Pasal 53 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Nasional yang baru menandai pergeseran fundamental dan provokatif dalam
filsafat hukum pidana Indonesia. Ketentuan ini secara eksplisit
menginstruksikan hakim untuk mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum
ketika keduanya berada dalam posisi bertentangan. Pernyataan ini berani dan
menantang utopis positivisme hukum yang selama ini mendominasi dan secara langsung
menantang jaminan nisbi atas kepastian hukum yang telah lama menjadi pilar
utama.
Di balik niatnya yang mulia untuk menjauhkan
peradilan dari formalisme yang kaku, ketentuan ini membawa potensi bahaya yang
serius jika disalahpahami. Kekhawatiran terbesar muncul dari risiko, bahwa
pasal ini membuka celah untuk mengesampingkan pilar utama hukum seperti asas
legalitas atas nama keadilan. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan
ketidakadilan yang lebih besar dan merusak fondasi sistem hukum itu sendiri
serta mengubah peradilan menjadi arena undian subjektif.
Kepastian Hukum: Perisai Pelindung Kebebasan
Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru
Pada dasarnya, kepastian hukum adalah tentang prediktabilitas dan konsistensi. Ia menjamin bahwa aturan main dalam masyarakat sudah jelas, stabil, dan tidak berubah-ubah. Inti dari kepastian hukum adalah asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali), yang menjamin bahwa seseorang tidak dapat dihukum kecuali ada undang-undang yang melarang perbuatannya sebelum perbuatan itu dilakukan.
Prinsip ini adalah
perisai pelindung individu dari tindakan sewenang-wenang pemerintah atau pihak
berwenang.
Keadilan sejati tidak mungkin diwujudkan di
lingkungan yang tidak stabil dan tidak dapat diprediksi. Tanpa kepastian hukum,
individu tidak dapat merencanakan hidup mereka atau membuat keputusan dengan
keyakinan bahwa tindakan yang sah hari ini akan tetap sah di hari esok. Membuka
pintu untuk mengutamakan "keadilan" yang subjektif di atas fondasi
ini adalah menciptakan jurang yang berbahaya.
Keadilan seringkali diartikan sebagai hasil yang memuaskan emosi publik atau nurani personal hakim, dan itu sangatlah relatif. Keadilan bagi korban mungkin adalah hukuman maksimal tanpa dasar hukum yang jelas, sementara keadilan bagi keluarga pelaku adalah rehabilitasi.
Jika
hakim diberi wewenang untuk mengutamakan keadilan ini tanpa batasan yang jelas,
putusan hukum dapat menjadi tidak konsisten. Kasus serupa dapat menghasilkan
putusan yang sangat berbeda hanya karena hakim yang berbeda memiliki "rasa
keadilan" yang berbeda. Ini akan mengikis prinsip persamaan di hadapan
hukum dan membuat hukum terasa seperti undian, dan itu bukanlah sebuah sistem
yang adil.
Pelanggaran terhadap asas legalitas yang bisa saja terjadi sebagai akibat dari penafsiran yang keliru terhadap Pasal 53 adalah bentuk ketidakadilan yang paling mendasar. Jika seorang hakim, dengan dalih menegakkan keadilan, menghukum seseorang karena perbuatan yang tidak secara eksplisit dilarang oleh undang-undang, ia telah menciptakan hukum secara retroaktif.
Tindakan ini menempatkan setiap warga negara dalam posisi yang rentan, di mana
mereka dapat dihukum atas dasar sentimen publik atau moralitas yang berlaku,
bukan pada hukum yang sudah ditetapkan. Keadilan yang diperoleh dengan
melanggar asas legalitas adalah sebuah ilusi, karena ia merusak prinsip dasar
yang melindungi kebebasan dan hak individu.
Lebih jauh, pemberian diskresi yang terlalu besar tanpa panduan yang jelas dapat membuka pintu bagi penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Hakim yang tidak memiliki integritas dapat menggunakan Pasal 53 sebagai pembenaran untuk memberikan putusan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, dengan mengklaim bahwa mereka sedang "menegakkan keadilan."
