Cari Berita

Menembus Batas Hukum: Putusan 1988, Fondasi Lahirnya Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup

Sri Septiany Arista Yufeny - Dandapala Contributor 2025-11-21 09:00:10
Dok. Ist.

Pada akhir dekade 1980-an, ketika isu lingkungan hidup masih berada di pinggiran wacana hukum Indonesia, sebuah perkara di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat justru menandai babak baru dalam sejarah peradilan nasional. Di ruang sidang sederhana pada tahun 1988 itu, lahir sebuah konsep yang hari ini kita kenal sebagai hak gugat organisasi lingkungan hidup (legal standing). Konsep ini tidak muncul dari proses legislasi atau diskursus formal di parlemen, tetapi dari sebuah gugatan yang diajukan oleh Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) terhadap negara dan korporasi. 

Perkara tersebut berawal dari operasi PT Inti Indo Rayon Utama (PT IIU), perusahaan pengolahan pulp dan rayon di Sumatera Utara.  Meski undang-undang telah mewajibkan penyusunan Amdal dan RKL–RPL, perusahaan ini tetap beroperasi tanpa memenuhi instrumen lingkungan tersebut. Izin tetap diterbitkan oleh berbagai instansi pemerintah. Di lapangan, kerusakan lingkungan mulai terasa yakni perubahan tutupan hutan, pencemaran, serta dampak ekologis lain.

WALHI yang saat itu masih menjadi lembaga advokasi lingkungan dengan pengaruh terbatas, memutuskan untuk mengajukan gugatan. Tidak untuk kepentingan sendiri, tetapi untuk kepentingan lingkungan hidup. Mereka mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad) terhadap lima instansi pemerintah dan PT IIU, mengkritisi penerbitan izin tanpa Amdal dan tanpa keterbukaan informasi kepada publik.

Baca Juga: Tips Memilih Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup di SIPP

Inilah yang kemudian memicu perdebatan, sebab dalam hukum acara perdata klasik berlaku asas persona standi in judicio, yaitu bahwa pihak yang menggugat harus memiliki kepentingan hukum. Prinsip ini juga dikenal dengan “point de interest, point de action” yang berarti siapa memiliki kepentingan, dialah yang berhak mengajukan gugatan. Kepentingan tersebut harus bersifat langsung, timbul dari hubungan hukum yang ada, dan menimbulkan kerugian nyata. Dengan demikian, tidak dikenal gugatan tanpa adanya kepentingan hukum personal yang konkret.

Dalam perkara ini WALHI tidak memiliki hubungan hukum langsung sebagaimana dipahami dalam hukum acara perdata klasik. Namun, justru alasan itulah yang membuat gugatan ini menjadi salah satu perkara paling penting dalam sejarah hukum lingkungan Indonesia.

Majelis hakim PN Jakarta Pusat dihadapkan pada pertanyaan yang belum pernah diuji sebelumnya di Indonesia yaitu dapatkah organisasi lingkungan hidup menggugat demi kepentingan lingkungan meski tidak mengalami kerugian langsung? 

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup saat itu tidak memberikan jawaban eksplisit. Namun, undang-undang memberikan ruang bagi peran masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Majelis hakim kemudian memaknai ruang kosong dalam hukum itu sebagai peluang untuk menggali nilai dan asas yang hidup dalam masyarakat. Majelis menafsirkan bahwa hak gugat lahir dari hak subjektif setiap orang untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup, dan bahwa ketiadaan pengaturan tata cara bukan berarti ketiadaan hak. Pertimbangan majelis hakim yang bahkan menautkan praktik hukum di negara lain sebagai acuan merupakan suatu pendekatan yang sangat progresif.

Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 820/Pdt.G/1988/PN Jkt Pst memang menolak gugatan WALHI. Namun yang jauh lebih penting adalah diakuinya legal standing WALHI dalam pertimbangan hakim. Untuk pertama kalinya, organisasi lingkungan hidup memperoleh legitimasi untuk mewakili kepentingan ekologis di pengadilan. Putusan ini menjadi preseden yang melampaui batas kasusnya sendiri. Pertimbangan majelis hakim menjadi dasar intelektual bagi perumusan hak gugat organisasi lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menjadi hukum positif pertama yang secara tegas memberi dasar hukum bagi organisasi lingkungan untuk menggugat demi kepentingan ekologis.

Perkembangan regulasi berlanjut dengan hadirnya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 92 menegaskan kembali hak gugat organisasi lingkungan hidup. Organisasi harus berbadan hukum atau berbentuk yayasan, memuat tujuan pelestarian lingkungan dalam anggaran dasar, serta telah melaksanakan kegiatan sesuai tujuan tersebut. Ruang lingkup gugatan dibatasi pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu demi pelestarian fungsi lingkungan hidup, tanpa tuntutan ganti rugi kecuali biaya riil. Penguatan lebih lanjut melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup yang menambahkan syarat beroperasi minimal dua tahun dengan kegiatan nyata seperti seminar atau advokasi lingkungan lainnya. PERMA juga menegaskan kembali pembatasan tuntutan pada tindakan tertentu, bukan ganti rugi materiil kecuali biaya nyata.

Baca Juga: Kaidah Hukum Gugatan LPKSM Bukan Untuk Kepentingan Umum/Masyarakat Konsumen

Dengan lahirnya UU Nomor 32 tahun 2009 jo UU Nomor 23 tahun 1997 dan PERMA Nomor 1 tahun 2023, konsep legal standing yang semula lahir dari interpretasi progresif hakim kini telah bertransformasi menjadi kerangka hukum yang modern dan operasional. Fondasi moral dan intelektual yang diletakkan melalui perkara WALHI tahun 1988 diperkuat oleh instrumen hukum yang memberikan kejelasan dan legitimasi bagi organisasi lingkungan hidup untuk memperjuangkan kepentingan ekologis secara sah di pengadilan. 

Perkara ini menjadi titik balik dalam sejarah hukum lingkungan Indonesia, menandai pergeseran dari paradigma formalistik menuju paradigma ekologis. Ia menunjukkan bahwa perubahan besar dalam hukum tidak selalu lahir dari undang-undang baru, tetapi sering kali berakar dari keberanian organisasi masyarakat sipil dan hakim yang bersedia melihat lebih jauh daripada teks hukum. Putusan WALHI vs PT IIU menjadi simbol bahwa lingkungan hidup bukan sekadar objek kebijakan, melainkan entitas yang berhak memperoleh perlindungan hukum secara penuh. IKAW/LDR

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…