk melakukan penunjukkan penasihat hukum kepada Terdakwa tersebut.

Tentu, ada saja kemungkinan bahwa Terdakwa berbohong kepada Hakim ketika ditanya seberapa besar pendapatannya selama sebulan. Untuk itu Hakim juga harus dapat menilai dengan melihat pekerjaan Terdakwa dari Kartu Identitas Penduduk Terdakwa dan secara kritis menilai apakah pendapatan Terdakwa yang ia jawab berkesinambungan dengan pekerjaan yang disebutkan dalam kartu identitas.

Sehingga atas pertanyaan tersebut di atas, terjawab bahwa Terdakwa yang tidak memiliki SKTM tidak serta merta tergolong ke dalam orang yang mampu secara finansial. Hakim harus menggali kebenaran yang hakiki, mencari tahu apakah benar Terdakwa yang tidak mempunyai SKTM tersebut mampu secara finansial ataukah hanya tidak mengetahui tentang adanya SKTM sama sekali.

Hakim harus menghindari pemikiran bahwa “jika tidak dapat menunjukan SKTM, maka jelas mereka adalah orang yang mampu”. Pemikiran tersebut menunjukkan kemalasan dalam mencari kebenaran dan dapat berujung kepada perlakuan tidak adil, jika ternyata memang si Terdakwa adalah orang yang tidak mampu.

Sebagai penutup, semoga kita semua yang diberikan kesempatan dan wewenang oleh Tuhan untuk menentukan nasib orang lain, dapat menjalankan tugas kita yang dengan baik dan sepenuh hati serta berdasarkan kebenaran yang hakiki. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu membimbing kita di jalan yang lurus dan menuntun kita dalam memeriksa dan memutus perkara dengan berdasarkan Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian. Aamiin. (fjaa/snr/ldr)

Baca Juga: Semiologi Penggunaan Bahasa Hukum di Pengadilan: Mengapa Hakim Perlu Mempelajari Semiologi?


Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili pendapat lembaga.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…