Tanpa batasan yang kuat dari kepastian hukum, sistem peradilan bisa menjadi
medan bermain bagi kepentingan-kepentingan pribadi. Pada akhirnya, keadilan
yang dicari melalui jalan yang tidak pasti dan tidak konsisten akan
menghasilkan ketidakadilan yang lebih besar.
Perangkap dan Klarifikasi Konteks Pasal 53
Kekhawatiran di atas menjadi wajar, tetapi
sebuah pemahaman yang lebih teliti terhadap struktur dan konteks KUHP Nasional
menunjukkan bahwa ketentuan ini tidak sedrastis atau seberbahaya yang terlihat.
Kunci untuk meredam kekhawatiran ini terletak pada posisi Pasal 53 dalam KUHP
Nasional.
Pasal ini berada dalam bagian pedoman
pemidanaan dan terpisah secara struktural dari pasal-pasal yang mengatur tindak
pidana (delik) maupun pertanggungjawaban pidana. Posisi ini memperjelas
makna dan lingkup berlakunya yakni hanya berlaku pada tahap penjatuhan sanksi
kepada terdakwa, bukan pada tahap penentuan bersalah atau tidaknya terdakwa,
apalagi penentuan apakah suatu perbuatan termasuk tindak pidana.
Dengan kata lain, perdebatan antara kepastian
dan keadilan dalam pasal ini hanya menyangkut bentuk, lama, dan/atau besaran
penjatuhan pidana, bukan penentuan apakah suatu perbuatan melanggar asas
legalitas atau apakah hukum acara harus dipaksakan dengan maksud untuk
menghukum terdakwa.
Dari sudut pandang pemutus perkara, pemahaman ini menjadi sangat krusial. Seorang hakim dilarang menggunakan Pasal 53 untuk menghukum seseorang yang perbuatannya tidak diatur dalam KUHP atau membebaskan terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana karena alasan keadilan subjektif.
Asas legalitas tetap menjadi pilar fundamental yang
tidak dapat digoyahkan. Jika hakim memutus seseorang bersalah atas perbuatan
yang tidak ada dasar hukumnya dengan dalih "keadilan", hal itu sama
saja dengan menciptakan hukum secara retroaktif, yang merupakan ironi keadilan.
Sejatinya, Pasal 53 memberikan ruang bagi hakim
untuk memperhalus dan menyesuaikan putusan pidana dengan kondisi konkret
perkara. Hakim, setelah melalui proses persidangan yang ketat dan memastikan
terdakwa bersalah berdasarkan bukti yang sah, dapat mempertimbangkan
faktor-faktor di luar teks undang-undang untuk menentukan hukuman yang paling
adil.
Misalnya, dalam kasus pencurian ringan, seorang hakim dapat mempertimbangkan keadaan ekonomi terdakwa, motif di balik perbuatannya (seperti seorang ibu yang mencuri susu untuk bayinya), serta potensi rehabilitasi. Dalam sistem lama yang kaku, hakim mungkin terpaksa menjatuhkan hukuman penjara, meskipun singkat.
Namun dengan Pasal 53, hakim
memiliki kewenangan untuk memilih opsi pidana lain yang lebih adil dan humanis,
seperti mengadopsi sanksi adat atau pidana bersyarat. Dalam hal ini, keadilan
diutamakan bukan untuk melampaui hukum, tetapi untuk membuat penerapan hukum
menjadi lebih proporsional dan humanis.
Ujian Integritas dan Kebijaksanaan Hakim
Pasal 53 sesungguhnya merupakan wujud dari semangat kodifikasi KUHP Nasional untuk menjauhkan sistem peradilan pidana dari formalisme yang kaku. Ini adalah jawaban atas tuntutan untuk memberikan pedoman bagi hakim agar menempatkan hati nurani mereka dalam proses pemidanaan.
Ini
adalah langkah maju yang mengakui bahwa keadilan tidak hanya tentang menghukum
secara tekstual, tetapi juga tentang memberikan putusan yang adil secara
proporsional.
Namun, pengakuan ini bukanlah "cek
kosong" bagi hakim untuk bertindak sewenang-wenang. Justru, pasal ini
adalah ujian bagi kearifan dan integritas hakim. Hakim harus mampu membedakan
antara keadilan yang melanggar asas legalitas yang merupakan sebuah pelanggaran
yang tidak dapat diterima, dengan
keadilan yang memanusiakan putusan.
Kewenangan ini datang dengan tanggung jawab besar. Integritas dan profesionalisme hakim menjadi taruhan utama. Tanpa kedua hal ini, pasal yang seharusnya menjadi pedoman keadilan dapat berubah menjadi alat pembenaran keputusan yang sewenang-wenang.
Pelatihan dan pendidikan bagi hakim harus ditekankan pada etika, filsafat hukum, dan penalaran moral, dan tidak dapat terpaku hanya pada aturan-aturan teknis. Hakim harus dilatih untuk melihat kasus secara holistik, tidak hanya dari sudut pandang hukum positif, tetapi juga dari perspektif sosiologis dan psikologis untuk memahami kompleksitasnya.
Tetapi pandangan holistik ini bukan berarti dapat menyimpangi ketentuan hukum yang ada atas nama keadilan, melainkan mampu memberi alasan berdasarkan hukum mengapa sikap tersebut harus diambil. Transparansi dalam pengambilan putusan tidak bisa diremehkan.
Hakim harus mampu menjelaskan alasan
di balik putusannya secara logis dan transparan, terutama ketika putusan
tersebut terasa berbeda dari norma yang berlaku. Penjelasan ini akan membantu
membangun kepercayaan publik dan memastikan bahwa putusan tidak dianggap
sebagai hasil dari bias pribadi.
Pada akhirnya, Pasal 53 KUHP Nasional bukanlah
sebuah bom waktu yang akan meledakkan sistem hukum Indonesia. Ia adalah
instrumen kuat yang jika digunakan dengan pemahaman yang benar, dapat
menjadikan peradilan pidana lebih adil, humanis, dan relevan dengan zaman. Ia
mencoba untuk berjalan di antara dua ekstrem: mengakui pentingnya proses yang
terstruktur sambil memberikan fleksibilitas untuk mencapai tujuan substansial.
Keadilan sejati tidak bertentangan dengan
kepastian hukum, ia justru membutuhkan kepastian sebagai fondasi yang kokoh
agar dapat ditegakkan secara merata dan adil bagi semua orang. Memisahkan keduanya
adalah kesalahan fatal. KUHP Nasional melalui Pasal 53 menuntut agar hakim
tidak memisahkan keduanya, melainkan menafsirkan hukum secara bijaksana,
humanis, dan kontekstual hanya pada tahap pemidanaan, dengan tetap berada di
dalam kerangka kepastian hukum yang kokoh.
Tantangan terbesar bukanlah pada teks
undang-undang itu sendiri, tetapi pada manusia yang akan menafsirkan dan
menerapkannya. Dengan pemahaman yang benar, Pasal 53 tidak akan menjadi
jebakan, melainkan sebuah alat yang kuat bagi hakim untuk menjalankan tugasnya
dengan lebih berintegritas dan humanis, menjaga keseimbangan penting antara
keadilan yang hidup dan kepastian hukum yang kokoh. (aar/ldr)
Bahan Bacaan
1.
KUHP Nasional
2.
Eddy O.S. Hiariej & Topo
Santoso. Anotasi KUHP Nasional. Rajawali Pers. 2025
Baca Juga: Antinomi Hukum Tujuan Pemidanaan dan Pidana Penjara Pengganti dalam KUHP Baru
3.
Brian Bix, Radbruch's Formula and
Conceptual Analysis, 56 AM. J. JURIS. 45 2011
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI